Patogenesis GERD
Patogenesis terjadinya GERD berhubungan dengan keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari refluksat.
A. Faktor Defensif Esofagus
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intra abdomen.
Kandungan nikotin pada rokok dapat menghambat transport ion Na+ melalui
epitel esofagus, sedangkan alkohol an aspirin meningkatkan permeabilitas
epitel.
Manifetasi Klinis
Gejala tipikal GERD meliputi heartburn dan regurgitasi. Heartburn adalah gejala GERD yang
paling umum dan digambarkan sebagai sensasi terbakar di bawah sternum yang naik dari
epigastrium hingga leher. Regurgitasi adalah kembalinya isi lambung dengan mudah ke atas
menuju mulut, sering disertai rasa asam atau pahit. Meskipun kedua gejala tersebut
merupakan gejala utama GERD, asal-usul gejala ini tidak sama, dan pendekatan diagnostik
dan pengelolaannya bervariasi tergantung pada gejala mana yang dominan. Nyeri dada,
yang tidak dapat dibedakan dari nyeri jantung, dapat muncul bersamaan dengan heartburn
dan regurgitasi atau sebagai satu-satunya gejala GERD. Gejala GERD bersifat nonspecific
dan dapat tumpang tindih dengan gejala gangguan lain seperti rumination, achalasia,
eosinophilic esophagitis (EoE), reflux hypersensitivity, penyakit fungsional, penyakit jantung
atau paru-paru, dan hernia paraesophageal.
Manifestasi ekstraesofageal GERD dapat mencakup gejala laring dan paru-paru seperti
serak dan batuk kronis serta kondisi seperti laringitis, faringitis, dan fibrosis paru. Juga telah
diusulkan bahwa GERD dapat memperburuk asma. Manifestasi ekstraesofageal ini dapat
disebabkan oleh GERD, mereka juga bisa disebabkan oleh sejumlah penyebab lain. Bahkan
pada pasien dengan GERD yang sudah terbukti, sulit untuk menegakkan bahwa GERD
adalah penyebab masalah ekstraesofageal ini.
Algoritma Diagnosis
Tidak ada standar emas untuk diagnosis GERD. Oleh karena itu, diagnosis didasarkan pada
kombinasi presentasi gejala, evaluasi endoskopik dari mukosa esofagus, monitoring refluks,
dan respons terhadap intervensi terapeutik. Heartburn dan regurgitasi tetap menjadi gejala
yang paling sensitif dan spesifik untuk GERD, meskipun tidak seandal seperti yang
dipercayai. Sebuah tinjauan sistematik yang dilakukan dengan baik tetapi lebih lama
menemukan sensitivitas variabel dari heartburn dan regurgitasi untuk esofagitis erosif (EE)
(30%-76%), dengan spesifisitas berkisar antara 62 hingga 96% (6).
Gejala dan kondisi atipikal yang berkaitan dengan GERD seperti batuk kronis, disfonia,
asma, sinusitis, laringitis, dan erosi gigi telah dikaitkan dengan GERD. Namun, gejala dan
kondisi ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang buruk untuk diagnosis GERD.
Diagnosis GERD berdasarkan gejala ekstraesofagus saja atau berdasarkan respons
terhadap PPI tidak dapat diandalkan karena sensitivitas dan spesifisitasnya buruk untuk
GERD dan tidak disarankan.
Selain itu, gejala GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux
Disease Questionnairre (GERD-Q).
Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan
untuk memantau respon terapi.
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI
(PPI test). Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda
selama 1–2 minggu tanpa didahului endoskopi. Jika gejala
menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi
dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan.
Uji terapi PPI dikatakan postif jika terjadi perbaikan klinis dalam 1
minggu sebanyak lebih dari 50 %. Indikasi uji terapi ini adalah
penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm
(disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan, anemia,
hematemesis-melena, riwayat keluarga dengan keganasan,
penggunaan NSAID kronik, usia >40 tahun di daerah prevalensi kanker
lambung tinggi ) dan yang tidak respon dengan uji terapi empirik
dengan PPI 2 kali sehari.
Diagnosis Banding
1. Gastritis
Gastritis adalah kondisi peradangan pada lapisan dinding lambung
yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, penggunaan obat-obatan
tertentu, atau kondisi autoimun. Gejala gastritis meliputi rasa sakit atau
nyeri pada perut, mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Gastritis
dapat didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi atau tes darah untuk
mendeteksi infeksi bakteri Helicobacter pylori.
Peptic ulcer adalah luka pada lapisan lambung atau duodenum (bagian
atas usus halus) yang disebabkan oleh asam lambung yang merusak
dinding lambung atau duodenum. Peptic ulcer dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri Helicobacter pylori, penggunaan obat-obatan tertentu,
konsumsi alkohol, dan stres. Gejala peptic ulcer meliputi nyeri perut,
mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Peptic ulcer dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi atau tes darah untuk
mendeteksi infeksi bakteri Helicobacter pylori.
Persamaan antara peptic ulcer dan GERD adalah keduanya melibatkan
asam lambung yang merusak dinding lambung atau kerongkongan.
Kedua kondisi ini juga dapat menyebabkan gejala yang serupa seperti
nyeri perut, mual, dan nafsu makan menurun. Namun, perbedaan
utama antara kedua kondisi ini adalah lokasi dari luka atau kerusakan
pada sistem pencernaan. Peptic ulcer terjadi pada lambung atau
duodenum menyebabkan Lesi mukosa, dasar ulkus polos fibrinoid
berwarna putih. Sebagian besar terletak pada pertemuan fundus dan
antrum, sepanjang 0,5-2,5 cm, sedangkan GERD terjadi pada
kerongkongan dan lambung. Selain itu, penyebab peptic ulcer dapat
berbeda, termasuk infeksi bakteri Helicobacter pylori, penggunaan
obat-obatan tertentu, konsumsi alkohol, dan stres, sedangkan GERD
biasanya disebabkan oleh kelemahan pada katup antara lambung dan
kerongkongan.
3. Achalasia
4. Esophageal carcinoma
Secara anatomis, cavum abdomen dibagi menjadi, kuadran kanan atas dan bawah
serta kuadran kiri atas dan bawah. Selain kudran, abdomen juga dapat dibagi menjadi regio.
Kuadran Abdomen
Kuadran kanan atas terdiri dari lobus kanan hepar, kantung empedu, pilorus,
sebagian duodenum, caput pankreas, kelenjar adrenal kanan, ginjal kanan, colon bagian
fleksura hepatika kanan, colon ascendens, dan setengah bagian colon transversa. Kuadran
kanan bawah terdiri dari caecum, apendiks, sebagian besar ileum, bagian bawah colon
ascendens, ovarium, tuba falopi kanan, segmen abdominal ureter, korda spermatika kanan,
uterus (pada wanita hamil), dan vesika urinaria (saat penuh). Kuadran kiri atas terdiri dari
lobus kiri hepar, lien, lambung, jejunum, ileum proximal, corpus dan ekor pankreas, ginjal
dan kelenjar adrenal kiri, colon bagian flexura lienalis, setengah bagian colon transversa dan
descendens. Kuadran kiri bawah terdiri dari colon sigmoid, setengah distal colon
descendens, ovarium dan tuba fallopi kiri, segmen abdomen ureter kiri, korda spermatika
kiri, uterus (saat hamil), dan vesika urinaria (bila penuh).
Regio Abdomen
Regio abdomen dapat dibagi menjadi 9 regio, yaitu hipokondria kanan dan kiri,
epigastrik, lumbal kanan dan kiri, umbilikal, iliaka kanan dan kiri, serta hipogastrik
Penunjang GERD
1. Endoskopi saluran cerna bagian atas, merupakan standar baku penegakan
diagnosis GERD dengan spesifitas 90-95% tetapi memilki sensitivitas yang rendah.
Dikarenakan sekitar 70% pasien GERD memilki mukosa esophagus yang normal.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya mucosal break pada esophagus. Prosedurnya dengan
memasukkan tabung tipis dan lentur yang dilengkapi dengan cahaya dan kamera
(endoskopi) ke tenggorokan pasien, untuk memeriksa bagian dalam esofagus dan perut
pasien. Hasil tes sering bisa normal ketika refluks hadir, tetapi endoskopi dapat mendeteksi
peradangan esophagus (esophagitis) atau komplikasi lainnya. Endoskopi juga dapat
digunakan untuk mencari kelainan striktur, mengumpulkan sampel jaringan (biopsi) esofagus
Barrett, atau keganasan.
Grade A: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter < 5 mm dan tidak
meluas diantara dua lipatan mukosa.
Grade B: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter > 5 mm dan tidak
meluas diantara dua lipatan mukosa.
Grade C: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter < 75 mm dari diameter
keseluruhan esophagheal.
Grade D: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter > 75 mm dari diameter
keseluruhan esophagheal, mengelilingi lumen.
2. Uji probe asam ambulatory (pH), Monitor ditempatkan di esofagus pasien untuk
mengidentifikasi kapan, dan untuk berapa lama, asam lambung akan muntah di sana.
Monitor terhubung ke komputer kecil yang pasien kenakan di pinggang pasien atau dengan
tali di atas bahu pasien. Monitor mungkin berupa tabung yang tipis dan fleksibel (kateter)
yang berulir melalui hidung pasien ke esofagus pasien, atau klip yang ditempatkan di
esofagus pasien selama endoskopi dan yang dilewatkan ke dalam tinja pasien setelah
sekitar dua hari.
4. Tes Bernstein, merupakan tes yang dilakukan dengan memasang selang transnasal
dengan larutan HCl 0,1 m pada distal Esophagus selama < 1 jam. Tes ini menilai sensitivitas
mukosa esophagus dan bisanya sebagai pelengkap pemeriksaan pH-metri 24 jam. Tes ini
dianggap positif bila larutan menimbulkan keluhan nyeri dada.
5. Manometri esofagus. Tes ini mengukur kontraksi otot ritmik di esofagus pasien
ketika pasien menelan. Manometri esofagus juga mengukur koordinasi dan kekuatan yang
diberikan oleh otot esofagus pasien. Dimana pada penderita GERD akan ditemukan
kontraksi LES yang tidak terkontrol dengan amplitude rendah.
6. X-ray sistem pencernaan bagian atas pasien, Sinar-X diambil setelah pasien
meminum cairan berkapur yang melapisi dan mengisi lapisan dalam saluran pencernaan
pasien. Lapisan ini memungkinkan dokter untuk melihat siluet esofagus, lambung dan usus
bagian atas. Pasien mungkin juga diminta untuk menelan pil barium yang dapat membantu
mendiagnosis penyempitan kerongkongan yang mungkin mengganggu menelan.
Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan mukosa,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi.
Penatalaksaan GERD diberikan berdasarkan diagnosis klinis.
n:
1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan
IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring
Tatalaksana farmakologis
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida, prokinetik,
antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.
Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi
esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan
prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.
Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik, penggunaan
H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan
peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis dopamin
dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapi tambahan.
Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan (lihat bab
diagnosis). Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2
sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI
diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya
terapi dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu.
Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas.
Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa.
Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk
esofagitis berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat diberikan sampai
6 bulan.
Tatalaksana bedah
Pasien GERD harus menaikkan kepala tempat tidur 15-20 cm untuk mengurangi
paparan asam esofagus. Menghindari merokok, konsumsi alkohol, makan malam
dalam jumlah besar, dan asupan makanan tinggi lemak karena dapat memperparah
gejala. Pada pasien dengan kelebihan berat badan atau obesitas, disarankan untuk
restriksi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik karena penurunan berat badan
terbukti bermanfaat meringankan gejala GERD. Latihan pernapasan diafragma
mengindikasikan bermanfaat menurunkan gejala GERD.
Pasien diminta untuk memantau gejala secara mandiri dengan pengisian kuesioner
GERD-Q secara mandiri. Selain itu, edukasi mengenai tanda bahaya GERD, seperti
kesulitan menelan (disfagia), nyeri saat menelan (odinofagia), perdarahan saluran
pencernaan, dan penurunan berat badan.
Pencegahan GERD dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi, antara lain:
Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan GERD dapat
dibagi menjadi komplikasi esofageal, ekstraesofageal, dan komplikasi akibat
tindakan operasi yang dilakukan. Komplikasi esofageal misalnya esofagitis dan
Barrett esofagus. Komplikasi ekstraesofageal misalnya aspirasi asam lambung dan
erosi gigi. Sementara itu, tindakan operatif dapat menyebabkan komplikasi berupa
disfagia, dan dilatasi esofagus.
Esophagitis
GERD kronik dapat menyebabkan inflamasi mukosa esofagus bagian distal yang
dapat menimbulkan erosi, ulkus, penyempitan esofagus, dan perdarahan saluran
gastrointestinal.
Striktur Oesophagus
Striktur esofagus dapat terjadi akibat paparan asam pada esofagus yang
menimbulkan skar fibrosis.
Barrett Oesophagus
Komplikasi Pulmonal
GERD dapat menyebabkan komplikasi pada paru, seperti batuk kronis, penyakit
paru obstruksi kronis, pneumonia, aspergillosis, dan fibrosis pulmonal. Namun,
hubungan kausal belum dapat ditentukan secara pasti.
Asthma:
GERD dapat menyebabkan gejala ekstraesofageal seperti nyeri dada, batuk, suara
serak, laringitis, faringitis, sensasi mengganjal pada tenggorokan, dan erosi gigi.
Komplikasi Pembedahan
Pasien yang menjalani fundoplikasi untuk GERD akan terpapar risiko bedah dan
anestesi, seperti infeksi dan pembentukan jaringan parut. Pasien juga bisa
mengalami fundoplikasi, disfagia, dan dilatasi esofagus.