Anda di halaman 1dari 20

1.

Definisi dan Klasifikasi dari GERD javier


Definisi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan kondisi seseorang mengeluarkan
kembali isi lambung ke kerongkongan
Klasifikasi
Non-Erosive Reflux Disease (NERD)
Penyakit refluks non-erosif (NERD) adalah jenis penyakit gastroesophageal reflux (GERD) di
mana kerongkongan tidak terluka oleh asam lambung. Dalam kasus GERD yang lebih umum,
asam lambung bocor ke kerongkongan, menyebabkan erosi dan bisul.

Erosive Esophagitis (EE)


Esofagitis erosif adalah jenis esofagitis di mana terdapat kerusakan pada
lapisan jaringan. Esofagitis adalah peradangan, iritasi, atau pembengkakan
pada lapisan kerongkongan , yaitu saluran yang mengalir dari tenggorokan
ke perut.
Barrett Esophagus (BE)
Esofagus Barrett adalah suatu kondisi di mana lapisan datar berwarna merah muda
dari saluran menelan yang menghubungkan mulut ke lambung (kerongkongan)
rusak oleh refluks asam, yang menyebabkan lapisan tersebut menebal dan menjadi
merah.
2. Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor Risiko dari GERD javier
Etiologi
Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation karena relaksasi sfingter esofagus
menyebabkan asam lambung yang berada dilambung kembali ke esofagus
Epidemiologi
2,5%-15% Populasi dunia bergejala GERD
Faktor resiko
Usia >50 tahun
Obesitas
Hamil
Hernia Hiatal
Merokok
Obat obatan
3. Patofisiologi dari GERD sabr
Fisiologi Normal Esofagus
Esofagus tersusun dari epitel skuamosa berlapis atau stratified squamous epithelium
yang rentan mengalami kerusakan akibat asam. Untuk melindungi jaringan mukosa
di esofagus di bagian bawah esofagus terdapat sfingter yang disebut sfingter
esofagus bawah atau dalam Bahasa inggris Lower Esophangial Sfingter yang akan
berelaksassi atau membuka ketika menelan dan akan berkontraksi saat tidak ada
aktivitas menelan agar cairan asam lambung tidak naik ke atas esofagus. Dalam
keadaan normal, saat beristirahat LES memiliki tekanan rata-rata sekitar 20 mmHg.
Untuk memungkinkan lewatnya bolus saat menelan tekana LES akan turun dalam
1,5 hingga 2,5 detik setelah menelan. Penurunan tekanan LES akan mengakibatkan
kenaikan asam lambung dan mencapai esofagus walaupun dalam keadaan tidak
menelan. Apabila asam lambung mencapai esofagus maka pH pada esofagus akan
mengalami penurunan keadaan ini yang disebut refluks asam. Namun, esofagus
memiliki mekanisme pertahanan terhadap refluks asam yaitu melalui Gerakan
peristaltic primer dan sekunder. Gerakan peristaltik primer adalah gerakan saat kita
menelan dan Gerakan peristaltic sekunder adalah Gerakan otot esofagus yang yang
terjadi beberap saat setelah kita menelan. Beberapa refluks asam sebenarnya
normal terjadi ketika ada aktivitas menelan namun hanya terjadi dalam waktu
sementara. Refluks asam yang terjadi secara normal juga akan di netralisasai oleh
saliva.

Patogenesis GERD
Patogenesis terjadinya GERD berhubungan dengan keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari refluksat.
A. Faktor Defensif Esofagus
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intra abdomen.

Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES:


1. Peningkatan tekanan intraabdominal karena obesitas atau kehamilan
2. Adanya hiatus hernia
3. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya)
4. Obat-obatan seperti beta agonis calcium channel blockers, anti-kolinergik
5. Makanan seperti kopi, alkohol, cokelat, mint, makanan berlemak, makanan
pedas, dan asam

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak


bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang
berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation
(TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih
kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana
terjadinya LES ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya
dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi
lambung. peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.

b. Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, sekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks,
sebagian besar abahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan
peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir
oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus akam memperbesar kemungkinana
terjadinya inflamasi pada esofagus atau esofagitis. Refluks malam hari
(nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulakn kerusakan esofagus
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak
aktif.

c. Ketahanan epitelia esofagus


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan esofagus
terdiri dari:
1. Membran sel
2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esofagus. Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrisi, oksigen,
dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO
3. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan
Cl intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

Kandungan nikotin pada rokok dapat menghambat transport ion Na+ melalui
epitel esofagus, sedangkan alkohol an aspirin meningkatkan permeabilitas
epitel.

B. Faktor Ofensif dari Bahan Refluksat


Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH 2, atau adanya
pepsin atau garam empedu. Nama dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya
rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau obstruksi gastrik outlet dan
delayed gastik emptying.
4. Kriteria Diagnosis (Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Penunjang,
dan Diagnosis Banding) dari GERD Iqbal & Sonia

Manifetasi Klinis
Gejala tipikal GERD meliputi heartburn dan regurgitasi. Heartburn adalah gejala GERD yang
paling umum dan digambarkan sebagai sensasi terbakar di bawah sternum yang naik dari
epigastrium hingga leher. Regurgitasi adalah kembalinya isi lambung dengan mudah ke atas
menuju mulut, sering disertai rasa asam atau pahit. Meskipun kedua gejala tersebut
merupakan gejala utama GERD, asal-usul gejala ini tidak sama, dan pendekatan diagnostik
dan pengelolaannya bervariasi tergantung pada gejala mana yang dominan. Nyeri dada,
yang tidak dapat dibedakan dari nyeri jantung, dapat muncul bersamaan dengan heartburn
dan regurgitasi atau sebagai satu-satunya gejala GERD. Gejala GERD bersifat nonspecific
dan dapat tumpang tindih dengan gejala gangguan lain seperti rumination, achalasia,
eosinophilic esophagitis (EoE), reflux hypersensitivity, penyakit fungsional, penyakit jantung
atau paru-paru, dan hernia paraesophageal.

Manifestasi ekstraesofageal GERD dapat mencakup gejala laring dan paru-paru seperti
serak dan batuk kronis serta kondisi seperti laringitis, faringitis, dan fibrosis paru. Juga telah
diusulkan bahwa GERD dapat memperburuk asma. Manifestasi ekstraesofageal ini dapat
disebabkan oleh GERD, mereka juga bisa disebabkan oleh sejumlah penyebab lain. Bahkan
pada pasien dengan GERD yang sudah terbukti, sulit untuk menegakkan bahwa GERD
adalah penyebab masalah ekstraesofageal ini.

Algoritma Diagnosis

Tidak ada standar emas untuk diagnosis GERD. Oleh karena itu, diagnosis didasarkan pada
kombinasi presentasi gejala, evaluasi endoskopik dari mukosa esofagus, monitoring refluks,
dan respons terhadap intervensi terapeutik. Heartburn dan regurgitasi tetap menjadi gejala
yang paling sensitif dan spesifik untuk GERD, meskipun tidak seandal seperti yang
dipercayai. Sebuah tinjauan sistematik yang dilakukan dengan baik tetapi lebih lama
menemukan sensitivitas variabel dari heartburn dan regurgitasi untuk esofagitis erosif (EE)
(30%-76%), dengan spesifisitas berkisar antara 62 hingga 96% (6).

Kebanyakan pernyataan konsensus dan pedoman menganjurkan percobaan terapi dengan


PPI sebagai "tes" di pasien dengan gejala khas heartburn dan regurgitasi, dengan asumsi
dasar bahwa respons PPI menetapkan diagnosis GERD. Meskipun ini merupakan
pendekatan yang praktis dan efisien, namun terbatas oleh sensitivitas tergabung 78% dan
spesifisitas hanya 54% (menggunakan endoskopi dan pemantauan pH sebagai standar
acuan) berdasarkan meta-analisis dan studi prospektif (7,8).

Gejala dan kondisi atipikal yang berkaitan dengan GERD seperti batuk kronis, disfonia,
asma, sinusitis, laringitis, dan erosi gigi telah dikaitkan dengan GERD. Namun, gejala dan
kondisi ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang buruk untuk diagnosis GERD.
Diagnosis GERD berdasarkan gejala ekstraesofagus saja atau berdasarkan respons
terhadap PPI tidak dapat diandalkan karena sensitivitas dan spesifisitasnya buruk untuk
GERD dan tidak disarankan.
Selain itu, gejala GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux
Disease Questionnairre (GERD-Q).

GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan


mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita
serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.

Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan
untuk memantau respon terapi.
Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI
(PPI test). Tes ini dilakukan dengan memberikan PPI dosis ganda
selama 1–2 minggu tanpa didahului endoskopi. Jika gejala
menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika terapi
dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan.

Uji terapi PPI dikatakan postif jika terjadi perbaikan klinis dalam 1
minggu sebanyak lebih dari 50 %. Indikasi uji terapi ini adalah
penderita dengan gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm
(disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan, anemia,
hematemesis-melena, riwayat keluarga dengan keganasan,
penggunaan NSAID kronik, usia >40 tahun di daerah prevalensi kanker
lambung tinggi ) dan yang tidak respon dengan uji terapi empirik
dengan PPI 2 kali sehari.

Diagnosis Banding
1. Gastritis
Gastritis adalah kondisi peradangan pada lapisan dinding lambung
yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, penggunaan obat-obatan
tertentu, atau kondisi autoimun. Gejala gastritis meliputi rasa sakit atau
nyeri pada perut, mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Gastritis
dapat didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi atau tes darah untuk
mendeteksi infeksi bakteri Helicobacter pylori.

Persamaan antara gastritis dan GERD adalah keduanya melibatkan


peradangan pada sistem pencernaan. Gastritis terjadi pada lambung,
sedangkan GERD terjadi pada kerongkongan dan lambung. Kedua
kondisi ini juga dapat menyebabkan gejala yang serupa seperti nyeri
perut, mual, dan nafsu makan menurun. Diagnosa dan pengobatan
kedua kondisi ini harus dilakukan oleh dokter yang berpengalaman
dalam bidang gastroenterologi.

Perbedaan utama antara gastritis dan GERD adalah lokasi dari


gangguan pada sistem pencernaan. Selain itu, gastritis seringkali
disebabkan oleh infeksi bakteri atau penggunaan obat-obatan tertentu,
sementara GERD biasanya disebabkan oleh kelemahan pada katup
antara lambung dan kerongkongan.
2. Peptic Ulcer

Peptic ulcer adalah luka pada lapisan lambung atau duodenum (bagian
atas usus halus) yang disebabkan oleh asam lambung yang merusak
dinding lambung atau duodenum. Peptic ulcer dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri Helicobacter pylori, penggunaan obat-obatan tertentu,
konsumsi alkohol, dan stres. Gejala peptic ulcer meliputi nyeri perut,
mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Peptic ulcer dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi atau tes darah untuk
mendeteksi infeksi bakteri Helicobacter pylori.
Persamaan antara peptic ulcer dan GERD adalah keduanya melibatkan
asam lambung yang merusak dinding lambung atau kerongkongan.
Kedua kondisi ini juga dapat menyebabkan gejala yang serupa seperti
nyeri perut, mual, dan nafsu makan menurun. Namun, perbedaan
utama antara kedua kondisi ini adalah lokasi dari luka atau kerusakan
pada sistem pencernaan. Peptic ulcer terjadi pada lambung atau
duodenum menyebabkan Lesi mukosa, dasar ulkus polos fibrinoid
berwarna putih. Sebagian besar terletak pada pertemuan fundus dan
antrum, sepanjang 0,5-2,5 cm, sedangkan GERD terjadi pada
kerongkongan dan lambung. Selain itu, penyebab peptic ulcer dapat
berbeda, termasuk infeksi bakteri Helicobacter pylori, penggunaan
obat-obatan tertentu, konsumsi alkohol, dan stres, sedangkan GERD
biasanya disebabkan oleh kelemahan pada katup antara lambung dan
kerongkongan.
3. Achalasia

Achalasia adalah kondisi di mana otot-otot pada bagian bawah


kerongkongan tidak berfungsi dengan baik, sehingga makanan dan
cairan sulit untuk melewati dan mencapai lambung. Gejala achalasia
meliputi kesulitan menelan, rasa tidak nyaman atau sakit pada dada,
dan penurunan berat badan. Achalasia dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan endoskopi, tes fungsi esofagus, dan tes radiologi

Persamaan antara achalasia dan GERD adalah keduanya dapat


menyebabkan gejala seperti kesulitan menelan dan rasa tidak nyaman
di dada atau perut bagian atas. Keduanya juga dapat didiagnosis
melalui pemeriksaan endoskopi dan tes radiologi. pada endoskopi
dapat ditemukan bird’s peak appearance dengan pemeriksaan barium
swallow

Namun, perbedaan utama antara achalasia dan GERD adalah


penyebab dan mekanisme munculnya gejala. Achalasia terjadi karena
otot-otot pada bagian bawah kerongkongan tidak berfungsi dengan
baik, sedangkan GERD disebabkan oleh kelemahan pada katup antara
lambung dan kerongkongan. Selain itu, pada achalasia, makanan dan
cairan sulit untuk melewati dan mencapai lambung, sementara pada
GERD, asam lambung naik dari lambung ke kerongkongan.

4. Esophageal carcinoma

Esophageal carcinoma, atau kanker kerongkongan, adalah kondisi di


mana sel-sel abnormal tumbuh di lapisan dinding kerongkongan.
Gejalanya termasuk kesulitan menelan, rasa sakit atau tidak nyaman di
dada, penurunan berat badan, dan muntah. Esophageal carcinoma
dapat didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi, biopsi, dan tes
pencitraan seperti CT scan atau PET scan.
Namun, perbedaan utama antara esophageal carcinoma dan GERD
adalah penyebab dan mekanisme munculnya gejala. Esophageal
carcinoma disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel abnormal di lapisan
dinding kerongkongan, sedangkan GERD disebabkan oleh kelemahan
pada katup antara lambung dan kerongkongan. Selain itu, gejala GERD
biasanya ringan hingga sedang dan dapat dikelola dengan perubahan
gaya hidup dan obat-obatan, sementara gejala esophageal carcinoma
biasanya lebih parah dan memerlukan pengobatan yang lebih agresif
seperti kemoterapi, radiasi, atau operasi.
5. Corkscrew esophagus
Corkscrew esophagus adalah kondisi di mana kerongkongan
mengalami kontraksi yang tidak terkoordinasi dan kuat, yang dapat
menyebabkan kesulitan menelan, rasa sakit di dada, atau sensasi
tertahan pada tenggorokan. Corkscrew esophagus juga dikenal sebagai
distal esophageal spasm. nyeri pada corkscrew esophagus dapat
muncul dengan atau tanpa makan
Persamaan antara corkscrew esophagus dan GERD adalah keduanya
dapat menyebabkan gejala seperti kesulitan menelan dan rasa tidak
nyaman di dada atau perut bagian atas. Keduanya juga dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan endoskopi dan manometri esofagus.

Namun, perbedaan utama antara corkscrew esophagus dan GERD


adalah mekanisme munculnya gejala. Corkscrew esophagus
disebabkan oleh kontraksi tidak terkoordinasi dan kuat pada
kerongkongan, sedangkan GERD disebabkan oleh kelemahan pada
katup antara lambung dan kerongkongan.pada endoskopi dapat
ditemukan corkscrew appearance dengan pemeriksaan barium swallow
sumber: Katz, P. O., Dunbar, K. B., Schnoll-Sussman, F. H., Greer, K. B.,
Yadlapati, R., & Spechler, S. J. (2022). ACG Clinical Guideline for the
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease. American
Journal of Gastroenterology, 117(1), 27–56.
https://doi.org/10.14309/AJG.0000000000001538

Pemeriksaan Fisik GERD


Teknik pemeriksaan fisik abdomen diawali dengan anamnesis, yang berkaitan
dengan keluhan pasien. Kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang terdiri dari
inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan untuk
mendapatkan gambaran klinis organ-organ dan ruang intraabdomen.

Anatomi Cavum Abdomen

Secara anatomis, cavum abdomen dibagi menjadi, kuadran kanan atas dan bawah
serta kuadran kiri atas dan bawah. Selain kudran, abdomen juga dapat dibagi menjadi regio.

Kuadran Abdomen

Kuadran kanan atas terdiri dari lobus kanan hepar, kantung empedu, pilorus,
sebagian duodenum, caput pankreas, kelenjar adrenal kanan, ginjal kanan, colon bagian
fleksura hepatika kanan, colon ascendens, dan setengah bagian colon transversa. Kuadran
kanan bawah terdiri dari caecum, apendiks, sebagian besar ileum, bagian bawah colon
ascendens, ovarium, tuba falopi kanan, segmen abdominal ureter, korda spermatika kanan,
uterus (pada wanita hamil), dan vesika urinaria (saat penuh). Kuadran kiri atas terdiri dari
lobus kiri hepar, lien, lambung, jejunum, ileum proximal, corpus dan ekor pankreas, ginjal
dan kelenjar adrenal kiri, colon bagian flexura lienalis, setengah bagian colon transversa dan
descendens. Kuadran kiri bawah terdiri dari colon sigmoid, setengah distal colon
descendens, ovarium dan tuba fallopi kiri, segmen abdomen ureter kiri, korda spermatika
kiri, uterus (saat hamil), dan vesika urinaria (bila penuh).

Regio Abdomen
Regio abdomen dapat dibagi menjadi 9 regio, yaitu hipokondria kanan dan kiri,
epigastrik, lumbal kanan dan kiri, umbilikal, iliaka kanan dan kiri, serta hipogastrik

Penunjang GERD
1. Endoskopi saluran cerna bagian atas, merupakan standar baku penegakan
diagnosis GERD dengan spesifitas 90-95% tetapi memilki sensitivitas yang rendah.
Dikarenakan sekitar 70% pasien GERD memilki mukosa esophagus yang normal.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya mucosal break pada esophagus. Prosedurnya dengan
memasukkan tabung tipis dan lentur yang dilengkapi dengan cahaya dan kamera
(endoskopi) ke tenggorokan pasien, untuk memeriksa bagian dalam esofagus dan perut
pasien. Hasil tes sering bisa normal ketika refluks hadir, tetapi endoskopi dapat mendeteksi
peradangan esophagus (esophagitis) atau komplikasi lainnya. Endoskopi juga dapat
digunakan untuk mencari kelainan striktur, mengumpulkan sampel jaringan (biopsi) esofagus
Barrett, atau keganasan.
Grade A: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter < 5 mm dan tidak
meluas diantara dua lipatan mukosa.
Grade B: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter > 5 mm dan tidak
meluas diantara dua lipatan mukosa.
Grade C: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter < 75 mm dari diameter
keseluruhan esophagheal.
Grade D: Adanya mucosal break tunggal atau lebih dengan diameter > 75 mm dari diameter
keseluruhan esophagheal, mengelilingi lumen.

2. Uji probe asam ambulatory (pH), Monitor ditempatkan di esofagus pasien untuk
mengidentifikasi kapan, dan untuk berapa lama, asam lambung akan muntah di sana.
Monitor terhubung ke komputer kecil yang pasien kenakan di pinggang pasien atau dengan
tali di atas bahu pasien. Monitor mungkin berupa tabung yang tipis dan fleksibel (kateter)
yang berulir melalui hidung pasien ke esofagus pasien, atau klip yang ditempatkan di
esofagus pasien selama endoskopi dan yang dilewatkan ke dalam tinja pasien setelah
sekitar dua hari.

3. pH-metri 24 jam, merupakan tes yang mengukur pH 24 jam dengan menempatkan


mikroelektroda pada distal esophagus. Tes ini dilakukan bila endoskopi normal, tapi ada
kecurigaan refluks (NERD=Nonerosive Reflux Disease). Refluks gastroesofageal ditegakkan
bila jarak 5 cm di atas LES didapatkan Ph<4.

4. Tes Bernstein, merupakan tes yang dilakukan dengan memasang selang transnasal
dengan larutan HCl 0,1 m pada distal Esophagus selama < 1 jam. Tes ini menilai sensitivitas
mukosa esophagus dan bisanya sebagai pelengkap pemeriksaan pH-metri 24 jam. Tes ini
dianggap positif bila larutan menimbulkan keluhan nyeri dada.
5. Manometri esofagus. Tes ini mengukur kontraksi otot ritmik di esofagus pasien
ketika pasien menelan. Manometri esofagus juga mengukur koordinasi dan kekuatan yang
diberikan oleh otot esofagus pasien. Dimana pada penderita GERD akan ditemukan
kontraksi LES yang tidak terkontrol dengan amplitude rendah.

6. X-ray sistem pencernaan bagian atas pasien, Sinar-X diambil setelah pasien
meminum cairan berkapur yang melapisi dan mengisi lapisan dalam saluran pencernaan
pasien. Lapisan ini memungkinkan dokter untuk melihat siluet esofagus, lambung dan usus
bagian atas. Pasien mungkin juga diminta untuk menelan pil barium yang dapat membantu
mendiagnosis penyempitan kerongkongan yang mungkin mengganggu menelan.

7. Esofagografi Barium, umumnya hanya tampak pada kelainan gambaran radiologi


esophagitis berat yang berupa penebalan dinding, li[atan mukosa, penyempitan lumen, dan
ulkus esophagus. Pemeriksaan ini sudah tidak direkomendasikan karena kurang sensitive.

5. Tatalaksana dan Terapi dari GERD nasya

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan mukosa,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi.
Penatalaksaan GERD diberikan berdasarkan diagnosis klinis.

n:

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai dengan
IMT ideal

2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi berbaring

3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur

4. Menghindari makanan dan minuman yang dapat merangsang GERD

Tatalaksana farmakologis

Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida, prokinetik,
antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen.
Dari semua obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi
esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan
prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.

Pada individu-individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik, penggunaan
H2RA (H2-Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan
peredaan gejala yang cepat. Selain itu, di Asia penggunaan prokinetik (antagonis dopamin
dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna sebagai terapi tambahan.

Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan (lihat bab
diagnosis). Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan selama 2
sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI
diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya
terapi dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu.
Apabila kondisi klinis masih belum menunjukkan perbaikan harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk mendapatkan kepastian adanya kelainan pada mukosa saluran cerna atas.
Pengobatan selanjutnya dapat diberikan sesuai dengan ringan-beratnya kerusakan mukosa.
Untuk esofagitis ringan dapat dilanjutkan dengan terapi on demand. Sedangkan untuk
esofagitis berat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan kontinu, yang dapat diberikan sampai
6 bulan.

Tatalaksana bedah

Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen,


perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi. Pembedahan
antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran
terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD
refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik,
efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki
efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus
pascapembedahan.

6. KIE dan Pencegahan dari GERD xel


KIE GERD
Pasien perlu memahami bahwa refluks sesekali adalah normal dan dapat terjadi
pada populasi sehat, misalnya setelah makan besar. Episode refluks normal sesekali
berlangsung singkat dan tidak menimbulkan gejala atau komplikasi yang
mengganggu. Di sisi lain, penderita penyakit GERD akan mengalami keluhan akibat
refluks asam.

Pasien GERD harus menaikkan kepala tempat tidur 15-20 cm untuk mengurangi
paparan asam esofagus. Menghindari merokok, konsumsi alkohol, makan malam
dalam jumlah besar, dan asupan makanan tinggi lemak karena dapat memperparah
gejala. Pada pasien dengan kelebihan berat badan atau obesitas, disarankan untuk
restriksi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik karena penurunan berat badan
terbukti bermanfaat meringankan gejala GERD. Latihan pernapasan diafragma
mengindikasikan bermanfaat menurunkan gejala GERD.

Pasien diminta untuk memantau gejala secara mandiri dengan pengisian kuesioner
GERD-Q secara mandiri. Selain itu, edukasi mengenai tanda bahaya GERD, seperti
kesulitan menelan (disfagia), nyeri saat menelan (odinofagia), perdarahan saluran
pencernaan, dan penurunan berat badan.

Manajemen GERD Selama Bulan Puasa


Manajemen GERD selama bulan puasa yang paling mudah dilakukan adalah
modifikasi jenis dan komposisi makanan. Komposisi makanan dapat lebih tinggi
kalori saat sahur, sedangkan saat berbuka sebaiknya komposisi makanan dapat
lebih ringan. Hindari makanan pedas serta makanan yang mengandung lemak
tinggi, coklat, dan kafein selama bulan puasa. Jangan mengonsumsi makanan
dalam 2-3 jam sebelum tidur.

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Pencegahan GERD dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi, antara lain:

■ Menurunkan berat badan bagi individu overweight dan obesitas


■ Menghindari merokok dan konsumsi alkohol
■ Meningkatkan aktivitas fisik
■ Mengurangi makanan berlemak, asam, pedas, cokelat, teh, kopi, alkohol, dan
minuman berkarbonasi
■ Mengontrol stress

7. Prognosis dan Komplikasi dari GERD xel


Prognosis
Prognosis pada pasien dengan GERD cukup baik karena sebagian besar kasus
GERD dapat ditangani dengan modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis.
GERD juga tidak berkaitan langsung dengan kematian. Meski demikian, relaps
sering terjadi dan pasien akan mengalami peningkatan risiko keganasan esofagus
yang akan mempengaruhi kesintasan secara bermakna. Selain itu, karena GERD
umumnya berlangsung dalam waktu yang lama, pasien bisa mengalami penurunan
produktivitas, kualitas hidup, dan harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak
dibandingkan individu tanpa GERD.

Komplikasi

Secara garis besar, komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan GERD dapat
dibagi menjadi komplikasi esofageal, ekstraesofageal, dan komplikasi akibat
tindakan operasi yang dilakukan. Komplikasi esofageal misalnya esofagitis dan
Barrett esofagus. Komplikasi ekstraesofageal misalnya aspirasi asam lambung dan
erosi gigi. Sementara itu, tindakan operatif dapat menyebabkan komplikasi berupa
disfagia, dan dilatasi esofagus.

Esophagitis

GERD kronik dapat menyebabkan inflamasi mukosa esofagus bagian distal yang
dapat menimbulkan erosi, ulkus, penyempitan esofagus, dan perdarahan saluran
gastrointestinal.

Striktur Oesophagus

Striktur esofagus dapat terjadi akibat paparan asam pada esofagus yang
menimbulkan skar fibrosis.

Barrett Oesophagus

Barrett esofagus terjadi akibat paparan asam persisten yang menimbulkan


metaplasia intestinal pada esofagus. Sel epitel skuamosa normal pada esofagus
berubah menjadi sel epitel kolumner dengan sel goblet. Barrett esofagus dapat
berkembang menjadi adenokarsinoma esofagus.

Komplikasi Pulmonal
GERD dapat menyebabkan komplikasi pada paru, seperti batuk kronis, penyakit
paru obstruksi kronis, pneumonia, aspergillosis, dan fibrosis pulmonal. Namun,
hubungan kausal belum dapat ditentukan secara pasti.

Asthma:

Beberapa literatur juga mengaitkan GERD dengan peningkatan kekambuhan


asthma. GERD diduga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi asthma yang
sulit dikontrol. Asthma dan GERD sering ditemukan secara bersamaan.

Komplikasi Ekstraesofageal Lain

GERD dapat menyebabkan gejala ekstraesofageal seperti nyeri dada, batuk, suara
serak, laringitis, faringitis, sensasi mengganjal pada tenggorokan, dan erosi gigi.

Komplikasi Pembedahan

Pasien yang menjalani fundoplikasi untuk GERD akan terpapar risiko bedah dan
anestesi, seperti infeksi dan pembentukan jaringan parut. Pasien juga bisa
mengalami fundoplikasi, disfagia, dan dilatasi esofagus.

8. Integrasi Islam dan Sains dari Skenario dena

Anda mungkin juga menyukai