Anda di halaman 1dari 14

a.

Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu
keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai
gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-
waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan, karena sikap
posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke
esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan
tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang
dan dalam waktu yang lama.
b. Klasifikasi
Secara garis besar, penderita GERD dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

1. GERD dengan esofagitis erosif; ditandai dengan adanya kerusakan lapisan mukosa di
esofagus pada pemeriksaan endoskopi.
2. GERD tanpa erosif (Non Erosive Reflux Disease/NERD); tidak terdapatnya kerusakan
lapisan mukosa esofagus pada pemeriksaan endoskopi.

Kelompok lainnya, yaitu GERD Refrakter; merupakan penderita yang tidak respon
terhadap pengobatan dengan penyekat pompa proton (dengan dosis dua kali sehari)
selama 4-8 minggu. Kelompok ini dibedakan karena penderitanya harus menjalani
endoskopi saluran cerna bagian atas untuk menyingkirkan adanya penyakit ulkus, kanker,
atau esofagitis.

c. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat, namun dilaporkan relatif
rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa
mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 %
mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Sementara di
Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan
endoskopi atas indikasi dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya
GERD adalah 2:1 sampai 3:1(4). GERD pada negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia,
usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.

d. Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang
berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi
relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan
clearance esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum,
baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta
faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi
penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel,
nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk
mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup
berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan
inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar
proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman
Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya
gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses
membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung
dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan
cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5
mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang
masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh
karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling
merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses
menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi
untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu
proses pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya
perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat
dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa,
oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung
lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah
kemungkinan refluks tadi.5
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai
akibat dari refluks gastroesofageal apabila1:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan
refluksat dengan esofagus tidak lama.
e. Patofisiologi

Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan fungsional (90%)
dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan
struktural pada kerusakan mukosa esophagus.7 Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD
apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain
itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan
refluksat tidak terlalu lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena
coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi
Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali pada saat
terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter esofagus
bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat dapat
menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada
< 3 mmHg.4 Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya
dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau
melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga
diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung.
Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan
masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.4 Yang
termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.4
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat
menurunkan tonus SEB antara lain :3,4
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus GERD
dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation
(TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi
pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan
dilatasi lambung.3,4

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien
GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD yang
signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esofagus serta menurunkan tonus SEB.4
Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, eksresi
air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir
oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus4
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan maka
semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit refluksat yang normal,
sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal4
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus, karena
selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif4
Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk
melindungi mukosa esofagus4
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari4 :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan
ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intrasel dengan
Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan
alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam
kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu,
enzim pancreas.4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam empedu.
Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi.4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet
dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis
GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang. 4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD. Pada kondisi
pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat
meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan
kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah
refluks.9
Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring. Studi
menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi
pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7)


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme tersebut antara
lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA yang
berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme bonkus,
batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.

f. Gejala klinis
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh penderita 5,11
Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau mengiris dan
umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga
kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai
pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa
terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat
kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring
terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan
pemberian antasida.7

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung
dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi yang terasa asam atau
sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan
inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal,
batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni.
Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan dan
bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan tercekik, batuk
kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi
hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang
kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang dimakan,
merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus. Disfagia dapat
terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis.
Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh
striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan penyempitan
lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan motilitas dari esofagus atau
akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang sering menimbulkan
disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus yang difus.5,6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti laringitis, suara
serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3. Manifestasi non esofagus pada GERD dapat
disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis),
Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu
timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB.
Misalnya theofilin.
g. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan : heartbun, regusgitasi, nyeri epigastium, nyeri dada, disfagia, untuk yg
extraesofageal adalah batuk kronis, suara serak.

2. Pemfis
Jarang ada kelainan

3. Penunjang
- Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik
dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan
gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease (NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgutasi memang
karena GERD.Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.4Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
a. Klasifikasi Los Angeles4
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi
seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller12
GRADE Deskripsi endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus. Erosi
dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium

- Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukan
kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada
beberapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus
dan hiatus henia.2,4
- Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini
dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus.
Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph
dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.3,4
- Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan
perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat
pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap
positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan pada esofagus4.
- Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan
regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal.3,4
- Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan cairan atau
makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium) dan bersifat non invasif.
Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan atau
makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
- Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD. Dengan
memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi. Tes ini terutama
dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif
jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah satu
langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama
pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia,
odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4
- Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai riwayat penyakit
GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes diagnosis. Memonitor ph 24 jam
dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1 probe). Pemeriksaan laringoskopi
fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan
pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks ekstraesofagus.4
h. Komplikasi
 Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50% pasien GERD.
Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan esophagus.9
 Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.9 Hal ini ditimbulkan
karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15%
pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Seringkali
keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur
terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi
bougie, bila gagal dapat dilakukan operasi.7
 Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel kolumnar
metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett
ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus
Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi. Pada 1/3
kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas epitel Barrett
terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen yang
panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal melampaui
“gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan
mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.7
i. Tatalaksana
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai dipekenalkan terapi
endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan
gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.4,5.
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian bukan
merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta mencegah
kekambuhan.
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur, dengan
tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah refluks asam
lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena dapat
menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi tekanan
intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda karena
dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan tonus
SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil dengan
GERD.5
Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step
up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis
reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi
asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan
step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat
dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau
prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis dibandingkan
dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang
tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan
pendekatan step down. Ada setidaknya lima jenis obat yang termasuk PPI yaitu omeprazol,
lansoprazol, rabeprazol, pantoprazol, dan esomeprazol.
Antasid
sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.Kelemahan obat golongan
ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium
serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat
terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.
Antagonis Reseptor H2
Yang termasuk obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal
jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai
efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta
tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini
dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam.4 Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan
mempercepat pengosongan gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2
atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja obat
ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat
menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat tonus
SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari
domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)


Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada
meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1
gram.3,4
Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of choice.
Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K
ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini
sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada
esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin
bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Gejala khas GERD

Umur <40
Umur >40 tahun
tahun
PPI tes/ terapi
empiris

Gejala Respon baik


menetap/berulang

Endoskop Terapi minimal


i 4minggu

kekambuhan Terapi on demand

Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnostik
memadai.

Terduga kasus GERD

Tidak Diselidik
diselidiki

Keluhan
menetap
Terapi empiris/Tes Terapi awal
PPI

PPI test 1-2 minggu Esofagitis sedang


dosis ganda dan berat Gejala
Esofagitis ringan
(sensitivitas 60-80%) NERD berulang

On demand therapy Terapi Maintenance

Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa pada
pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala lain seperti
rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada
kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan
adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak
memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup dan
medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5
Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD bila
tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia,
Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan
laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah
terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.1
Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya
responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang
tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini
dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang tekontrol
dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung meningkatkan
terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi kebanyakan ahli
menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada
pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret.

Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi radiofrekuensi,
plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa
esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien suspek PRGE
dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medic.10
j. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan, walaupun relaps mungkin
akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit saluran nafas,
Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya
baik. Meskipun begitu, mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan
masalah medis yang kompleks.
K. Anatomi
Fisiologi Sekresi Getah Lambung
Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung. Sel-sel yang bertanggung jawab untuk fungsi
sekresi, terletak di lapisan mukosa lambung. Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi dua bagian
terpisah : (1) mukosa oksintik yaitu yang melapisi fundus dan badan (body), (2) daerah kelenjar pilorik yang
melapisi bagian antrum. Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung (gastric pits), yaitu suatu invaginasi
atau kantung pada permukaan luminal lambung. Variasi sel sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa
diantaranya adalah eksokrin, endokrin, dan parakrin. Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang ditemukan di dinding
kantung dan kelenjar oksintik mukosa lambung (Gambar 2.3), yaitu :
1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan mukus yang encer
2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan sel parietal. Sel utama menyekresikan
prekursor enzim pepsinogen.
3. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik. Oksintik artinya tajam, yang mengacu
kepada kemampuan sel ini untuk menghasilkan keadaan yang sangat asam.
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan mereka berperan dalam membentuk getah lambung
(gastric juice )(Sherwood, 2010).Sel mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk bagi semua sel baru di
mukosa lambung. Sel-sel anak yang dihasilkan dari pembelahan sel akan bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi
sel epitel permukaan atau berdiferensiasi ke bawah untuk menjadi sel utama atau sel parietal. Melalui aktivitas ini,
seluruh mukosa lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).Kantung-kantung lambung pada daerah kelenjar
pilorik terutama mengeluarkan mukus dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda dengan mukosa oksintik. Sel-
sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis selnya adalah sel parakrin atau endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel
enterokromafin yang menghasilkan histamin, sel G yang menghasilkan gastrin, sel D menghasilkan somatostatin.
Histamin yang dikeluarkan berperan sebagai stimulus untuk sekresi asetilkolin, dan gastrin. Sel G yang dihasilkan
berperan sebagai stimuli sekresi produk protein, dan sekresi asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam
(Sherwood, 2010)
Mekanisme Sekresi Asam Hidroklorida
Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung, yang kemudian mengalirkannya
ke dalam lumen lambung. pH isi lumen turun sampai serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion hidorgen (H+) dan ion
klorida (Cl ̄) secara aktif ditransportasikan oleh pompa yang berbeda di membran plasma sel parietal. Ion hidrogen
secara aktif dipindahkan melawan gradien konsentrasi yang sangat besar, dengan konsentrasi H+ di dalam lumen
mencapai tiga sampai empat juta kali lebih besar dari pada konsentrasinya dalam darah. Karena untuk memindahkan
H+ melawan gradien yang sedemikian besar diperlukan banyak energi, sel-sel parietal memiliki banyak
mitokondria, yaitu organel penghasil energi. Klorida juga disekresikan secara aktif, tetapi melawan gradien
konsentrasi yang jauh lebih kecil, yakni hanya sekitar satu setengah kali. Ion H+ yang disekresikan tidak
dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses-proses metabolisme di dalam sel parietal.
Adapun fungsi dari HCl adalah sebagai berikut :
1.Mengaktifkan prekursor enzim pepsinogen menjadi enzim aktif pepsin, dan membentuk lingkungan asam yang
optimal untuk aktivitas pepsin.
2.Membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat, sehingga partikel makanan berukuran besar dapat dipecah-
pecah menjadi partikel-partikel kecil.
3.Bersama dengan lisozim air liur, mematikan sebagian besar mikroorganisme yang masuk bersama makanan,
walaupun sebagian dapat lolos serta terus tumbuh dan berkembang biak di usus besar

Sistem Pertahanan Mukosa Lambung


Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan faktor eksogen yang berbahaya. Sebagai contoh faktor
endogen adalah asam hidroklorida (HCl), pepsinogen/pepsin, dan garam empedu, sedangkan contoh substansi
eksogen yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa lambung adalah seperti obat, alkohol, dan bakteri. Sistem
biologis yang kompleks dibentuk untuk menyediakan pertahanan dari kerusakan mukosa dan untuk memperbaiki
setiap kerusakan yang dapat terjadi . Sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sawar yangterdiri dari
preepitel, epitel, dan subepitel (gambar 2.5) .

Pertahanan lini pertama adalah lapisan mukus bikarbonat, yang berperan sebagai sawar psikokemikal terhadap
beberapa molekul termasuk ion hidrogen. Mukus dikeluarkan oleh sel epitel permukaan lambung. Mukus tersebut
terdiri dari air (95%) dan pencampuran dari lemak dan glikoprotein (mucin). Fungsi gel mukus adalah sebagai
lapisan yang tidak dapat dilewati air dan menghalangi difusi ion dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat, dikeluarkan
sebagai regulasi di bagian sel epitel dari mukosa lambung dan membentuk gradien derajat keasaman (pH) yang
berkisar dari 1 sampai 2 pada lapisan lumen dan mencapai 6 sampai 7 di sepanjang lapisan epitel sel. Lapisan sel
epitel berperan sebagai pertahanan lini selanjutnya melalui beberapa faktor, termasuk produksi mukus, tranpoter sel
epitel ionik yang mengatur pH intraselular dan produksi bikarbonat dan taut erat intraselular. Jika sawar preepitel
dirusak, sel epitel gaster yang melapisi sisi yang rusak dapat bermigrasi untuk mengembalikan daerah yang telah
dirusak (restitution).

Proses ini terjadi dimana pembelahan sel secara independen dan membutuhkan aliran darah yang tidak terganggu
dan suatu pH alkaline di lingkungan sekitarnya. Beberapa faktor pertumbuhan (growth factor)termasuk epidermal
growth factor ( EGF), transforming growth factor (TGF)α dan basic fibroblast growth factor (FGF), memodulasi
proses pemulihan. Kerusakan sel yang lebih besar yang tidak secara efektif diperbaiki oleh proses perbaikan
(restitution), tetapi membutuhkan proliferasi sel. Regenerasi sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor
pertumbuhan (growth factor)seperti EGF dan TGF α. Bersamaan dengan pembaharuan dari sel epitel, pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis) juga terjadi pada kerusakan mikrovaskular.

Kedua faktor yaitu FGF dan VEGF penting untuk meregulasi angiogenesis di mukosa lambung. Sistem
mikrovaskular yang luas pada lapisan submukosa lambung adalah komponen utama dari pertahanan subepitel, yang
menyediakan HCO3 ,̄ yang menetralisir asam yang dikeluarkan oleh sel parietal. Lebih lagi, sistem mikrosirkulasi
menyediakan suplai mikronutrien dan oksigen dan membuang metabolit toksik. Prostaglandin memainkan peran
yang penting dalam hal pertahanan mukosa lambung. Mukosa lambung mengandung banyak jumlah prostaglandin
yang meregulasikan pengeluaran dari mukosa bikarbonat dan mukus, menghambat sekresi sel parietal, dan sangat
penting dalam mengatur aliran darah dan perbaikan dari sel epitel. Setiap perubahan pada mekanisme sawar dapat
membawa kepada keadaan asidosis sel, nekrosis, dan pembentukan ulserasi. Perubahan ini dapat terjadi sebagai
hasil dari inflamasi (proteolisis mukus), pemaparan terhadap OAINS atau kerusakan akibat iskemia (penurunan
aliran darah submukosa).

Anda mungkin juga menyukai