Anda di halaman 1dari 9

ESSAY

DIGESTIF II

Nama : Ni Nengah Bela Ariyanti


Nim : 018.06.0007
Kelas : A
Materi : ESOFAGITIS REFLUKS DAN LESI KOROSIF PADA ESOFAGUS
Dosen : dr. Kadek Dwi Pramana, Sp.PD., M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2019/2020
ESOFAGITIS REFLUKS

Gastroesofageal refluks disease ( GERD ) merupakan keadaan patologis yang diakibatkan


refluks kandungan lambung ke dalam esofagus. GERD dapat menyerang segala jenis usia dari
bayi hingga orang tua. Pada GERD ditemukan keluhan seperti adanya rasa nyeri di bagian
epigastrium, regurgitasi, heartburn, disfagia dan odinofagia. Ini terjadi karena adanya gangguan
pada lower esophageal sphincter yang merupakan katup penghubung antara lambung dan
kerongkongan. Akibatnya, asam lambung yang seharusnya tetap berada di perut, naik ke
kerongkongan dan menimbulkan sensasi terbakar di dada
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan
dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau
aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat


b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang
termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam
dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan
yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
 Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik,
teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron
dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada
kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses
refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan
dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui
bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya
dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak
pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit
yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu
yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
 Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan
dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh
bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.
Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal
sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
 Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus.
 Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
 membran sel
 batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
 aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
 sel-sel esophagus memiliki kemampuan u ntuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler
dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan
alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan
faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi
daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat
kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam
empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam. Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori
dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan
adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-
pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral
gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung
serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta
menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk
keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab
itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan
PPI jangka panjang.
Penatalaksanaan
Non Medikamentosa, modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi
frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :
 Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam sebelum tidur.
 Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus
LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
 Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
 Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan
 Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen
 Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman
bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
 Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti
antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic,
progesterone.
Medikamentosa
Dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor
H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang
lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
LESI KOROSIF PADA ESOFAGUS

Lesi korosif pada esofagus biasanya disebut esofagitis korosif. Esofagitis korosif
merupakan peradangan di esofagus disebabkan luka bakar karena zat kimia yang bersifat korosif
seperti asam kuat, basa kuat, atau zat organik lainnya. Sifat korosif zat tersebut akan
menimbulkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya. Etiolog, bahan kimia menyebabkan
kerusakan jaringan dengan mengubah status ionisasi dan struktur molekul serta mengganggu
ikatan kovalen.
Basa kuat, tidak berbau dan tidak berasa, menyebabkan nekrosis likuefaktum, proses yang
melibatkan saponifikasi lemak dan pelarutan protein pada mukosa superficial dan berpenetrasi
sampai lapisan muskulari. Kematian sel terjadi karena emulsifikasi dan gangguan membrane sel.
Ion hidroksida akan bereaksi dengan kolagen jaringan menyebabkan pembengkakan dan
pemendekan jaringan (kontraktur). Selain itu, terjadi thrombosis pembuluh darah kecil dan
produksi panas mengakibatkan nekrosis jaringan lebih lanjut. Larutan basa kuat adalah detergen,
pemutih, pembersih gigi palsu, NaOH 4-54% dan baterai. Trauma jaringan terberat ditemukan
pada mukosa orofaring, hipofaring, dan esofagus. Edema dapat terjadi segera dan menetap
hingga 48 jam, kemudian menyebabkan sumbatan jalan napas. Seiring bertambahnya waktu,
jejas semakin berat dan granulasi jaringan mulai terbentuk menggantikan jaringan nekrotik.
Jaringan granulasi dan jaringan parut terbentuk dalam 2-4 minggu, tidak jarang terjadi striktur
pasca tertelan basa kuat. Asam kuat akan menyebabkan nekrosis koagulasi. Pada proses tersebut
akan terbentuk koagulum pada permukaan mukosa yang akan mencegah absorbsi zat korosif ke
lapisan esofagus bawah. Oleh karena itu, asam kuat akan menyebabkan kerusakan pada gaster
yang lebih sering ditemukan. Hal tersebut diduga karena adanya proteksi alami dari epitel
skuamosa esofagus. Lain halnya dengan basa kuat, asam kuat rasanya tidak enak sehingga
menyebabkan tersedak atau rasa tercekik. Jaringan parut dapat terbentuk dan berkontraksi dalam
2-4 minggu kemudian. Larutan asam kuat adalah asam sulfat, asam klorida, pembersih lantai dan
pembersih kolam. Mukosa skuamosa berlapis dari esofagus mungkin rusak oleh berbagai iritasi,
termasuk alkohol, asam atau basa korosif tersebut. Selain itu, tablet obat mungkin tersangkut dan
larut di esofagus, tidak lewat dan masuk ke lambung secara utuh menyebabkan keadaan yang
disebut esofagitis terinduksi tablet.
Gejala Klinis Keluhan yang timbul akibat tertelan zat korosif bergantung pada jenis,
konsentrasi, jumlah, dan lama kontak dengan dinding esofagus. Keluhan dapat berupa nyeri
hebat di mulut, faring, daerah retrosternal dan epigastrium, sesak napas, disfagia, odinofagia,
hingga mual dan muntah. Pasien dengan perforasi esofagus datang dengan emfisema subkutan
pada leher. Gejala klinis yang dapat menyertai, yaitu demam tinggi, nyeri retrosternal atau
interskapula, peritonitis akut, takipnea, hematemesis yang dapat disertai dengan tanda-tanda jejas
berat, tanda intoksikasi, dan tanda syok. Tanda yang merupakan indikasi jejas berat adalah
penurunan kesadaran, tanda peritonitis dan perforasi, stridor, dan hipotensi.
Esofagitis korosif dapat dibagi menjadi 5 bentuk klinis berdasarkan derajat keparahan
luka bakar yang ditemukan, yaitu:
a. Esofagitis korosif tanpa ulserasi.
Hanya terjadi gangguan menelan yang ringan. Esofagoskopi menunjukkan mukosa
hiperemis tanpa ulserasi.
b. Esofagitis korosif dengan ulserasi ringan.
Keluhan berupa disfagia ringan. Esofagoskopi menunjukkan ulkus tidak dalam yang
mengenai mukosa esofagus saja.
c. Esofagitis korosif dengan ulserasi sedang.
Ulkus mencapai lapisan otot. Biasanya tidak hanya satu, dapat multipel.
d. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat tanpa komplikasi.
Terdapat pengelupasan mukosa serta nekrosis yang dalam dan telah mengenai lapisan
esofagus. Bila dibiarkan, dapat menimbulkan striktur esofagus.
e. Esofagitis korosif dengan ulserasi berat dengan komplikasi.
Ditemukan perforasi esofagus yang dapat menimbulkan mediastinitis dan peritonitis.
Terkadang ditemukan tanda obstruksi jalan napas atas dan gangguan keseimbangan
asam dan basa.
Berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala klinis dapat dibagi dalam 3 fase sebagai
berikut:
a. Fase Akut
Berlangsung selama 1-3 hari. Ditemukan luka bakar pada daerah mulut, bibir, faring,
yang kadang disertai gejala perdarahan. Gejala terasa disfagia hebat, odinofagia, serta
peningkatan suhu tubuh. Pada keadaan tertelan zat organik, perasaan dapat berupa
perasaan terbakar di saluran cerna bagian atas, mual, muntah, erosi mukosa, kejang
otot, kegagalan sirkulasi dan pernapasan.

b. Fase Laten
Berlangsung selama 2-6 minggu. Pada fase ini, keluhan klinis berkurang. Pasien
merasa sembuh, dapat menelan dengan baik, tetapi sebenarnya sedang terjadi proses
terbentuknya jaringan parut.
c. Fase Kronis
Setelah 1-3 tahun akan kembali timbul disfagia disebabkan sikatriks yang terbentuk
sehingga terjadi striktur esofagus.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat tertelan zat korosif, gejala klinis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan esofagoskopiTatalaksana
Tujuan utama adalah untuk mencegah terbentuknya striktur. Sejak awal dibedakan jenis
zat korosif (fase akut atau fase kronis) atau zat anorganik.
Tatalaksana umum secara umum adalah dengan menstabilkan keadaan pasien,
memastikan jalan napas baik, terapi cairan, menghilangkan nyeri, memberikan sedasi dan
memperbaiki gangguan elektrolit. Terapi Medikamentosa yang diberikan yaitu
Antiobiotik dapat diberikan selama 2-3 minggu terutama bila terbukti terdapat perforasi
dan infeksi sekunder. Antibiotik pilihannya berupa sefalosporin generasi ketiga
(sefritakson) atau ampisilin/ sulbaktam. Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan
kejadian striktur. Kortikosteroid yang diberikan berupa prednisone dengan dosis 1-2
mg/kg hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari. Maksimum diberikan selama 21 hari
termasuk tapering off. Diberikan untuk mencegah terjadinya pembentukan fibrosis yang
berlebihan. Sebaiknya diberikan sejak hari pertama hingga hari ketiga dan diturunkan
bertahap 2 hari. Proton pump inhibitor (PPI) dapat mengurangi pajanan esofagus yang
cedera terhadap asam lambung sehingga mengurangi formasi striktur (Pantoprazole 2-3 x
40 mg per oral). Analgetik dapat diberikan narkotik (morfin) untuk mengurangi nyeri.
Esofagoskopi biasanya dilakukan pada hari ketiga atau luka bakar di daerah bibir,
mulut, dan faring sudah tidak aktif meradang. Bila ditemukan ulkus, esofagoskopi tidak
boleh dipaksa melalui ulkus karena dapat menyebabkan perforasi. Pada keadaan
demikian, sebaiknya dipasang NGT selama 6 minggu terus menerus lalu esofagoskopi
diulang kembali setelah 6 minggu. Pada fase kronik biasanya sudah terbentuk striktur.
Diperlukan dilatasi dengan bantuan esofagoskopi sekali seminggu, kemudian sekali
dalam 2 minggu demikian seterusnya hingga pasien dapat menelan makan biasa. Bila
setelah 3 kali dilatasi hasilnya kurang memuaskan, dapat dilakukan reseksi esofagus dan
dibuat anostomosis dari ujung ke ujung.
Komplikasi edema jalan napas dan obstruksi dapat terjadi segera hingga 48 jam
setelah paparan terhadap basa kuat. Pada paparan asam kuat, perforasi dapat muncul
belakangan hingga 4 hari kemudian. Perforasi gastrointestinal juga dapat segera
terjadi. Menjadi faktor resiko karsinoma sel skuamosa hingga 1-4% dari seluruh
kasus pajanan signifikan, dimana biasanya terjadi 40 tahun setelah paparan.
Komplikasi lainnya berupa syok, koma, edema laring, pneumonia aspirasi, perforasi
esofagus, mediastinitis dan kematian.

Anda mungkin juga menyukai