Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH STUDI KASUS PRAKTIKUM PBL FARMAKOTERAPI

“MATERI PENYAKIT SALURAN CERNA”

Dosen jaga :
Apt. Antonius N.W.P., M.P.H.

Disusun oleh :
Novia Paramitha 172210101105
Nilam Wardah 172210101135
Shifwatu Dzakiyyah 172210101137
Tsamratul Fadhilah 172210101143

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)


A. DEFINISI GERD
GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau
komplikasi yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan
esofagus, faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology, GERD is a physical condition in which acid from the stomach
flows backward up into the esofagus. Jadi, GERD adalah suatu keadaan patologis di
mana cairan asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus
dan menyebabkan gejala.
B. ETIOLOGI GERD
GERD disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa faktor-
faktor yang menurunkan tekanan otot kerongkongan (sfingter esophagus) sehingga
terjadi refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin),
alcohol, rokok. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan
lambung yang terlambat dapat menyebabkan tekanan darah di dalam arteri lebih
rendah dan tekanan otot kerongkongan bawah sehingga meninmbulkan refluks
gastroesofagus.
C. GEJALA DAN FAKTOR RESIKO GERD
 Gejala Yang muncul pada penderita GERD
Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua
a. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai dengan atau
tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi
struktural berupa heartburn dan regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak.
b. Sindrom esofageal disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur
refluks, Barret’s esophagus, adenokarsinoma esofagus. Sindrom
ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks gastroesofageal jangka
panjang.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi
merupakan suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai
rasa asam dan pahit di lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah
epigastrium yang dapat disertai nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam,
heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati yang terasa
hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah
makan atau saat berbaring.
Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa,
hipersalivasi, disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur
atau keganasan Barrett’s esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat
menelan umumnya akibat ulserasi berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada
non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis merupakan gejala
ekstraesofageal penderita GERD.
 Faktor risiko GERD adalah:
a. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat,
calcium-channel blocker.
b. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
c. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita
hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar
progesteron. Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES
terjadi akibat terapi hormon estrogen.
d. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia,
panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya
GERD.
e. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko
terjadinya GERD juga semakin tinggi.
D. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan
defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang
termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme
bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES merupakan strukur anatomi berbentuk
sudut yang memisahkan esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan
LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke
lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran
retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD
disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan,
faktor hormonal, atau kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya
peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD,
mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan
kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan refluksat lambung dan
esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks malam hari
pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal ini karena tidak adanya
gaya gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari
membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan
esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2 , sel esofagus mempunyai kemampuan mentransport
ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung,
dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan
lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat.
Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil,
obesitas, dan pakaian terlalu ketat.
E. TERAPI PENYAKIT GERD
1. Terapi non farmakologi
Penatalaksanaan GERD tanpa obat yang saat ini direkomendasikan karena didasari
oleh bukti penelitian yang cukup antara lain:
a. Menurunkan berat badan bagi pasien yang overweight (kelebihan berat
badan) atau yang baru saja mengalami peningkatan berat badan.
Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor antara lain
meningkatkan:
o Perubahan (gradient) tekanan sfingter gastroesofagus,
o Kejadian hiatal hernia,
o Tekanan intra-abdomen
o pengeluaran enzim pankreas dan empedu.
b. Menaikkan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan 2-3 jam sebelum
waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami gejala refluks di malam
hari (nocturnal GERD).
Posisi berbaring datar ketika tidur diperkirakan meningkatkan risiko refluks
esofagus. Terdapat 3 penelitian terkait dengan manfaat menaikkan posisi kepala
ketika tidur. Penelitian pertama (n = 63 pasien) membandingkan berbagai posisi
tubuh, antara lain: duduk, berbaring dan menaikkan posisi kepala saat tidur.
Hasilnya, dibandingkan dengan pasien yang tidur datar, pasien yang menaikkan
posisi kepala ketika tidur dengan menggunakan blok/penyangga setinggi 28 cm
secara signifikan mengalami episode dan gejala refluks lebih sedikit, durasi
refluks lebih singkat, dan pembersihan asam lebih cepat.
Penelitian kedua, randomised trial, membandingkan antara tidur menggunakan
bantalan, tidur dengan posisi kepala dinaikkan, dan tidur datar. Hasilnya, tidur
dengan posisi kepala dinaikkan berhubungan secara signifikan dengan
berkurangnya paparan asam pada esofagus bila dibandingkan dengan tidur secara
datar. Pada penelitian acak lainnya, pada pasien dengan gejala refluks yang diobati
dengan golongan penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan
cisapride, tidak ada hubungan antara menaikkan posisi kepala selama 2 minggu
dengan perbedaan penggunaan antasid atau perbaikan gejala, sehingga intervensi
ini tampaknya efektif pada sebagian pasien saja.
c. Menghindari Makan Terlalu Malam
Satu kajian sistematis dari 2 penelitian menyelidiki efek waktu makan di
malam hari terhadap keasaman lambung selama 24 jam pada subyek sehat.
Penelitian pertama menunjukkan makan pada pk. 18.00 menghasilkan pH
lambung yang lebih rendah dibandingkan makan pada pk. 21.00 (median pH 1,39
vs 1,67; p<0,01), namun ini hanya terjadi tengah malam dan pk.07.00 pagi.
Studikedua dilakukanpada 10pasien sehat menunjukkan bahwakeasamanlambung
24 jam danmalamhari tidak dipengaruhioleh perubhan waktu makan malam.
d. Penatalaksanaan nonfarmakologi lain
Beberapa penatalaksanaan nonfarmakologi yang juga direkomendasikan antara
lain: berhenti merokok dan menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu
gejala GERD (contoh: coklat, jeruk, kopi, makanan berlemak, makanan pedas,
minuman berkarbonasi, dan alkohol). Meskipun bukti fisiologis menunjukkan
bahwa alkohol, coklat, jeruk, makanan berlemak, atau rokok bisa saja berpengaruh
negatif pada pH esofagus, namun belum ada bukti yang menunjukkan perbaikan
klinis gejala GERD bila konsumsi makanan-minuman tersebut dihentikan.
2. Terapi farmakologi
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain: golongan
penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPIs) dan penghambat H2 [H2
blockers atau antagonis reseptor H2 (H2-receptor antagonists, H2RAs)].
a. Penghambat Pompa Proton dan Antagonis Reseptor H2
Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan cara
memblok pompa proton (H+ ,K+ -ATPase) yang terdapat di membran sel parietal
lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal secara
irreversibel. Penghambat pompa proton merupakan prodrug yang tidak stabil
dalam suasana asam. Setelah diabsorpsi dari usus, golongan ini dimetabolisme
menjadi bentuk aktifnya yang berikatan dengan pompa proton.
Sementara itu, obat-obat dari golongan antagonis reseptor H2 bekerja
dengan cara memblok reseptor histamin di membran sel parietal lambung. Selain
hormon gastrin dan asetilkolin, histamin adalah salah satu senyawa yang
menstimulasi H+,K+-ATPase untuk mensekresi asam lambung. Satu kajian
sistematis yang membandingkan efektivitas antara PPIs dan H2RA s p ada pas ien
de ngan EN RD (4 penelitian acak terkontrol) membuktikan bahwa PPIs lebih
efektif dalam mencapai remisi gejala heartburn dibandingkan dengan H2 RAs
(RR 0,78; 95%CI 0,74-0,97).
PPIs dan H2 RAs yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
pantoprazole 40 mg/hari vs nizatidine 150 mg 2 kali sehari, omeprazole 20
mg/hari vs cimetidine 400 mg 4 kali sehari, omeprazole 20 mg/hari vs famotidine
20 mg 2 kali sehari, serta omeprazole 10 mg/hari dan omeprazole 20 mg/hari vs
ranitidine 150 mg 2 kali sehari. Semua intervensi tersebut diberikan selama 4
minggu. Remisi gejala heartburn pada kajian ini didefinisikan sebagai mengalami
gejala heartburn ringan tidak lebih dari satu hari per minggu. PPIs juga terbukti
lebih baik daripada H2RAs dalam memperbaiki keseluruhan gejala heartburn (2
penelitian, RR 0,82; 95%CI 0,73-0,93).
PPIs dan H2RAs yang diteliti dalam hal ini adalah 1) omeprazole 20
mg/hari vs famotidine 20 mg 2 kali sehari, dan 2) lansoprazole 15 mg/hari,
lansoprazole 30 mg/hari vs ranitidine 150 mg 2 kali sehari.13 PPIs juga terbukti
lebih superior dibandingkan H2RAs dalam menyembuhkan esofagitis (meta-
analisis, 16 penelitian acak terkontrol, n = 2132 pasien, RR 0,57; 95%CI 0,52-
0,63). Proporsi pasien yang mengalami kesembuhan esofagitis adalah 39%
(number needed to treat, NNT = 6) menggunakan H2RAs dan 76% (NNT = 2)
menggunakan PPIs. Memperpanjang durasi penggunaan PPIs menjadi 2 bulan
meningkatkan proporsi kesembuhan sebesar 14%.7 Superioritas PPIs terhadap
H2RAs, sukralfat dan plasebo juga tampak pada seluruh derajat esofagitis erosif.
b. Prokinetik
Obat-obat prokinetik, dalam hal ini metoclopramide, bekerja dengan
meningkatkan kekuatan sfingter esofagus bagian bawah, peristaltis esofagus, dan
mempercepat pengosongan lambung. 4 Kajian sistematis yang membandingkan
PPIs dan prokinetik (1 penelitian acak terkontrol, n = 423 orang) menunjukkan
superioritas PPIs dalam mencapai remisi gejala heartburn. Penggunaan
metoclopramide dibatasi oleh efek samping seperti mengantuk, agitasi,
iritabilitas, depresi, reaksi distonik, dan tardive dyskinesia pada<1% pasien.
Sebenarnya, bila pasien tidak sedang mengalami gastroparesis, penggunaan
metoclopramide pada GERD tidak jelas manfaatnya. Untuk pasien yang memang
respon terhadap metoclopramide, obat prokinetik lainnya seperti domperidone
dapat digunakan. Efikasi domperidone setara dengan metoclopramide dalam
mengosongkan lambung, tetapi penelitiannya pada kasus GERD masih sangat
kurang. Pemantauan perpanjangan interval QT pada elektrokardiogram perlu
dilakukan karena adanya risiko kecil terjadi ventrikel aritmia dan sudden cardiac
death.
c. Antasida and turunan Asam Alginat Antasida
Antasida adalah komponen yang tepat untuk mengobati GERD ringan,
meskipun dokumentasi keberhasilan antasida dalam uji klinis terkontrol plasebo
kurang. Meskipun literatur agak kontroversial pada keunggulan antasida dengan
plasebo, dokter dan pasien jelas menganggap antasida efektif untuk segera
mengurangi gejala-gejala, dan antasida yang sering digunakan bersamaan dengan
terapi asam. Mempertahankan pH intragastrik > 4 mengurangi aktivasi
pepsinogen ke pepsin, enzim proteolitik. Produk kombinasi bisa lebih baik
dibanding antasida sendirian dalam mengurangi gejala GERD. Produk kombinasi
antasida atau antasida dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal ( diare
atau sembelit, tergantung pada produk ), perubahan dalam metabolisme mineral,
dan gangguan asam-basa . Antasida yang mengandung aluminium dapat mengikat
fosfat dalam usus dan mengakibatkan demineralisasi tulang . Selain itu, antasida
berinteraksi dengan berbagai obat-obatan dengan mengubah pH lambung,
meningkatkan pH urin, menyerap obat untuk permukaan mereka, memberikan
penghalang fisik untuk penyerapan, atau membentuk kompleks larut dengan obat
lain. Antasida memiliki interaksi obat yang signifikan secara klinis dengan
tetrasiklin, besi sulfat, isoniazid, quinidine, sulfonilurea, dan antibiotik kuinolon.
Interaksi antasida dengan beberapa obat dipengaruhi oleh komposisi, dosis,
jadwal dosis, dan perumusan antasid tersebut. Secara umum, antasida memiliki
durasi obat yang singkat sehingga memerlukan administrasi sering sepanjang hari
untuk memberikan netralisasi asam terus menerus. Mengonsumsi antasida setelah
makan dapat meningkatkan durasi obat dari sekitar 1 jam sampai 3 jam, namun
penekanan asam pada malam hari tidak dapat dipertahankan dengan dosis tidur.
d. Agen Promotilitas
 Agen promotilitas berguna sebagai tambahan untuk terapi supresi asam pada
pasien dengan defek motilitas (misalnya, inkompetensi LES, penurunan
klirens esofagus, pengosongan lambung yang tertunda). Namun, agen ini
tidak seefektif terapi penekanan asam dan memiliki efek samping yang tidak
diinginkan.
 Metoclopramide, antagonis dopamin, meningkatkan tekanan LES dengan
cara yang berhubungan dengan dosis dan mempercepat pengosongan
lambung. Namun, tidak meningkatkan pembersihan esofagus.
Metoclopramide memberikan perbaikan gejala untuk beberapa pasien, tetapi
bukti yang mendukung penyembuhan endoskopi masih kurang. Takifilaksis
dan efek samping yang serius (termasuk reaksi ekstrapiramidal dan tardive
dyskinesia) membatasi kegunaan. Reaksi merugikan yang umum termasuk
mengantuk, gugup, kelelahan, pusing, lemah, depresi, diare, dan ruam.
 Bethanechol memiliki nilai terbatas karena efek samping (misalnya retensi
urin, ketidaknyamanan perut, mual, kemerahan).
e. Pelindung Mukosa
 Sukralfat adalah garam aluminium sukrosa oktasulfat yang tidak dapat
diserap. Memiliki nilai terbatas untuk pengobatan GERD tetapi berguna
untuk manajemen radiasi esofagitis dan GERD refluks empedu atau non-
asam.
f. Terapi Kombinasi
 Terapi kombinasi dengan agen penekan asam dan agen promotilitas atau
pelindung mukosa konkret logis, tetapi data yang mendukung terapi
semacam itu terbatas. Pendekatan ini tidak disarankan kecuali pasien
menderita GERD dengan disfungsi motorik. Menggunakan produk pelepasan
segera omeprazole-sodium bicarbonate selain terapi PPI sekali sehari
menawarkan alternatif untuk gejala GERD nokturnal.
g. Terapi Pemeliharaan
 Banyak pasien dengan GERD yang kambuh setelah obat dihentikan, jadi
perawatan pemeliharaan mungkin diperlukan. Pertimbangkan terapi jangka
panjang untuk mencegah komplikasi dan perburukan fungsi esofagus pada
pasien yang mengalami kekambuhan gejala setelah penghentian terapi atau
pengurangan dosis, termasuk pasien dengan Barrett esophagus, striktur, atau
esophagitis.
 Kebanyakan pasien memerlukan dosis standar untuk mencegah kekambuhan.
H2RA merupakan terapi pemeliharaan yang efektif pada pasien dengan
penyakit ringan. PPI adalah obat pilihan untuk perawatan pemeliharaan
esofagitis sedang hingga berat atau gejala. Dosis biasa sekali sehari adalah
omeprazole 20 mg, lansoprazole 30 mg, rabeprazole 20 mg, atau
esomeprazole 20 mg. Dosis rendah dari PPI atau rejimen hari alternatif
mungkin efektif pada beberapa pasien dengan gejala yang lebih ringan.
 Terapi pemeliharaan "On-demand", di mana pasien memakai PPI ketika
memiliki gejala, mungkin efektif untuk pasien dengan GERD endoskopi-
negatif.
F. OUTCOME YANG DIHARAPKAN SETELAH TERAPI
 Untuk meredakan gejala
 Meningkatkan penyembuhan esofagus
 Mencegah kekambuhan

 Memberikan farmakoterapi yang hemat biaya


BAB II

PEMBAHASAN

SOAL STUDI KASUS PBL FARMAKOTERAPI


MATERI PENYAKIT SALURAN CERNA

Ny. MST, usia 52 tahun , berat badan 69 kg, tinggi badan 152 cm datang rumah sakit dengan
keluhan nyeri ulu hari sudah sejak seminggu yang lalu, disertai rasa panas di dada, sering
bersendawa dan terasa asam ketika bersendawa. Gejala dirasakan sering terjadi baik setelah
makan maupun sebelum tidur. Pasien sebelumnya juga sering mengalami gejala seperti ini
dan hanya diobati dengan antasida. Pasien juga mengeluhkan batuk dan sulit bernafas 2 hari
ini.
Pasien memiliki riwayat penyakit nyeri sendi sejak 5 tahun yang lalu dan diobati dengan
diklofenak Na rutin 1x sehari, asam urat sejak 3 tahun yang lalu dan rutin diobati dengan
allopurinol dan. Pasien juga memiliki kebiasaan minum kopi minimal 1x sehari dan sangat
menyenangi makanan pedas.
Dokter melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Hasil pemeriksaan TTV : TD 120/80
mg/dL, HR 68x/menit, RR 23x/menit, suhu 36,5C. Hasil pemeriksaaan fisik : terdengar
bunyi “wheeezing” saat pasien bernafas, jantung normal, tidak terdapat hepatomegali. Hasil
pemeriksaan laboratorium : HB 12,7 g/dL, RBC 4,8x10 6/uL, WBC 8,2x103/uL, LED 15
mm/h, Asam urat 6,5 mg/dL.
Dokter mendiagnosis : GERD dengan asthma like sindrome
Terapi : Anflat 3x1 tablet sebelum makan, Episan 3x1 Cth, Graseric 150 mg 3x1 tablet
(untuk 1 minggu)
Satu minggu kemudian pasien datang lagi untuk dilakukan evaluasi oleh dokter. Pasien
terkadang masih naik asam lambungnya, meski tidak sesering dulu. Dokter kemudian
meresepkan Omeyus 20 mg 2x1 tablet, Anflat 3x1 tablet dan Damaben 10 mg 3x1 tablet.

1. Ny. MST didagnosis GERD dengan asthma like sindrome. Apa saja data subyektif dan
obyektif yang mendukung diagnosis tersebut?
Data subyektif:
 Pasien mengalami nyeri ulu hati sudah seminggu yang lalu, disertai rasa panas di
dada, sering bersendawa dan terasa asam ketika bersendawa. Gejala tersebut sering
dirasakan setelah makan maupun sebelum tidur.
 Pasien mengeluhkan batuk dan sulit bernafas sudah 2 hari.
 Riwayat penyakit: Nyeri sendi, asam urat
 Riwayat pengobatan: Na diklofenak, allopurinol, antasida
 Pasien memiliki kebiasaan minum kopi minimal 1 kali sehari dan sangat suka
makanan pedas
Data obyektif:
 Hasil pemeriksaan TTV: TD 120/80 mg/dL, HR 68x/menit, RR 23x/menit, suhu
36,5C.
 Hasil pemeriksaan fisik: terdengar bunyi “wheeezing” saat pasien bernafas, jantung
normal, tidak terdapat hepatomegali.
 Hasil pemeriksaan laboratorium : HB 12,7 g/dL, RBC 4,8x106/uL, WBC 8,2x103/uL,
LED 15 mm/h, Asam urat 6,5 mg/dL.
2. Adakah faktor resiko penyebab GERD pada pasien Ny. MST?
 Obesitas
Ny. MST mempunyai BB 69 kg dan TB 152 cm maka nilai BMI atau IMT (indeks
massa tubuh) yaitu BMI= BB(kg)/TB2(m)= 69 kg/(1,52)2 cm= 29,86 kg/m2. Nilai
tersebut termasuk kategori obesitas berdasarkan data kemenkes. Salah satu teori
yang menjelaskan hubungan antara berat badan berlebih dengan penyakit GERD
yakni penurunan fungsi sfingter esofagus bawah (lower esophageal sphincter/LES).
Berat badan yang berlebih akan menimbulkan beberapa kondisi, seperti peningkatan
tekanan intraabdomen, pengosongan lambung yang tidak seimbang, penurunan
tekanan dari LES, serta peningkatan frekuensi dari transient lower esophageal
spinchter relaxation (TLESR). Keseluruhan faktor tersebut nantinya akan
menyebabkan penurunan fungsi LES yang berlanjut menjadi ketidakseimbangan
antara pertahanan esofagus dengan reflukstat lambung. Ketidakseimbangan ini yang
nantinya berujung menjadi penyakit GERD.
 Usia
Ny. MST berusia 52 tahun, penyakit GERD lebih banyak diderita oleh pasien usia
>40 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa secara
epidemiologi, kasus GERD lebih banyak terjadi pada usia yang lebih tua. Seperti
yang dikemukakan oleh Heaney, dkk bahwa GERD lebih mudah didapatkan pada
pasien yang berusia lebih tua. Hal tersebut terkait dengan banyak obat yang
seringkali harus dikonsumsi pasien dengan usia lebih tua, seperti obat anti
hipertensi, yang dapat menyebabkan sensasi heartburn. Selain itu, semakin tua usia
pasien maka semakin mudah terjadi peningkatan berat badan dan menjadi obesitas,
yang merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya GERD. Studi lain
dikemukakan oleh Ronkainen, dkk bahwa semakin tua usia seseorang, lebih
cenderung untuk kehilangan massa otot, terutama bila aktivitasnya sangat sedikit
(jarang berolahraga). Hal ini berakibat pada lambatnya pembakaran kalori di tubuh.
Bila disertai dengan asupan kalori yang banyak, maka peningkatan berat badan akan
terjadi.
 Makanan Pedas
Ny. MST sangat menyukai makanan pedas, makanan pedas sering memicu gejala
GERD. Konsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang lambung
untuk berkontraksi dan kandungan bubuk cabai tersebut dapat menghilangkan sel
epitel pada lapisan mukosa. Apabila mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu
kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dan dibiarkan berlangsung lama maka
akan menyebabkan iritasi pada mukosa lambung.
 Minuman kopi
Ny. MST memiliki kebiasaan meminum kopi minimal 1x sehari. Kafein di dalam
kopi berefek meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam
lambung.
 Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS)
Ny. MST memiliki riwayat penyakit nyeri sendi sejak 5 tahun yang lalu dan diobati
dengan diklofenak Na rutin 1x sehari. Na diklofenak masuk kedalam golongan obat
antiinflamasi non-steroid. Penggunaan rutin obat golongan antiinflamasi non-steroid
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esophagus.
 Allopurinol
Ny. MST mempunyai riwayat penyakit asam urat sejak 3 tahun yang lalu dan rutin
diobati dengan allopurinol. Obat allopurinol mempunyai efek samping yang telah
dikonfirmasi FDA antara lain sakit kepala, influenza, tingkat kreatini darah yang
lebih tinggi, dan refluks gastroesofageal. Dari efek samping tersebut, allopurinol
menjadi factor resiko penyakit GERD.
3. Adakah hubungan antara terjadinya GERD dengan Asma? Jelaskan
Ada, GERD merupakan faktor yang paling sering terlupakan dalam etiopatogenesis
asma. Asma dan GERD dapat terjadi secara bersama dan saling memberatkan, yakni efek
fisiologik obstruksi jalan napas pada asma memperburuk GERD atau GERD dapat
memicu terjadinya asma.
Pada penderita asma, GERD dapat menyebabkan tejadinya proses bronkokonstriksi.
Mekanisme patofisiologi terjadinya bronkokonstriksi adalah reflek vagal, peningkatan
reaktivitas bronkus, dan mikroaspirasi.
Reflek vagal dapat terjadi karena esofagus, bronchial tree, dan lambung yang
berasal dari segmen embrionik yang sama dan dipersarafi oleh nervus vagus. Sehingga
adanya zat asam di esofagus dapat menstimulasi reseptor esofageal dan menginisiasi
terjadinya reflek vagal. Akibat infuse asam tersebut ditemukan adanya penurunan pada
aliran udara yang diukur dengan volume ekspirasi paksa pada detik pertama (VEP1) dan
penurunan saturasi oksigen (Isaac, 2009). Mekanisme yang kedua yaitu peningkatan
reaktivitas saluran napas (bronkus), Wu (2000) menyimpulkan bahwa penderita asma
yang diinduksi oleh stimulasi HCl pada esofagus menunjukkan peningkatan reaktivitas
saluran napas.
Pada mikroaspirasi, isi lambung refluks ke proksimal esofagus, hipofaring, laring,
dan trakea menyebabkan respon pada saluran napas. Mekanisme ini dikenal sebagai teori
refluks. Adanya refluks asam esofagus menyebabkan penurunan peak expiratory volume
rate (PEVR) sebesar 8L/menit dan pada kondisi asma berat (Isaac, 2009) ditemukan 37
episode refluks esofagus dalam 5 menit yang dinilai dengan pengukuran pH esofagus.
4. Ny. MST memiliki riwayat penyakit nyeri sendi dan asam urat. Adakah hal tersebut
menjadi faktor resiko terjadinya GERD?
Pada pasien dengan riwayat penyakit nyeri sendi yang menerima pengobatan, Na
Diklofenak yang tergolong NSAID non selektif mampu menjadi salah satu faktor obat
penginduksi kerusakan lambung sehingga dapat menjadi salah satu faktor resiko
terjadinya GERD. Sedangkan untuk asam urat, belum ditemukan mekanisme yang terkait
antara kenaikan asam urat terhadap faktor resiko terjadinya GERD.
5. Pada sesi konseling, pasien diminta melakukan modifikasi gaya hidup dengan
menurunkan berat badan, makan sedikit2 tetapi sering dan meninggikan posisi kepala
saat tidur. Apakah hal tersebut efektif untuk membantu mengobati GERD? Jelaskan
Modifikasi gaya hidup di atas scukup danbahkan sangat efektif untuk mengurangi
atau mengobati GERD pada pasien karena di ambil dari (Irawati, S 2013,
‘Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)) dinyatakan bahwa Tujuan
dari pengurangan brat badan adalah untuk mengurangi tekanan intraabdomen sehingga
dapat meningkatkan fungsi LES yang tadinya menurun, sehingga memperbaiki barier
antrirefluks dan mencegah terjadinya refluks. Kemudian Tujuan dari perintah konsleng
tersebut yaitu berguna untuk menurunkan produksi asam lambung sehingga tidak terjadi
refluks. karena ketika makan (adanya makanan dilambung) dapat menurunkan asam
lambung tersebut. Dan untuk tujuan meninggikan kepala saat tidur di lakukan supaya
asam lambung tidak mudah naik ke esofagus sehingga dapat mencegah refluks.
6. Saat pemeriksaa pasien mendapatkan terapi Anflat, Episan dan Graseric. Bagaimanakah
efektivitas obat tersebut untuk terapi GERD pasien?
Efektivitas dari obat yang di berikan di atas cukup baik dan efektif untuk terapi
GERD Dimana anflat disini tergolong sebagai obat antasida yang berfungsi menetralkan
asam lambung. Selanjutnya episan, digunakan sebagai pelindung mukosa dimana akan
melindungi permukaan mukosa pada lambungdari iritasi. Dan graseric mengandung
ranithidin, sebagai antagonis reseptor H2 (menghambat reseptor H2).
7. Seminggu kemudian dokter memberikan obat lain yaitu Omeyus, Anflat dan Damaben.
Bagaimanakah mekanisme kerja obat tersebut dan apakah kombinasi obat ini lebih
efektif dibandingkan terapi sebelumnya? Bagaimanakah saran terkait pengobatan pasien
Ny. MST?
 Mekanisme Omeyus (Omeprazole)
Golongan inhibitor pompa proton, yang bekerja dengan cara memblokir sistem
enzim yang bertanggung jawab untuk transpor aktif proton ke dalam lumen
gastrointestinal, yaitu hidrogen / kalium adenosin trifosfatase (H+ / K+ ATPase) dari
sel parietal lambung, juga dikenal sebagai 'Pompa proton' (Martindale 36th. 2009. hal
1692).
Pada dasarnya, omeprazole menekan basal lambung dan merangsang sekresi
asam. Efek penghambatan omeprazol terjadi dengan cepat dalam 1 jam pemberian,
dengan efek maksimum terjadi dalam 2 jam. Efek penghambatan berlangsung
sekitar 72 jam setelah pemberian, diikuti dengan kembali ke aktivitas awal dalam 3
sampai 5 hari. Dengan penggunaan obat setiap hari, efeknya akan stabil pada empat
hari.
Metabolisme omeprazol terjadi melalui sistem enzim sitokrom P450 hati; dua
isozim CYP utama yang terlibat adalah CYP2C19 dan CYP3A4. Ekskresi urin
adalah jalur utama ekskresi metabolit omeprazol. Omeprazole memiliki waktu paruh
pendek setengah jam hingga satu jam pada subjek sehat dan sekitar tiga jam untuk
pasien dengan gangguan hati, tetapi efek farmakologisnya bertahan lebih lama
terkonsentrasi dalam sel parietal di mana ia membentuk hubungan kovalen dengan
H+ / K+ ATPase, yang dihambatnya secara permanen (NCBI .2020).
 Mekanisme Anflat (Magnesium hydroxide, Aluminum hydroxide, Simethicone)
Anflat termasuk dikombinasi Magnesium hydroxide, Aluminum hydroxide,
Simethicone yang termasuk golongan antasida.
Magnesium hidroksida adalah senyawa anorganik. Secara alami ditemukan
sebagai mineral brucite. Magnesium hidroksida digunakan sebagai antasida atau
pencahar baik dalam suspensi cairan oral atau bentuk tablet kunyah. Selain itu,
magnesium hidroksida memiliki sifat penekan asap dan penghambat api dan dengan
demikian digunakan secara komersial sebagai penghambat api.
Aluminium hidroksida adalah garam anorganik basa yang bekerja dengan
menetralkan asam klorida dalam sekresi lambung. Aluminium hidroksida secara
perlahan larut dalam lambung dan bereaksi dengan asam klorida membentuk
aluminium klorida dan air. Ini juga menghambat aksi pepsin dengan meningkatkan
pH dan melalui adsorpsi. Efek sitoprotektif dapat terjadi melalui peningkatan ion
bikarbonat (HCO3-) dan prostaglandin.
Simethicone dapat mengurangi tegangan permukaan gelembung gas sehingga
menyebar dan mencegah kantong gas di sistem GI.
 Mekanisme Damaben (Metoclopramide)
Termasuk golongan Metoclopramide menyebabkan efek antiemetik dengan
menghambat reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT3 di zona pemicu
kemoreseptor (CTZ) yang terletak di area postrema otak. Pemberian obat ini
menyebabkan efek prokinetik melalui tindakan penghambatan pada reseptor D2
presinaptik dan postsynaptic, agonisme reseptor serotonin 5-HT4, dan antagonisme
penghambatan reseptor muskarinik. Tindakan ini meningkatkan pelepasan
asetilkolin, menyebabkan peningkatan sfingter esofagus bagian bawah (LES) dan
tonus lambung, mempercepat pengosongan lambung dan transit melalui usus.
Metoclopramide memusuhi reseptor dopamin D2. Dopamin memberikan efek
relaksan pada saluran gastrointestinal melalui pengikatan pada reseptor D2 otot.
DAFTAR PUSTAKA
Ajjah, B. F. F., Mamfaluti, T., & Putra, T. R. I. (2020). HUBUNGAN POLA MAKAN
DENGAN TERJADINYA GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
(GERD). Journal of Nutrition College, 9(3), 169-179.
Dipiro J, Dipiro J, Schwinghammer T, and Wells B. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th
edition. United State of America: The McGraw-Hill Companies.
Drug Bank. 2020. Aluminum hydroxide https://go.drugbank.com/drugs/DB06723 [Diakses
pada Jumat, 9 Oktober 2020]
Drug Bank. 2020. Magnesium hydroxide https://go.drugbank.com/drugs/DB09104 [Diakses
pada Jumat, 9 Oktober 2020]

Drug Bank. 2020. Metoclopramide. https://go.drugbank.com/drugs/DB01233 [Diakses pada


Kamis, 8 Oktober 2020]

Drug Bank. 2020. Simethicone https://go.drugbank.com/drugs/DB09512 [Diakses pada


Jumat, 9 Oktober 2020]
Heaney LG, Conway E, Kelly C, Johnston BT, English C, Stevenson M, et al. Predictors of
therapy GERD: outcome of a systematic evaluation protocol. Thorax.
2003;58(7):561-6.
Irawati, S 2013, ‘Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)’, Buletin
Rasional, vol.11, no.1, hlm. 6-8, diakses 08 oktober 2020.
https://core.ac.uk/download/pdf/42957676.pdf
Laubach, Lori. 2017. FDA Approves once-daily treatment for hyperuricemia in gout.
https://www.mdedge.com/rheumatology/article/145400/gout/fda-approves-once-
daily-treatment-hyperuricemia-gout (diakses tanggal 8 Oktober 2020, pukul 23.00).
NCBI. 2020. Omeprazole https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539786/ [Diakses pada
Jumat, 9 Oktober 2020]

Pb, A., I. D. I. Skp, M. D. Saputera, dan W. Budianto. 2017. Diagnosis dan tatalaksana
gastroesophageal re ux disease ( gerd ) di pusat pelayanan kesehatan primer.
44(5):329–332.
Purthana, I. N. H. S., & Somayana, G. HUBUNGAN ANTARA BERAT BADAN LEBIH
DENGAN PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL DI RSUP SANGLAH
DENPASAR PERIODE JULI–DESEMBER 2018. E-Jurnal Medika Udayana, 9(6),
30-34.

Ronkainen J, Aro P, Storskrubb T, Johansson SE, Lind T, BollingSternevald E, et al. High


prevalence of gastroesophageal reflux symptoms and esophagitis with or without
symptoms in the general adult Swedish population: a Kalixanda study report. Scand
J Gastroenterol. 2005;40(3):275-85.
Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Sukandar, E.Y., Andrajati, R. Sigit, J.I, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. Jakarta. PT.ISFI
Penerbitan.

Anda mungkin juga menyukai