Anda di halaman 1dari 12

BAB I

GERD

A. Pengertian GERD
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofagel)
adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme
antirefluks untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan
kadar yan abnormal dan paparan yang berulang.
Gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus mengalami
iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi ketika otot
berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju
esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak  berfungsi sebagaimana
mestinya.
Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari lambung
ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan suatu penyakit, bahkan keadaan ini merupakan
keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan
banyak tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya mukosa esophagus.
Tubuh manusia hakikatnya mencai keseimbangan dalam segala bentuk. GERD
adalah sederhana dari ketidakseimbangan pH dalam jangka panjang. Ketika terlalu
banyak mekanan asam dikonsumsi, lambung tidak dapat mencerna secara lengkap.
Makanan lebih yang tidak dicerna kemudian diubah menjadi sampah asam yang
menyebabkan kejang perut atau kejang yang mengarah pada peningkatan produksi gas.
Gas ini meningkatkan tekanan untuk membuka katup antara esophagus dan lambung
sehingga asam lambung kembali ke tenggorokan.
B. Epidemiologi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua umur,
umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah
insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa 1:5 orang
dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali dalam seminggu serta
lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di
Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di negara-negara non-westerin prevalensinya
lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Prevalensi GERD meningkat pada
meningkat pada orang tua ≥ 40 tahun. GERD terjadi pada sebagian umum laki-laki
daripada wanita. Rasia kejadiaan laki-laki dan wanita untuk esophagitis adalah 2:1 – 3:1.
Rasio kejadiaan laki-laki dan perempuan untuk Barrettesofagus adalah 10:1. Di
Indonesia sendiri belum ada data epidemiolodi mengenai penyakit ini, namun di Divisi
Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI – RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta,
didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalai
pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
C. Etiologi
Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh
karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara
esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karenas fingter
esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian
bawah yang bersifat sementara, terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari
esophagus, atau pun hernia hiatus.

D. Patofisiologi
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak dalam waktu yang
cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa, 2). terjadi penurunan resistensi
jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan
esofagus tidak lama. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophagealsphincter (LES). Pada
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran
antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau retrograd yang terjadi pada saat sendawa
atau muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LEShanya terjadi apabila tonus
LES tidak ada atau sangat rendah (<3 rnmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:

1.
Refluks

spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat.


2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan.
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari
bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks
(lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial
esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik
dan daya pilorik.

1. Pemisah Antirefluks (Lini Pertama)


Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intrabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata
mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus
LES:
a. Adanya hiatus hernia.
b. Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya).
c. Obat-obatan sepertiantikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
d. Faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa


pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya
proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang
bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahuluiproses menelan.
Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu
diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric
emptying) dan dilatasi lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih


kontroversial.Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus
hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus
hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus
serta menurunkan tonus LES

2. Bersihan Asam dari Lumen Esofagus (Lini Kedua)


Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian
besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu
transitesofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena
peristaltik esofagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflex) lebih besar berpotensi menimbulkan
kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan
esophagus tidak aktif.
3. Ketahanan Epitelial Esofagus (Lini Ketiga)
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki
lapisanmukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial
esofagusterdiri dari:
 Membran sel
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esofagus.
 Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat,
sertamengeluarkan ion H+ dan CO2.
 Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel


esofagus,sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap
ion H+. Yang dimaksud dengan factor ofensif adalah potensi daya rusak adalah
potensi dayarusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak
refluksatterdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2,atau
adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memilikipotensi
daya rusak paling tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain:
dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam pathogenesis GERD relatif kecil


dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik
antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, Barrett' esophagus dan adeno karsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi
H.pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori
sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antralgastritis,
pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori dengan
corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan sekresi
asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala
GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori
dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara
itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus
predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta
meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka Panjang pada pasien-
pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh
sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan padapasien GERD
sebelum pengobatan PPl jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid
reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud
dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat
asamatau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga
karenahipersensitivitas viseral.

E. Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak diepigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang- kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada
serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makanmakanan padat mungkin
terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett' es esofagus.
Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan Pada waktu menelan makanan)
dapat timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik
dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophagealhigh
pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan toms LES (misalnya
theofilin).
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episodeakut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan
GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
F. Diagnosa
Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama,
beberapa:pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnoses GERD,
yaitu:
1) Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus
(esophagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai
perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan
keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak
ditemukan, mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive
reflex disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan
bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barret’s esophagus
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya
pemeriksaanhistopatologi/biopsi pada NERD.
2) Esofagografi dengan Barium
Dibandingkan dengan endoskopi pemeriksaan ini kurang peka dan sering kali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan
mukosa, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif
untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyainilai lebih dari endoskopi, yaitu pada
a) Stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala
disfagia.
b) Hiatus hernia
3) Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian
distalesofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkanmikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pengukuran pH
pada esofagus bagiandistal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik
untuk refluks gastroesofageal.
4) Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang
dari sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam
padapasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan
rasa nyeridada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative
tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.
5) Manometri Esofagus
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-
pasiendengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan
esofagografibarium dan endoskopi yang normal.
6) Sintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan
padatyang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium.
Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan
memonitortransit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan
spesifisitas test inimasih diragukan
7) Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/ Tessupresiasam)
Acid Supression Test.
Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat
respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas
diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika
terdapatperbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa ini terapi
empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme
tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien
yang tidak disertaidengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm
adalah: berat badan turun,anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia,
riwayat keluarga dengan kanker esofagus/lambung) dan umur >40 tahun.
G. Tatalaksana Terapi
1. Tujuan terapi
Tujuan dari pengobatan adalah untuk meringankan/mengurangi gejala ,
mengurangi frekuensi dan durasi refluks gastroesofagus, meningkatkan
penyembuhan mukosa yang terluka dan mencegah berkembangnya komplikasi.

2. Terapi non farmakologi


Perubahan gaya hidup tergantung dari kondisi pasien. Perubahan gaya hidup
yang dapat dilakukan antara lain:
 Meningkatkan posisi kepala saat tidur atau berbaring.
 Mengurangi berat badan bagi pasien dengan obesitas
 Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan sfincter esofagus
(LES) dan makanan yang dapat mengiritasi mukosa esofagus
 Megkonsumsi makanan yang kaya protein untuk meningkatkan tekanan
sfincter esofagus (LES)
 Makanan makanan dalam jumlah sedikit dan hindari makan dalam jumlah
banyak sekaligus terutama pada 2-3 jam sebelum tidur
 Berhenti merokok, minum minuman beralkohol,
 Hindari memakai pakaian yang ketat
 Jika akan menkonsumsi obat yang dapat mengiritasi mukosa esofagus, maka
harus diminum dengan posisi tegak dan dengan air yang banyak.
3. Terapi farmakologi
Terapi di kategorikan dalam beberapa fase.
Fase I : untuk pasien dengan gejala ringan terpai dapat dilakukan dengan
mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan antasida
dan/atau OTC antagonis reseptor H2 (ARH2) atau inhibitor pompa proton (IPP).
Fase II : untuk pasien dengan gejala GERD, intervensi farmakologi terutama
engan obat penekan asam dosis tinggi.
Fase III : untuk pasien yang telah mengalami esofagitis dan gejala GERD
sedang hingga berat, diikuti dengan intervensional terapi (pembedahan antirefluks
atau terapi endoluminal)

Anda mungkin juga menyukai