Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PATOFISIOLOGI

GERD (

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Ajeng Wulandari 170106002

Alma Dita Rizkia 170106003

Dina Nurdianti 170106010

Ghalda Fadhillah 170106020

Ghilfy Candra A 170106021

Hilman Yusup 170106023

Ivon Resti A 170106026

M. Rizki Hidayatulloh 170106029

Sindi Widia 170106043

FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

1
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.................................................................


1.2 Rumusan Masalah...........................................................
1.3 Tujuan..............................................................................

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Definisi GERD.................................................................


2.2 Etiologi dan Patogenesis...........................................................
2.3 ..............................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah


dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada
populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan
kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia
Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%,
Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki
menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga
mengalami fenomena yang sama, di Singapura prevalensinya adalah 10,5%,
di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9%
(2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung,
2009), (Goh dan Wong, 2006).
Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 %
dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia (Makmun,
2009).

3
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Gastroesophageal Replux Desiase dan Heartburn?


2. Bagaimana etiologi dan patogenesis pada Gastroesophageal Replux Desiase ?
3. Bagaimana tanda dan gejala Gastroesophageal Replux Desiase ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari Gastroesophageal Replux Desiase dan Heartburn.


2. Mengetahui etiologi dan patogenesis pada Gastroesophageal Replux Desiase.
3. Mengetahui tanda dan gejala Gastroesophageal Replux Desiase.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Gastroesophageal Replux Desiase dan Heartburn

Penyakit refluks gastroesophageal (Gastroesophageal Replux Desiase


atau GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat reflux kandungan
lambung kedalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran napas.
Heartburn adalah gejala utama dari penyakit GERD (Gastroesophageal
Replux Desiase), yang terjadi ketika isi lambung kembali naik ke
kerongkongan (esofagus). Sensasi terbakar ini biasanya terjadi sesudah
mengonsumsi makanan pemicu heartburn dan akan semakin terasa ketika
tubuh berbaring atau membungkuk.

2.2 Etiologi dan Patogenesis Gastroesophageal Replux Desiase

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD.


Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila :
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus,
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009).

5
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Makmun,2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3


mekanisme :
1. Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat.
2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan.
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya


GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus.
Yang termasuk faktor defensif esofagus adalah
1. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intrabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang
normal. Faktor faktor yang dapat menurunkan tonus LES :
a. Adanyan hiatus hernia
b. Panjang LES (makin pendek LES makin rendah tonusnya)
c. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan
lain-lain
d. Faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron
dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaaan manometri,
tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal
yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES

6
relaxsation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu
diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed
gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus
LES.
2. Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus
adalah gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali
kelambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh
kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin
besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
ternyata emiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga kelainan
yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minim.
Refluks malam hari (noctural refluks) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.

3. Ketahanan epitelial esophagus


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki
lapisan mukus yang melindungi mukosa esofagus.

7
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari :
a. Membran sel.
b. Batas intraseluler (intracelluler junction) yang membatasi difusi
H+(kecil) kejaringan esophagus.
c. Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrient, oksigen dan
bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2-.
d. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion
H+dan CL- intaselular dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus,
sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap
ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak
refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak
refluksat terdiri dari HCL, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan esofagus makin meningkat pada pH <2,
atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari semuanya itu yang
memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala
GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan
delayed gastric emptying (Makmun, 2009).
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif
kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi
H.pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung (Makmun, 2009).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau
gas (non acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas viseral (Makmun,2009).

8
2.3 Tanda dan Gejala Gastroesophageal Replux Desiase
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.
Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa
tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang
timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena struktur atau
keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa
muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun,2009).
Walaupun gejala khas atau tipikal dari GERD adalah heartburn atau
regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul
yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain atau NCCP),
suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-
lain (Makmun 2009), (Jung, 2009). Di lain pihak, beberapa penyakit paru
dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi
perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat
penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (Makmun,2009).
Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman.
Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara
gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena
gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan
tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan
aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan
bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas
hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding
dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan
artritis kronik (Hongo dkk, 2007).

9
2.4 Kondisi Fisiologis Normal

2.5 Pengobatan Penyakit GERD

Pengobatan penderita PRGE terdiri dari:

a. Tahap I

Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks,


memperbaiki barrier anti refluks dan mempercepat proses pembersihan
esofagus dengan cara :

1. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci)

2. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak,


berbumbu, asam, coklat, alkohol, dll.

3. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk

4. Jangan makan terlalu kenyang

5. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam


terlambat

6. Jangan merokok dan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB


seperti kafein, aspirin, teofilin, dll.

b. Tahap II
Menggunakan obat-obatan, seperti :

1. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan


tekanan SEB, misalnya Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum
makan dan sebelum tidur dan Betanekol : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum
makan dan sebelum tidur.

10
2. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan
jumlah sekresi asam lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2
seperti Ranitidin : 2 mg/kgBB 2x/hari, Famotidin : 20 mg 2x/hari atau 40 mg
sebelum tidur (dewasa), dan jenis penghambat pompa ion hidrogen
sepertiOmeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa dan 0,7 mg/kgBB/hari
untuk anak.

3. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari,


diberikansebagai campuran dalam 5-15 ml air.

4. Antasida

Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk
menurun-kan refluks asam lambung ke esofagus.

c. Tahap III

Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi


antara lain mal-nutrisi berat, PRGE persisten, dll. Operasi yang tersering
dilakukan yaitu fundo-plikasi Nissen, Hill dan Belsey.

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala,


memperbaiki kerusakan mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah
komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013, terapi
GERD dapat dilakukan dengan:

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification


2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory

11
GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan
kesehatan primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and
Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan
melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD.
Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat
dilakukan dengan:

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga


berat badan sesuai dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap
elevasi saat posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti
cokelat, minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan
berlemak - asam - pedas

Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-


obatan. PPI merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki
keefektifan serupa dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan
obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis Yang termasuk obat-obat golongan PPI
adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg,
esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya
diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda
diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan
malam. Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada
pasien terduga GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda
alarm.

Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines


for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease
dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks

12
Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis tunggal selama 8 minggu.
Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama 8 minggu atau
gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan dengan
dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan,
terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi
maintenance.

Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14


hari untuk penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain PPI, obat
lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin).
Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk mengatasi gejala
refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi dengan
PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x
800 mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg),
dan nizatidin (2 x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang
berfungsi mempercepat proses pengosongan perut, sehingga mengurangi
kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus. Obat golongan
prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10
mg).

BAB III

PENUTUP

13
3.1 Kesimpulan
Penyakit refluks gastroesophageal (Gastroesophageal Replux Desiase
atau GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat reflux kandungan
lambung kedalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran napas.
Heartburn adalah gejala utama dari penyakit GERD (Gastroesophageal
Replux Desiase), yang terjadi ketika isi lambung kembali naik ke
kerongkongan (esofagus). Makanan pemicu heartburn antara lain Jeruk,
tomat, bawang putih, makanan pedas, keju, kacang dan steak, alkohol,
cokelat, kafein
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD.
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila :
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus,
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus. Yang termasuk faktor defensif esofagus adalah
Pemisah antirefluks, Bersihan asam dari lumen esofagus, dan Ketahanan
epitelial esophagus dan faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan
terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Gejala yang ditimbulkan dari penyakit GERD adalah Rasa nyeri
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), disfagia, mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Tanda dari GERD meliputi nyeri dada non
kardiak (non cardiac chest pain dan NCCP), suara serak, laringitis, batuk,
asma, bronkiektasis, dan gangguan tidur.
Tujuan diet GERD adalah memberikan makanan dan cairan secukupnya
yang tidak memberatkan lambung, mencegah iritasi dan inflamasi mukosa,

14
esopageal pada fase akut, mencegah esopageal refluks, mencegah dan
menetralkan asam lambung yang berlebihan dan menurunkan berat badan bila
kegemukan yang bertujuan untuk menurunkan tekanan abdominal.
Syarat diet GERD adalah mudah cerna, porsi kecil, energi dan protein
cukup, lemak rendah, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total, rendah serat,
terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap, cairan cukup,
terutama bila ada muntah, tidak mengandung bahan makanan atau bumbu
yang tajam, laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak
dianjurkan minum susu terlalu banyak dan jika ada fase akut dapat diberikan
makanan parenteral saja selama 24-48 jam untuk memberi istirahat pada
lambung .

15
DAFTAR PUSTAKA

Makmun,Dadang.2001.Management of gastoesophageal reflux disease.


Gatroenterology and Digestive Endoscopy.

Edelstein, Herbold. 2007. Rapid Reference for Nurse : Nutrition Terjemahan Eka
Anisa Mardella. 2011. Jakarta:EGC

Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Sibuea, Dr. W. Herdin., Dr. Marulam M. Panggabean, dan Dr. S. P. Gultom.


2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Rineka Cipta

Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux


Disease (GERD), Vol, 38, No. 7. (www.kalbemed.com), diakses 25
November 2015.

16

Anda mungkin juga menyukai