Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum
yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 % - 8,5 % (tahun 2005-
2010), Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura
prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7%
(1991 - 1992) menjadi 9% (2000 - 2001), sementara belum ada data epidemiologi
di Indonesia.(10) (11)
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa
prevalensi Gastoesophageal Reflux Disease (GERD) dapat diprediksi sebagai
hampir 3% dari keseluruhan pupolasi Indonesia, dengan meningkatnya angka
dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 di rumah sakit
Ciptomangunkusumo.(3)
1. KONDISI ESOFAGUS
A. FAKTOR MEKANIK
Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai
konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi
GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal
tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan
oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik
antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Sebuah
penelitian menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi
H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi
terhadap refluks hiatus hernia.(13)
2.1.4.2 Faktor Lingkungan
A. Merokok
Orang yang merokok dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terhadap
kejadian GERD karena mengalami heartburn setiap minggunya, merokok juga
dapat meningkatkan asam lambung, dan juga salah satu bahan yang terkandung
dalam rokok seperti Nikotin dapat berkontribusi dalam kejadian GERD dengan
merelaksasikan sfingter esophagus bagian bawah (LES)(14)
B. Faktor Stress
Stress emosional dapat merangsang saraf parasipatis sehingga dapat
mempengaruhi terbentuknya bahan – bahan refluksat Gaster yaitu salah satunya
HCL dan Stress juga berpengaruh terhadap hipersentivitas dari esophagus
sehingga dapat mempengaruhi kondisi dari sfingter esophagus bagian bawah
(LES) hingga dapat menyebabkan regurgitasi bahan refluksat dari lambung ke
esofagus.(9)
tersebut dijelaskan terdapat kelainan kromosom 13q pada anak dengan penyakit
refluks gastroesofageal.(16)
B. Faktor Status Gizi
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh (IMT)
berkaitan dengan GERD. Obesitas adalah salah satu faktor penting dalam
terjadinya GERD, semakin tinggi nilai IMT seseorang dapat meningkatkan tekanan
intraabdomen yang dapat mempengruhi fungsi LES. Fungsi LES secara langsung
tergantung pada tekanan intrinsik (normal 10–24 mmHg), Secara tidak langsung,
fungsi LES dipengaruhi oleh gradien tekanan antara lingkungan intragastrik dan
intraesofageal sehingga peningkatan IMT dapat mempengaruhi
kejadian GERD.(17)
2.1.5 Klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokan GERD menjadi dua kelompok
(lihat gambar 1).
2). Regurgitasi
Regurgitasi merupakan manifestasi klinis yang bermakna pada kejadian
Gastroesophageal reflux disease (GERD), regurgitasi menyebabkan pasien
merasakan sensasi asam atau pahit di dalam mulut. Refluks yang sangat kuat
dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung dari
esofagus atau lambung yang sampai kerongga mulut. Obstruksi dari esofagus
bagian distal dan keadan stasis seperti pada akalasia atau divertikulitis dapat
sebagai
Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan
gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan
inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan
aspirasi laryngeal, batuk yang terus menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari
tidur dan aspirasi pnemonia. Peningkatan tekanan intra abdominal yang timbul
karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi
terjadinya regurgitasi. Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala
berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak, mulut bau pada pagi
hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Selain itu pasien juga sering
merasa kembung, mual cepat kenyang, bersendawa, dan hipersalivasi.(21)(22)
2.1.7 Diagnosis
Pengambilan anamnesis secara seksama adalah metode utama untuk
menegakkan diagnosis GERD. Gejala spesifik GERD adalah heartburn dan atau
regurgitasi yang terjadi setelah makan. Namun, harus ditekankan bahwa sebagian
besar studi diagnostik gejala heartburn dan regurgitasi dilakukan pada populasi
Kaukasia. Di Asia, heartburn dan regurgitasi bukan ciri khas untuk GERD.
Namun, para ahli telah sepakat bahwa kedua gejala adalah karakteristik untuk
GERD.
Di rumah sakit rujukan tersier, sebelum melakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosis GERD, pemeriksaan lebih lanjut lainnya
(laboratorium, EKG, USG, rontgen dada dan penyelidikan lainnya sesuai dengan
indikasi) harus juga dilakukan untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala mirip
dengan GERD. Para ahli Asia-Pasifik telah menyatakan dengan aklamasi bahwa
strategi regional GERD diagnostik harus mempertimbangkan kemungkinan
GERD ada dengan komorbiditas lain seperti kanker lambung dan ulkus peptikum.
Namun, mengenai tes H. pylori untuk mengecualikan infeksi pada pasien dengan
gejala GERD di daerah dengan prevalensi tinggi kanker lambung dan ulkus
peptikum, ada pendapat kontroversial dari para ahli. Namun demikian, tes ini
masih direkomendasikan dengan mempertimbangkan faktor risiko termasuk
komorbiditas, usia, profil histologis lambung, riwayat keluarga dan preferensi
pasien.(23)
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of
Gastroenterology tahun 1995 dan direvisi pada tahun 2013, diagnosis GERD
dapat ditegakan berdasarkan:
1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi
untuk ekslusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau
aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma)
American Gastroenterological Association (AGA) menerbitkan American
Gastroenterological Association Medical Position Statement on the Management
of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada
poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada
dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut :(24)
Sementara hingga saat ini, tidak ada gold standart untuk diagnosis NERD.
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles
Kriteria berikut digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan diagnosis NERD:
(31)
D. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH padabagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. Ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.(9)
E. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidak khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus.(9)
F. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.(9)
G. Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan Radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat noninvasif. Selanjutnya sebuah penghitung Gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.(9)
2.1.8 Tatalaksana
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian mengingat
kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang maka penanganan pada
penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya
penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa,
terapi bedah, serta akhir – akhir ini dilakukan terapi endoskopik.
2.1.8 Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret.(9)
Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esofagus.(32)
Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.
Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal
junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi
sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Sering kali keluhan
heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barrier refluks.
Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini
dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan
operasi.(32) (9)
Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi
epitel kolumn ar metaplastik. Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esofagus.(27) Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitasepitel Barrett terhadap asam yang menurun. Pada
endoskopi kelainan ini dapat dikenal dengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas
ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras
sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus.
Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa. (9) tidak mampu
berlama – lama menahan aksi pencernaan dari sekresi lambung. Untungnya,
konstriksi tonik sfingter gastroesofageal membantu mencegah refluks yang
bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan
abnormal. Dan peningkatan tekanan intraabdomen akan mendesak
esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, sfingter gastroesofageal ini membantu
mencegah tekanan intraabdomen yang tinggi yang berasal dari desakan isi
lambung kembali ke esofagus.(12) Pemisah antirefluks juga berpengaruh
dalam kejadian GERD. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus
LES. Menurunnya tonus LES dapat