Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH GERD

Definisi Gastroesophageal reflux disease (GERD)

Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Telah
diketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esofagus dapat menimbulkan
berbagai gejala di esofagus maupun ekstraesofagus, dan dapat menyebabkan
komplikasi yang berat bahkan adenokarsinoma di kardia dan esofagus.

Istilah Esofagistis Refluks berarti kerusakan mukosa esofagus akibat


refluks cairan lambung seperti erosi dan ulserasi epitel esofagus. Pada kondisi
terdapat gejala refluks tanpa kelainan mukosa esofagus pad pemeriksaan
endoskopi disebut Asymtomatic Gastro-Esophageal Reflux atau Non-Erosiv
Reflux Disease (NERD). Kelainan ini timbul akibAat hipersensitivitas mukosa
esofagus terhadap asam yang dihubungkan dengan peningkatan persepsi nyeri.
2.1.1 Epidemiologi

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) ini umum ditemukan pada


populasi di Negara – Negara Barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di
Negara – Negara Asia – Afrika. Di amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala relfuks (heartburn dan / atau regurgitasi) sekali dalam
seminggu serta lebih 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam sebulan.
Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di Negara –
Negara non – Western prevalensinya lebih rendah (1,5 di China dan 2,7% di
Korea).(9)

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan
dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum
yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 % - 8,5 % (tahun 2005-
2010), Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura
prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7%
(1991 - 1992) menjadi 9% (2000 - 2001), sementara belum ada data epidemiologi
di Indonesia.(10) (11)
Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa
prevalensi Gastoesophageal Reflux Disease (GERD) dapat diprediksi sebagai
hampir 3% dari keseluruhan pupolasi Indonesia, dengan meningkatnya angka
dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 di rumah sakit
Ciptomangunkusumo.(3)

Etiologi dan patogenesis

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat


terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). Terjadi kontak
dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus,
2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu
kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES).
pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrade yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran
balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada
atau sangat rendah (< 3 mmHg). Refluks gatroesofageal pada pasien GERD terjadi
melalui 3 mekanisme: 1). Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak
adekuat,Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan, Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan
delayed gastric emptgying.

FAKTOT-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GERD

1. KONDISI ESOFAGUS
A. FAKTOR MEKANIK

Mekanisme antirefluks Lower esophageal Sphincter (LES), Pada ujung bawah


esofagus, meluas ke atas sekitar 3 cm diatas perbatasan dengan lambung, otot sirkular
esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar atau disebut juga sfingter
gastroesofageal. Normalnya, sfingter ini tetap berkonstriksi secara tonik dengan tekanan
intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg, berbeda dengan bagian tengah
esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltic penelanan
melewati esofagus, terdapat “relaksasi reseptif” dari sfingter esofagus bagian bawah yang
mendahului gelombang peristaltic, yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan
ke dalam lambung. Sekresi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim
proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah esofagus, tidak
mampu berlama – lama menahan aksi pencernaan dari sekresi lambung. Untungnya,
konstriksi tonik sfingter gastroesofageal membantu mencegah refluks yang bermakna dari isi
lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal. Dan peningkatan tekanan
intraabdomen akan mendesak esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, sfingter gastroesofageal
ini membantu mencegah tekanan intraabdomen yang tinggi yang berasal dari desakan isi
lambung kembali ke esofagus.

Pemisah antirefluks juga berpengaruh dalam kejadian GERD. Pemeran terbesar


pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan
timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor –
faktor yang dapat menurunkan tonus LES antara lain : 1). Adanya hiatus hernia, 2).
Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). Obat – obatan seperti
antikolinergik, beta adrenergic, theofilin, opiate dan lain – lain, 4). Faktor hormonal.
Selama kehamilan, peningkatan kadar progesterone dapat menurunkan tonus LES.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversional.
Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan haitus hernia, namun
hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta
menurunkan tonus LES.(9)
B. Faktor Non - Mekanik

1. Bersihan asam dari lumen esofagus.


Faktor – faktor yang berperan dalam bersihan asam esofagus adalah: 1). Gravitasi,
2). Peristaltik, 3). Sekresi air liur dan, 4). Produksi bikarbonat esofagus. Setelah terjadinya
relfuks, sebagian bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik
yang dirangsan oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus. Mekanisme ini sangat sangat penting,
karena makin lama
opiate dan lain – lain, 4). Faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesterone dapat menurunkan tonus LES.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih


kontroversional. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan haitus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD
yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan
untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.(9)

B. Faktor Non - Mekanik

1. Bersihan asam dari lumen esofagus.


Faktor – faktor yang berperan dalam bersihan asam esofagus adalah: 1).
Gravitasi, 2). Peristaltik, 3). Sekresi air liur dan, 4). Produksi bikarbonat esofagus.
Setelah terjadinya relfuks, sebagian bahan refluksat akan kembali ke lambung
dengan dorongan peristaltik yang dirangsan oleh proses menelan. Sisanya akan
kontak dengan
dinetralisir bahan refluksat
oleh bikarbonat dengan oleh
yang disekresi esofagus (waktu
kelenjar transit
saliva esofagus)
dan kelenjar
makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD
ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga kelainan yang
timbul disebabkan karena peristaltic esofagus yang minimal. Refluks malam hari
(noctural reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena
selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.

2. Ketahanan Epitelial Esofagus


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mucus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan esofagus terdiri
dari:
 Membran sel
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esofagus.
 Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2.
 Sel – sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan
Bikarbonat ekstraselular.

Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri


dari: 1). HCL, 2).Pepsin, 3).Garam, 4).Empedu, 5). Enzim pangkreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2,
atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang
memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor – faktor lain yang
turut berperan dalam timbulnya GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dilatasi lambung atau
Gastric outlet dan Delayed gastic emptying.(9)

3. Infeksi Helicobacter pylori


Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil
dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap
GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap
sekresi asam lambung.(9)

Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai
konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan mengapa prevalensi
GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Hal
tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang dilakukan
oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik
antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Sebuah
penelitian menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi
H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi
terhadap refluks hiatus hernia.(13)
2.1.4.2 Faktor Lingkungan
A. Merokok
Orang yang merokok dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terhadap
kejadian GERD karena mengalami heartburn setiap minggunya, merokok juga
dapat meningkatkan asam lambung, dan juga salah satu bahan yang terkandung
dalam rokok seperti Nikotin dapat berkontribusi dalam kejadian GERD dengan
merelaksasikan sfingter esophagus bagian bawah (LES)(14)

B. Faktor Stress
Stress emosional dapat merangsang saraf parasipatis sehingga dapat
mempengaruhi terbentuknya bahan – bahan refluksat Gaster yaitu salah satunya
HCL dan Stress juga berpengaruh terhadap hipersentivitas dari esophagus
sehingga dapat mempengaruhi kondisi dari sfingter esophagus bagian bawah
(LES) hingga dapat menyebabkan regurgitasi bahan refluksat dari lambung ke
esofagus.(9)

2.1.4.3 Faktor Sosiodemografi


Usia dan juga Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya GERD, pada penelitian yang dilakukan oleh Suzanna
dkk, dijelaskan pada penelitian tersebut bahwa pasien yang berusia ≥ 40 tahun
memiliki resiko tinggi terjadinya GERD dan juga pasien – pasien dengan Jenis
kelamin Laki – laki lebih sering mengalami kejadian GERD dibandingan
dengan Perempuan.(15)
2.1.4.4 Faktor Individu
A. Faktor Genetik
Kejadian GERD dipengaruhi juga oleh faktor genetik, terdapat beberapa
penelitian menunjukan hubungan antara genetik dengan kejadian GERD dimana
didapatkan kejadian GERD yang terjadi dalam satu keluarga pada penelitian

tersebut dijelaskan terdapat kelainan kromosom 13q pada anak dengan penyakit
refluks gastroesofageal.(16)
B. Faktor Status Gizi

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh (IMT)
berkaitan dengan GERD. Obesitas adalah salah satu faktor penting dalam
terjadinya GERD, semakin tinggi nilai IMT seseorang dapat meningkatkan tekanan
intraabdomen yang dapat mempengruhi fungsi LES. Fungsi LES secara langsung
tergantung pada tekanan intrinsik (normal 10–24 mmHg), Secara tidak langsung,
fungsi LES dipengaruhi oleh gradien tekanan antara lingkungan intragastrik dan
intraesofageal sehingga peningkatan IMT dapat mempengaruhi
kejadian GERD.(17)
2.1.5 Klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Konsensus Montreal tahun 2006 mengelompokan GERD menjadi dua kelompok
(lihat gambar 1).

Gambar 1. Klasifikasi dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).(18)


Sindrom simtomatik adalah refluks esofageal tanpa adanya lesi struktural,
atau pemeriksaan lebih lanjut untuk menilai kerusakan struktural belum
dilakukan. Pasien dengan sindrom refluks tipikal memiliki dua keluhan klasik,
yaitu heartburn dan atau regurgitasi. Pasien dengan sindrom nyeri dada non
kardiak yang dominan tanpa adanya gejala refluks tipikal.
Sindrom dengan lesi esofagus terdiri atas esofagitis refluks, striktur,
esofagitis Barret, dan adenokarsinoma esofagus. Esofagitis ditemukan pada
kurang dari 50% pasien dengan refluks esofagus sementara striktur terjadi pada
<5% pasien. Esofagus Barret adalah keadaan ketika epitel skuamosa esofagus
digantikan oleh metaplasia kolumnar. Prevalensi Esofagus Barret 8 – 15%, namun
di Asia lebih rendah yaitu 0,9 – 2%. Esofagus Barret merupakan faktor resiko
utama adenokarsinoma esofagus. Risiko adenokarsinoma meningkat 20x lipat bila
ditemukan Esofagus Barret.
Refluks gastroesofageal dalam jangka lama dapat menyebabkan keluhan
ekstra-esofageal, baik yang telah dapat dijelaskan hubungan sebab-akibatnya,
maupun yang belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan asam lambung pada
esofagus, laring, dan mulut menyebabkan batuk, laryngitis, asma, dan erosi
dental. Baik melalui kontak langsung atau refleks neural.(18)

2.1.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan
gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri /
rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri
dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur
dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan
rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn
ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang - kadang
timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia
yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau
keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul
jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.(9)
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non – kardiak (non – cardiac
chest pain / NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai
timbulnya bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat
menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan
anatomis di daerah gastroesophageal high pressures zone akibat penggunaan
obat
– obatan yang menurunkan tonus LES
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan – lahan, sangat jarang terjadi
episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu,
umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik. (23)
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-
gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,
penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial.
Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum,
pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas
sehari- hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti
penyakit jantung kongestif dan artritis kronik.(19)
Karena pentingnya gejala klinis ini guna mendukung atau bahkan dapat
menegakkan diagnosa maka berikut ini akan dipaparkan beberapa gejala khas
dari Gastroesophageal reflux disease (GERD):
Heart burn adalah sensasi rasa nyeri esofagus yang sifatnya panas
membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum.
Penjalaran umumnya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium,
punggung belakang dan bahkan kelengan kiri yang menyerupai keluhan angina
pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa.
Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit
serta merasa cepat kenyang. Heartburn merupakan gejala khas dari Refluks
Gastroesofageal (RGE) yang paling sering dikeluhkan oleh penderita Bila simtom
heartburn dan regurgitasi yang paling dominan dikeluhkan penderita maka
diagnosa GERD memiliki sensitifitas yang tinggi yaitu 89-95%.(20)
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik
dan utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat,
kata ‘‘heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan
kata yang sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia,
termasuk bahasa Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam
susunan kata-kata tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan
regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata
tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu
mengeluhkan ”angin” yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai
akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah
didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau dyspepsia.(18)

2). Regurgitasi
Regurgitasi merupakan manifestasi klinis yang bermakna pada kejadian
Gastroesophageal reflux disease (GERD), regurgitasi menyebabkan pasien
merasakan sensasi asam atau pahit di dalam mulut. Refluks yang sangat kuat
dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung dari
esofagus atau lambung yang sampai kerongga mulut. Obstruksi dari esofagus
bagian distal dan keadan stasis seperti pada akalasia atau divertikulitis dapat
sebagai
Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan
gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan
inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan
aspirasi laryngeal, batuk yang terus menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari
tidur dan aspirasi pnemonia. Peningkatan tekanan intra abdominal yang timbul
karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi
terjadinya regurgitasi. Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala
berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak, mulut bau pada pagi
hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Selain itu pasien juga sering
merasa kembung, mual cepat kenyang, bersendawa, dan hipersalivasi.(21)(22)

2.1.7 Diagnosis
Pengambilan anamnesis secara seksama adalah metode utama untuk
menegakkan diagnosis GERD. Gejala spesifik GERD adalah heartburn dan atau
regurgitasi yang terjadi setelah makan. Namun, harus ditekankan bahwa sebagian
besar studi diagnostik gejala heartburn dan regurgitasi dilakukan pada populasi
Kaukasia. Di Asia, heartburn dan regurgitasi bukan ciri khas untuk GERD.
Namun, para ahli telah sepakat bahwa kedua gejala adalah karakteristik untuk
GERD.
Di rumah sakit rujukan tersier, sebelum melakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosis GERD, pemeriksaan lebih lanjut lainnya
(laboratorium, EKG, USG, rontgen dada dan penyelidikan lainnya sesuai dengan
indikasi) harus juga dilakukan untuk menyingkirkan penyakit dengan gejala mirip
dengan GERD. Para ahli Asia-Pasifik telah menyatakan dengan aklamasi bahwa
strategi regional GERD diagnostik harus mempertimbangkan kemungkinan
GERD ada dengan komorbiditas lain seperti kanker lambung dan ulkus peptikum.
Namun, mengenai tes H. pylori untuk mengecualikan infeksi pada pasien dengan
gejala GERD di daerah dengan prevalensi tinggi kanker lambung dan ulkus
peptikum, ada pendapat kontroversial dari para ahli. Namun demikian, tes ini
masih direkomendasikan dengan mempertimbangkan faktor risiko termasuk
komorbiditas, usia, profil histologis lambung, riwayat keluarga dan preferensi
pasien.(23)
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease yang dikeluarkan oleh American College of
Gastroenterology tahun 1995 dan direvisi pada tahun 2013, diagnosis GERD
dapat ditegakan berdasarkan:

1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi
untuk ekslusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau
aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya scleroderma)
American Gastroenterological Association (AGA) menerbitkan American
Gastroenterological Association Medical Position Statement on the Management
of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12 pernyataan, di mana pada
poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji diagnostik GERD pada
dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai berikut :(24)

1. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala


esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus
mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal
tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal (minimal 5
sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
2. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala
esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI
2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami
metaplasia, displasia, atau malignansi.
3. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala
GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari
dan gambaran endoskopinya normal.
4. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-
pH dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi
pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi
Pemeriksaan Endoskopi dan oesophageal pemantauan pH 24-jam pada
awalnya diusulkan sebagai gold standards untuk diagnosis GERD. Namun,
diperkirakan bahwa hingga sekitar 70% pasien dengan gejala khas GERD
memiliki mukosa oesophageal normal pada endoskopi bagian atas (non-erosive
reflux disease) atau penyakit refluks endoskopi-negatif.(25)
Pemantauan pH rawat jalan 24 jam yang dilakukan esofagus tidak cukup
sensitif untuk dijadikan sebagai kriteria diagnostik. Sebuah kelompok studi
GERD Cina menemukan bahwa hanya 63 dari 102 pasien GERD yang positif
endoskopi dan hanya 84 dari 115 pasien memiliki hasil tes pH positif. (36) Oleh
karena itu, sekitar 25% pasien tidak dapat didiagnosis dengan menggunakan
metode ini. Selanjutnya, pemeriksaan endoskopi dan juga tes pH mahal dan tidak
tersedia di rumah sakit atau klinik kecil. Oleh karena itu penilaian gejala yang
valid sangatlah penting.(37) Meskipun kombinasi skor gejala dan endoskopi telah
ditunjukkan untuk mendiagnosis GERD dengan spesifisitas tinggi, semakin
diterima bahwa manajemen GERD dalam perawatan primer sebaiknya ditangani
berdasarkan laporan pasien tentang gejala-gejalanya.(27)
Beberapa alat komunikasi digunakan untuk membantu dokter membuat
keputusan manajemen yang tepat. Pada tahun 2001, penelitan dari Shaw et al.
mengembangkan kuesioner singkat 12-item yang disebut Reflux Disease
Questionnaire (RDQ), yang dapat direproduksi dan dapat diandalkan untuk
diagnosis GERD. Meskipun spesifitasnya rendah (50%), RDQ memiliki
sensitivitas tinggi (94,12%), sifat psikometrik yang baik, responsif terhadap
perubahan dalam kesehatan, dan sangat cocok untuk digunakan di kedua
pengaturan perawatan primer dan studi epidemiologi.
Pada penelitian dari Jones dkk. Mengembangkan dan menguji GERD
Impact Scale (GIS), kuesioner singkat untuk membantu komunikasi pasien-
dokter. SIG adalah kuesioner 1 halaman yang menanyakan pasien GERD tentang
gejala mereka dan bagaimana hal ini mempengaruhi kehidupan sehari-hari
mereka.Ini telah divalidasi dalam penelitian yang melibatkan 205 pasien
perawatan primer dengan diagnosis GERD baru atau yang sudah ada. GIS
menunjukkan sifat psikometrik yang baik pada pasien GERD yang baru
didiagnosis dan mereka yang sudah menerima pengobatan. Alat komunikasi
sederhana ini adalah bantuan yang berguna untuk mengelola pasien perawatan
primer dengan GERD.(27)
Orang Indonesia memiliki banyak suku dan bahasa, sehingga sangat sulit
untuk menerjemahkan gejala GERD secara seragam karena variasi ekspresi.
Sehingga Instrumen pemantauan GERD saat ini tidak tepat karena mereka tidak
menilai gejala harian, tidak cukup responsif terhadap perubahan jangka pendek
dalam status kesehatan, atau belum divalidasi. Untuk mengatasi masalah ini,
persyaratan konseptual dan psikometrik untuk kuesioner penilaian gejala GERD
diidentifikasi digunakan untuk membuat Kuesioner GERD (GERD-Q).(28)

A. Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner GERD-Q


GERD-Q dibuat dari 3 kuesioner tervalidasi yang berbeda dievaluasi
dalam studi DIAMOND. The GERD-Q adalah sederhana alat komunikasi yang
dikembangkan untuk dokter untuk mengidentifikasi dan mengelola pasien dengan
GERD. Tujuan dari survei ini adalah untuk menguji apakah GERD-Q efektif
dalam mendiagnosis GERD, untuk memvalidasi GERD-Q yang ditulis dalam
Bahasa Indonesia, dan untuk mengevaluasi keandalannya ketika digunakan
dengan pasien GERD berbahasa Indonesia (Virginia study = divalidasi Survei
GERD-Q di Indonesia).(29)
GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan
mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita
serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir.
Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor > 8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut. Selain untuk menegakan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk
memantau respon terapi.
Analisis pada lebih dari 300 pasien di layanan perawatan kesehatan primer
menunjukkan bahwa GERD-Q dapat memberikan sensitivitas dan spesifisitas
65% dan 71%, yang mirip dengan hasil yang diperoleh oleh Gastroenterologists.
Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kapasitas untuk mengevaluasi dampak
relatif GERD pada kehidupan pasien dan untuk memberikan bantuan dalam
memilih terapi.(30)
Untuk setiap pertanyaan pada GERD-Q, responden harus mengisi sesuai
dengan frekuensi gejala yang mereka alami dalam seminggu terakhir. Skor 8 atau
lebih adalah titik cut-off yang direkomendasikan untuk mendeteksi individu
dengan kecenderungan tinggi untuk memiliki GERD dan kuesioner GERD-Q
telah divalidasi di Indonesia.(24)
B. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan
pemeriksaan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat

la GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada


kopi pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini
reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis
endoskopi yang dipastikandengan pemeriksaan histopatologi,
si bahwa gejala heartburn atau regurgutasi memang karena

kasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi


lain klasifikasi Los Angeles. Klasifikasi los Angeles. (9)

Dejarat kerusakan Gambaran Endoskopi


A Erosi kecil – kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5
mm.
B Erosi pada mukosa atau lipatan mukosa dengan diameter > 5
mm tanpa saling berhubungan.
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi
seluruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Sementara hingga saat ini, tidak ada gold standart untuk diagnosis NERD.
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles
Kriteria berikut digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan diagnosis NERD:
(31)

 Tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi


 Hasil positif pada tes pH esofagus
 Terapi empiris dua kali sehari dengan PPI memberi respon positif.
Endoskopi untuk GERD tidak selalu dilakukan pada kunjungan pertama
karena diagnosis GERD dapat dibuat berdasarkan gejala dan atau terapi empiris.
Peran endoskopi gastrointestinal atas dalam menegakkan diagnosis GERD adalah:
 Mengonfirmasi keberadaan dan ketiadaan kerusakan esofagus termasuk erosi,
ulserasi, striktur, esophagus Barret atau keganasan, selain untuk mengeluarkan
kelainan gastrointestinal atas lainnya.
 Mengevaluasi keparahan dari mocusal break menggunakan modifikasi
klasifikasi Los Angeles atau klasifikasi Savarry-Miller.
 Spesimen biopsi diambil ketika ada kecurigaan esophagus Barret atau
keganasan.

C. Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan sering
kali tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan
lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan
hiatus henia.(9)

D. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH padabagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. Ph dibawah 4 pada
jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.(9)

E. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada
pasien dengan gejala yang tidak khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan
pada esofagus.(9)

F. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala
nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.(9)

G. Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan Radioisotop (biasanya
technetium) dan bersifat noninvasif. Selanjutnya sebuah penghitung Gamma
eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut.
Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.(9)

2.1.8 Tatalaksana
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian mengingat
kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang maka penanganan pada
penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya
penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa,
terapi bedah, serta akhir – akhir ini dilakukan terapi endoskopik.

2.1.8.1. Penatalaksanaan Nonfarmakologi


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Hal – hal yang perlu
dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut :(9)
1. Meninggikan posisi kepala saat tidur, serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena dapat menurunkan tonus
LES sehingga secara langsung dapat mempengaruhi sel – sel epitel.
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian
ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
5. Menghindari makanan atau minuman seperti coklat, pepper mint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
6. Jika memungkinkan menghindari obat – obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,
antagonis beta adrenergic, progesterone.

2.1.8.2 Penatalaksanaan Farmakologi


Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan
step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat – obat yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau
golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam
yang lebih kuat dalam menekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step
down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau
antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down
ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan
dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval statement (1999) serta
konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati
bahwa terapi lini Pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.
Ada obat yang telah diketahui memiliki kapasitas untuk mengatasi gejala
GERD, yang termasuk antasid, prokinetik, antagonis reseptor-H 2, Proton Pump
Inhibitor (PPI) dan Baclofen. Dari semua obat yang disebutkan, PPI adalah obat
yang paling efektif dalam memberantas gejala dan memulihkan lesi esofagitis
pada GERD. PPI telah terbukti memberikan pemulihan lebih cepat pada lesi
esofagitis serta memberantas gejala GERD dibandingkan dengan antagonis
reseptor H2 dan prokinetik. Jika PPI tidak tersedia, H2RA dapat digunakan.

2.1.8 Komplikasi
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi
pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis,
Striktura esofagus dan esofagus Barret.(9)

Esofagitis
 Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari
50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara
lambung dan esofagus.(32)

Striktura Esofagus
 Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.
Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal
junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi
sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Sering kali keluhan
heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barrier refluks.
Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini
dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan
operasi.(32) (9)

Barrett’s Esophagus
 Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi
epitel kolumn ar metaplastik. Keadaan ini merupakan prekursor
Adenokarsinoma esofagus.(27) Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien
GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan
regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini
diduga karena sensitivitasepitel Barrett terhadap asam yang menurun. Pada
endoskopi kelainan ini dapat dikenal dengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas
ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras
sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus.
Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa. (9) tidak mampu
berlama – lama menahan aksi pencernaan dari sekresi lambung. Untungnya,
konstriksi tonik sfingter gastroesofageal membantu mencegah refluks yang
bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan
abnormal. Dan peningkatan tekanan intraabdomen akan mendesak
esofagus ke dalam pada titik ini. Jadi, sfingter gastroesofageal ini membantu
mencegah tekanan intraabdomen yang tinggi yang berasal dari desakan isi
lambung kembali ke esofagus.(12) Pemisah antirefluks juga berpengaruh
dalam kejadian GERD. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus
LES. Menurunnya tonus LES dapat

Anda mungkin juga menyukai