Anda di halaman 1dari 19

TATALAKSANA REFLUX ESOPHAGITIS

I. PENDAHULUAN
Refluks esofagitis adalah cedera mukosa esofagus yang terjadi akibat

aliran retrograde isi lambung ke esofagus.1 Esofagitis merupakan

komplikasi umum dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD).2

Data epidemiologi dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa satu dari

lima orang dewasa mengalami gejala refluks esofageal (heartburn) dan

atau regurgitasi sekali dalam seminggu, serta lebih dari 40% mengalami

gejala tersebut sekurangnya sekali dalam sebulan.3 Prevalensi esofagitis

di negara-negara barat menunjukkan berkisar antara 10-20%, sedangkan

di Asia prevalensinya berkisar antara 3-5% dengan pengecualian di

Jepang dan Taiwan yang berkisar antara 13-15%.4 Suatu studi prevalensi

terbaru di Jepang menunjukkan rerata prevalensi sebesar 11,5% dengan

GERD didefinisikan sebagai perasaan dada terbakar paling tidak dua

kali dalam seminggu.5

Indonesia sampai saat ini belum mempunyai data epidemiologi yang

lengkap mengenai kondisi ini. Laporan yang ada dari penelitian

Lelosutan SAR dkk di FKUI/RSCM-Jakarta menunjukkan bahwa dari

127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi SCBA, 22,8% subyek

di antaranya menderita esofagitis.6 Penelitian lain, dari Syam AF dkk,

1
juga dari RSCM/FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1718 pasien

yang menjalani pemeriksaan endoskopi SCBA atas indikasi dispepsia

selama 5 tahun (1997-2002) menunjukkan adanya peningkatan

prevalensi esofagitis, dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada

tahun 2002 (rata-rata 13,13% per tahun).7

Beberapa faktor risiko telah dievaluasi pada populasi Asia-Pasifik,

beberapa di antaranya termasuk usia lanjut, jenis kelamin pria, ras,

riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa

tubuh, dan merokok. Bukti terkuat untuk keterkaitan faktor risiko

tertentu pada populasi Asia-Pasifik ditemukan untuk peningkatan indeks

massa tubuh, lebih dari 25 studi klinis mendukung korelasi tersebut.8

Endoksopi merupakan alat diagnostik untuk melihat kelainan pada

mukosa saluran cerna. Tindakan endoskopi merupakan teknik

pemeriksaan yang relatif aman untuk pemeriksaan saluran cerna bagian

atas.9 Pemeriksaan endoskopi lebih awal sangat penting dilakukan

untuk mencegah penyulit yang mungkin terjadi akibat penyakit

saluran cerna atas.10

II. DEFINISI

2
Refluks esofagitis merupakan komplikasi dari GERD didefiniskan

sebagai cedera mukosa esofagus yang terjadi akibat aliran retrograde isi

lambung ke dalam esofagus.1 GERD juga didefinisikan sebagai suatu

gangguan di mana isi lambung mengalami refluks secara berulang ke

dalam esofagus, yang menyebabkan terjadinya gejala dan/atau

komplikasi yang mengganggu. 4

Istilah refluks esofagitis lebih disukai daripada esofagitis erosif hal

ini berdasarkan pertimbangan bahwa erosi esofagus dapat bervariasi

bergantung pada teknologi yang digunakan. Misalnya, pasien tanpa erosi

pada endoskopi mungkin terbukti mengalami erosi dengan

menggunakan teknik khusus seperti endoskopi pembesaran. Demikian

pula, pasien tanpa kelainan pada endoskopi mungkin memiliki kelainan

pada pemeriksaan histologis pada mikroskop elektron seperti saluran

antar sel yang melebar.11

III.ETIOPATOGENESIS

Mekanisme patofisiologis yang mendasari refluks esofagitis

berkaitan erat dengan etiologi dari GERD. Esophagitis dapat terjadi

sebagai akibat dari refluks kandungan lambung ke dalam esofagus

apabila:12

3
 Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan

refluksat dengan mukosa esofagus.

 Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus,

walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus

tidak cukup lama.

 Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung,

yang disebabkan oleh adanya modulasi persepsi neural esofageal

baik sentral maupun perifer.

Konsep GERD pada awalnya berkaitan dengan aktivitas cairan

lambung pada mukosa esofagus, selanjutnya dihubungkan dengan

kejadian hiatus hernia, dan lemahnya (atoni) spingter esofagus bagian

bawah.13 Konsep terakhir yang disepakati adalah refluks esofagitis tidak

disebabkan oleh hanya faktor, melainkan oleh berbagai faktor yang

saling berhubungan.14 Refluks esofagitis terjadi bila terdapat

ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensive dari sistem

pertahanan esofagus dan bahan refluksat asam.15 Yang termasuk faktor

defensive sistem pertahanan esofagus adalah  Sfingter esofagus bagian

bawah (SEB), mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus.

Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam

lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung

4
dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan

intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi

tekanan intraabdomen salah satunya obesitas.16

Gambar 1 : Karakteristik struktural SEB. (A) Pada orang sehat, kontraksi SEB dapat
menyebabkan peningkatan tekanan SEB yang dapat mencegah asam lambung dari refluks.
Namun, disfungsi SEB pada pasien dengan GERD dapat menyebabkan regurgitasi asam
lambung. (B) Refluks terjadi ketika tekanan istirahat SEB secara abnormal rendah, menghasilkan
tekanan lambung yang lebih tinggi daripada tekanan esofagus

IV. MANIFESTASI KLINIK

Heartburn dan regusgitasi adalah gejala GERD yang umum.9

Heartburn digambarkan sebagai "rasa terbakar dari perut yang dirasakan

naik ke dada hingga ke arah leher dan regurgitasi adalah rasa asam dan

pahit di lidah.17 Sedangkan gejala lain dapat berupa disfagia, dan

5
odinofagia. Pada esofagitis berat dapat terjadi hematemesis dan

melena.18

Pada refluks berulang dapat timbul beragam penyulit dan yang

tersering adalah striktur esofagus distal yang dapat menyebabkan

obtruksi yang progresif dimana awalnya akan menimbukan gejala

kesulitan menelan makanan padat kemudian cairan, yang bermanifestasi

sebagai disfagia. Penyulit lain refluks berulang adalah perdarahan atau

perforasi, suara serak, batuk serta pneumonia akibat aspirasi isi lambung

ke dalam paru, terutama sewaktu tidur. 19

V. DIAGNOSIS

Diagnosis GERD biasanya dibuat berdasarkan kombinasi gejala

yang ada, pengujian objektif dengan endoskopi, Pemantauan refluks

rawat jalan, dan respons terhadap terapi. Sebagian besar pasien datang

dengan gejala khas heartburn dan regurgitasi lambung dan tidak

memerlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.20

Endoksopi merupakan prosedur diagnostik yang perlu dilakukan

untuk melihat esofagitis.21 Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi

dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat

6
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala

gastro-esofageal refluks.22

Endoskopi dapat diindikasikan pada kelompok berisiko tinggi,

terutama kelebihan berat badan, di atas usia 50 tahun, refluks esofagus

kronis selama lebih dari lima tahun. Juga, diindikasikan pada pasien

dengan risiko tinggi komplikasi, termasuk Barrett esofagus, disfagia,

anemia, perdarahan, dan penurunan berat badan. Biopsi esofagus harus

dilakukan sebagai tambahan untuk pemeriksaan endoskopi.20

Tabel 1. Klasifikasi Esofagitis menurut Los Angeles :23

Derajat Gambaran Endoskopi


Kerusakan
Grade A Erosi pada satu atau lebih mukosa esofagus dengan
diameter < 5
mm, tidak meluas antara dua lipatan mukosa

Grade B Erosi pada satu atau lebih mukosa esofagus dengan


diameter > 5
mm tanpa saling berhubungan
Grade C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi
seluruh
Lumen
Grade D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen).
VI. TATALAKSANA

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari

nonmedikamentosa ,medikamentosa, endoksopi dan pembedahan.

7
Target penatalaksanaan adalah: a) Menyembuhkan lesi esofagus, b).

Menghilangkan gejala/keluhan, c). Mencegah kekambuhan, d).

Memperbaiki kualitas hidup, e). Mencegah timbulnya komplikasi.21

Penatalaksanaan non mendikamentosa

Perubahan gaya hidup merupakan bagian dalam tatalaksana refluks

esofagitis. Memodifikasi berat badan berlebih dan meninggikan kepala

pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan lain seperti menghentikan

merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan yang

merangsang asam lambung, makan tidak boleh terlalu kenyang dan

makan paling lambat 3 jam sebelum tidur.7 Studi kohort prospektif

menemukan bahwa 81% pasien obesitas yang mengikuti program

penurunan berat badan mengalami pengurangan gejala dan 65%

memiliki resolusi gejala yang lengkap.24 Studi retrospektif besar lainnya,

yang melibatkan lebih dari 15.000 pasien, menunjukkan terdapat

hubungan antara perbaikan gejala GERD dan penurunan indeks massa

tubuh (BMI).25

Penatalaksanaan medikamentosa

Proton pump Inhibitor (PPI) dianggap sebagai terapi pilihan untuk

menghilangkan gejala dan penyembuhan refluks esofagitis. PPI telah

8
terbukti memberikan tingkat penyembuhan yang lebih baik dengan

tingkat kekambuhan yang rendah.26 Suatu meta-analisis dilaporkan

bahwa esomeprazole memiliki tingkat kemungkinan penyembuhan pada

4 sampai 8 minggu.27

Pasien dengan refluks esofagitis yang menerima PPI dosis standar

menunjukkan 85 - 96% tingkat penyembuhan terlepas dari merek PPI

dan tingkat keparahan penyakit. Pasien dengan refluks esofagitis sedang

hingga berat (Los Angeles grade C dan D) kurang responsif terhadap

PPI dosis standar dibandingkan dengan pasien dengan esofagitis refluks

derajat ringan (Los Angeles grade A dan B). Suatu studi menunjukkan

tingkat kegagalan pada subjek yang menggunakan omeprazole 20 mg

atau esomeprazole 40 mg sekali sehari: masing-masing 9,6 dan 6,6%

untuk Los Angeles grade A, 28,7 dan 10,6% untuk grade B, 29,6 dan

12,8% untuk grade C , dan 36,2 dan 20% untuk grade D.28

9
Gambar 2. Tingkat kesembuhan pasien dengan refluks esofagitis berdasarkan klasifikasi LA
pada minggu ke 4 dan ke 8 yang mendapatkan terapi esomeprazole 40 mg dan omeprazole 20
mg sekali sehari28

Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari sebelum makan

selama 2 sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai

GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara berkelanjutan

dengan dosis ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis

ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu.9

Penatalaksanaan Endoskopi

Terapi endoskopi untuk GERD telah dikembangkan tetapi belum

menunjukkan adanya manfaat untuk jangka panjang. Terapi ini termasuk

radiofrequency augmentation ke sfingter esofagus bagian bawah, injeksi

silikon ke sfingter esofagus bagian bawah, dan Endoscopic Suturing

yaitu dengan menjahit sfingter esofagus bagian bawah. Tak satu pun dari

terapi ini menunjukkan perbaikan jangka panjang dalam pengendalian

10
pH esofagus atau kemampuan pasien untuk menghentikan terapi

antirefluks. Pendekatan alternatif terbaru Transoral Incisionless

Fundoplication (TIF), alat yang dirancang untuk mempertebal katup

gastroesofageal. Sayangnya data jangka panjang mengenai manfaat

terapi ini terbatas. Sebuah studi mengatakan bahwa pada 36 bulan masa

evaluasi, mayoritas pasien memerlukan terapi medis tambahan. 29

Gambar 3: Prosedur Tindakan Transoral Incisionless Fundoplication

Penatalaksanaan operasi

Penatalaksanaan operasi mencakup tindakan pembedahan antirefluks

(fundoplikasi Nissen, perbaikan hiatus hernia) dan pembedahan untuk

mengatasi komplikasi. Pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen)

dapat disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran terhadap terapi

11
pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD

refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan

dengan baik, efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi

medikamentosa, namun memiliki efek samping disfagia, kembung,

kesulitan bersendawa dan gangguan usus pasca pembedahan.30

Gamabr 4: Pendekatatan tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease31

VII. RINGKASAN

Erosif esofagitis merupakan bagian dari GERD. Perubahan gaya

hidup merpukaan salah satu pilihan terapi yang sangat penting dalam

12
memcegah terjadinya erosif esofagitis serta komplikasinya. Beberapa

pilihan terapi lainya seperti terapi endoskopi dan pembedahan sampai

saat ini masih terus dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

13
1. Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P. The Montreal definition and

classification of gastroesophageal reflux disease: a global evidence-

based consensus. Am J Gastroenterol 2006;101:1900-1920.

2. Ahmed Gado, Basel Ebeid, AidaAbde Mohsen, Anthony Axon.

Prevalen reflux esophagitis among patients undergoing endoscopy in

a secondary re hospital in Giza, Egypt. Alexandria Journal of

Medicine Volume 51, Issue 2,2015, Pages 89-94. ELSEVIER

3. Sontag SJ. The medical management of reflux esophagitis. Role of

antacids and acid inhibition. Gastroenterol Clin North Am

1990;19:683-712.

4. Fock KM, Talley N, Hunt R, et al. Report of the Asia-Pacific

consensus on the management of gastroesophageal reflux disease. J

Gastroenterol Hepatol 2004;19:357-67.

5. Fujiwara Y, Arakawa T. Epidemiology and clinical characteristics of

GERD in the Japanese population. J Gastroenterol 2009;44:518-34.

6. Lelosutan SA, Manan C, MS BMN. The Role of Gastric Acidity and

Lower Esophageal Sphincter Tone on Esophagitis among Dyspeptic

Patients. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology,

and Digestive Endoscopy 2001;2:6-11.

14
7. Syam AF, Abdullah M, Rani AA. Prevalence of reflux esophagitis,

Barret’s esophagus and esophageal cancer in Indonesian people

evaluation by endoscopy. Canc Res Treat 2003;5:83.

8. Rosaida MS, Goh KL. Gastro-oesophageal reflux disease, reflux

oesophagitis and non-erosive reflux disease in a multiracial Asian

population: a prospective, endoscopy based study. Eur J

Gastroenterol Hepatol 2004;16:495-501.

9. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi

Konsensus Nas Penalatalaksanaan Penyakit Refluks

Gastroesofageal (Gastroesophageal re disease/GERD) di Indonesia.

Jakarta : Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2013

10. Agustian, Hendra. Makmun, Dadang. Soejono, H Czeresna.

Gambaran Endo Saluran Cerna Bagian Atas pada Pasien Dispepsia

Usia Lanjut di Rumah Cipto Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam

Indonesia. Vol., Nomor 2, 2015

11. Caviglia R, Ribolsi M, Maggiano N, et al. Dilated intercellular

spaces of esophageal epithelium in nonerosive reflux disease patients

15
with physiological esophageal acid exposure. Am J Gastroenterol

2005;100:543–8.

12. Quigley EM. New developments in the pathophysiology of gastro-

oesophageal reflux disease (GERD): implications for patient

management. Aliment Pharmacol Ther 2003;17 Suppl 2:43-51.

13. Hogan WJ, Dodds WJ. Gastroesophageal reflux disease (reflux

esophagitis). Dalam: Wickland E, penyunting. Gastrointestinal

disease. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders;1989. h. 594-616.

14. Hamilton SR. Reflux esophagitis and barrett esofagus. Dalam:

Goldman H, Appelman HD, Kaufman N, penyunting.

Gastrointestinal pathology. Baltimore: Williams & Wilkins;1990. h.

11-29.

15. American Society for Gastrointestinal Endoscopy. Guideline :

The Role of Endoscopy in The Management of GERD. Volume 81

| Nomor 6, 2015

16. Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem,

Edisi 8. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta

17. Hatfield CW, Wo JM. Evaluation and management of patients with

nonerosive reflux disease and esophageal chest pain. Hospital

Physician. 2007:34-42

16
18. Shao-hua CHEN, Jie-wei WANG, You-ming LI. Is alcohol

consumption associated with gastroesophageal reflux disease?

Department of Gastroenterology the First Affiliated Hospital, School

of Medicine, Zhejiang University, Hangzhou 310003, China. 2010

11(6):423-428

19. Ganong, William F. McPhee, Stephen J. Patofisiologi Penyakit,

Pengantar Menuju Kedokteran Klinis. Edisi 5. EGC : Jakarta

20. Azer, Samy A., and Anil Kumar Reddy Reddivari. "Reflux

esophagitis." (2020).

21. Setiati, siti , dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi

VI. Jakarta: EGC

22. American Society for Gastrointestinal Endoscopy. Guideline : The

Role of Endoscopy in The Management of GERD. Volume 81 |

Nomor 6, 2015

23. S . Antosh S. 2012. Los Angeles Classification of Esophagitis using

Image Processing Techniques. Vol. 42, No.18. Department of

Electronics and Communications Engg.Gogte Institute of

Technology, Belgaum, Karnataka, INDIA.

17
24. Singh M, Lee J, Gupta N, et al. Weight loss can lead to resolution of

gastroesophageal refl ux disease symptoms: a prospective

intervention trial. Obesity (Silver Spring) 2013; 21(2):284–290.

doi:10.1002/oby.20279

25. Park SK, Lee T, Yang HJ, et al. Weight loss and waist reduction is

associated with improvement in gastroesophageal disease refl ux

symptoms: a longitudinal study of 15,295 subjects undergoing health

checkups. Neurogastroenterol Motil 2017; 29(5).

doi:10.1111/nmo.13009

26. Carlsson R, Galmiche JP, Dent J, Lundell L, Frison L. Prognostic

factors influencing relapse of oesophagitis during maintenance

therapy with antisecretory drugs: a meta-analysis of long-term

omeprazole trials. Aliment Pharmacol Ther 1997; 11(3):473–482.

doi:10.1046/j.1365-2036.1997.00167.

27. Gralnek IM, Dulai GS, Fennerty MB, Spiegel BM. Esomeprazole

versus other proton pump inhibitors in erosive esophagitis: a meta-

analysis of randomized clinical trials. Clin Gastroenterol Hepatol

2006; 4(12):1452–1458. doi:10.1016/j.cgh.2006.09.013

28. Richter, Joel E., et al. "Efficacy and safety of esomeprazole

compared with omeprazole in GERD patients with erosive

18
esophagitis: a randomized controlled trial." The American journal of

gastroenterology 96.3 (2001): 656-665.

29. Witteman BP , Strijkers R , de Vries E et al. Transoral incisionless

fundoplication for treatment of gastroesophageal refl ux disease in

clinical practice . Surg Endosc 2012 ; 26 : 3307 – 15 .

30. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American

Gastroenterological Association Medical Position Statement on the

management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology

2008;135:1383-91, 91 e1-5.

31. MOC, CME. "GERD: a practical approach." Cleveland Clinic

Journal of Medicine 87.4 (2020): 223.

19

Anda mungkin juga menyukai