Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH GERD

(Gastroesophageal Reflux Disease)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Dosen Pengampu : Ns. Li, M.Kep

Disusun Oleh:

Zahran Nurfadhilah Solihudin

Muhammad Sidki

Silvia Fransiska

2C S1 Keperawatan

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

STIKES HORIZON KARAWANG

JL. PANGKAL PERJUANGAN KM 1 BYPASS KARAWANG 41316

Tahun 2021/2022
A. Definisi

Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan kelainan saluran cerna bagian


atas yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus patologik yang frekuensinya cukup tinggi
di negara maju. Di Indonesia penyakit ini sering tidak terdiagnosis oleh dokter bila belum
menimbulkan keluhan yang berat, seperti refluks esofagitis.

Refluks gastroesofagus adalah peristiwa masuknya isi lambung ke dalam esofagus


yang terjadi secara intermiten pada setiap orang, terutama setelah makan. Refluks yang
terjadi tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologik mukosa esofagus, disebut refluks
gastroesofagus fisiologik. Bila refluks terjadi berulang-ulang, sehingga timbul gejala dan
komplikasi, disebut refluks gastroesofagus patologik atau penyakit refluks gastroesofagus,
suatu istilah yang meliputi refluks esofagitis dan refluks simtomatis. Pada refluks esofagitis
terjadi perubahan histologik, sedangkan refluks simtomatis menimbulkan gejala tanpa
perubahan histologik dinding esofagus. Manifestasi klinis penyakit refluks gastroesofagus
sangat bervariasi dan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan
fungsional lain dari traktus gastrointestinal. Penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofagus
tergantung dari berat ringannya penyakit dan terdiri dari beberapa tahap / fase.

B. Etiologi

Penyakit refluks gastroesofagus disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang
dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi
refluks gastroesofagus antara lain coklat, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok,
kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang
terlambat dapat menyebabkan hipotensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan
refluks gastroesofagus. hernia hiatal akan melemahkan katup bawah esofagus dan
meningkatkan risiko refluks gastroesofagus.

Hernia hiatal terjadi ketika bagian atas lambung bergerak ke dalam rongga dada
melalui lubang kecil yang ada di diafragma (hiatus diafragma). Diafragma adalah otot yang
memisahkan rongga perut dengan rongga dada. Banyak orang dengan hernia hiatal tidak
memiliki masalah GERD. Namun, adanya hernia hiatal akan berisiko lebih besar untuk
mengalami pengembalian isi lambung lebih mudah ke esofagus.
Batuk, muntah, tegang, atau tiba-tiba beraktivitas berat dapat menyebabkan peningkatan
tekanan dalam perut mengakibatkan hernia hiatus. Obesitas dan kehamilan juga berkontribusi
terhadap kondisi ini. Banyak orang sehat usia 50 tahunan lebih memiliki hernia hiatus kecil.
Meskipun dianggap sebagai kondisi usia pertengahan, hernia hiatus mempengaruhi orang-
orang dari segala usia. Hernia hiatus biasanya tidak memerlukan pengobatan. Namun,
pengobatan mungkin diperlukan jika hernia adalah dalam bahaya menjadi strangulasi
(terpelintir sehingga memotong suplai darah, disebut hernia paraesophageal) atau dipersulit
oleh GERD parah atau esofagitis (radang kerongkongan). Dokter mungkin melakukan
operasi untuk mengurangi ukuran hernia atau untuk mencegah terjadinya strangulasi.

C. Patofisiologi

Pato-siologi GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan
defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor
defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel
esofagus. LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus
dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga
terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan
menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus.

Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat
penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. Mekanisme
bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya dari bahan
refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan
bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga
bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan
refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain itu, refluks
malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar.

Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring. Mekanisme ketahanan
epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction yang membatasi difusi ion H+
ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan
bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 , sel esofagus mempunyai kemampuan
mentransport ion H+ dan Cl intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

D. Gejala

Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan hearburn. Regurgitasi merupakan
suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di lidah.
Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai nyeri dan
pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas di ulu hati
yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat setelah makan
atau saat berbaringGejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan
fungsional lain dari traktus gastrointestinal, antara lain:

Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi,
disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s
esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi berat
atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis
merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD.

E. Diagnosis
Diagnosis PRGE ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan khusus, seperti:

1. Pemeriksaan Radiologi

Roentgen esofagus dengan kontras Barium (esofagogram) atau fluoroskopi dan


pemeriksaan serial traktus gastrointestinal bertujuan untuk menyingkirkan penyakit
penyakit seperti striktur esofagus, akalasia, dll. Bila tidak ada kelainan, bukan berarti tidak
ada PRGE.
2. Pemeriksaan Manometri

Direkomendasikan untuk evaluasi preoperasi untuk eksklusi kelainan motilitas


yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik yang berhubungan dengan suatu kelainan,
misalnya skleroderma.

3. Pemeriksaan Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi dapat menilai kelainan mukosa esofagus dan melakukan


biopsi esofagus untuk mendeteksi adanya esofagus Barret atau suatu keganasan.

4. Tes Provokatif

Tes perfusi asam dari Bernstein merupakan tes sederhana dan akurat untuk menilai
kepekaan mukosa esofagus terhadap asam.

5. Pengukuran pH dan tekanan esofagus

Pengukuran ini menggunakan alat yang dapat mencatat pH intra-esofagus post


prandial selama 24 jam dan tekanan manometrik esofagus. Bila pH < 4 dianggap ada
PRGE.

6. Tes Skintigrafi gastroesofagus.

Bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan radioisotop


dan bersifat non invasif.

Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di pusat


pelayanan kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak
membutuhkan alat penunjang diagnostik. Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala
klasik dari hasil anamnesis dan pengisian kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI
(Proton Pump Inhibitor). Selain itu, gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan
Gastroesophageal Reflux Disease – Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q merupakan
sebuah kuesioner yang terdiri dari 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh
GERD pada kualitas hidup penderita serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala
dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut
memiliki kecenderungan yang tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih
lanjut .Selain untuk menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk
memantau respons terapi.
F. Komplikasi

Komplikasi PRGE antara lain:

1. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.

2. Esofagitis ulseratif

3. Perdarahan

4. Striktur esofagus

5. Aspirasi

G. Penatalaksanaan

Pengobatan penderita PRGE terdiri dari:

a. Tahap I

Bertujuan untuk mengurangi refluks, menetralisasi bahan refluks, memperbaiki


barrier anti refluks dan mempercepat proses pembersihan esofagus dengan cara :

1. Posisi kepala atau ranjang ditinggikan (6-8 inci)


2. Diet dengan menghindari makanan tertentu seperti makanan berlemak, berbumbu,
asam, coklat, alkohol, dll.

3. Menurunkan berat badan bagi penderita yang gemuk

4. Jangan makan terlalu kenyang

5. Jangan segera tidur setelah makan dan menghindari makan malam terlambat

6. Jangan merokok dan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan SEB seperti
kafein, aspirin, teofilin, dll.

b. Tahap II
Menggunakan obat-obatan, seperti :

1. Obat prokinetik yang bersifat mempercepat peristaltik dan meninggikan tekanan SEB,
misalnya Metoklopramid : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur dan
Betanekol : 0,1 mg/kgBB 2x sehari sebelum makan dan sebelum tidur.

2. Obat anti-sekretorik untuk mengurangi keasaman lambung dan menurunkan jumlah


sekresi asam lambung, umumnya menggunakan antagonis reseptor H2 seperti Ranitidin :
2 mg/kgBB 2x/hari, Famotidin : 20 mg 2x/hari atau 40 mg sebelum tidur (dewasa), dan
jenis penghambat pompa ion hidrogen sepertiOmeprazole: 20 mg 1-2x/hari untuk dewasa
dan 0,7 mg/kgBB/hari untuk anak.

3. Obat pelindung mukosa seperti Sukralfat: 0,5-1 g/dosis 2x sehari, diberikansebagai


campuran dalam 5-15 ml air.

4. Antasida

Dosis 0,5-1 mg/kgBB 1-2 jam setelah makan atau sebelum tidur, untuk menurun-kan
refluks asam lambung ke esofagus.

c. Tahap III

Pembedahan anti refluks pada kasus-kasus tertentu dengan indikasi antara lain
mal-nutrisi berat, PRGE persisten, dll. Operasi yang tersering dilakukan yaitu fundo-
plikasi Nissen, Hill dan Belsey.

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan


mukosa, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for
the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan
revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan:

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification


2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory

GERD Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan
primer berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of
Gastroesophageal Reflux Disease adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup
dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya hidup, merupakan pengaturan
pola hidup yang dapat dilakukan dengan:

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan
sesuai dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat
posisi berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat,
minuman mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam -
pedas

Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI


merupakan salah satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa
dengan terapi pembedahan. Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling
efektif mengatasi gejala serta menyembuhkan lesi esofagitis Yang termasuk obat-obat
golongan PPI adalah omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg,
esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20 mg. PPI dosis tunggal umumnya diberikan
pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan dosis ganda diberikan pagi hari
sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam. Menurut Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013,
terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang mendapat skor GERD-Q > 8
dan tanpa tanda alarm.

Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD menurut Guidelines for the
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease dan Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia adalah dosis
tunggal selama 8 minggu. Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial selama
8 minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan
dengan dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan,
terapi inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenance.

Terapi maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk


penderita yang memiliki gejala sisa GERD. Selain PPI, obat lain dalam pengobatan
GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis dopamin dan
antagonis reseptor serotonin). Antagonis reseptor H2 dan antasida digunakan untuk
mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance dikombinasi
dengan PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1 x 800
mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan nizatidin (2
x 150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses
pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke
esofagus. Obat golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan
metoklopramid (3 x 10 mg).
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.co.id/search?q=komplikasi+gastroesophageal+reflux+disease&source

https://www.google.co.id/search?
q=GAMBAR+ESOFAGUS&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=P9Lr

Http://www.library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf

http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_252CME-Diagnosis%20dan%20Tatalaksana
%20GERD%20di%20Pusat%20Pelayanan%20Kesehatan%20Primer.pdf

Anda mungkin juga menyukai