Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks


Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala dan/atau komplikasi
yang mengganggu.1 GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran napas.5

Berdasarkan lokalisasi gejalanya, GERD dibagi menjadi dua, yaitu sindrom esofageal dan
esktraesofageal. Sindrom esofageal merupakan refluks esofageal yang disertai dengan atau
tanpa adanya lesi struktural. Gejala klinis sindrom esofageal tanpa lesi struktural berupa
heartburn dan regurgitasi, serta nyeri dada non-kardiak. Sedangkan pada sindrom esofageal
disertai lesi struktural, berupa refluks esofagitis, striktur refluks, Barret’s esophagus,
adenokarsinoma esofagus. Sindrom ekstraesofageal biasanya terjadi akibat refluks
gastroesofageal jangka panjang.4-5,9-10

1. Epidemiologi
Penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan
penyakit gastrointestinal yang paling umum terjadi walau data epidemiologi di Indonesia
tidak tercatat secara jelas.

Global
Penyakit refluks gastroesofageal merupakan penyakit gastrointestinal yang paling umum.
Sekitar 9 juta kunjungan poli rawat jalan/outpatient department per tahun terkait dengan
GERD. Sekitar 5 dari 1000 orang per tahun di Amerika Serikat dan Inggris terkena
GERD. Prevalensi GERD diperkirakan sektiar 18.1%-27.8% di Amerika Utara, 8.8%-
25.9% di Eropa, 2.5%-7.8% di Asia Timur, 11.6% di Australia, dan 23% di Amerika
Selatan. Prevalensi GERD di Asia jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara di
Eropa dan Amerika, akan tetapi angka ini juga terus meningkat dari tahun ke tahun sejak
1995 (p<0.0001), terutama di Asia Timur.12,13 

1
Indonesia
Epidemiologi GERD di Indonesia tidak tercatat dengan jelas. Data dari Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 30 dari 127 pasien (22.8%) yang
menjalani endoskopi gastrointestinal atas dengan indikasi dispepsia mengalami esofagitis.
Angka kejadian esofagitis juga meningkat dari 5.7% menjadi 25,18% dari tahun 1997-
2002 dengan rata-rata kasus per tahun 13.13%.14,15

Mortalitas
Angka kematian akibat penyakit refluks gastroesofageal cukup rendah sekitar
0.46/100.000 jiwa pada tahun 2000. Kematian terkait GERD ini umumnya disebabkan
karena komplikasi dan tindakan yang dilakukan. Sebanyak 1.9/1000 tindakan operasi
GERD menyebabkan kematian, sekitar 11% kematian terjadi karena komplikasi awal
operasi antirefluks dan 4% karena komplikasi lambat. Sebanyak 82.47% mortalitas
tercatat karena esofagitis hemoragiik, 41.23% pneumonia aspirasi, 25.14% ulkus
perforasi, 15.9% ruptur esofagitis, dan 13.7% terkait striktur.16,17

2. Patogenesis dan Faktor Risiko


Patofisiologi
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari
sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif
sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel
esofagus.1,4-8

LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan
lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga
terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu
dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung ke esofagus. Terganggunya
fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat penggunaan obat-
obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural.

Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus membersihkan dirinya


dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi, gaya peristaltik esofagus,
bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada GERD, mekanisme bersihan esofagus
2
terganggu sehingga bahan refluksat lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama
kontak antara bahan refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin
tinggi. Selain itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar.
Hal ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.

Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel, intercellular junction
yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus, aliran darah esofagus yang
menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel
esofagus mempunyai kemampuan mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+
dan bikarbonat ekstraseluler.1,4-8

Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang
terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan
yang mempengaruhi tekanan intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu
ketat.1,4-8

Gambar 1. Etiopatogenesis GERD5


Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah:
1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel
blocker.
2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita hamil,
menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron. Sedangkan pada
wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat terapi hormon estrogen.

3
4. Struktural, umumnya berkaitan denganhiatus hernia. Selain hiatus hernia, panjang LES
yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya GERD
juga semakin tinggi.1,3-7

3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala khas GERD adalah regurgitasi dan heartburn. Regurgitasi merupakan
suatu keadaan refluks yang terjadi sesaat setelah makan, ditandai rasa asam dan pahit di
lidah. Heartburn adalah suatu rasa terbakar di daerah epigastrium yang dapat disertai
nyeri dan pedih. Dalam bahasa awam, heartburn sering dikenal dengan istilah rasa panas
di ulu hati yang terasa hingga ke daerah dada. Kedua gejala ini umumnya dirasakan saat
setelah makan atau saat berbaring.

Gejala lain GERD adalah kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, hipersalivasi,
disfagia hingga odinofagia. Disfagia umumnya akibat striktur atau keganasan Barrett’s
esophagus. Sedangkan odinofagia atau rasa sakit saat menelan umumnya akibat ulserasi
berat atau pada kasus infeksi. Nyeri dada non-kardiak, batuk kronik, asma, dan laringitis
merupakan gejala ekstraesofageal penderita GERD.1,3-9

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang juga merupakan komponene pemeriksaan GERD yang penting.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk konfirmasi kecurigaan terhadap GERD.
Beberapa jenis pemeriksaan cukup invasif, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan
tanpa adanya indikasi khusus. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya sebagai
berikut:

Uji Inhibitor Pompa Proton / Proton Pump Inhibitor (PPI) Trial


Uji PPI merupakan salah satu metode diagnostik yang paling mudah dilakukan dan tidak
invasif. Uji PPI umumnya dilakukan pada pasien-pasien GERD tanpa tanda bahaya atau
risiko esofagus Barret. Uji PPI ini dilakukan dengan pemberian PPI selama 2 minggu
tanpa dilakukan endoskopi terlebih dahulu. Bila didapatkan perbaikan klinis dengan
pemberian PPI dan gejala kembali setelah terapi dihentikan, maka diagnosis GERD dapat
ditegakkan. Uji PPI ini merupakan salah satu metode diagnostik yang dianjurkan pada
konsensus nasional di Indonesia tahun 2014, akan tetapi studi terbaru di Inggris
4
menunjukkan bahwa uji PPI memiliki sensitifitas 71% dan spesifisitas hanya 44%. Hal ini
membuat penegakan diagnosis GERD berdasarkan uji PPI saja harus dipertanyakan
karena berisiko untuk penyalahgunaan/overuse PPI dan overdiagnosis GERD.

Pemantauan pH (pH-Metri)
Pemantauan/monitoring pH adalah salah satu metode diagnostik GERD yang paling baik
dan cukup sederhana. Pemeriksaan ini merupakan salah satu pemeriksaan yang
disarankan dalam konsensus nasional di Indonesia, terutama pada pasien dengan memiliki
gejala ekstraesofageal sebelum terapi PPI atau pasien yang gagal terapi PPI. Pengukuran
pH dapat dilakukan dalam 24 jam atau 48 jam (bila tersedia) dengan atau tanpa terapi
supresi asam lambung. Konsensus Lyon tahun 2018 merekomendasikan untuk melakukan
pH metri tanpa terapi PPI terutama pada pasien-pasien yang belum pernah didiagnosis
GERD sebelumnya. Apabila pasien sudah pernah terbukti GERD atau memiliki
komplikasi dari GERD, pH-metri dilakukan dengan dosis PPI 2x lebih banyak. Pasien-
pasien dengan GERD akan menunjukkan perbaikan pH bila diberikan terapi PPI.

Endoskopi dan Histopatologi


Endoskopi saluran gastrointestinal atas dan pemeriksaan histopatologi merupakan
pemeriksaan baku emas untuk GERD dengan komplikasi. Histopatologi juga dapat
menunjukkan metaplasia, displasia, atau malignansi. Pemeriksaan dengan endoskopi
merupakan prosedur yang invasif, sehingga pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan
bila tidak terdapat indikasi. Pemeriksaan ini sebaiknya hanya dilakukan pada pasien-
pasien yang memiliki gejala bahaya/alarm symptoms.

Tes Barium
Pemeriksaan dengan barium saat ini sudah tidak rutin dilakukan karena tidak sensitif
untuk diagnosis GERD. Namun demikian, pemeriksaan ini lebih unggul bila dicurigai
adanya stenosis esofagus, hernia hiatus, striktur, dan disfagia. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan untuk evaluasi disfagia pasca operasi antirefluks bersamaan dengan endoskopi.

Pemeriksaan Lain
Banyak modalitas diagnostik lain yang dapat dilakukan, di antaranya manometri esofagus
dan tes bilitec. Pemeriksaan ini lebih ditujukan untuk evaluasi komplikasi GERD, bukan

5
untuk diagnosis GERD secara rutin. Jika terdapat kecurigaan infeksi Helicobacter pylori,
dapat dilakukan urea breath test atau biopsi menggunakan endoskopi.14,18,19

5. Diagnosis
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux
Disease yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology tahun 1995 dan
revisi tahun 2013, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan: 9-10

1. Empirical Therapy
2. Use of Endoscopy
3. Ambulatory Reflux Monitoring
4. Esophageal Manometry (lebih direkomendasikan untuk evaluasi pre- operasi
untuk eksklusi kelainan motilitas yang jarang seperti achalasia atau aperistaltik
yang berhubungan dengan suatu kelainan, misalnya skleroderma)

Terapi empirik merupakan upaya diagnostik yang dapat diterapkan di pusat pelayanan
kesehatan primer karena upaya diagnostiknya sederhana dan tidak membutuhkan alat
penunjang diagnostik.

Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan gejala klasik dari hasil anamnesis dan pengisian
kuesioner, serta berdasarkan hasil uji terapi PPI (Proton Pump Inhibitor). Selain itu,
gejala klasik GERD juga dapat dinilai dengan Gastroesophageal Reflux Disease –
Questionnairre (GERD-Q). GERD-Q merupakan sebuah kuesioner yang terdiri dari 6
pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh GERD pada kualitas hidup penderita
serta efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala dalam 7 hari terakhir. Berdasarkan
penilaian GERD-Q, jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki kecenderungan yang
tinggi menderita GERD, sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut (Tabel 1). Selain untuk
menegakkan diagnosis, GERD-Q juga dapat digunakan untuk memantau respons
terapi.1,11

Upaya diagnostik berdasarkan gejala klasik GERD ini juga didukung oleh Konsensus
Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia (Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia, 2013). Dalam konsensus ini disebutkan bahwa penderita
terduga GERD adalah penderita dengan gejala klasik GERD yaitu heartburn, regurgitasi,
6
atau keduanya yang terjadi sesaat setelah makan (terutama makan makanan berlemak dan
porsi besar). 1,9-11

Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis GERD adalah uji terapi PPI. Uji terapi PPI
merupakan suatu terapi empirik dengan memberikan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu
tanpa pemeriksaan endoskopi sebelumnya. Indikasi uji terapi PPI adalah penderita dengan
gejala klasik GERD tanpa tanda-tanda alarm. Tanda-tanda alarm meliputi usia >55 tahun,
disfagia, odinofasia, anemia defisiensi besi, BB turun, dan adanya perdarahan (melena/
hematemesis).12 Apabila gejala membaik selama penggunaan dan memburuk kembali
setelah pengobatan dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan.1,9-11

BAB II
TATALAKSANA

Tujuan pengobatan GERD adalah untuk mengatasi gejala, memperbaiki kerusakan mukosa,
mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi. Berdasarkan Guidelines for the

7
Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease tahun 1995 dan revisi tahun
2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan: 9-10

1. Treatment Guideline I: Lifestyle Modification


2. Treatment Guideline II: Patient Directed Therapy
3. Treatment Guideline III: Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV: Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V: Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI: Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII: Refractory GERD

Secara garis besar, prinsip terapi GERD di pusat pelayanan kesehatan primer berdasarkan
Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease adalah
dengan melakukan modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa GERD. Modifikasi gaya
hidup, merupakan pengaturan pola hidup yang dapat dilakukan dengan: 1,9-11

1. Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan sesuai
dengan IMT ideal
2. Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi
berbaring
3. Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur
4. Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak - asam - pedas

Terapi medikamentosa merupakan terapi menggunakan obat-obatan. PPI merupakan salah


satu obat untuk terapi GERD yang memiliki keefektifan serupa dengan terapi pembedahan.
Jika dibandingkan dengan obat lain, PPI terbukti paling efektif mengatasi gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis1,8-11 Yang termasuk obat-obat golongan PPI adalah omeprazole
20 mg, pantoprazole 40 mg, lansoprazole 30 mg, esomeprazole 40 mg, dan rabeprazole 20
mg. PPI dosis tunggal umumnya diberikan pada pagi hari sebelum makan pagi. Sedangkan
dosis ganda diberikan pagi hari sebelum makan pagi dan malam hari sebelum makan malam.

Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di


Indonesia tahun 2013, terapi GERD dilakukan pada pasien terduga GERD yang mendapat
8
skor GERD-Q > 8 dan tanpa tanda alarm. Penggunaan PPI sebagai terapi inisial GERD
menurut Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease
dan Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia
adalah dosis tunggal selama 8 minggu. Apabila gejala tidak membaik setelah terapi inisial
selama 8 minggu atau gejala terasa mengganggu di malam hari, terapi dapat dilanjutkan
dengan dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Bila penderita mengalami kekambuhan, terapi
inisial dapat dimulai kembali dan dilanjutkan dengan terapi maintenance. Terapi
maintenance merupakan terapi dosis tunggal selama 5 – 14 hari untuk penderita yang
memiliki gejala sisa GERD.

Selain PPI, obat lain dalam pengobatan GERD adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan
prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin). Antagonis reseptor H2 dan
antasida digunakan untuk mengatasi gejala refluks yang ringan dan untuk terapi maintenance
dikombinasi dengan PPI. Yang termasuk ke dalam antagonis reseptor H2 adalah simetidin (1
x 800 mg atau 2 x 400 mg), ranitidin (2 x 150 mg), farmotidin (2 x 20 mg), dan nizatidin (2 x
150 mg). Prokinetik merupakan golongan obat yang berfungsi mempercepat proses
pengosongan perut, sehingga mengurangi kesempatan asam lambung untuk naik ke esofagus.
Obat golongan prokinetik termasuk domperidon (3 x 10 mg) dan metoklopramid (3 x 10 mg).

BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA

9
Prognosis penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease / GERD) cukup
baik asalkan pasien mau memodifikasi gaya hidup dan menjalani pengobatan dengan patuh.
GERD yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi, di antaranya berupa Barrett
esofagus dan kanker esofagus.

Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal dibagi
menjadi komplikasi esofageal, ekstraesofageal, dan komplikasi akibat tindakan operasi yang
dilakukan.

Komplikasi Esofageal
Komplikasi esofageal yang dapat terjadi akibat GERD adalah:
 Barrett esofagus
 Esofagitis erosif
 Striktur esofagus
 Kanker esofagus

Komplikasi Ekstraesofageal
GERD juga dapat menyebakan komplikasi ekstraesofageal berupa:
 Aspirasi asam lambung
 Asthma
 Laringitis posterior
 Batuk kronis
 Erosi enamel gigi
 Sinusitis kronis
 Kanker laring
 Pneumonitis
 Faringitis kronis
 Stenosis laring dan trakea

Komplikasi Operasi
Operasi yang dilakukan pada pasien GERD juga dapat menyebabkan komplikasi sebagai
berikut:
 Fundoplikasi
10
 Disfagia
 Dilatasi esofagus

Komplikasi GERD cukup sering terjadi, terutama pada GERD kronis atau refrakter.
Komplikasi dapat terjadi secara ringan hingga berat.16,19 

Prognosis
Prognosis pada pasien dengan GERD cukup baik. Sebagain besar kasus GERD dapat
ditangani dengan modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis. Salah satu uji klinis
menunjukkan remisi 5 tahun pasien GERD sekitar 92% pada terapi PPI dan 85% pada terapi
operasi. Namun demikian, terapi sering kali harus dilakukan secara jangka panjang karena
risiko untuk relaps sangat tinggi.16

BAB IV
PENCEGAHAN

11
Edukasi dan promosi kesehatan untuk pasien dengan penyakit refluks
gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease / GERD) berupa modofikasi gaya hidup,
kemungkinan komplikasi, dan pentingnya follow up secara rutin.

Edukasi Pasien
Edukasi pasien dengan penyakit refluks gastroesofageal meliputi: 
 Melakukan modifikasi gaya hidup dengan baik, mulai dari olahraga, kebiasaan setelah
makan, diet, serta pola pernapasan diafragma
 Pengobatan dapat berlangsung secara jangka panjang untuk menghindari relaps gejala
 Kontrol berat badan
 Terapkan pola makan dengan teratur
 Menghindari minum obat-obatan tanpa indikasi dan anjuran dokter
 Memantau gejala secara mandiri dengan pengisian kuesioner GERD-Q secara mandiri

Pasien juga harus diedukasi mengenai komplikasi yang dapat terjadi dan harus segera
memeriksakan diri apabila mengalami:
 Nyeri dan gangguan menelan
 Penurunan berat badan tanpa diet atau olahraga
 Nyeri dada
 Tersedak
 Hematemesis dan/atau melena
 Gangguan pernapasan

Pasien juga harus melakukan kunjungan kembali ke dokter setiap 6 hingga 12 bulan sekali
atau sesuai anjuran dokter untuk evaluasi keberhasilan dan penyesuaian/adjustmentterapi.19 

Pencegahan
Pencegahan penyakit refluks gastroesofageal dilakukan dengan menerapkan modifikasi gaya
hidup yang baik, terutama pada pasien-pasien yang berisiko tinggi mengalami GERD. Pasien
GERD juga harus melakukan modifikasi gaya hidup dan kepatuhan terapi yang baik untuk
mencegah rekurensi gejala dan komplikasi karena GERD.14,19

12
BAB V
PENUTUP

GERD merupakan refluks cairan asam lambung ke esofagus akibat melemahnya LES. Di
pusat pelayanan kesehatan primer, diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala

13
klinis berupa regurgitasi dan heartburn, serta pemeriksaan tambahan berupa uji terapi PPI.
Terapi awal adalah terapi inisial dengan PPI dosis tunggal selama 8 minggu. Apabila tidak
membaik, pengobatan dilanjutkan dengan PPI dosis ganda selama 4 – 8 minggu. Untuk
penderita dengan gejala sisa atau kambuh, diberikan PPI dosis tunggal selama 5 – 14 hari.
Selain PPI, obat lain yang adalah antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik (antagonis
dopamin dan antagonis reseptor serotonin).

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan


penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/ GERD) di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2013.

14
2. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Gastroesophageal
reflux (GER) and gastroesophageal reflux disease (GERD) in Adults. NIH Publication;
2013.
3. American College of Gastroenterology. Is it just a little heartburn or something more
serious? American College of Gastroenterology [Internet]. [cited 2017 March 14].
Available from: http://s3.gi.org/patients/pdfs/UnderstandGERD.pdf
4. Guarner, Lazaro, Gascon, Royo, Eximan, Herrero. Map of digestive disorders and
diseases. World Gastroenterology Organization [Internet]. 2008. Available from:
http://www.worldgastroenterology.org/UserFiles/file/wdhd-2008-map-of-digestive-
disorders.pdf
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiadi S, Simbadibrata M. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 1. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
6. Media Aesculapius. Kapita selekta kedokteran jilid II. 4th ed. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.
7. Sharma PK, Ahuja V, Madan K, Gupta S, Raizada A, Sharma MP. Prevalence, severity,
and risk factors of symptomatic gastroesophageal reflux disease among employees of a
large hospital in Northern India. Indian J Gastroenterol. 2010:30(3);128-34.
8. Ndraha S. Penyakit refluks gastroesofageal. Medicinus. 2014;27(1):5-7.
9. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Corrigendum: Guidelines for the diagnosis and
management of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:308-28.
10. De Vault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2005;100:190-200.
11. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on the management of
gastroesophageal reflux disease in Indonesia. Acta Medica Indon. 2014;46(3):263-71.
12. Buttar NS, Falk GW. Pathogenesis of gastroesophageal reflux and Barrett esophagus.
Mayo Clin Proc. 2001 Feb. 76(2):226-34.
13. Hom C, Vaezi MF. Extra-esophageal manifestations of gastroesophageal reflux disease:
diagnosis and treatment. Drugs 2013; 73: 1281-1295
14. El-Serag HB, Sweet S, Winchester CC, Dent J. Update on the epidemiology of
gastrooesophageal reflux disease: a systematic review. Gut. 2013;63:871-880.
15. Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the management of
gastroesophageal reflux disease: update. J Gastroenterol Hepatol 2008;23:8-22.
16. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:302-328.
15
17. Herbella FA, Sweet MP, Tedesco P, Nipomnick I, Patti MG. Gastroesophageal reflux
disease and obesity. Pathophysiology and implications for treatment. J Gastrointest Surg.
2007 Mar. 11(3):286-90.
18. Syam AF, Abdullah M, Rani AA. Prevalence of reflux esophagitis, Barret’s esophagus
and esophageal cancer in Indonesian people evaluation by endoscopy. Canc Res Treat
2003;5:83.
19. Rassameehiran S, Klomjit S, Hosiriluck N, Nugent K. Meta-analysis of the effect of
proton pump inhibitors on obstructive sleep apnea symptoms and indices in patients with
gastroesophageal reflux disease. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2016 Jan. 29 (1):3-6.

16

Anda mungkin juga menyukai