Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH BAHASA BAKU

Untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia


Dosen Pengampu: Budiman, M.Pd

Disusun oleh:

NURHALIZA HARAHAP (0701212046)


NURUL FITRIAH (0701212089)
FAHRI HABIBI SIREGAR (0701213220)
MUHAMMAD DAFFA GINTING (0701212050)

PRODI ILMU KOMPUTER


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATRA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa
menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan
kepada baginda Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang
lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan bahasa yang sangat indah.

Selanjutnya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada kedua orang tua
kami. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak “Budiman, M.Pd” yang
telah membimbing kami dalam segala hal yang berkenaan dengan mata kuliah ini.

Penulis bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang kami beri


judul “BAHASA BAKU”, sebagai tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.

Dalam makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan tentang BAHASA


BAKU dimulai dari Pengertian Bahasa Baku kemudian Ciri, Fungsi, Perbedaan,
Pengaruh bahasa daerah terhadap Bahasa Baku dan Masalah Kelafalan Bahasa
Indonesia.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini.

Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka
kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya kami di lain
waktu.

Medan, 12 Oktober 2022

KELOMPOK V

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Tujuan.................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Pengertian Bahasa Baku ......................................................... 3
B. Ciri-ciri Bahasa Baku ............................................................. 4
C. Fungsi Bahasa Baku ............................................................... 8
D. Perbedaan Kata Baku dan Nonbaku ........................................ 9
E. Pengaruh Bahasa daerah dan Bahasa baku .............................. 10
F. Dampak postif dan negative penggunaan Bahasa daerah didalam
Bahasa Indonesia .......................................................................... 19
G. Masalah kelafalan Bahasa Indonesia ...................................... 19
BAB 3 PENUTUP ........................................................................................ 22
A. Kesimpulan .............................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23

ii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan sarana komunikasi paling vital di masyarakat. Oleh


sebab itu, standardisasi atau pembakuan bahasa dalam suatu masyarakat
menduduki peran yang penting, terlebih untuk masyarakat heterogen seperti
Indonesia, yang konsekuensinya memunculkan berbagai bahasa dan ragam
bahasa. Untuk memudahkan komunikasi dalam masyarakat, perlu dipilih satu
variasi atau ragam bahasa yang dapat dijadikan sebagai acuan atau standar
pemakaian di masyarakat.

Bahasa yang standar atau baku ini akan menduduki posisi yang lebih tinggi
dalam skala tata nilai masyarakat pemakai bahasa. Bahasa standar atau baku
memiliki ciri kemantapan dinamis, cendikia, dan keseragaman kaidah.
Persoalan yang terjadi dalam usaha pembakuan/standardisasi bahasa Indonesia,
tak terlepas dari pengaruh sikap dan tanggapan para pemakai bahasa Indonesia
itu sendiri. Sikap tuna harga diri, yaitu sikap yang kurang bangga dan sinis
dalam menggunakan dan memakai bahasa Indonesia. Mereka lebih bangga
menggunakan bahasa asing dibanding bahasa sendiri dan memandang sinis
terhadap usaha-usaha dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Selain itu, adanya tanggapan yang beranggapan bahwa masalah kebahasaan


Indonesia adalah masalah yang sepele, tidak perlu pembahasan lebih mendalam
dalam pemakaiannya karena mereka berargumen dalam penggunaan bahasa
’yang penting tahu maksudnya’. Hal ini melahirkan kebiasaan di kalangan
masyarakat kita bahwa belajar bahasa Indonesia cukup secara alamiah saja.
Artinya, mereka belajar dari apa yang nyatanya digunakan tanpa memikirkan
apa bentuk bahasa tersebut secara kaidah yang benar, sehingga dalam
pemakaian mereka menekankan pada selera bahasa daripada penalaran bahasa.
2

B. Tujuan

1. Mampu memahami Bahasa Baku


2. Mengetahui Pengaruh Bahasa Derah terhadap Bahasa Baku
3. Mengetahui Perbedaan antara Bahasa Baku dan Nonbaku
4. Mengatasi Masalah Kelafalan Bahasa Indonesia
3

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bahasa Baku

Bahasa Indonesia yang baku artinya bahasa Indonesia yang digunakan orang-
orang terdidik serta yang dipakai menjadi tolak ukur penggunaan bahasa yang
benar.

Ragam bahasa Indonesia yang standar ini ditandai oleh adanya sifat kemantapan
dinamis dan ciri kecendekiaan. Yang dimaksud menggunakan kemantapan dinamis
ini adalah bahwa bahasa tadi selalu mengikuti aturan atau aturan yang permanen,
tetapi terbuka buat menerima perubahan yang bersistem. Ciri khas bahasa standar
dapat dipandang dari kemampuannya pada mengungkapkan proses pemikiran yang
rumit diberbagai bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan (Aminah dkk, 2020: 12).1

Kata baku merupakan kata yang diucapkan atau ditulis oleh seseorang sesuai
dengan kaidah atau pedoman yang dibakukan. Kaidah baku yang dimaksud dapat
berupa Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), tata bahasa baku, dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Menurut Kosasih dan Hermawan (2012:
83).2

Kita dapat menentukan dan menggunakan kata atau bahasa baku dengan
merujuk pada Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pedoman Ejaan yang Disempurnakan, serta Pedoman Umum
Pembentukan Istilah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kata atau bahasa yang
tidak baku, yaitu sebagai berikut:

a) Pemakai bahasa tidak mengetahui bentuk penulisan dari kata-kata


yang dimaksud.

1
Rina Devianty, Penggunaan Kata Baku dan Tidak Baku dalam Bahasa Indonesia, Jurnal
Tarbiyah EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia), Volume 1 (2), Juli-Desember 2021,
hlm. 123, Tersedia di: http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/eunoia/article/view/1136
2
Ibid.
4

b) Pemakai terpengaruh oleh orang yang biasa menggunakan kata yang


tidak baku.
c) Pemakai bahasa tidak bakuakan selalu ada karena tidak mau
memperbaiki kesalahan sendiri. 3

Kata baku biasanya sering digunakan dalam kalimat resmi atau ragam bahasa
standar, baik itu melalui lisan ataupun tulisan. Kata baku pada bahasa Indonesia ini
juga mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut. Pertama, baik secara
lisan juga tulisan, kata baku digunakan dalam situasi resmi, seperti surat menyurat
dinas, perundang-undangan, karangan ilmiah, laporan penelitian dan lainnya.

B. Ciri-ciri Bahasa Baku

Ciri bahasa baku sebagaimana dikemukakan Meoliono (1988) adalah

a. Mempunyai kemantapan dinamis, artinya kaidah bahasa itu bersifat tetap


dan tidak berubah setiap saat.
b. Sifat kecendekiaanya, artinya perwujudan satuan bahasa yang
mengungkapkan penalaran yang teratur dan logis.
c. Adanya proses penyeragaman kaídah bukan penyamaan ragam bahasa,
atau penyeragaman variasi bahasa. 4

Setelah dikenali ciri-ciri bahasa baku, berikut ini ciri karakteristik bahasa baku
sebagai Penggunaan kaidah tata bahasa, Penggunaan Kata-kata Baku, Penggunaan
Ejaan Resmi dalam Ragam Tulisan, dan Penggunaan Lafal Baku dalam Ragam
Lisan berikut:5

3
Ismail Kusmayadi, dkk, Be Smart Bahasa Indonesia, (PT Grafindo Media Pratama), hlm 69.
4
Jamilah, Penggunaan Bahasa Baku Dalam Karya Ilmiah Mahasiswa, Jurnal Tarbiyah (Jurnal
Ilmiah Kependidikan) Vol. 6 No. 2. Juli – Desember 2017, hlm. 42, Tersedia di: http://jurnal.uin-
antasari.ac.id/index.php/jtjik/article/view/1603
5
Rina Devianty, Op.cit., hlm. 125
5

1. Penggunaan kaidah tata bahasa


Kaidah tata bahasa normatif selalu dipakai secara ekspilisit dan
konsisten. Contoh:
a. Pemakaian awalan me- dan awalan ber- secara eksplisit dan konsisten.
Contoh:
 Pak Camat memakai mobil dinas ke perkampungan warga.
 Rapat sudah berlangsung dari tadi.
 Ayah sedang memakan ikan
b. Pemakaian kata hubung bahwa dan karena dalam kalimat majemuk
secara eksplisit. Contoh:
 Tika sudah mengetahui bahwa ibunya akan pergi ke Surabaya
besok.
 Rustam tidak mau sekolah karena ada pelajaran matematika.
c. Pemakaian pola frase untuk predikat: aspek+pelaku+kata kerja secara
konsisten. Contoh:
 Berkas Saudara sudah kami kirim ke kantor pusat.
 Acara berikutnya akan kami putarkan lagu-lagu perjuangan
d. Pemakaian konstruksi sintesis. Contoh:
Bahasa Baku:
 Mereka
 Anaknya
 Memberitahukan
 Membersihkan

Bahasa Nonbaku:

 Dia Orang
 Dia Punya Anak
 Kasih Tau
 Bikin Bersih
e. Menghindari pemakaian unsur gramatikal dialek regional atau unsur
gramatikal bahasa daerah. Contoh:
6

Bahasa Baku:
 Mobil paman saya baru
 Dia mengontrak rumah di Bandung

Bahasa Nonbaku:

 Paman saya mobil baru


 Dia ngontrak rumah di Bandung

2. Penggunaan Kata-kata Baku


Masuknya istilah-istilah yang digunakan merupakan istilah-istilah
umum yang sudah lazim digunakan atau yang perekuensi penggunaanya
relatif tinggi. Kata-kata yang belum lazim atau masih bersifat kedaerahan
sebaiknya tidak digunakan, kecuali menggunakan pertimbangan-
pertimbangan khusus.
Contoh:
Bahasa Baku:
 Bagaimana
 Hijau
 Uang
 Tidak mudah
 Bagaimana caranya
 Lurus saja
 Cantik sekali
 Cabai
Bahasa Nonbaku:
 Kek mana, gimana
 Ijo
 Duet
 Gak mudah
 Kek mana caranya
 Lempang aja
 Cantik kali
 Cabe
7

3. Penggunaan Ejaan Resmi dalam Ragam Tulisan


Adapun ejaan yang berlaku sekarang dalam bahasa Indonesia
merupakan ejaan yang sesuai dengan pedoman ejaan bahasa Indonesia
(PUEBI). Ejaan tersebut mengatur mulai dari penggunaan huruf, penulisan
kata, penulisan partikel, penulisan angka penulisan unsur serapan, sampai
pada penggunaan tanda baca. Contoh:
Bahasa Baku:
 Berlari-lari
 Jalan-jalan
Bahasa Nonbaku:
 Berlari2
 Jalan”
4. Penggunaan Lafal Baku dalam Ragam Lisan
Lafal yang benar atau baku dalam bahasa Indonesia sampai saat ini
belum pernah ditetapkan. Namun, ada pendapat umum bahwa lafal baku
dalam bahasa Indonesia adalah lafal yang bebas dari ciri-ciri lafal dialek
setempat atau lafal daerah.
Contoh:
Bahasa Baku:  Nasihat
 Habis  Mantap
 Kalau Bahasa Nonbaku
 Senin  Abis
 Pergi  Kalok
 Hilang  Senen
 Dalam  Pigi
 Napas  Ilang
 Azan  Dalem
 Efektivitas  Napas
 Nafsu  Adzan
 Popular  Efektifitas
8

 Napsu  Nasehat
 Populer  Mantap

C. Fungsi Bahasa Baku

Secara umum, fungsi bahasa baku sebagai berikut:

 Pemersatu, pemakaian bahasa baku dapat mempersatukan sekelompok


orang menjadi satu kesatuan masyarakat bahasa.
 Pemberi kekhasan, pemakaian bahasa baku dapat menjadi pembeda
dengan masyarakat pemakai bahasa lainnya.
 Pembawa kewibawaan, pemakaian bahasa baku dapat memperlihatkan
kewibawaan pemakainya.
 Kerangka acuan, bahasa baku menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya
pemakaian bahasa seseorang atau sekelompok orang. 6

Tiga fungsi pertama dianggap fungsi pelambang atau simbolik sedangkan satu
fungsi terakhir dianggap fungsi objektif. Kata baku sebagai pemersatu ialah
mempersatukan penutur atau penulisnya sebagai satu warga bahasa. Dapat
dikatakan pula bahwa pemakaian istilah baku pada bahasa Indonesia dapat
mempersatukan sekelompok orang sebagai satu kesatuan masyarakat. Kata baku
menjadi pemberi kekhasan ialah pembakuan kata pada bahasa bisa sebagai
pembeda dengan masyarakat pemakai bahasa lainnya. 7

Kata baku sebagai pembawa kewibawaan ialah kata baku yang diterapkan pada
bahasa dapat menerangkan kewibawaan pemakainya. Dapat pula dikatakan bahwa
fungsi pembawa kewibawaan ini beralih menurut pemilikan bahasa baku yang
konkret ke pemilikan bahasa yang berpotensi sebagai bahasa baku. Kata baku
menjadi kerangka acuan ialah kata baku sebagai patokan bagi benar atau tidaknya
pemakaian bahasa seorang atau kelompok.8

6
Ernawati Waridah, EYD & seputar kebahasa-Indonesiaan, 2008, hlm.186
7
Rina Devianty, Op.cit., hlm. 124
8
Ibid.
9

Menurut Salliyanti (2003: 1) yang dimaksud dengan bahasa baku merupakan


salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok, yang diajukan dasar ukuran atau
yang dijadikan standar. Ragam bahasa ini lazim dipakai pada situasi bahasa berikut
ini.

a. Komunikasi resmi, yakni pada surat menyurat resmi, surat menyurat dinas,
pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi,
perundang-undangan, penamaan dan peristilahan resmi, dan sebagainya
b. Wacana teknis, misalnya pada laporan resmi, karang ilmiah, buku pelajaran,
dan sebagainya.
c. Pembicaraan didepan umum, misalnya pada ceramah, kuliah, pidato dan
sebagainya.
d. Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya.
Pemakaian (a) dan (b) didukung oleh bahasa baku tertulis sedangkan
pemakaian (c) dan (d) didukung oleh ragam bahasa lisan.

D. Perbedaan Kata Baku dan Nonbaku

Kata Baku adalah kata yang tidak bercirikan bahasa daerah atau bahasa asing.
Baik dalam penulisan maupun dalam pengucapannya harus bercirikan bahasa
Indonesia. Dengan perkataan lain, kata bak adalah kata yang sesuai dengan kaidah
mengenai kata dalam bahasa Indonesia. 9 Sedangkan kata Nonbaku adalah kosa kata
yang ejaan dan pelafalannya tidak sesuai dengan KBBI dan PUEBI. Biasanya,
kosakata tidak baku berasal dari bahasa daerah atau dari kata baku dengan pelafalan
yang tidak sesuai.

Kata Baku Kata Nonbaku

Pikir, Paham Fakir, Faham

Nasihat Nasehat

Jadwal Jadual

9
Dr. Edi Saputra, M.Hum, Junaida, M.pd, Bahasa Indonesia, ( Cet : Medan: PERDANA
PUBLISHING, pbafitkuinsu press, 2022), hlm. 54
10

Kualitas, Kuantitas, Kuitansi Kwalitas, Kwantitas, Kwitansi

Karier Karir

Pasien Pasen

Contoh perbedaan Kata Baku dan Nonbaku

E. Pengaruh Bahasa daerah dan Bahasa baku

1. Pengertian Bahasa daerah


Bahasa menurut noire dalam bukunya “the orgin and philosophy of
language” yang dikutip oleh M. Arifin dalam bukunya psikologi dakwah yaitu:
Bahasa adalah timbul dari kesan-kesan panca indera yaitu pengaruh dari
obyeknya (benda-benda yang diamati) terhadap kekuatan penerima panca indra
dan juga kapasitas (kemampuan) manusia dalam memindahkan kesan kesan
tersebut kepada orang lain.

Menurut beliau komunikasi ini terjadi pertama, dalam bentuk isyarat isyarat
emosional dan yang kedua dalam bentuk simbol-simbol. Jadi tingkah laku dan
isyarat-isyarat menurut noire lebih dahulu ada sebelum simbol-simbol (kata-
kata), sedangkan verbal simbol (simbol yang berupa kata-kata) adalah menjadi
pengganti perkataan-perkataan maskulair (otot-otot).10

Pengertian Bahasa menurut Wibowo adalah sistem simbol bunyi yang


bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan
konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok
manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Sedangkan daerah adalah
tempat sekeliling atau yang termasuk di lingkungan suatu kota (wilayah dan
sebagainya).
Dari pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa bahasa daerah
merupakan simbol atau bunyi yang bermakna dan berartikulasi yang digunakan
dilingkungan suatu kota atau wilayah yang dipakai sebagai bahasa penghubung
antar daerah diwilayah republik Indonesia. 11 Bahasa daerah merupakan bagian

10
Arifin, Psikologi Dakwah (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 75
11
Wahyu Wibowo, Manajemen Bahasa (Cet. I; Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 3
11

dari kebudayaan Indonesia yang hidup, sesuai dengan penjelasan undang undang
dasar 45 yang berhubungan dengan bab xv pasal 36.12
Bahasa daerah merupakan bahasa tradisional disebuah daerah yang menjadi
warisan turun temurun bagi masyarakat pemakai di tempat bahasa itu digunakan
untuk keperluan pengajaran, perlu adanya kontak diantara murid dan guru.
Tanpa kontak ini tidak mungkinlah suatu pelajaran dapat dilaksanakan dengan
baik. Bagi anak-anak yang baru masuk, yang belum menguasai bahasa
Indonesia, satu-satunya bahasa yang di kuasainya ialah bahasa daerah. Dengan
bahasa daerah inilah kontak pertama antara peserta didik dengan guru dapat
dilaksanakan. Maka sudah pada tempat-nyalah kalau pada kelas-kelas
permulaan SD dipergunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
Pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa pengantar ini dengan suatu tujuan,
ialah untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran yang
lain. walaupun demikian tidak berarti bahwa tanpa bantuan bahasa daerah
pembelajaran tidak dapat dilakasanakan, sebab ternyata ada beberapa anak SD
di kota-kota, yang langsung mempergunakan bahasa Indonesia, dan hasilnya
ternyata tidak banyak berbeda dengan SD yang mempergunakan bahasa
pengantar bahasa daerah.
Berapa banyak bahasa daerah yang ada di Indonesia? jumlahnya yang pasti
memerlukan penelitian yang lebih tepat dan teliti. Kalau kita bersandar pada peta
bahasa yang dibuat lembaga nasional (pusat bahasa) tahun 1972 ada sekitar 480
buah bahasa daerah dengan jumlah penutur setiap bahasa berkisar antara 100
orang (ada di Irian jaya) sampai yang lebih dari 50 juta (penutur bahasa Jawa).
Perhitungan yang tepat mengenai banyaknya bahasa daerah yang ada di
Indonesia memang agar sukar dilakukan. Pertama, pengertian mengenai beda
antara bahasa dengan dialek sering kali terkacaukan. Misalnya, yang disebut
bahasa Pak-Pak dan bahasa Dairi di Sumatra utara secara linguistik adalah satu
bahasa yang sama karena tata bunyi, tata bahasa, dan leksikonya sama; dan
kedua anggota masyarakat tutur kedua bahasa itu dapat saling mengerti (Italic);
tetapi masyarakat disana mengaggap sebagai dua bahasa yang berbeda.

12
Jos Daniel Parera, Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa-bahasa Istilah dan ungkapan
leksikologi (Cet. I; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 16
12

Sebaliknya, bahasa Jawa Cirebon yang sudah sangat jauh bedanya dengan
dialek bahasa Jawa yang lain, masih dianggap sebagai bahasa Jawa (Ayat
Roheadi 1990). Kedua, seperti dilaporkan Tallei (1976) Yahya (1977), dan
Danie (1987) banyak penutur bahasa daerah di Sulawesi Utara yang
menyamakan dialek Melayu Manado sama dengan bahasa Indonesia tetapi
sebaliknya, banyak penutur bahasa Melayu di Riau yang mengaggap bahasa
yang mereka gunakan bukan bahasa Indonesia.
Ketiga, penelitian yang lebih akurat tentu membutuhkan tenaga dan dana
yang tidak sedikit mengingat betapa luasnya Negara Republik Indonesia. 13
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan
bahwa budaya nasional dan juga sesuai dengan perumusan kongres bahasa
Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahasa daerah sebagai pendukung bahasa
nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa
daerah ke bahasa Indonesia antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik dan kosa kata. Demikian sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi
perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia
dengan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembanganya.
Di Indonesia terdapat sejumlah besar bahasa daerah, yang masing-masing
mempunyai latar belakang sejarah dan kebudayaannya sendiri-sendiri. Bahasa-
Bahasa daerah ini ada yang dipergunakan oleh sejumlah besar penduduk, tetapi
ada pula yang hanya dipergunakan oleh beberapa ratus orang saja. Sebagai
bahasa, bahasa daerah itu mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai alat
berkomunikasi antar penutur bahasa itu. Untuk keperluan pendidikan
sebenarnya ideal sekali kalau untuk tingkat permulaan SD anak-anak di beri
pelajaran dengan mempergunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa pengantar.
Sebab bahasa daerah inilah yang telah di milikinya sejak masa kecil.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian mengenai bahasa daerah ini, ialah
tidak semua bahasa daerah merupakan kesatuan yang utuh. Ada bahasa yang
terdiri dari beberapa dialek. Dalam hal ini biasanya ada suatu dialek yang
dipergunakan sebagai bahasa standar. Untuk bahasa Madura diperguankan

13
Abdul Chaer, Leoni Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (cet 2; Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hlm. 228
13

dialek Solo dan Jogja. Untuk bahasa Madura dipergunakan dialek Sumenep
(kedua bahasa ini dipergunakan sebagai contoh, karana kebetulan kedua bahasa
inilah yang saya kenal).
Memang betul bahwa perbedaan yang terdapat di antara satu dialek dengan
yang lain tidak begitu besar, artinya tidak sampai mengganggu fungsi
komunikatif, tetapi ada perbedaan yang jelas yang terdapat di antara dialek yang
satu dengan dialek yang lain, termasuk dengan dialek yang dipergunakan bahasa
standar para penutur dialek, perlu menyesuaikan diri dengan dialek yang
dipergunakan bahasa standar dan perlu belajar.
Di daerah tertentu, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar
di dunia pendidikan sekolah dasar sampai dengan tahun ke tiga (kelas tiga).
Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia, kecuali daerah-daerah yang
mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa daerah.
Dalam tatanan pada tingkat daerah, bahasa daerah menjadi penting dalam
berkomunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang kebanyakan masih
menggunakan bahasa ibu sehingga dari pemerintah harus menguasai bahasa
daerah tersebut yang kemudian bisa dijadikan pelengkap di dalam
penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah tersebut.
Pada umumnya bahasa pertama (B1) seorang anak Indonesia adalah bahasa
daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua
(B2) karena baru dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia menguasai
bahasa daerah, kecuali mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa
Indonesia dari ibunya. Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus
digunakan bahasa pertama (B1) dan kapan pula harus di gunakan bahasa kedua
(B2) jawabanya adalah tergantung pada lawan bicara. Jadi penggunaan bahasa
pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) ini tidaklah bebas. Oleh karena itu,
pertanyaan berikutnya kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas
menggunakan (B1) atau (B2) “adalah agak sukar dijawab. dalam kasus penutur
bilingual Sunda–Indonesian barangkali memang ada topik dan situasi tutur yang
memberi kebebasan untuk menggunakan salah satu bahasa itu.
Di dalam pembicaraan mengenai bahasa daerah ini, ada beberapa persoalan
yang harus dicarikan pemecahannya.
14

a. Persoalan pertama yang timbul ialah persoalan mengenai masalah


bahasa standar. Persolan mengenai bahasa standar ini serba sedikit
telah disinggung pada saat membicarakan status bahasa standar di
sekolah. Di dalam masalah bahasa standar ini muncul kembali dalam
bentuk sebuah pertanyaan “Bahasa manakah yang akan di ajarkan
disekolah, bahasa standarkah atau bahasa dialek?”

Untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini, diperhatikan hal-hal


sebagai berikut:

1. Dengan bahasa standar kita memperoleh sejenis bahasa resmi yang


dapat mengatasi bahasa-bahasa dialek yang ada, yang jumlahnya
banyak sekali. Kalau bahasa daerah merupakan identitas daerah,
maka dengan bahasa standar inilah bahasa daerah merupakan
dirinya.
2. Kalau kita kembali pada fungsi daerah sebagai alat pengembangan
serta pendukung kebudayaan daerah, maka sampailah kita pada satu
kenyataan bahwa kebudayaan daerah yang berupa kebudayaan
rakyat, akan timbul melalui bahasa dialeknya masing-masing.
3. Untuk keperluan ilmu pengetahuan bahasa, sudah sepantasnya para
ahli bahasa tidak akan puas hanya dengan data-data yang diperoleh
bahasa standar, melainkan mereka tentu menginginkan bagaimana
keadaan yang terdapat di dalam dialek.14

Mengingat kenyataan bahwa banyak daerah yang memiliki dialek yang di


dukung oleh pemakaian yang berjumlah besar, maka perlulah dipertimbangankan
betul-betul kegunaan atau tidak bahasa standar ini.

b. Persoalan kedua yang juga memerlukan pemikiran ialah bagaimana


menghadapi kenyataan bahwa tidak semua murid sekolah memiliki
bahasa daerah yang sama. Hal ini terutama akan banyak dijumpai di
kota-kota, yang menjadi pusat pertemuan berbagai suku bangsa.

14
B. H. Hoed, Pengajaran Bahasa dan Sastra (Cet. I; Jakarta Gramedia Pustka Utama, 1976),
hlm. 18.
15

c. Satu gejala yang sekarang banyak kelihatan di kota-kota, banyak


ibu-ibu yang mempergunakan bahasa Indonesia dengan anak-
anaknya, sejak anak ini baru belajar berbicara. Apabila anak ini
sudah besar, maka anak ini akan langsung menguasai bahasa
Indonesia, sedangkan pergaulan di dalam keluarga itu di laksanakan
dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa daerah bagi
anak itu, baru dikenalnya dari pergaulan di luar rumah. Ada orang
tua yang mempunyai anggapan bahwa bahasa daerah tidak begitu
banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi
anak di kemudian hari, hingga mempelajari bahasa daerah
dianggapnya kurang bermanfaat. Bahasa Indonesia yang
mempunyai kedudukan lebih baik, yaitu sebagai bahasa nasional
dan sebagai bahasa resmi lebih di utamakan. Oleh karena itu sampai
sekarang Indonesia belum di pergunakan sebagai bahasa pergaulan
di lingkungan anak-anak, maka di anggapnya bahwa untuk tahu
bahasa Indonesia harus di pelajari terlebih dahulu, Sedangkan
bahasa daerahnya dianggapnya akan tahu dengan sendirinya, sebab
akan mendapat pelajaran dari lingkungan kehidupan sehari-hari.
d. Persoalan ke empat yang perlu mendapatkan perhatian, ialah adanya
berbagai tingkat pengetahuan mengenai bahasa-bahasa daerah yang
ada di Indonesia ini. Ada banyak bahasa daerah yang telah banyak
diselediki oleh para ahli, telah banyak buku-buku yang ditulis
mengenai bahasa itu, tetapi ada pula bahasa daerah yang baru sedikit
sekali diketahui, belum ada catatan-catatan mengenai bahasa daerah
itu. Ada bahasa daerah yang mendukung kebudayaan yang telah
tinggi, dengan berbagai naskah yang berisi hal-hal yang sudah
bernilai tinggi dilihat dari segi ilmu pengetahuan, yang semuanya itu
ditulis dengan mempergunakan bahasa daerah. Tetapi kebalikannya,
ada juga bahasa daerah yang sama sekali belum memiliki dokumen
tertulis. 15

15
Ibid., hlm. 19
16

2. Tahap-tahap pemeroleh Bahasa


A. Pemerolehan bahasa pertama
Pemerolehan bahasa merupakan sebagai periode seorang individu
memperoleh bahasa atau kosa kata baru. Kapan periode itu berlangsung?
Dapat dikatakan hampir sepanjang masa. Namun, Selama ini
pemahaman tentang pemerolehan bahasa lebih banyak tercurah pada
msyarakat usia dini atau masyarakat yang belajar bahasa asing. Slobin
mengemukakan bahwa setiap pendekatan moderen terhadap
pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa
dibangun sejak semula oleh anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan
sejak lahir yang beraneka ragam interaksinya dengan pengalaman-
pengalaman dunia fisik dan social. 16

Adapun teori yang di kemukakan oleh Clark mengenai pemerolehan


bahasa pertama yaitu setiap orang pernah menyaksikan kemampuan
menonjol anak-anak dalam berkomunikasi. Saat bayi mereka berceloteh,
mendengut, menangis, dan tanpa suara mengirim begitu banyak pesan
dan menerima lebih banyak lagi pesan. Ketika berumur satu tahun,
mereka berusaha menirukan kata-kata dan mengucapkan suara-suara
yang mereka dengar di sekitar mereka, dan kira-kira pada saat itulah
mereka mengucapkan “kata-kata” pertama mereka. Kurang lebih pada
usia 18 bulan, kata-kata itu berlipat ganda dan mulai muncul dalam
“kalimat” dua atau tiga kata umumnya di sebut ujaran-ujaran” telegrafis
(bergaya telegram). Tempo produksi pun mulai meningkat dengan makin
banyaknya kata yang diucapkan setiap hari dan semakin banyak
kombinasi kalamat yang dituturkan. Pada usia dua tahun, anak-anak
memahami bahasa yang lebih canggih dan kecakapan bertutur mereka
pun mengembang, bahkan untuk membentuk pertanyaan dan peryataan
negative.

16
Iskandar Wassid, Dadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa (Cet. I; PT Remaja Rosda
Kariya: Rineka Cipta, 2008), hlm. 84.
17

Menurut Grady, Pada usia 3 tahun anak-anak bisa menggunakan


kuantitas masukan bahasa yang luar biasa. Kemampuan bicara dan
pemahaman mereka meningkat pesat ketika mereka menjadi produsen
ocehan nonstop dan percakapan tiada henti, bahasa pun menjadi berkah
sekaligus petaka bagi orang-orang di sekitar mereka. Kreavitas mereka
saja sudah mendatangkan senyum orang tua dan saudara-saudara
kandung mereka.17

B. Usia dan pemerolehan


Langkah pertama dalam meneliti usia dan pemerolehan barangkali
adalah dengan membuang sejumlah mitos mengenai antara hubungan
pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Secara umum yang
merekomendasikan metode atau prosedur pengajaran bahasa kedua
berdasarkan pada pemerolehan bahasa pertama.

1. Dalam pengajaran bahasa, kita harus terus menerus berlatih. Lihat


saja bagaimana seorang anak kecil belajar bahasa ibunya. Ia terus
mengulangulang. Selama masih dalam tahap belajar bahasa ia
berlatih sepanjang waktu. Inilah yang mesti kita lakukan ketika
belajar sebuah bahasa asing.
2. Pembelajaran bahasa adalah masalah peniruan. Anda harus jadi
peniru, seorang anak kecil ia menirukan segalanya.
3. Kita latih berbagai bunyi, lalu kata-kata, kemudian kalimat. Inilah
cara alami dan dengan demikian dan cocok untuk pembelajaran
bahasa asing.
4. Saksikan perkembangan wicara seorang anak. Pertama ia
mendengar, kemudian ia berkata-kata. Pemahaman selalu
mendahului pembicaraan. Jadi, inilah cara yang tepat untuk
menghadirkan kecakapan bahasa asing.
5. Seorang anak kecil menggunakan bahasa begitu saja. Ia tak
belajar bahasa baku. Anda tidak memberitahunya soal kata kerja

17
H. Donglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa: Pemerolehan Bahasa
Pertama, 2009, edisi kelima, hlm. 27
18

dan kata benda. Tetapi ia belajar bahasa secara sempurna.


Menggunakan konseptualisasi gramatikal dalam pengajaran
sebuah bahasa asing, sama tidak pentingnya tata bahasa baku bagi
anak. 18

3. Kedudukan dan Fungsi Bahasa daerah


Didalam hubungan dengan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa-bahasa
seperti Bali, Batak, Bugis, Madura dan Makassar yang terdapat diwilayah di
indonesia, bekedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan
kenyataan bahwa bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan yang
dilindungi oleh Negara, sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 36 Bab XV
Undang-Undang 45 Di daerah-daerah yang memakai bahasa sendiri, yang
dipelihara oleh masyarakat dengan baik, misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura
tersebut bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara. Bahasa itu
pun merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia.

Didalam kedudukanya sebagai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, bahasa


Sunda, bahasa Bali, bahasa Bugis, bahasa Makassar dan sebagainya. Bahasa
daerah berfungsi sebagai berikut:

a) Lambang kebanggaan daerah


b) Lambang identitas daerah
c) Sarana perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah
d) Sarana pengembangan serta pendukug kebudayaan daerah
e) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian
pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.19

18
Ibid., hlm. 29-30
19
Manan, M. Sholihan, Pengantar Kaidah Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Fakultas
Tarbiyah Surabaya, 1991, hlm. 8
19

F. Dampak postif dan negative penggunaan Bahasa daerah didalam


Bahasa Indonesia

Berikut beberapa pengaruh atau dampak penggunaan bahasa daerah terhadap


bahasa Indonesia yaitu:

A. Dampak Positif
1. Bahasa Indonesia memiliki banyak kosa kata.
2. Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia.
3. Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah.
4. Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi bahasa daerah yang
satu sulit di pahami oleh daerah lain.
B. Dampak Negatif
1. Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain
2. Warga negara asing yang ingin belajar bahasa indonesia menjadi
kesulitan karena terlalu banyak kosa kata.
3. Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa
indonesia yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa
daerah.
4. Dapat menimbulkan kesalapahaman.20

G. Masalah kelafalan Bahasa Indonesia

Bahasa tidak akan pernah lepas dari pembahasan seputar bunyi atau ujaran,
karena salah satu hakikat dari bahasa adalah bunyi. Bunyi merupakan sumber
premier dalam bahasa, lalu bunyi seperti apakah yang bisa disebut sebagai bahasa?
Apakah semua bunyi dapat dikategorikan sebagai bahasa?

Menurut Chaer yang dimaksud bunyi bahasa adalah satuan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia yang dapat dikombinasikan untuk menyampaikan
pesan.

Manusia mempunyai cara yang beragam dalam menuturkan atau melafalkan


bunyi bahasa tergantung dari sistem bahasa yang mereka pahami. Kemampuan

20
Ibid., hlm. 11
20

setiap individu dalam memahami sistem bahasa dipengaruhi oleh proses


pemerolehan bahasa yang mereka dapatkan. Ada bahasa yang diperoleh sedari kecil
yang sering kita sebut dengan bahasa ibu (bahasa pertama) atau Harras dan Bachari
mengartikannya sebagai bahasa urutan pertama atau bahasa pertama yang dikuasai
hampir sempurna sebelum anak menguasai bahasa lain. Ada juga bahasa yang
diperoleh dari hasil belajar atau interaksi dengan lingkungan. Dardjowidjojo
membedakan isitilah pemerolehan bahasa dengan pembelajaran yang merupakan
padanan dari istilah Inggris learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan
dalam tatanan yang formal, yakni, belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru.

Dengan demikian maka proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya
adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar
di kelas adalah pembelajaran. Akan tetapi, dalam hal ini, penulis berpendapat
bahwa kedua hal itu sama saja bisa disebut sebagai pemerolehan bahasa, baik yang
diperoleh melalui hasil pembelajaran formal, maupun yang didapatkan secara
natural karena hasil interaksi sosial. Karena secara esensi, kedua hal tersebut sama-
sama melalui proses belajar.

Pemerolehan bahasa kesatu akan berbeda dengan pemerolehan bahasa kedua.


Dalam pemerolehan bahasa kedua atau mempelajari sebuah bahasa baru, akan
banyak faktor yang memengaruhi berkaitan dengan waktu, tempat, dan motivasi.

Seseorang yang mempelajari bahasa baru, akan mengalami kesulitan dalam


menguasai seluruh aspek kompetensi linguistiknya karena setiap bahasa
mempunyai sistem bahasa yang berbeda-beda, termasuk lambang dan sistem bunyi
pada tataran fonologi. Keberagaman bunyi bahasa ini dapat kita amati melalui
beberapa kasus seperti pada penutur Sunda.

Dalam bahasa Sunda jarang ditemukan kosakata yang menggunakan fonem /f/
dan /v/, maka ketika penutur Sunda dihadapkan pada kosakata yang menggunakan
bunyi tersebut, kebanyakan dari mereka akan melafalkannya dengan bunyi [p] yang
lebih mendekati ke bunyi [f]. Sama halnya seperti yang dijelaskan Chaer bahwa
bahasa Indonesia dulu belum mengenal fonem /f/, /kh/, dan /sy/ sehingga ketiga
fonem tersebut dianggap sama dengan fonem /p/, /k/, dan /s/. Hal ini tentu bisa
21

menjadi sebuah permalasahan ketika berkomunikasi, karena dalam beberapa kasus,


suatu bentuk bunyi dapat memengaruhi makna.

Pemaparan di atas menjadi sangat relevan ketika membahas pemelajar BIPA


(Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). BIPA sendiri merupakan salah satu
program pelatihan yang diperlukan dalam rangka peningkatkan fungsi bahasa
negara sebagai bahasa internasional dan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja asing
akan program pelatihan bahasa Indonesia (Permendikbud no. 27 tahun 2017).
Peserta BIPA ini merupakan warga negara asing yang terdiri dari berbagai latar
belakang usia, pendidikan, sosial, dan budaya.

Mereka juga mempunyai motivasi yang berbeda-beda dalam mempelajari


bahasa Indonesia. Ada yang untuk keperluan pekerjaan, penelitian, pendidikan,
bahkan hiburan. Dalam upayanya mempelajari bahasa Indonesia, para pemelajar
BIPA ini tentu akan mengalami beberapa kesulitan. Hal tersebut wajar ketika terjadi
proses kontak bahasa.

Kontak bahasa adalah peristiwa saling memengaruhi antara bahasa dari


masyarakat yang datang dengan bahasa dari masyarakat yang menerima. Salah satu
peristiwa yang sering terjadi adalah adanya interferensi. Interferensi adalah terbawa
masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga
tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu.

Peristiwa ini terjadi biasanya dikarenakan si pemelajar masih menggunakan


kaidah bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa Indonesia. Interferensi bisa
terjadi di seluruh tataran linguistik mulai dari fonologi sampai ke tataran leksikon. 21

21
Zainal Arifin Nugraha, (2020). Kesalahan Pelafalan Fenom Bahasa Indonesia Oleh Pemelajar Asal
Tiongkok, vol.6, no.1, Hlm 23-25.
22

BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa merupakan salah satu milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala
kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat.
Tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai dengan bahasa. Salah satu kegiatan
manusia yang setiap hari dilakukan adalah berkomunikasi.

Untuk memudahkan komunikasi dalam masyarakat, perlu dipilih satu variasi


atau ragam bahasa yang dapat dijadikan sebagai acuan atau standar pemakaian di
masyarakat.

Bahasa yang standar atau baku ini akan menduduki posisi yang lebih tinggi
dalam skala tata nilai masyarakat pemakai bahasa. Bahasa standar atau baku
memiliki ciri kemantapan dinamis, cendikia, dan keseragaman kaidah. Persoalan
yang terjadi dalam usaha pembakuan/standardisasi bahasa Indonesia, tak terlepas
dari pengaruh sikap dan tanggapan para pemakai bahasa Indonesia itu sendiri.

Persoalan yang terjadi dalam usaha pembakuan/standardisasi bahasa Indonesia,


tak terlepas dari pengaruh sikap dan tanggapan para pemakai bahasa Indonesia itu
sendiri. Sikap tuna harga diri, yaitu sikap yang kurang bangga dan sinis dalam
menggunakan dan memakai bahasa Indonesia. Mereka lebih bangga menggunakan
bahasa asing dibanding bahasa sendiri dan memandang sinis terhadap usaha-usaha
dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Selain itu, adanya tanggapan yang beranggapan bahwa masalah kebahasaan


Indonesia adalah masalah yang sepele, tidak perlu pembahasan lebih mendalam
dalam pemakaiannya karena mereka berargumen dalam penggunaan bahasa ’yang
penting tahu maksudnya’. Hal ini melahirkan kebiasaan di kalangan masyarakat
kita bahwa belajar bahasa Indonesia cukup secara alamiah saja. Artinya, mereka
belajar dari apa yang nyatanya digunakan tanpa memikirkan apa bentuk bahasa
tersebut secara kaidah yang benar, sehingga dalam pemakaian mereka menekankan
pada selera bahasa daripada penalaran bahasa.
23

DAFTAR PUSTAKA

Rina Devianty. (2021). Penggunaan Kata Baku dan Tidak Baku dalam Bahasa
Indonesia, Jurnal Tarbiyah EUNOIA (Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia),
Volume 1 (2), hlm. 123, Tersedia
di:http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/eunoia/article/view/1136

Ismail Kusmayadi, dkk, Be Smart Bahasa Indonesia, (PT Grafindo Media


Pratama), hlm 69.

Jamilah. (2017). Penggunaan Bahasa Baku Dalam Karya Ilmiah Mahasiswa,


Jurnal Tarbiyah (Jurnal Ilmiah Kependidikan) Vol. 6 No. 2, hlm. 42, Tersedia di:
http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/jtjik/article/view/1603

Ernawati Waridah. (2008). EYD & seputar kebahasa-Indonesiaan, hlm.186

Dr. Edi Saputra, M.Hum, Junaida, M.pd. (2022). Bahasa Indonesia, Medan:
PERDANA PUBLISHING, pbafitkuinsu press, hlm. 54

Arifin. (1993). Psikologi Dakwah, Jakarta: Bumi Aksara, , hlm. 75

Wahyu Wibowo. (2001). Manajemen Bahasa, Jakarta: Gramedia, hlm. 3

Jos Daniel Parera. (1989). Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa-bahasa


Istilah dan ungkapan leksikologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 16

Abdul Chaer, Leoni Agustina. (2004) Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta:


Rineka Cipta, hlm. 228

B. H. Hoed. (1976). Pengajaran Bahasa dan Sastra, Jakarta Gramedia Pustka


Utama, hlm. 18

Iskandar Wassid, Dadang Sunendar. (2008) Strategi Pembelajaran Bahasa, PT


Remaja Rosda Kariya: Rineka Cipta, hlm. 84.

H. Donglas Brown. (2009). Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa:


Pemerolehan Bahasa Pertama, edisi kelima, hlm. 27
24

Manan, M. Sholihan. (1991). Pengantar Kaidah Berbahasa Indonesia yang


Baik dan Benar, Fakultas Tarbiyah Surabaya, hlm. 8

Zainal Arifin Nugraha. (2020). Kesalahan Pelafalan Fenom Bahasa Indonesia


Oleh Pemelajar Asal Tiongkok, vol.6, no.1, Hlm 23-25.

Anda mungkin juga menyukai