Anda di halaman 1dari 32

1. Korelasi usia dengan keluhan pasien?

Beberapa penelitian mengatakan bahwa terdapat adanya hubungan keluhan yang


dirasakan tersebut dengan usia. Yang dimana biasanya penyakit sistem pencernaan
khusunya yang mengenai lambung menyerang usia produktif. Yang dimana pada usia
produktif, orang-orang rentang mengalami penyakit saluran pencernaan oleh karena
tingkat kesibukan serta gaya hidup yang kurang memperhatikan kesehatan serta stress
yang mudah terjadi akibat dari pengaruh faktor-faktor lingkungan. Selain itu, semakin
bertambahnya usia seseorang, maka lapisan dinding mukosa lambung akan semakin
menipis.
2. Pembahasan DD (GERD, Ulkus Peptikum, Gastritis Erosifa, Varises Esofagus,
Syndrome Malorye Weiss Tear)?
A. Gerd
 Definisi
Gastroesophageal reflux disease (GERD) atau biasanya disebut sebagai
penyakit refluks gastroesophageal merupakan suatu keadaan terjadinya reflus
cairan asam lambung ke dalam esofagus.
 Epidemiologi
Prevalensi GERD pada dewasa di dunia adalah sebesar 11-38.8% dan berbeda
pada setiap negara. Insidensi dari penyakit GERD bertambah dari tahun ke tahun.
Data menunjukkan bahwa prevalensi GERD di Malaysia sebesar 38.8%,
Singapura sebesar 10.5%, Cina sebesar 7,28%, dan Jepang sebesar 6,60%.
Prevalensi GERD di Indonesia secara lengkap belum ada, namun keluhan GERD
cukup banyak ditemukan pada praktik sehari-hari. Salah satu masalah yang sering
ditemukan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah menegakkan diagnosis
dan menentukan terapi yang sesuai untuk GERD dengan keterbatasan fasilitas
kesehatan penunjang diagnostik.
 Etiologi
 Manifestasi Klinis
Pasien GERD umumnya mengeluhkan rasa panas di dada yang biasanya
timbul setelah makan atau saat berbaring. Gejala lain GERD adalah kembung,
mual, cepat kenyang, bersendawa, sulit menelan, dan rasa nyeri saat menelan
makanan. Sulit menelan timbul akibat striktur dari esofagus yang merupakan
komplikasi lanjut dari penyakit GERD. Sedangkan rasa nyeri saat menelan timbul
sebagai akibat dari luka pada esofagus atau ketika terjadi infeksi.
 Pemeriksaan Fisik
Untuk mendiagnosis GERD pada fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Gastroesophageal Reflux Disease Questionnairre (GERD-Q) merupakan
kuesioner yang sering digunakan untuk mendiagnosis GERD. GERD-Q adalah
kuesioner yang berisikan 6 pertanyaan mengenai gejala klasik GERD, pengaruh
GERD terhadap kualitas hidup, dan efek penggunaan obat-obatan terhadap gejala
dalan 7 hari terakhir. Pada penelitian dikatakan kuesioner GERD-Q memiliki skor
minimal 0 dan maksimum 18. Jika skor >8 maka pasien tersebut memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk menderita GERD dan membutuhkan evaluasi
yang lebih lanjut. Kuesioner GERD-Q juga memiliki manfaat untuk monitoring
efek terapi pada pasien GERD.

terdapat banyak kuesioner yang digunakan untuk mendiagnosis GERD pada


fasilitas kesehatan tingkat pertama contohnya puskesmas, contohnya adalah
CarlssonDent dan ReQuest. Namun, di Indonesia yang sering digunakan adalah
kuesioner GERD-Q karena memiliki angka sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik dan pertanyaannya lebih mudah dimengerti oleh pasien.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tambahan lain untuk mendiagnosis GERD adalah uji terapi
menggunakan obat Pronton Pump Inhibitor (PPI test). Tes ini dilakukan dengan
memberikan PPI dosis ganda pada penderita yang dicurigai GERD selama satu
hingga dua minggu. Jika setelah pemberian obat PPI gejala menghilang dan jika
pemberian PPI dihentikan gejala muncul kembali, maka diagnosis GERD dapat
ditegakkan.
Pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan pada puskesmas sehingga harus
dirujuk pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Endoskopi mempunyai manfaat
untuk melihat bagian dari saluran pencernaan bagian atas sehingga kelainan pada
mukosa saluran pencernaan dan perdarahan aktif saluran cerna bagian atas dapat
terlihat.
 Patofisiologi
 Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko GERD adalah mengkonsumsi obat-obatan seperti
teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, dan calcium-channel blocker.
Cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok juga menyebabkan
terjadinya GERD. Hormon pada wanita hamil dan menopause juga turut serta
mengambil peran dalam terjadinya GERD. Penyakit lain seperti hiatal hernia dan
obesitas juga dapat mencetuskan GERD. Semakin tinggi nilai Indeks Masa Tubuh
(IMT) maka risiko kejadian munculnya penyakit GERD akan semakin meningkat
pula.
 Tatalaksana
Terapi GERD pada fasilitas kesehatan tingkat pertama terbagi menjadi dua
yaitu terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi. Tujuan dari terapi GERD
adalah menghilangkan keluhan yang dirasakan oleh pasien, menyembuhkan lesi
pada esofagus, memperbaiki kualitas hidup pasien, mencegah kekambuhan
GERD, dan mencegah timbulnya komplikasi lebih lanjut.
Menurunkan berat badan, menghindari makanan yang mengandung cokelat,
minum mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak dapat membantu
mencegah timbulnya GERD. Tidak makan terlalu kenyang dan makan malam
paling lambat 3 jam sebelum tidur dapat membantu memperingan terjadinya
kekambuhan pada pasien GERD.
Terapi pengobatan yang digunakan pada pasien GERD adalah obat golongan
PPI (Proton Pump Inhibitor). Terdapat beberapa jenis PPI yang beredar di pasaran
yaitu omeprazole 20 mg, lansoprazol 30 mg, pantoprazol 40 mg, esomeprazol 40
mg, dan rabeprazol 20 mg. PPI biasanya dikonsumsi pada pagi hari sebelum
makan pagi, atau makan dua kali yaitu sebelum makan pagi dan sebelum makan
malam.
Selain obat PPI terdapat obat golongan lain yaitu antagonis reseptor H2,
antasida, dan prokinetik. Antagonis reseptor H2 dan atasida digunakan untuk
mengatasi gejala pasien berupa refluks dan sebagai terapi kombinasi dengan PPI.
Diagnosis GERD pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat dilakukan
cukup hanya dengan kuesioner saja. Kuesioner yang sering digunakan di
Indonesia adalah GERD-Q. Pengobatan GERD umumnya dapat diobati secara
baik di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Mengatur pola makan dan posisi tidur
juga dapat memperingan kekambuhan GERD. Obat yang biasanya diresepkan
oleh dokter di Puskesmas untuk pasien GERD adalah obat golongan Proton Pump
Inhibitor (PPI), antagonis reseptor H2, antasida, dan prokinetik.
 Komplikasi
 Prognosis
 KIE
REFERENSI:
1) Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional
penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux
disease/ GERD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia;
2013.
2) PAPDI. Buku Ajar Penyakit Dalam edisi V bab gaestroenterologi. 2005
B. Ulkus Peptikum
 Definisi
Tukak gaster merupakan gambaran bulat atau semi bulat/oval yang ukurannya
>5 mm kedalam sub mukosal pada mukosa lambung akibat terputusnya
kontinuitas/integritas mukosa lambung. Tukak gaster merupakan sebuah luka
terbuka dengan pinggir edema disertai industri dengan dasar tukak ditutupi debris.
 Epidemiologi
Tukak gaster tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi yang berbeda
tergantung pada sosial ekonomi, demografi, dijumpai lebih banyak pada pria dan
meningkat pada usia lanjut serta kelompok sosial ekonomi yang rendah dengan
puncak pada dekade keenam. Insidensi dan kekambuhan/rekurensinya saat ini
menurun sejak ditemukannya kuman HP sebagai penyebab dan dilakukan terapi
eradikasi. Di Britania Raya ada sekitar 6-20% penduduk menderita tukak pada
usia 55 tahun (sedang) prevalensinya 2-4%. Di USA ada sekitar 4 juta pasien
gangguan asam-pepsin, dengan prevalensi 12% pada pria dan 10% perempuan
dengan angka kematian pasien 15.000 pertahun dan menghabiskan dana sekitar
$10 Milyar/tahun.
 Etiologi
Tukak gaster kebanyakan disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (30-
60%) dan OAINS, serta penyebab lain seperti Sindrom Zollinger Elison.
 Manifestasi Klinis
 Dispepsia
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna
seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati, sendawa/ terapan, rasa
terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang.
Dispepsia secara klinis dibagi atas:
a. Dispepsia akibat gangguan motilitas
Keluhan seperti perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah makan,
cepat merasa kenyang disertai sendawa.
b. Dispepsia akibat tukak
Keluhan berupa nyeri uluh hati, rasa tidak nyaman dan muntah.
c. Dispepsia akibat refluks
Keluhan berupa perasaan nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar.
d. Dispepsia tidak spesifik.
 Rasa sakit timbul setelah makan, bisanya rasa sakit pada sebelah kiri. Rasa
sakit bermula pada satu titik (pointing sign) dan menjalar kepunggung. Gejala
ini kemungkinan disebabkan penyakit bertambah berat atau mengalami
komplikasi berupa penetrasi tukak keorgan pankres.
 Tukak akibat obat OAINS dan tukak pada usia lanjut/manula biasanya tidak
menimbulkan keluhan, hanya diketahui melalui komplikasinya berupa
perdarahan dan perforasi.
 Pemeriksaan Fisik
Umumnya untuk tukak tanpa komplikasi jarang menunjukkan kelainan fisik.
Adapun tanda-tanda yang dapat dijumpai pada tukak gaster tanpa komplikasi
seperti rasa sakit/nyeri ulu hati, di kiri garis tengah perut, terjadi penurunan berat
badan. Goncangan perut atau succusion splashing dijumpai 4-5 jam setelah
makan dapat disertai dengan muntah (tanda adanya retensi cairan lambung dari
komplikasi tukak/gastric outlet obstruction atau stenosis pilorus). Didapatkan
tanda Takikardi dan syok hipopolemik yang merupakan tanda dari perdarahan.
 Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan barium meal kontras ganda digunakan
untuk menegakkan diagnosis tukak peptik. Gambaran radiologi suatu tukak
berupa crater/kawah dengan batas jelas disertai lipatan mukosa yang teratur
keluar dari pinggiran tukak dan niche. Bila terjadi keganasan biasanya akan
dijumpai suatu filling defect.
 Endoskopi
Endoskopi digunakan untuk mendiagnostik tukak peptik (lebih
dianjurkan). endoskopi untuk suatu tukak jinak berupa luka terbuka dengan
pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai lipatan yang teratur keluar
dari pinggiran tukak. Sedangkan gambaran tukak gaster akibat keganasan
ditandai dengan Boorman I/polipoid, B-II/ulceratif, B-III/infiltratif,
B-IV/linitis plastika (scirrhus). Karena tingginya kejadian keganasan pada
tukak gaster (70%) maka dianjurkan untuk dilakukan biopsi dan endoskopi
ulang setelah 8-12 minggu terapi eradikasi.
 Histopatologi
Berfungsi untuk memastikan diagnosa keganasan tukak gaster, yaitu
sitologi brushing dengan biopsi melalui endoskopi. Bila ditemukannya kuman
Helicobacter pylori sebagai etiologi tukak peptik maka dianjurkan
pemeriksaan tes CLO, serologi, dan UBT dengan biopsi melalui endoskopi.

 Patofisiologi
Secara fisiologis, asam lambung dihasilkan oleh sel pariteal/oxyntic,
sedangkan sel peptik/zimogen akan mengeluarkan pepsinogen yang kemudian
diubah menjadi pepsin oleh HCL, yang mana HCI dan pepsin merupakan faktor
agresif terutama pepsin dengan mileu pH <4 (sangat agresif terhadap mukosa
lambung). Ketika terjadi suatu iritasi, maka bahan iritan tersebut akan
menimbulkan sebuah defek barier mukosa dan terjadi lah difusi balik dari ion H+.
Kemudian, histamin terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung,
sehingga timbul dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler,
kerusakan mukosa lambung, gastritis akut/kronik dan tukak gaster.
 Shay and Sun
Tukak terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif
(asam) & pepsin dengan defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah, PG), baik
itu faktor agresif meningkat atau faktor defensif menurun.
 Helycobacter pylori (HP), "NO HP No Ulcer"
HP adalah kuman patogen gram negatif berbentuk batang /spiral,
mikoaerofilik berflagela hidup pada permukaan epitel, mengandung urease
(Vac A, cag A, PAI dapat mentrans lokasi cag A kedalam sel host), hidup
diantrum, migrasi ke proksimal lambung dan dapat berubah menjadi kokoid
suatu bentuk dorman bakteri.
Infeksi kuman HP akut dapat menimbulkan gastritis kronik yang diikuti
oleh atrofi sel mukosa korpus dan kelenjar, metaplasia intestinal dan
hipoasiditas. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor host,
lamanya infeksi (lokasi, respon inflamasi, genetik), bakteri (virulensi, struktur,
adhesin, porins), enzim (urease vac A, cag A) dan lingkungan (asam lambung,
OAINS, empedu dan faktor iritan lainnya), sehingga dengan adanya faktor
tersebut, maka terbentuklah gastritis kronik tukak gaster, Mucosal Associated
Lymphoid Tissue (MALT) limfoma dan Kanker Lambung.
HP merupakan penyebab terbanyak dari tukak pada antrum gaster (30-
60%) dan tukak duodeni (90%). Selain kuman diatas, tukak gaster juga dapat
disebabkan oleh OAINS maupun Sindrom Zollinger Elison. Terjadinya
infeksi HP sendiri biasanya bersifat asimtomatik. Terjadinya penyakit ataupun
asimtomatik ini tergantung dari dua hal, yaitu faktor host dan adanya
perbedaan genetik dari strain HP yang ada. Bila HP bersifat patogen maka
yang pertama kali terjadi adalah HP dapat bertahan di dalam suasana asam di
lambung, yang kemudian terjadi penetrasi terhadap mukosa lambung, dan
pada akhirnya HP berkolonisasi di lambung tersebut. Sebagai akibatnya HP
berploriferasi dan dapat mengabaikan sistem mekanisme pertahanan tubuh
yang ada. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari HP memainkan peranan
penting diantaranya urease memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa
lemah yang melindungi kuman tersebut terhadap mileu asam HCI.
 Faktor Resiko
 Tatalaksana
 Non-farmakologi
1) Istirahat
2) Diet
Pasien dianjurkan makan makanan yang lunak, seperti bubur. Hindari
makanan pedas, makanan yang mengandung asam (dapat menimbulkan
rasa sakit pada beberapa pasien tukak dan dispepsia nontukak. Hindari
Merokok, hindari Air jeruk yang asam, coca cola, bir, dan kopi (dapat
menambah sekresi asam lambung), serta perubahan gaya hidup dan
pekerjaan.
3) Obat-obatan.
Obat-obatan seperti OAINS sebaiknya dihindari. Bila diperlukan dosis
OAINS diturunkan atau dikombinasi dengan ARH2/ PPI/misoprostrol.
 Farmakologi
1) Antasida
Dosis: 3x1 tablet, 4x30 cc (3x sehari sebelum tidur dan/atau 3 jam
setelah makan).
2) Obat Penangkal Kerusakan Mukus
Koloid bismuth (coloid bismuth subsitrat/ CBS dan bismuth
subsalisilat/BSS). Obat ini mempunyai efek penyembuhan hampir sama
dengan ARH2 serta adanya efek bakterisidal terhadap HP sehingga
kemungkinan relaps berkurang. Dosis: 2x2 tablet sehari. Efek samping
tinja berwarna kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan
perdarahan.
3) Sukralfat
Dosis: 4x1 gram sehari. Efek samping konstipasi, tidak dianjur kan
pada gagal ginjal kronik.
4) Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah
sekresi mukus, bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa serta
pertahanan dan perbaikan mukosa. Biasanya digunakan sebagai penangkal
terjadinya tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis
4x200 mg atau 2x400 mg pagi dan malam hari.
5) Antagonis reseptor H2/ARH2
Antagonis reseptor H2/ARH2 (simetidin, ranitidine, famotidine,
Nizatidine), struktur homolog dengan histamin. Dosis terapeutik:

OBAT DOSIS DOSIS PEMELIHARAAN


Simetidin, 2x 400 mg atau 800 gr 400 mg malam hari
malam hari

Ranitidine, 300 mg malam hari 150 mg malam hari


Famotidine, 1x 40 mg malam hari
Nizatidine 1x 300 mg malam hari 150 mg malam hari
Roksatidin 2x 75 mg atau 150 mh 75 mg malam hari
malam hari

6) Proton pump inhibitor/PPI


Contoh obatnya seperti Omeprazol, Lansoprazol, Pantoprazol
Rabeprazol, Esomesoprazol. Dosis:

Nama obat Dosis


Omeprazol 2x20 mg/standard dosis atau 1x40 mg/double
dosis
Lansoprazol/Pantoprazol 2 x 40 mg/standard dosis atau 1x 60
mg/double dosis.

 Pentalaksanaan infeksi HP
1) Terapi dual dengan antibiotik
2) Regimen terapi/ Terapi tripel
Terapi eradikasi yang pertama digunakan seperti Bismuth,
Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen tripel terapi (PPI 2x1, Amoxicilin
2x1000, Klaritromisin 2x500, Metronidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500)
yang banyak digunakan saat ini:
- PPI 2x1+ Amoksisilin 2x1000 + Klaritromisin 2x500 rejimen terbaik
- PPI 2x1+ Metronidazol 3x500+ Claritromisin 2x500 (bila alergi
penisilin)
- PPI 2x1+ Metronidazol 3x500+ amoksisilin 2x1000, kombinasi yang
termurah
- PPI 2x1+ Metronidazol 3x500+ Tetrasiklin 4x500 bila alergi terhadap
klaritromisin dan penisilin.

OBAT DOSIS
PPI (Omeprazol) 2 x 20 mg

Amoksisilin 2 x 1000 mg

Klaritromisin 2 x 500 mg

Metronidazol 3 x 500 mg

Tetrasiklin 4 x 500 mg

Bismuth 4 x 120 mg

7) Tindakan operasi
Diindikasikan jika:
a. Elektip (tukak refrakter/gagal pengobatan)
b. Darurat (komplikasi: perdarahan, perforasi, stenosis pilorik)
c. Tukak gaster dengan sangkaan keganasan (corpus dan fundus, serta
keganasan).
d. Jika adanya penyertaan tukak duodenum.
 Komplikasi
 Prognosis
 KIE
REFERENSI :
1) Kuliah Pakar, dr. Buly fatrahadi utami, Sp. PD “Gangguan Gaster dan Duodenum
”. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar, Mataram. 2022
2) Setiati S, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. VI. Jakarta:
Interna Publishing.
C. Gastritis Erosifa
 Definisi
Gastritis erosif merupakan komplikasi dari penyakit gastritis yang
mengakibatkan kelainan erosi mukosa gaster yang di sebabkan oleh kerusakan
npertahan mukosa yang superfisial namun tidak menembus lapisan mukosa
muskularis.
Gastritis erosif merupakan erosi mukosa lambung yang di sebabkan oleh
kerusakan pertahanan mukosa yang superfisial namun tidak menembus lapisan
mukosa muskularis. Gastritis adalah suatu peradangan lambung yang dapat
bersifat kronik dan subakut, difus atau lokal yang di sebabkan oleh bakteri atau
obat obatan.
 Klasifikasi
Klasifikasi Gastritis :
 Gastritis akut
Merupakan suatu proses peradangan pada mukosa lambung secara akut
dengan menyebabkan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Gastritis akut
terdiri dari beberapa tipe yaitu: (gastritis infeksi akut, gastritis erosif yang di
sebabkan oleh penggunaan NSAID, alkohol atau merokok), gastritis
hemoragic dan necrotising yang di sebabkan oleh adanya iskemik.
 Gastritis kronik
Gastritis kronik terdiri dari beberapa tipe yaitu :
- Tipe A / gastritis fundal yang mengenai fundus lambung. Tipe ini
merupakan penyakit autoimun dengan adanya autoantibodi terhadap sel
parietal kelenjar lambung dan faktor interinsik yang berhubungan dengan
tidak adanya sel parietal dan chief cell sehingga penurunan dari sekresi
asam yang menyebabkan kadar gastrin meningkat.
- Tipe B / gastritis antral yang mengenai daerah antrum lambung dan lebih
sering terjadi di bandingkan dengan gastritis Tipe A.
 Epidemiologi
Indonesia kasus dengan keluhan perdarahan saluran cerna atas di sebabkan
oleh gastritis erosif 25-30%, pada penelitian yang di lakukan di korea 2015 di
dapatkan 38% proporsi gastritis erosif dengan melihat faktor resiko kecepatan
makan, merokok, usia dan jenis kelamin. Pada penelitian yang di lakukan di iran
2016 dengan 400 pasien dispepsia yang di lakukan pemeriksaan endoskopi di
dapatkan gastritis erosif sekitar 15%.
 Etiologi
Salah satu penyebab tersering gastritis erosif yaitu penggunaan non steroid
anti inflamasi (NSAID) yang umumnya di gunakan sebagai obat anti nyeri,
reumatoid arthritis dan osteoarthritis. Mekanisme obat NSAID yang
menyebabkan kerusakan pada gastrointestinal dengan menghambat sintesis
prostaglandin.
Beberapa faktor yang menyebabkan gastritis erosif adalah : penggunaan obat
NSAID, infeksi helicobacter pilory, alkohol dan merokok. Selain penggunaan
NSAID yang mengakibatkan iritasi lambung juga penggunaan antibiotik,
terutama paa pasien yang mengalami infeksi paru yang mempengaruhi penularan
kuman di komunitas karena antibiotik dapat mengeradikasikan infeksi
helikobacter pillory. Terdapat beberapa yang dapat menyebabkan penyakit
gastritis dan gastritis erosif di antaranya adalah : infeksi jamur (kandidiasis,
histoplamosi), infeksi virus (CMV), radiasi, stres akut, alkohol, dan merokok juga
dapat menyebabkan iritasi pada lambung.
 Manifestasi Klinis
Banyak orang yang tidak memiliki gejala , tapi beberapa orang juga memiliki
gejala seperti nyeri pada perut bagian atas, mual, muntah, yang juga bisa di sebut
dengan dispepsia. Gatritis erosif menyebabkan ulkus atau erosi pada lapisan
lambung dan bisa terjadi perdarahan. Tanda perdarahan pada lambung yaitu
terdapat darah dalam muntahan. Gejala awal yang terdapat pada gastritis erosif
yaitu melena, hematemesis, atau perdarahan nasogastric aspirate, yang umumnya
terjadi 2-5 hari.
 Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan dari pemeriksaan fisik pasien di dapatkan adanya tanda gangguan
hemodinamik karena erosi lambung yang menyebabkan perdarahan saluran cerna
bagian atas. Selain itu juga di dapatkan kondisi pasien tampak lemah dan pucat.
 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan endoskopi
Endoscopi merupakan penunjang diagnostik gastritis akut dan kronik.
Dengan pemeriksaan endoskopi dapat di nilai adanya erosi, ulkus maupun
tumor sebagai penyebab erosi maupun perdarahan saluran cerna. Gambaran
makroskopik dan patologi endoskopi bervariasi dan hiperemia mukosa ringan
sampai erosi mukosa, bintik bintik perdarahan tersebar, gastritis akut dan
ulcer.
2) Pemeriksaan histopatologi
Gastritis erosif pada pemeriksaan histopatologi di tandai dengan defek sel
epitel yang masuk ke dalam lapisan mukosa yang lebih dalam. Erosi terbentuk
karena kematian sel epitel (nekrosis atau apoptosis) atau pelepasan epitel
melebihi dari regnerasi epitel. Pada pemeriksaan histopatologik erosi
mengandung deposisi fibrin, infiltrasi neutrofilik dan perubahan regneratif
dalam epitel yang berdekatan.
 Patofisiologi
Erosif di hasilkan dari ketidakseimbangan antara faktor protektif destruktif.
Erosif dan ulkus terjadi dengan proses yang sama dan berbagai faktor yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa. Gastritsi akut memiliki sejumlah penyebab
termasuk penggunaan obat , alkohol, iskemik, bakteri, virus, infeksi jamur, stres
akut, radiasi dan trauma yang secara lambung. Mekanisme yang terjadi adanya
ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif dalam menjaga
integritas lapisan lambung atau mukosa lambung. Gastritis erosif di dapatkan dari
berbagai pajanan agent atau faktor.
 Faktor Resiko
 Tatalaksana
Untuk mencegah kerusakan dan efek samping yang mungkin terjadi pada
penggunaan NSAID beberapa cara yang di gunakan dan penting untuk di
resepkan kepada pasien yaitu, kombinasi obat NSAIDs dengan agent
gastroprotektif dan menggunakan inhibitor selective COX-2
 Komplikasi
1) Gastritis atrofi
Gastritis atrofi terjadi ketika inflamasi kronik pada lambung menyebabkan
kehilangan lapisan dan kelenjar. Gastritsi kronik yang progres dapat menjadi
gastritis atrofi. Gastritis atrofi dapat berkembang menjadi 2 tipe kanker yaitu :
kenker lambung dan gastric mukosa associated lymphoid tissue (MALT)
lymphoma.
2) Anemia
Gastritis erosif menyebabkan perdarahan kronik pada lambung dan
kehilangan darah yang menyebabkan anemia. Anemia merupakan suatu
kondisi sel darah merah yang kurang dari nilai normalnya yang membuat sel
tubuh untuk mendapatkan oksigen tidak cukup.
3) Kekurangan vitamin B12
Seseorang dengan autoimun gastritis atrofi tidak dapat memproduski
faktor interinsik. Faktor interinsik adalah faktor pembuatan protein di
lambung dan membantu dalam absorbsi vitamin B12 untuk membuat sel darah
merah dan sel saraf.
 Prognosis
 KIE
D. Varises Esofagus
 Definisi
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran abnormal
pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Perdarahan varises esofagus
adalah, perdarahan dari varises esofagus atau lambung yang ditemukan pada saat
dilakukan endoskopi, atau adanya varises esofagus besar dengan darah dalam
lambung dan tidak ada penyebab perdarahan lain yang dapat dikenali. Perdarahan
secara klinis bermakna jika memerlukan transfusi sebanyak 2 unit darah atau
lebih dalam waktu 24 jam dari saat pasien datang ke rumah sakit, disertai dengan
tekanan darah sistolik < 100 mmHg, atau ada perubahan postural lebih dari 20
mmHg dan/atau frekuensi nadi > 100 x/menit. (PGI. 2007)
 Epidemiologi
Varises paling sering terjadi pada beberapa sentimeter esofagus bagian distal
meskipun varises dapat terbentuk dimanapun di sepanjang traktus gastrointestinal.
Sekitar 50% pasien dengan sirosis akan terjadi varises gastroesofagus dan sekitar
30–70% akan terbentuk varises esophagus. Sekitar 4–30% pasien dengan varises
yang kecil akan menjadi varises yang besar setiap tahun dan karena itu
mempunyai risiko akan terjadi perdarahan. (Meseeha M, 2022)
 Etiologi
Varises esofagus disebabkan oleh hipertensi portal, yakni kondisi saat tekanan
darah tinggi pada vena portal yang membawa darah ke hati. Tekanan tersebut
akan menyebabkan darah mengalir ke pembuluh darah lain yang berukuran lebih
kecil yang tidak mampu menampung darah dalam jumlah banyak, sehingga
pembuluh darah menjadi pecah. Terdapat sejumlah faktor dan kondisi kesehatan
yang dapat memicu terjadinya hipertensi portal, seperti:
- Komplikasi dari sejumlah gangguan hati, seperti trombosis vena portal,
sirosis, hepatitis akut, serta fibrosis hepatik bawaan. Sebagian besar varises
esofagus dialami oleh pengidap penyakit hati kronis.
- Kekurangan gizi.
- Konsumsi minuman keras jangka panjang.
- Peningkatan tekanan dalam perut.
- Konsumsi obat anti inflamasi non-steroid.
- Infeksi bakteri. (Kasper BF., et all. 2017)
 Manifestasi Klinis
Gejala klinis dari varises esophagus diantaranya adalah sebagai berikut :
- Perdarahan varises dapat menjadi gejala awal dari sirosis yang sebelumnya
tidak terdiagnosis.
- Hematemesis, melena, atau hematochezia
- Perdarahan saluran cerna bagian atas yang cepat dapat muncul sebagai
perdarahan rektal.
- Penurunan berat badan pada pasien dengan penyakit hati kronis
- Anoreksia
- Perut terasa tidak nyaman
- Penyakit kuning
- Pruritus
- Gejala ensefalopati yaitu adanya perubahan pada status mental
- Kram otot
Varises esofagus biasanya baru memberikan gejala apabila varises sudah pecah
dengan timbulnya hematemesis atau melena. Semakin tinggi derajat varises
esophagus maka semakin tinggi juga kemungkinan untuk terjadinya perdarahan,
sehingga akan lebih banyak penderita yang ditemukan dengan varises esophagus
stadium berat. (Yestria E., dkk. 2017)
 Pemeriksaan Fisik
- Kaji stabilitas hemodinamik: hipotensi, takikardia (perdarahan aktif)
- Pemeriksaan abdomen: palpasi/perkusi hati (sering kali kecil dan keras
dengan sirosis)
- Splenomegali, asites
- Sirkulasi kolateral periumbilikus abdomen yang terlihat (caput-medusa)
- Stigmata perifer penyalahgunaan alkohol: spider angiomata di
dada/punggung, eritema palmaris, atrofi testis, ginekomastia, eritema palmaris
- Atrofi testis
- Dengungan vena
- Ensefalopati hepatik; asteriksis. (Meseeha M, 2022)
 Pemeriksaan Penunjang
Esophagogastroduodenoscopy adalah gold standart untuk mendiagnosis
varises esofagus. Jika Esophagogastroduodenoscopy tidak tersedia, maka langkah
yang digunakan untuk mendiagnosis selanjutnya adalah USG Doppler dari
sirkulasi darah (bukan USG Endoscopy). Walaupun ini merupakan pilihan kedua
yang tidak begitu bagus tetapi ini dapat dengan pasti menentukan keberadaan
varises. Alternatif lainnya adalah radiografi dengan menggunakan kontras barium,
dan angiografi vena porta dan manometri. (Kasper BF., et all. 2017)
 Patofisiologi
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan dari tekanan darah pada
sistem vena porta. Tekanan porta secara tidak langsung diperkirakan berasal dari
gradient tekanan vena, yang merupakan gradient antara vena hepar yang
tersumbat dan vena hepar yang bebas dari sumbatan. Tekanan vena normal pada
hepar adalah kurang dari 5 mmHg.
Hipertensi portal yang terjadi pada sirosis merupakan suatu akibat dari
peningkatan resistensi vascular hepar dan peningkatan aliran darah menuju sistem
vena porta. Berdasarkan hukum Ohm, tekanan vena portal (P) merupakan suatu
produk dari resistensi vaskular (R) dan aliran darah pada sistem vena porta (Q)
sehingga didapatkan persamaan P = Rx Q.
Peningkatan resistensi intra hepar diakibatkan karena dua macam mekanisme,
meliputi mekanisme mekanis dan dinamis. Komponen mekanis yang mendasari
peningkatan tekanan vena porta tersebut berasal dari pembentukan fibrosis dari
intra hepar. Terdapat berbagai mekanisme patologis yang diyakini berkontribusi
dalam peningkatan resistensi intrahepar tersebut pada level mikrosirkulasi hepar
(hipertensi portal sinusoid), antara lain meliputi distorsi arsitektural dari hepar
akibat pembentukan jaringan fibrotik, nodul regeneratif, dan penumpukan kolagen
pada space of Disse.
Komponen dinamik yang menjadi penyebab dari peningkatan tekanan vena
porta dibentuk dari vasokontriksi pada venula porta yang terjadi secara sekunder
akibat dari kontraksi aktif porta dan myofibroblas septum untuk mengaktivasi sel
hepatic stellates dan serat otot polos vaskular. Tonus vaskular intra hepar
dimodulasi oleh vasokontriktor endogen, seperti norepinefrin, endothelin-1,
angiotensin II, leukotrien, dan tromboxan A2. Selain itu, tonus vascular tersebut
juga diperkuat oleh vasodilator (nitric oxide). Pada sirosis, peningkatan tekanan
vena porta juga diakibatkan karena imbalans dari komponen vasokontriktor dan
vasodilator.
Hipertensi portal ditandai dengan adanya peningkatan curah jantung dan
penurunan dari resistensi vascular sistemik yang dapat mengakibatkan adanya
suatu kondisi sirkulasi yang hiperdinamik dengan vasodilatasi pembuluh darah
splanik dan sistemik. Vasodilatasi arteri splanik mengakibatkan adanya
peningkatan aliran darah portal yang pada akhirnya justru mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan portal yang lebih parah. Adanya vasodilatasi arteri
splanik tersebut diakibatkan karena adanya pelepasan vasodilator endogen, seperti
nitric oxide, glucagon, dan vasointestinal active peptide.
Peningkatan gradient tekanan portokaval akan mengajibatkan terjadinya
pembentukan vena kolateral di sistemik sebagai usaha untukdekompresi sistem
vena porta. Varises esophagus merupakan salah satu produk kolateral yang paling
penting karena memiliki kemungkinan besar untuk berdarah. Varises esofagus
dapat terbentuk ketika tekanan gradien vena meningkat di atas 10 mmHg. Seluruh
faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya pendarahan varises antara lain
adalah terjadinya perburukan dari penyakit hepar, intake makanan, intake alkohol,
ritme sirkardian, aktivitas fisik, dan peningkatan tekanan intra abdominal.
Beberapa obat temyata juga ditemukan mampu mempengaruhi keadaan dari
dinding varises, antara lain adalah ASA dan NSAID lainnya ternyata mampu
meningkatkan risiko pendarahan. Infeksi bakteri dapat meningkatkan risiko
pendarahan awal dan kambuhannya juga. (Dooley S, et all. 2011)
 Faktor Resiko
 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan perdarahan gastrointestinal adalah stabilisasi pada
hemodinamik, meminimalkan komplikasi dan mempersiapkan terapi yang efektif
untuk mengontol perdarahan. Resusitasi awal harus dengan cairan intravena dan
produk darah, serta penting perlindungan pada saluran nafas. Setelah dicapai
hemodinamik yang stabil, namun bila perdarahan terus berlanjut hendaknya
dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk melihat sumber perdarahan, dan untuk
identifikasi kemungkinan pilihan terapi seperti skleroterapi, injeksi epineprin atau
elektrokauter.
a. Terapi farmakologis
Prinsip pemberian farmakoterapi adalah menurunkan tekanan vena porta
dan intravena. Hanya ada dua farmakoterapi yang direkomendasikan untuk
pentatalaksanaa perdarahan varises esofagus yaitu: vasopresin dan terlipresin.
Vasopresin adalah vasokonstriktor kuat yang efektif nenurunkan tekanan
portal dengan menurunkan aliran darah portal yang menyebabkan
vasokonstriksi splanknik. Penatalaksanaan dengan obat vasoaktif sebaiknya
mulai diberikan saat datang ke rumah sakit pada pasien dengan hipertensi
portal dan dicurigai adanya perdarahan varises. Dikutip dari Science Direct,
tujuan pemberian farmakoterapi adalah untuk menurunkan tekanan portal,
yang berhubungan erat dengan tekanan varises. Terapi ini rasional bila
tekanan portal yang tinggi ( > 20 mmHg) dengan prognosis yang kurang baik.
Obat vasoaktif dapat diberikan dengan mudah, lebih aman dan tidak
memerlukan keterampilan. Terapi dapat dimulai di rumah sakit, dirumah atau
saat pengiriman ke rumah sakit yang akan meningkatkan harapan hidup pasien
dengan perdarahan masif. Obat vasoaktif juga akan memudahkan tindakan
endoskopi.
Terlipresin adalah turunan dari vasopresin sintetik yang long acting,
bekerja lepas lambat. Memiliki efek samping kardiovaskuler lebih sedikit
dibandingkan dengan vasopresin. Pada pasien dengan sirosis dan hipertensi
porta terjadi sirkulasi hiperdinamik dengan vasodilatasi. Terlipresin
memodifikasi sistem hemodinamik dengan menurunkan cardiac output dan
meningkatkan tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler sistemik. Terlipresin
memiliki efek menguntungkan pada pasien ke gagalan hepatorenal, yaitu
dengan kegagalan fungsi ginjal dan sirosis dekompensata. Dengan demikian,
dapat mencegah gagal ginjal, yang sering terdapat pada pasien dengan
perdarahan varises. Ketika dicurigai perdarahan varises diberikan dosis 2 mg/
jam untuk 48 jam pertama dan dilanjutkan sampai dengan 5 hari kemudian
dosis diturunkan 1 mg/ jam atau 12-24 jam setelah perdarahan berhenti. Efek
samping terlipresin berhubungan dengan vasokonstriksi seperti iskemia
jantung, infark saluran cerna dan iskemia anggota badan.
b. Terapi Endoskopi
Terapi endoskopi dilakukan pada kasus perdarahan varises, terutama
dalam upaya mencapai homeostasis. Temuan endoskopi juga berguna sebagai
indikator prognosis risiko perdarahan ulang. Teknik endoskopi yang
digunakan mencapai homeostasis adalah dengan memutus aliran darah
kolateral dengan cepat seperti ligasi atau skleroterapi karena trombosis.
Endoskopi dapat dilakukan pada pasien dengan varises esofagus sebelum
perdarahan pertama terjadi, saat perdarahan berlangsung dan setelah
perdarahan pertama terjadi.
c. Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS)
Merupakan cara untuk menurunkan tahanan aliran porta dengan cara
shunt (memotong) aliran melalui hati. Prinsipnya adalah menghubungkan
vena hepatik dengan cabang vena porta intrahepatik. Puncture needle di
masukkan ke dalam vena hepatik kanan melalui kateter jugular. Selanjutnya
cabang vena porta intra hepatik di tusuk, lubang tersebut dilebarkan kemudian
di fiksasi dengan expanding stent. Hal ini merupakan cara lain terakhir pada
perdarahan yang tidak berhenti atau gagal dengan farmakoterapi, ligasi atau
skleroterapi.
d. Operasi
Prinsipnya adalah melakukan pembedahan pada anastomosis
portosistemik. Tindakan ini tidak praktis pada situasi kegawatdaruratan dan
mempunyai angka mortalitas sangat tinggi dibandingkan dengan TIPS.
(Meseeha M, 2022)
 Komplikasi
- Aspirasi
- Kegagalan multiorgan
- Ensefalopati
- Perforasi kerongkongan
- Kematian. (Yestria E., dkk. 2017)
 Prognosis
Pada pasien dengan Sekali seorang pasien mengalami satu episode perdarahan
varises, ada kemungkinan 70% mengalami perdarahan ulang. Setidaknya 30%
dari episode perdarahan ulang berakibat fatal. Sebagian besar kematian terjadi
dalam beberapa hari pertama setelah perdarahan. Angka kematian tertinggi
dengan adanya intervensi bedah dan untuk perdarahan varises akut. (Yestria E.,
dkk. 2017)
 KIE
Memberikan edukasi tentang bagaimana cara menangani atau mencegah
kondisi yang dapat menyebabkan dari varises esofagus. Selain itu juga
memberitahu tentang hal-hal yang dapat menurunkan risiko terjadinya varises
esofagus dengan melakukan beberapa hal seperti berikut :
- Mengonsumsi makanan bergizi seimbang seperti sayur, buah, dan gandum
- Menjaga berat badan dan kadar lemak tubuh yang ideal
- Hindari minuman beralkohol
- Menghindari paparan zat kimia yang terlalu sering, misalnya dari pembersih
rumah atau obat pembunuh serangga.
- Menghindari faktor risiko hepatitis B dan hepatitis C, seperti perilaku seks
yang tidak aman dan penggunaan NAPZA melalui jarum suntik.
Bagi penderita penyakit liver, anjurkan untuk melakukan konsultasi secara
rutin ke dokter untuk mengurangi risiko terjadinya varises esofagus. (Khalid, R.
2018)
REFERENSI :
1) Elfatma Y, dkk. 2020. ‘Gambaran Derajat Varises Esofagus Berdasarkan
Beratnya Sirosis Hepatis’. Jurnal Kesehatan Andalas, vol. 6, no. 2, hh. 457-462.
2) Khalid, R. Healthline (2018). Bleeding Esophageal Varices.
E. Sindrom Malorye Weiss Tear
 Definisi
Sindrom Mallory-Weiss (MWS) atau Mallory Weiss Tear adalah salah satu
penyebab umum perdarahan saluran cerna bagian atas (GI) akut, ditandai dengan
adanya laserasi mukosa superfisial longitudinal (Mallory-Weiss Tear). Robekan
ini terjadi terutama di persimpangan gastroesofageal; yang dapat meluas ke
proksimal yang melibatkan esofagus bagian bawah atau bahkan pertengahan dan
kadang-kadang meluas ke distal dan melibatkan bagian proksimal lambung.
(Rawla P dan Joe, 2021)
 Epidemiologi
MWS menyumbang 1% sampai 15% dari penyebab perdarahan GI atas pada
orang dewasa dan kurang dari 5% pada anak-anak di Amerika Serikat. Usia
insiden tertinggi adalah antara 40 dan 60 tahun. Laki-laki 2 sampai 4 kali lebih
mungkin untuk mengembangkan sindrom Mallory-Weiss daripada wanita untuk
alasan yang tidak jelas. Hiperemesis menjadi etiologi yang sering untuk sindrom
Mallory-Weiss pada wanita muda, tes kehamilan harus dipertimbangkan pada
pasien tersebut. (Rawla P dan Joe, 2021)
 Etiologi
Penyebab sindrom Mallory-Weiss yang paling umum adalah muntah yang
parah atau berkepanjangan. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh gangguan
pada lambung, konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan, dan bulimia.
Kondisi lain dapat dipicu oleh tindakan berulang dari peningkatan tekanan
intraabdominal secara tiba-tiba seperti muntah, mengejan, batuk, RJP, atau trauma
tumpul abdomen.
 Manifestasi Klinis
Pada kasus ringan kondisi pasien dapat asimptomatik. Pada 85% kasus, gejala
yang meuncul adalah hematemesis. Jumlah darah bervariasi; mulai dari lendir
berlumuran darah hingga pendarahan merah terang yang masif.
Dalam kasus perdarahan parah, gejala seperti melena, pusing, atau sinkop.
Nyeri epigastrium biasanya hadie dan menunjukan adanya faktor predisposisi
seperti penyakit GERD. (Rawla P dan Joe, 2021)
 Pemeriksaan Fisik
Tidak ada tanda-tanda fisik khusus untuk sindrom Mallory-Weiss, dan tanda-
tandanya mirip dengan kondisi hemoragik atau syok lainnya. Selama pemeriksaan
fisik, klinisi harus memeriksa tanda-tanda perdarahan hebat dan syok, termasuk
tapi tidak terbatas pada, takikardia, denyut nadi, hipotensi, dehidrasi, penurunan
turgor kulit, dan waktu pengisian kapiler dan segera melakukan intervensi jika
ada. Pemeriksaan dubur bisa menunjukkan tanda-tanda melena. (Rawla P dan Joe,
2021)
 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis MWS biasanya dikonfirmasi dengan endoskopi. Hanya ada
pemisahan mukosa di dekat GE junction. Rata-rata panjang robekan sekitar 2-4
cm dan kebanyakan pasien hanya memiliki satu robekan. robekan tepat di bawah
persimpangan GE di kelengkungan yang lebih rendah.
Endoskopi GI bagian atas merupakan gold standard untuk mendiagnosis
robekan Mallory Weiss secara definitif, dan menangani perdarahan esofagus aktif
sederhana. Ini mungkin menunjukkan perdarahan aktif, gumpalan, atau kerak
fibrin di atas robekan. Dalam kebanyakan kasus, robekan linier tunggal yang
ditemukan di bagian proksimal kurvatura minor lambung tepat di bawah kardia,
menegaskan diagnosis. Endoskopi saluran cerna bagian atas juga berguna untuk
menemukan penyebab lain dari perdarahan termasuk varises esofagus, tukak
lambung atau duodenum. Kebanyakan Mallory Weiss tear memiliki panang yang
berukuran sekitar 1 inci.

Tes laboratorium meliputi hitung darah lengkap (CBC), hemoglobin dan


hematokrit, profil koagulasi (waktu perdarahan, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan jumlah trombosit). Alkoholisme kronis menghasilkan
jumlah trombosit yang rendah.

Tes laboratorium juga harus mencakup fungsi ginjal untuk mengenali adanya
gagal ginjal dengan mengukur nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin.
Kehadiran gagal ginjal akan kemungkinan besar dari azotemia pra-ginjal kecuali
pasien memiliki penyakit ginjal kronis yang hidup berdampingan sebelumnya.
Mengesampingkan iskemia atau infark miokard dengan mengukur enzim jantung
dan melakukan elektrokardiogram (EKG) di samping tempat tidur juga penting.
(Rawla P dan Joe, 2021)

 Patofisiologi
Mekanisme pasti terjadinya robekan Mallory-Weiss masih belum diketahui.
Teori yang disarankan adalah bahwa ketika tekanan intraabdominal tiba-tiba dan
sangat meningkat (seperti dalam kasus muntah dan muntah yang kuat), isi
lambung mengalir ke proksimal di bawah tekanan ke kerongkongan. Tekanan
berlebih dari isi lambung ini menyebabkan robekan mukosa longitudinal yang
dapat mencapai jauh ke dalam arteri dan vena submukosa, mengakibatkan
perdarahan saluran cerna bagian atas. Robekan ini cenderung memanjang, dan
tidak melingkar, mungkin karena bentuk silindris dari esofagus dan lambung.
(Rawla P dan Joe, 2021)
 Faktor Resiko
- Konsumsi alcohol, sekitar 50-70% pasien didiagnosis mengkonsumsi alcohol
- Hipertensi portal (peningkatan vena porta)
- Hipersemis gravidarum
- Bulimia nervosa
- GERD
- Usia, 40–60 tahun lebih berisiko menderita kondisi ini
- Wanita<peria
 Tatalaksana
Resusitasi segera pasien dengan perdarahan aktif. Menilai stabilitas
hemodianmik dengan memeriksa jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC).
Pemasangan akses intravena (IV) sentral atau perifer yang baik (biasanya 2 jalur)
Bersama dengan pergantian cairan dapat menyelamatkan pasien. Infus sel darah
merah yang dikemas diindikasikan jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gm/dl
atau jika pasien datang dengan tanda-tanda syok atau perdarahan hebat.
Dekompresi nasogastrik menggunakan selang nasogastrik dapat dilakukan,
terutama pada pasien yang diduga memiliki varises esofagus yang menyertai,
sebelum gastric lavage. Ketidakseimbangan elektrolit, jika ada, harus dikoreksi
dengan tepat. Faktor koagulasi perlu dioptimalkan sebelum melanjutkan dengan
endoskopi. Kebanyakan pasien yang dikelola secara konservatif biasanya dirawat
di rumah sakit sampai hemostasis tercapai dan gejala teratasi.
 Farmakologi
PPI dan H2 Inhibitor diberikan untuk menurunkan keasaman lambung
karena peningkatan keasaman menghambat pemulihan mukosa lambung dan
esofagus. PPI intravena diberikan pada awalnya kepada pasien yang
diharapkan untuk menjalani pemeriksaan endoskopi. Antiemetik seperti
prometazin dan ondansetron diberikan untuk mengontrol mual dan muntah.
 Perawatan endoskopi
Esofagogastroskopi adalah pemeriksaan pilihan pada semua kasus
perdarahan saluran cerna bagian atas. Jika perdarahan sudah berhenti pada
saat endoskopi, biasanya tidak diperlukan intervensi lebih lanjut.
 Angioterapi
Angiografi dengan injeksi agen vasokonstriksi seperti vasopresin atau
embolisasi transkateter dengan busa gel untuk melenyapkan lambung kiri atau
arteri mesenterika superior dipertimbangkan ketika endoskopi tidak tersedia
atau gagal.
 Perawatan bedah
Pembedahan jarang diperlukan dan dianggap perlu setelah kegagalan
prosedur endoskopi atau angioterapi untuk menghentikan pendarahan.
Kompresi tabung Sengstaken-Blakemore adalah pilihan terakhir dalam
pengobatan robekan Mallory-Weiss yang berdarah pada pasien yang lemah.
Ini adalah pilihan yang paling tidak disukai karena sebagian besar perdarahan
adalah arteri dan tekanan dalam balon tidak cukup untuk mengatasi tekanan
dalam arteri yang berdarah. (Rawla P dan Joe, 2021)
 Komplikasi
Komplikasi berhubungan dengan derajat kehilangan darah, seperti syok
hipovolemik, gangguan metabolisme, dan infark miokard. Kematian terjadi jika
perdarahan tidak terkontrol. Perforasi esofagus dan kekambuhan pada sindrom
Mallory Weiss adalah komplikasi yang jarang terjadi. (Rawla P dan Joe, 2021)
 Prognosis
Bagi kebanyakan pasien, hasilnya baik. Pendarahan biasanya berhenti secara
spontan pada kebanyakan pasien dan robekan biasanya sembuh dalam waktu 72
jam. Tingkat kehilangan darah memang bervariasi tetapi transfusi darah tidak
umum.
 KIE
Pasien harus waspada terhadap bahaya minum alkohol berlebihan, termasuk
Mallory Weiss Tear. Penting untuk menasihati pasien dengan episode
hematemesis sebelumnya untuk menghindari faktor pencetus yang menyebabkan
robekan esofagus meskipun jarang terjadi kekambuhan. (Rawla P dan Joe, 2021)
REFERENSI
1) Rawla P dan Devasahayam J. 2021. Mallory Weiss Syndrome. StatPearls
Publishing.

Ulkus Peptikum
Definisi
Ulkus peptikum adalah keadaan terputusnya kontinuitas mukosa yang meluas
di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa, sub mukosa hingga lapisan
otot dari suatu daerah saluran cerna yang langsung berhubungan dengan cairan
lambung asam/pepsin (Sanusi, 2011).
Ulkus peptikum merupakan erosi lapisan mukosa dibagian mana saja
disaluran gastrointestinal, tetapi biasanya di lambung atau duodenum (Corwin,
2009).
Ulkus peptikum merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang
meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke
bawah epitel disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap sebagai ”ulkus”
(misalnya ulkus karena stress). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak
pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejenum.
(Sylvia A. Price, 2006).
Etiologi
Penyebab umum dari ulserasi peptikum adalah ketidakseimbangan antara
sekresi cairan lambung dan derajat perlindungan yang diberikan mukosa
gastroduodenal dan netralisasi asam lambung oleh cairan duodenum. (Arif
Mutaqqin,2011). Ada dua penyebab utama ulkus (tukak):
- Penurunan produksi mukus sebagai penyebab ulkus.
Kebanyakan ulkus terjadi jika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan
produksi mukus yang adekuat sebagai perlindungan terhadap asam lambung.
Penyebab penurunan produksi mukus dapat termasuk segala hal yang
menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan
cedera atau kematian sel-sel penghasil mukus. Penyebab utama penurunan
produksi mukus berhubungan dengan infeksi bacterium H. pylori membuat
kolon pada sel-sel penghasil mukus di lambung dan duodenum, sehingga
menurunkan kemampuan sel memproduksi mukus.
- Kelebihan asam sebagai penyebab ulkus.
Pembentukan asam di lambung penting untuk mengaktifkan enzim
pencernaan lambung. Asam hidroklorida (HCl) dihasilkan oleh sel-sel parietal
sebagai respons terhadap makanan tertentu, obat, hormon. Makanan dan obat
seperti kafein dan alkohol menstimulasi sel-sel parietal untuk menghasilkan
asam. Sebagai individu memperlihatkan reaksi berlebihan pada sel-sel
perietalnya terhadap makanan atau zat tersebut atau mungkin mereka
memiliki jumlah sel parietal yang lebih banyak dari normal sehingga
menghasilkan lebih banyak asam. Aspirin bersifat asam yang dapat langsung
mengiritasi atau mengerosi lapisan lambung (Corwin, 2009).
Epidemiologi
Manifestasi klinis
- Langsung dari ulkus lambung atau dari kerusakan esofagus dari muntah yang
parah, maag dapat menyebabkan perforasi lambung atau duodenum, yang
menyebabkan peritonitis akut. Hal ini sangat menyakitkan hematemesis
(muntah darah), hal ini dapat terjadi karena pendarahan dan membutuhkan
operasi segera. Melena (tinggal, tinja berbau busuk karena teroksidasi besi
dari hemoglobin).
- Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimptomatis.
Keluhan-keluhan itu misalnya nyeri timbul pada ulu hati. Biasanya ringan dan
tidak dapat ditunjuk dengan tepat lokasinya.
- Kadang-kadang disertai dengan mual-mual dan muntah.
- Pada kasus yang amat ringan perdarahan bermanifestasi sebagai darah samar
pada tinja dan secara fisik akan dijumpai tanda-tanda anemia defisiensi
dengan etiologi yang tidak jelas.
- Pada pemeriksaan fisik biasanya tidak ditemukan kelainan kecuali mereka
yang mengalami perdarahan yang hebat sehingga menimbulkan tanda dan
gejala gangguan hemodinamik yang nyata seperti hipotensi, pucat, keringat
dingin, takikardia sampai gangguan kesadaran.
- Perut nyeri, epigastrium klasik dengan keparahan yang berkaitan dengan
makan, setelah sekitar 3 jam untuk mengambil makan (ulkus duodenum klasik
oleh makanan, sedangkan ulkus lambung diperburuk oleh itu).
- Perut kembung dan kepenuhan.
- Waterbrash (terburu-buru air liur setelah episode regurgitasi untuk
mengencerkan asam dalam esofagus).
- Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan.
- Gejala tukak duodenum sering kali disamakan dengan gejala tukak lambung.
Untuk membedakannya, maka perlu untuk mengetahui kapan dan dimana
gejala tersebut muncul.
- Gejala tukak duodenum cenderung mengikuti pola. Nyeri biasanya hilang
pada saat bangun tidur dan muncul kembali pada pertengahan pagi hari.
Minum susu atau makan atau mengonsumsi obat antasida akan meredakan
rasa sakit, tetapi biasanya akan timbul kembali 2 sampai 3 jam kemudian.
Rasa sakit yang menyebabkan orang terbangun pada malam hari adalah
kondisi yang umum dialami. Seringkali rasa sakit dirasakan satu kali atau
lebih dalam satu hari, dalam periode satu sampai beberapa minggu, dan dapat
menghilang tanpa perawatan.
P.fisik dan penunjang
Diagnosis ulkus terutama berdasarkan pengkajian riwayat kesehatan dan
endoskopi. Dengan endoskopi, tidak hanya lapisan usus yang dapat terlihat, tetapi
juga dapat mengambil sampel jaringan untuk biopsy dan dapat menentukan ada
atau tidaknya H. pylori. Infeksi H. pylori juga dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan darah untuk antibodi dan pemeriksaan napas yang mengukur
produksi sampah metabolik mikroba
Patofisiologi
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak
dapat menahan kerja asam lambung pencernaan (asam hidroklorida dan pepsin).
Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam
peptin, atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa.
Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi mukus yang cukup bertindak sebagai
barier terhadap asam klorida.
Tatalaksana
Salah satu segi pengobatan ulkus duodenalis atau ulkus gastrikum adalah
menetralkan atau mengurangi keasaman lambung. Proses ini dimulai dengan
menghilangkan iritan lambung (misalnya obat anti peradangan non-steroid,
alkohol dan nikotin). Makanan cair tidak mempercepat penyembuhan maupun
mencegah kambuhnya ulkus. Tetapi penderita hendaknya menghindari makanan
yang tampaknya menyebabkan semakin memburuknya nyeri dan perut kembung.
Komplikasi
- Kadang-kadang ulkus menembus semua lapisan mukosa sehingga terjadi
perforasi usus. Karena isi usus tidak steril, hal ini dapat menyebabkan infeksi
rongga abdomen. Nyeri pada perforasi sangat hebat dan menyebar. Nyeri ini
tidak hilang dengan makan.
- Obstruksi lumen saluran gastrointestinal dapat terjadi akibat episode cedera,
inflamasi, dan pembentukan jaringan parut yang berulang. Obstruksi paling
sering terjadi di saluran sempit antara lambung, usus halus dan di pilorus.
Obstruksi menyebabkan perasaan distensi lambung dan epigastrium, perasaan
penuh, mual, dan muntah.
Prognosis
KIE

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Syntax Fusion “PIELONEFRITIS” oleh Nashir Hamzah. Vol 2 No 02, Februari 2022.

Jurnal Farmasi dan Kesehatan “DIAGNOSTIK UROLITHIASIS” oleh Ayu Ardita Dewi
Permatasari dan Riza Mazidu Sholihin Vol.10, No.1, 2021.

Jurnal CHMK Pharmaceutical Scientific “RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SOE” oleh
Retno Dwi Hartanti dkk. Vol 3. No 2. Tahun 2020.

Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2020. Panduan Tata Laksana Infeksi Saluran Kemih dan
Genitalia Pria Edisi 3. Surabaya: IAUI

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura:
Elsevier Saunders.

Huether, Sue E & Kathryn L. McCance. 2019. “Buku Ajar Patofisiologi”. Edisi Keenam.
Volume 1. Elsevier. Singapore.

Pranawa., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR, Airlangga University Press.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. VI.
Jakarta: InternaPublishing;
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai