Anda di halaman 1dari 18

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

(GERD)

Oleh :
Regina Sophia Tulungen
17014101093

Supervisior Pembimbing
dr. Jeanne Winarta, Sp.PD

Residen Pembimbing
dr. Rendi Sidik

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU
MANADO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esophagus


(PGRE) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam
esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam
keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi
berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera
berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi
suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1,2

Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri


kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini
seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4

Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan
ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua,
di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara
dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki
dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6

Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda
terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan
7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom
heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus
dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini
masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini
pada tahap awal proses diagnosis.5,6

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang penderita Tn. FK, umur 42 tahun, datang ke RSUP


Prof.Dr.R.D.Kandou pada tanggal 27 November 2018 melalui poli penyakit dalam
untuk dilakukan tindakan endoskopi. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati,
nyeri ulu hati dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul dan
menetap sejak 6 bulan yang lalu. Pasien merasa bahwa pasien menderita sakit maag
dan mengkonsumsi obat promag. Namun pasien tidak merasakan adanya perbaikan
dan memberat sejak 1 bulan terkahir. Sejak 1 bulan terakhir nyeri ulu hati yang
dirasakan pasien mulai diikuti dengan adanya rasa panas di dada, nyeri menelan,
mual, bersendawa, nyeri kepala dan adanya nyeri badan. Demam, muntah, batuk
dan sesak napas disangkal oleh pasien. Napsu makan dan minum biasa, namun pasien
mengalami penurunan berat badan karena menu makan yang kurang disukai pasien.
BAK dan BAB normal.
Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien pernah dirawat di RS R. W
Monginsidi teling pada 1 bulan yang lalu dengan keluhan seperti yang dikeluhkan
pasien saat ini, kemudian pasien di rujuk ke RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou dan
direncanakan untuk dilakukan tindakan endoskopi . Riwayat tekanan darah tinggi,
gula darah tinggi, nyeri persendian, penyakit jantung dan ginjal disangkal. Pasien
sebelumnya perna mengalami sakit pada punggung 1 tahun yang lalu dan sudah
selesai pengobatan. Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok dan minum alkohol.
Pasien juga suka mengkonsumsi makanan yang pedas dan asam.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan dan
kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80 x/m, regular kuat
angkat, respirasi 20 x/m, suhu badan 37 ºC, saturasi oksigen 98%, berat badan 82 kg,
tinggi badan 166 cm dengan IMT 29.75 yang termasuk pada kategori overweight.
Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak iskterik,
pupil bulat simetris isokor, refleks cahaya normal. Pada pemeriksaan leher ditemukan
faring tidak tampak hiperemis, tonsil tidak membesar, tekanan vena jugularis 5+0
cmH20, trakea letak tengah dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Pada
pemeriksaan paru ditemukan pergerakan dada simetris kanan dan kiri pada saat statis
dan dinamis, stem fremitus kiri dan kanan sama, kiri dan kanan sonor, suara
pernapasan vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing. Pada pemeriksaan jantung
ditemukan iktus kordis tidak tampak, tidak teraba, batas jantung kiri terletak pada
ruang antar iga V linea midklavikula sinistra, batas jantung kanan pada ruang iga IV
linea sternalis dekstra, suara jantung I-II regular, tidak ditemukan gallop dan murmur.
Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi datar, pada auskultasi didapatkan suara bising
usus normal, pada perkusi didapatkan suara timpani, pada palpasi hepar dan lien tidak
teraba, serta didapatkan nyeri tekan epigastrium. Akral teraba hangat, tidak terdapat
edema dan CRT < 2 detik.
Pemeriksaan penunjang pada pasien yaitu pemeriksaan laboratorium tanggal
19 November 2018 didapatkan leukosit 8900/uL, eritrosit 5.88 10 6/uL, hemoglobin
16.6 g/dL, hematokrit 47,4%, trombosit 266000/uL, MCH 28.2 pg, MCHC 35.0 g/dL,
MCH 80.6 fL, SGOT 25 U/L, SGPT 45 U/L, ureum 23 mg/dL, creatinin 0.9 mg/dL,
albumin 5.01 g/dL, chloride 102.8 mEq/L, kalium 3.66 mEq/L, Natrium 144 mEq/L,
Anti HCV kualitatif non reaktif, HbsAg Elisa non reaktif, anti HIV (Elisa) non
reaktif. Pada pemeriksaan foto thoraks tanggal 19 november 2018didapatkan kesan
tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru. Pada pemeriksaan EKG
didapatkan kesan sinus ritem. Pada pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi tanggal
29 november 2018 didapatkan kesimpulan esofagitis klasifikasi Los Angeles grade A,
Gastritis erosive, healing ulcer di antrum gaster, dan duodenitis.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien ini didiagnosis dengan GERD ( gastroesophageal reflux disease). Dan
ditatalaksana dengan Nacl 0,9%, Lansoprazol 2x30 mg dan sucralfat syr 6x10cc.

BAB III
PEMBAHASAN

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD )


adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring,
laring dan saluran nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap
orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu
habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik
primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks
sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan
ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang
lama. 8
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan
satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali
dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan.
Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western
prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Sementara di
Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan wanita
untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1 (4). GERD pada negara berkembang
sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan usia yang
seringkali mengalami GERD. 4,9
Anamnesa yang didapat dari pasien ini menunjukkan kesesuaian dengan teori
mengenai gejala klinis yang mengarah kepada diagnosa GERD, dari data identitas
pasien dengan prevalensi terjadinya GERD, yaitu dapat terjadi pada semua kelompok
umur, meningkat pada usia 40 tahun,dan 20-40% populasi dewasa dapat menderita
heartburn, pada pasien ini ditemukan adanya kesesuaian karena pasien adalah laki-
laki dan usianya 42 tahun.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) biasanya disebabkan oleh adanya
peningkatan berat badan, yang mana ini sesuai dengan pasien yang memiliki IMT
29.75 yang maknanya status gizi pasien adalah over weight, beberapa faktor resiko
GERD yang lain adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas dan berlemak,
minum alkohol dan kopi, dan obat tertentu, yang semuanya dapat menyebabkan
relaksasi dari otot sfingter bawah esofagus dan refluks asam lambung, yang mana
pada pasien ini di dapatkan kebiasaan makan-makanan pedas dan asam serta
mengkonsumsi alkohol.

Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan
5,11
oleh penderita Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas
membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum.
Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung
belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya
keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut
disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang.
Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring
terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama
dengan pemberian antasida.7
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan
yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan
regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah
terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian
atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-
menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni.
Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan
dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak
nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun
dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6

Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip


bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring
dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan
akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat
obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik
atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab
gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan motilitas dari esofagus atau akibat
disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang sering
menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus yang
difus.5,6

GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3. Manifestasi
non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). 6
Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.

Pada kasus ini pasien mengeluhkan adanya nyeri ulu hati, rasa terbakar pada
daerah dada, sering bersendawa, mual, nyeri menelan, nyeri kepala, dan nyeri seluruh
badan.

Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa


pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD,
yaitu :

1. Endoskopi saluran cerna bagian atas


Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD
dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).

Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa


esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien
GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux
disease (NERD).7

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang


dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa
gejala heartburn atau regurgutasi memang karena GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s


esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4

Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan


endoskopi pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-
Miller.

a. Klasifikasi Los Angeles4

Derajat kerusakan Endoskopi


A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau
mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.
b. Klasifikasi Savary-Miller12
GRADE Deskripsi endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium
2. Esofagografi dengan Barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan
dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa
kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis
esofagus dan hiatus henia.2,4

3. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4
pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.3,4

4. Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M
dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan
ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif
bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan
NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan pada esofagus4.

5. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi
barium dan endoskopi yang normal.3,4

6. Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus
dengan menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop
(biasanya technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan
yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4

7. Tes supresi asam


Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala
dari GERD. Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil
melihat respon yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya
seperti endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika
terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini
merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana
GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak
memiliki alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia,
odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan
umur diatas 40 tahun.4

Pada pasien dilakukan pemeriksaan gastroduodenoskopi dan didapatakan


adanya esofagitis klasifikasi loa angeles grade A, gastritis erosiva, healing ulcer di
antara gaster, duodenitis. Makna LA grade A yaitu terdapat erosi kecil-kecil pada
mukosa esophagus dengan diameter <5mm.
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-
akhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5.

1. Modifikasi gaya hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan
GERD,namun demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini
bertujuan untuk mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5

Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:

a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum
tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta
mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
b. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus
SEB.
c. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan
karena dapat menimbulkan distensi lambung.
d. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
e. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman
soda karena dapat merangsang aam lambung.
f. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.

Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita


hamil dengan GERD.5

2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam
dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan
untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu,
setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik
atau bahkan antasid.

Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih


ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999)
dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati
bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan
pendekatan step down. 3,4,5

a. Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun
1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan
esofagitis3,4,5. Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat
memperkuat tekanan SEB.4,5

Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat


menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya
sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1
sendok makan.

b. Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk
obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat,
misalnya dengan barrett’s esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4

c. Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada
penekanan sekresi asam.4 Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB
dan mempercepat pengosongan gaster.

1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan
antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

d. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)


Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung,
melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai
buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1
gram.3,4

e. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)


Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga
dijadikan drug of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang
dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan
ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan
antagonis reseptor H2.

Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :

- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)


berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung
esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi
golongan prokinetik.

f. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar,
pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang
dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus
Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI,
begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi
SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya
pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5

g. Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak
berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini
pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik
ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya
refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian
lambung atas.12

Indikasi Fundoplikasi

1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang


tidak sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien
dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI,
Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada
pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat
dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam
lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah
keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi
asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang
terbukti secara histologis menderita esofagus barret.

h. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien
GERD, yaitu, penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal,
implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa
esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4

Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan


awal pasien suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan
prasyarat untuk terapi medic.10

Terapi pada pasien dengan GERD yaitu:


1. Modifikasi gaya hidup, beberapa advice yang semestinya disampaikan
kepada pasien ini adalah: meninggikan posisi kepala pada saat tidur sehingga
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus, mengurangi konsumsi
lemak, menurunkan berat badan , menghindari makanan/minuman seperti
coklat, teh, peppermint, kopi dan soda
2. Medikamentosa, pada pasin ini diberikan terapi dari golongan PPI yaitu
lanzoprazol 2x30 mg dan sukralfat syr 6x10 cc , ini sudah sesuai dengan
pengobatan GERD.

Prognosis pada kasus:

 Quo Ad Vitam : Bonam


 Quo Ad functionam : Bonam
 Quo Ad sanationam : Bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta


2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan
endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten
sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi
keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to
treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749.
6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku
ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
8. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
9. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.
June 8 2011 [cited March 7 2016]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2007
11. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra.2013.
Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-
esophageal Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia.
12. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited March 7
2016. Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm

Anda mungkin juga menyukai