(GERD)
Oleh :
Regina Sophia Tulungen
17014101093
Supervisior Pembimbing
dr. Jeanne Winarta, Sp.PD
Residen Pembimbing
dr. Rendi Sidik
PENDAHULUAN
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan
ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua,
di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara
dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki
dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda
terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan
7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom
heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus
dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini
masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini
pada tahap awal proses diagnosis.5,6
BAB II
LAPORAN KASUS
BAB III
PEMBAHASAN
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan
5,11
oleh penderita Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas
membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum.
Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung
belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya
keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut
disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang.
Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring
terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama
dengan pemberian antasida.7
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan
yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan
regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah
terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian
atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-
menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni.
Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan
dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak
nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun
dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik
seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3. Manifestasi
non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). 6
Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan adanya nyeri ulu hati, rasa terbakar pada
daerah dada, sering bersendawa, mual, nyeri menelan, nyeri kepala, dan nyeri seluruh
badan.
3. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus
distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4
pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.3,4
4. Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M
dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan
ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif
bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan
NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan pada esofagus4.
5. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi
barium dan endoskopi yang normal.3,4
6. Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus
dengan menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop
(biasanya technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan
yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:
a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum
tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta
mencegah refluks asam lambung ke esofagus.
b. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus
SEB.
c. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan
karena dapat menimbulkan distensi lambung.
d. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
e. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman
soda karena dapat merangsang aam lambung.
f. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam,
antagonis kalsium, progesteron.
2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam
dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan
untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu,
setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik
atau bahkan antasid.
a. Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun
1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan
esofagitis3,4,5. Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat
memperkuat tekanan SEB.4,5
b. Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk
obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat,
misalnya dengan barrett’s esophagus.5
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4
c. Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan
GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada
penekanan sekresi asam.4 Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB
dan mempercepat pengosongan gaster.
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan
antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap
saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
f. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar,
pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang
dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus
Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI,
begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi
SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi
modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya
pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5
g. Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak
berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini
pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik
ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya
refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian
lambung atas.12
Indikasi Fundoplikasi
h. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien
GERD, yaitu, penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal,
implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa
esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4