Anda di halaman 1dari 6

CASE SCIENCE SESSION

GASTROESOPHAGEAL REFLUX (GERD)

Oleh:
Ade Mulki Yahdi 1840312681
Della Reyhani Putri 1840312689
Sebrin Fathia R 1840312677

Pembimbing:
dr. Fauzar Sp.PD-KP FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP.DR.M.DJAMIL PADANG
2020
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan
patologis akibat refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan gejala-gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas. 1,

GERD merupakan penyakit yang cukup mengganggu karena adanya


gangguan terhadap kualitas hidup. 3

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian esofagitis di negara-negara barat menunjukkan rerata
berkisar antara 10-20%, sedangkan di Asia prevalensinya berkisar antara 3-5%
dengan pengecualian di Jepang dan Taiwan yang sekitar antara 13-15% dan
15%. Penelitian mengenai prevalensi terbaru di Jepang menunjukkan rerata
prevalensi sebesar 11,5% dengan GERD yang didefinisikan sebagai perasaan
dada terbakar paling tidak dua kali dalam seminggu.

Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia, termasuk Indonesia, secara


umum lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, namun berdasarkan data
terakhir menunjukkan bahwa kejadiannya semakin meningkat. Hal ini
disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup yang meningkatkan seseorang
terkena GERD, seperti merokok dan juga obesitas. Berdasarkan data
epidemiologi dari Amerika Serikat, menunjukkan bahwa satu dari lima orang
dewasa mengalami gejala refluks esofageal (heartburn) dan atau regurgitasi
asam sekali dalam seminggu, serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut
setidaknya sekali dalam sebulan.

Belum ada data epidemiologi yang lengkap mengenai kondisi ini di


Indonesia. Laporan yang ada dari penelitian Lelosutan SAR dkk di FKUI/RSCM-
Jakarta menunjukkan bahwa dari 127 subyek penelitian yang menjalani endoskopi
SCBA, 22,8% (30%) subyek di antaranya menderita esofagitis. Penelitian lain, dari
Syam AF dkk, juga dari RSCM/FKUI-Jakarta, menunjukkan bahwa dari 1718 pasien
yang menjalani pemeriksaan endoskopi SCBA atas indikasi dispepsia selama 5 tahun
(1997-2002) menunjukkan adanya peningkatan prevalensi esofagitis, dari 5,7% pada
tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 (rata-rata 13,13% per tahun).3

2.3 Patofisiologi
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal spinchter (LES), yang seharusnya
hanya akan terbuka oleh aliran antegrad saat menelan atau retrograd saat akan
muntah atau sendawa pada individu normal.
Refluks esofageal pada pasien GERD terjadi melalui tiga mekanisme,
yaitu adanya refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, aliran
retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, serta
meningkatnya tekanan abdomen. Cairan refluks ini dapat mengiritasi esofagus
dan menimbulkan inflamasi, sehingga pasien merasakan sensasi heartburn. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa patogenesis GERD menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan
refluksat (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Patogenesis GERD

Sebagian besar pasien GERD memiliki tonus LES yang normal. Faktor-
faktor yang menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(semakin pendek, semakin rendah tonusnya), obat-obatan, serta hormonal.
Selain itu, ketahanan epitelial esofagus juga berperan penting dalam
patogenesis GERD, karena esofagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi lumennya dari asam.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus,
sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion
H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari
HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas. Derajat kerusakan mukosa
esofagus makin meningkat pada pH < 2 atau adanya pepsin atau garam empedu.
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,
antara lain seperti dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed
gastric emptying.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi


B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam,
Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2015. hal.1750-7.
2. Tarigan R, Pratomo B, dkk. Analisis Faktor Risiko Gastroesofageal Refluks di
RSUD Saiful Anwar Malang. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2019;6 (2).
78-81
3. Syam AF, Aulia C, dkk. 2013. Revisi Konsensus NasionalPenatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal(Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD)di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia(PGI)
4. Setiati S, Alwi I, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
5. Kowalak, Welsh, Mayer. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
6. Richardson B. The role in Preventing and Managing GERD .Nutrition and
Food Service. 2017.

Anda mungkin juga menyukai