Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN GASTROSOPHAGEAL

REFLUX DISIASE( GERD) MAHASISWA PRODI SARJANA


TERAPAN KEPERAWATAN SEMESTER VIII
POLTEKKES KEMNEKS PALU

Proposal Penelitian

Oleh

Welly Safira

Po7120318056

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALU


JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D IV
KEPERAWATAN PALU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kondisi


refluksnya HCL dari gaster ke esofagus, mengakibatkan gejala klinis dan
komplikasi yang menurunkan kualitas hidup seseorang, GERD merupakan
salah satu jenis gangguan pencernaan yang cukup sering dijumpai di
masyarakat sehingga dapat menurunkan kualitas hidup (Dean Juniar,
2016)

GERD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor genetik,


diet, rokok, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), obesitas,
faktor pelindung lambung dan faktor perusak gaster, faktor pelindung
gaster diantaranya yaitu sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah
mukosa, dan regenerasi epitel, sedangkan faktor perusak gaster yaitu asam
hidroklorida (HCL) lambung serta zat zat yang dapat merangsang sekresi
asam HCL gaster berlebihan dan dilatasi gaster. Tidak adanya
keseimbangan faktor pelindung dan faktor perusak pada organ gaster
merupakan inti dari permasalahan GERD. Dengan menghindari faktor
perusak seperti makanan pedas, kopi, dan NSAID, diharapkan dapat
menghindari kekambuhan GERD (Dean Juniar, 2016). Pasien GERD
biasanya mengeluhkan bermacam-macam keluhan, seperti heartburn,
regurgitation, dan gangguan makan, tetapi terkadang pasien datang dengan
keluhan sesak, nyeri dada, dan batuk.

Beberapa studi menunjukan adanya hubungan antara jenis makanan


dengan kejadian GERD karena dapat menyebabkan atau memperburuk
gejala GERD melalui berbagai mekanisme. Seiring perkembangan zaman
dengan hadirnya makanan cepat saji, saat ini kuliner khas Aceh masih
belum dilupakan oleh masyarakat Aceh. Makanan Aceh terkenal dengan
kuliner khas yang kaya akan bumbu dan rempah-rempah serta memiliki
cita rasa yang pedas dan asam sehingga dapat menyebabkan atau
memperburuk gejala GERD. (Fitri Dkk 2020).

Stres juga dikenal sebagai faktor resiko yang menyebabkan GERD


karena dapat menyebabkan ketidaknyamanan pencernaan. Stres lebih
tinggi terjadi pada mahasiswa daripada kalangan umum dikarenakan
adanya tuntutan beban akademik. Mereka selalu berada dibawah tekanan
akademik seperti ujian dan tugas kuliah yang sulit, kurangnya waktu
relaksasi, dan waktu perkuliahan yang padat. Fitri Dkk 2020)

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hubungan pola makan


dengan terjadinya GERD masih kontroversial. Pada orang dewasa tidak
ada hubungan antara pola makan dengan risiko refluks yang tidak
diketahui tetapi relatif berhubungan dengan makanan cepat saji. Penelitian
di Jepang melaporkan bahwa makan snack di malam hari dan melewatkan
sarapan tidak berhubungan dengan GERD, sedangkan penelitian lain
ditemukan sebesar 8% pasien mengeluh heartburn setelah mengkonsumsi
peppermint. Fitri Dkk 2020)

Penelitian yang dilakukan (Bunga Fauza Ajjah dkk,2020) yang


berjudul Hubungan Pola Makan Dengan Terjadinya Gatroesophageal
Reflux Disiase (GERD). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
Hubungan Pola Makan Dengan Tejadinya Gastroesophageal Reflux
Disiase (GERD) Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Responden dari penelitian
ini adalah mahasiswa yang memiliki pola makan buruk dan mengalami
GERD sebanyak 34,2% sedangkan subjek yang memiliki pola makanbaik
dan tidak mengalami GERD sebanyak 86,5. Analisi data di lakukan
dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil analisi data menunjukkan
terdapat hubungan antara pola makan dengan terjadinya Gastroesophageal
Reflux Disiase (GERD) (P = 0,004).
Penelitian yang senada lain yang dilakukan oleh (Faris Rizki
Ardhan, Catarina Budyono, Rifana Cholidah 2022) yang berjudul
Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian Gastroesphageal Reflux Disiase
Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universita Mataram. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Pola Makan Degan Kejadian
Gastroesophageal Reflux Disiase. Responden dari penelitian ini adalah
mahasiswa berjumlah 118 di dapatkan 43 orang dengan pola makan baik
dan 16 orang dengan pola makan buruk pada pada kelompok kasusu
sedangkan pada kelompok kotrol didapatkan 52 orang denga pola makan
baik dan 7 orang dengan pola makan buruk. Analisis yang digunakan yaitu
uji Cha Square menunjukkan terdapat hubungan anatara pola makan
dengan kejadian Gastroesophageal Reflux Disiase (p = 0,036) dan
didapatkan adds ratio pola makan terhadap GERD (OR 2,7 64 CI 95%
1,042 – 7,334)

Pola makan yang buruk dapat memberi dampak bagi kualitas hidup
dan aktivitas sehari-hari mahasiswa. Mahasiswa sering mengabaikan
gejala, tidak mencari pertolongan dokter, dan cenderung mengobati diri
sendiri yang akhirnya dapat memperburuk gejala dan mengarah ke
komplikasi serius. Berdasarkan uraian data di atas, masih terdapat
permasalahan dan juga kontroversi mengenai hubungan pola makan
dengan kejadian GERD.

Prevalensi GERD di Amerika Utara yaitu 18,1%-27,8% di Eropa


yaitu 8,8%- 25,9% di Asia Timur 2,5%-7,8%, Australia 11,6%, dan
Amerika Selatan yaitu 23,0% (El-Serag, Sweet, Winchester, & Dent,
2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah sakit Cipto
Mangunkusumo, didapatkan peningkatan prevalensi GERD dari 5,7%
pada tahun 1997 sampai 25,18% pada tahun 2002, peningkatan ini terjadi
akibat adanya perubahan gaya hidup yang dapat meningkatkan faktor
risiko GERD seperti merokok dan obesitas (Dean Juniar, 2016)
Di Indonesia, prevalensi kejadian GERD masih belum ada data
epidemiologi yang pasti. Namun, di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sebanyak 22,8% kasus esofagitis dari semua pasien yang
menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia. Ini menunjukkan
bahwa Indonesia lebih tinggi daripada Asia Timur.3 Perbedaan prevalensi
di setiap negara disebabkan oleh perubahan sosial ekonomi dan gaya hidup
yang dapat meningkatkan angka kejadian GERD.

Hasil survey pendahuluan, wawancara yang dilakukan pada tanggal


4 juli 2022, terdapat 10 mahasiswa Prodi Sarjana Terapan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Palu di daapatkan hasil 8 mahasiswa yang memiliki
Riwayat gastroesophageal reflux disease (GERD) dimana karateristik pola
makan mahasiswa kadang-kadang sarapan, memiliki frekuensi makan
kurang dari 3 kali dalam sehari, selalu mengkonsumsi makanan pedas dan
asam dan mengalami sesak nafas, cemas, nyeri dada Dan 2 orang
mahasiswa tidak memiliki Riwayat gerd keadaan sehat pola makan
teratur. Peneliti memilih mahasiswa karena fakta yang saya temukan
banyak pada usia ini umumnya memiliki gaya hidup yang kurang sehat
seperti kurang memperhatikan pola makan yang di konsumsi.

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti


penelitian tentang “Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian
Gatroesophagel Reflux Disiase (GERD) Pada Masiswa Prodi Sarjana
Terapan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palu”
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini, adalah Hubungan Pola Makan
dengan kejadian Gerd pada Mahasiswa Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palu
C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengatahui “Hubungan Pola Makan
dengan kejadian Gerd pada Mahasiswa Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan Semeter VIII Poltekkes Kemenkes Palu”
D. Manfaat penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan enambah wawasan ilmu Kesehatan tentang
Hubungan Pola Makaan dengan kejadian Gerd
2. Bagi Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Palu
Sebagai bahan pembelajaran bagi Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Palu
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Gerd

1. Pengertian
Gastroesophageal refluks disease (GERD) adalah salah satu
kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang
gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup
penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna.
Berdasarkan konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal
definition and classification of gastroesophageal refluks disease: a
global evidence-based consensus), penyakit refluks gastroesofageal
(Gastroesophageal Refluks Disease/GERD) didefinisikan sebagai
suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke
dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu
(troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau
komplikasi (Vakil dkk, 2016)

2. Tanda dan gejala


Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal
(esofagus) dan gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70%
merupakan tipikal, yaitu:
a. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal.
Gejala heart burn adalah gejala tersering.
b. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa
di faring Kemudian mulut terasa asam dan pahit.

c. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa


striktur (Yusuf, 2015)
d. Gejala atipikal:
a) Batuk kronik dan kadang wheezing
b) Suara serak
c) Pneumonia
d) Fibrosis paru
e) Bronkiektasis
f) Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2015).
e. Gejala lain:
a) Penurunan berat badan
b) Anemia
c) Hematemesis atau melena
d) Odinofagia
e) Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual,
kembung, muntah merupakan salah satu keluhan yang
sering muncul.
f) Ditemukan perdarahan di saluran cerna berupa
hematemesis dan melena, kemudian disusul dengan
tanda-tanda anemia pasca pendarahan.
g) Pada pemeriksaan fisik terlihat penderita lemah,
ekstremitas sianosis, pernapasan cepat, nyeri tekan
(Soeparman, 2009)

3. Etiologi
a. Obat-obatan (aspirin) obat anti inflamasi non steroids (AINS).

b. Alkohol
c. Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung misalnya stres
fisik, disebabkan oleh trauma, luka bakar, sepsis dan
pembedahan.
d. Infeksi virus atau bakteri patogen yang masuk kedalam
saluran pencernaan.
e. Makanan yang merangsang seperti pedas, atau sulit dicerna.
f. Endotoksin.
g. Adanya peningkatan HCL dalam jumlah yang berlebihan di
dalam lambung kelebihan kadar HCL dalam cairan lambung
(kadar normal ± 0,4%) dapat merusak jaringan selaput lendir
lambung dan jaringan halus usus dua belas jari jaringan yang
rusak akan menjadi luka.

4. Patofisiologi
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD.
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila: 1).
Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat
dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan
mukosa esofagus (Makmun, 2015).
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya
terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Aru, 2015)
Terjadinya aliran balik/refluks pada penyakit gastroesophageal
refluks disease diakibatkan oleh gangguan motilitas/pergerakan
esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot
pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran
pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah
menuju usus besar. Pada gastroesophageal refluks disease akan
terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot
tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau
asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2012)
Patogenesis terjadinya gastroesophageal refluks disease
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan
faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif
esophagus adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen
esophagus dan ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau
sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun, 2015)
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme:

1. Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat,


2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES
setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian
dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari
esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen
esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari
bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi
lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying (Makmun, 2015).
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis
gastroesophageal refluks disease relatif kecil dan kurang didukung
oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya
terhadap sekresi asam lambung (Makmun, 2015). Tingginya angka
infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya sekresi asam sebagai
konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan
mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara Barat.
Faktor-faktor tersebut biasanya tidak berdiri sendiri
misalnya stress fisik akan menyebabkan perfusi mukosa lambung
terganggu sehingga timbul daerah-daerah infark kecil. Disamping
itu sekresi asam lambung juga terpacu, mukosa barrier pada
penderita stress fisik biasanya tidak terganggu. Hal itu yang
membedakannya dengan gastritis erosif karena bahan kimia atau
obat pada gastritis refluks, gastritis karena bahan kimia, obat,
mukosa barrier sehingga difusi balik akan mempercepat kerusakan
mukosa barrier oleh cairan lambung.
Membran mukosa lambung menjadi edema dan hiperemik
(kongesti dengan jaringan, cairan, dan darah) dan mengalami erosi
superfisial bagian ini mensekresi sejumlah getah lambung, yang
mengandung sangat sedikit asam tetapi banyak mukus. Ulserasi
superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi. Pasien
dapat mengalami ketidaknyamanan, sakit kepala, malas, mual, dan
anoreksia sering di sertai dengan muntah dan cegukan.
Mukosa lambung mampu memperbaiki diri sendiri setelah
mengalami gastritis kadang-kadang hemoragik memerlukan
intervensi bedah bila makanan mengiritasi tidak dimuntahkan
tetapi mencapai usus dapat mengakibatkan kolik dan diare.
Biasanya pasien sembuh kira-kira sehari meskipun nafsu makan
mungkin menurun selama dua atau tiga hari kemudian.

5. Faktor predisposisi
Beberapa faktor yang menimbulkan gastritis/mukosa lambung
misalnya stres fisik akan menyebabkan perfusi mukosa lambung
terganggu disamping itu pula faktor makanan yang merangsang asam
lambung misalnya makanan yang asam, goreng-gorengan, yang
bersantan, makan tidak teratur, minum obat tidak teratur sehingga
menyebabkan timbulnya kembali keluhan tersebut.

6. Pemeriksaan penunjang
a. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang
dipilih oleh evaluasi pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat
bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat
secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.
Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna
pula untuk pengobatan (dilatasi endoskopi).
b. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan
kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya
sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan
pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar
radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak,
atau penyempitan lumen.
c. Tes Provokatif
a) Tes Perfusi Asam (Bernstein)
Digunakan untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus
terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 %
yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak
memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri
asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal
esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b) Tes edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang
disuntikan intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk
menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat
dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk
memastikan nyeri dada asal esofagus.

d. Pengukuran pH dan tekanan esofagus


Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan
ada tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB
dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan
hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang
mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus
dan tekanan manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat
memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat
dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan
motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai gold
standar untuk memastikan adanya PRGE.
e. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian
pengosongan esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata,
2015).
f. Pemeriksaaan esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa
penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi, dan striktur.
g. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu
pada pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75%
keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas
75%.
h. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah
pemberian terapi pada pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk
menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
i. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau
keganasan. Tetapi bukan untuk memastikan NERD (Yusuf, 2015).

7. Penatalaksanaan
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-
gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks
esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan
mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi diarahkan pada
peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau
mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau
kerusakan mukosa.
a. Modifikasi Gaya Hidup

a). Tidak merokok


b). Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c). Tidak minum alkohol
d). Diet rendah lemak
e). Hindari mengangkat barang berat
f). Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g). Jangan makan terlalu kenyang
h). Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
b. Terapi Endoskopik
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah
radiofrekuensi, endoscopic suturing, dan endoscopic
emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan
memanaskangastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini
adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas
hidup, dan mengurangi refluks.
c. Terapi medika mentosa
Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini adalah
supresi pengeluaran asam lambung. Ada dua pendekatan yang biasa
dilakukan pada terapi medika mentosa:
a). Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang kuat
menekan sekresi asam seperti antacid, antagonis reseptor H2
(simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan prokinetic
(metoklorpamid, domperidon, cisaprid) bila gagal berikan obat-obat
supresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b). Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan setelah berhasil
lanjutkan dengan supresi asam yang lebih lemah untuk
pemeliharaan.
d. Terapi terhadap Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur.
Bila terjadi rangsangan asam lambung yang kronik dapat terjadi
perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi kolumnar yang
metaplastik sebagai esophagus barret’s (premaligna) dan dapat
menjadi karsinoma barret’s esophagus
a). Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang
dari 13 mm maka dapat dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga
lakukanlah operasi.
b). Barret’s esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan
adalah terapi bedah (fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga
dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan energy
radiofrekuensi, plikasi gastric luminal atau dengan implantasi
endoskopi) walapun cara ini masih
dalam penelitian (Djajapranata,2015)

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain (Djajapranata, 2015):
a. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumne
metaplastik. Barrett esophagus disebabkan oleh gastro-esofagus
penyakit refluks yang memungkinkan isi perut untuk merusak sel-
sel yang melapisi esophagus bagian bawah
b. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi mukosa (selaput lendir).
Striktur esophagus. Striktur esofagus merupakan penyempitan lumen
esofagus yang dapat menyebabkan keluhan disfagia. Berdasarkan
etiologinya, striktur esofagus dibedakan menjadi striktur esofagus
benigna dan maligna. Striktur esofagus benigna disebabkan oleh
GERD, zat korosif, web, radiasi, post anastomosis esofagus,
sedangkan striktur esofagus maligna disebabkan oleh keganasan baik
dari dalam maupun dari luar esofagus
c. Aspirasi yaitu masuknya cairan atau isi lambung ke dalam saluran
nafas yang menyebabkan sesak nafas.
Esofagitis yaitu radang esophagus. Hal ini disebabkan karena isi
lambung yang keluar adalah asam lambung. Dimana asam ini akan
merusak mukosa esophagus dan memberikan gejala

9. Kerangka Teori dan Konsep


Kerangka Teori
Keterangan :
: Diteliti
: tidak diteliti

Gambar 1.1 Kerangka Teori dan Konsep

Kerangka Konsep

Pola Makan GERD


Keterangan :
: Variabel Independent
: Variabel Denpenden
: Hubungan

Gambar 1.2 Kerangka konsep

10. Hipotesis
a. Hipotesis Nol

Jika H0 ditolak penelitian ini berarti, tidak ada hubungan


pengetahuan tentang kejadian Gerd pada Mahasiswa prodi sarjana
keperawatan Palu.
Jika H0 ditolak penelitian ini berarti, tidak ada hubungan sikap pada
Mahasiswa prodi sarjana keperawatan Palu.
11. Hipotesis Alternatif
a. Jika Ha diterima penelitian ini berarti, ada hubungan pengetahuan
tentang kejadian Gerd pada Mahasiswa prodi sarjana
keperawatanPalu.
b. Jika Ha diterima penelitian ini berarti, ada hubungan pada
Mahasiswa prodi sarjana keperawatan Palu.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian Survey analitik
dengan menggunakan rancangan Cross sectional atau disebut potong
lintang yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan faktor efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu
waktu (point time approach) (Notoatmodjo, 2012)
Penelitian ini adalah Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Gerd
pada Mahasiswa Prodi Sarjana Terapan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Palu.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah waktu atau saat yang digunakan
untuk melaksanakan penelitian dan observasi (Notoatmodjo,2017)
penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2022 di Prodi
Sarjana Terapan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palu
2. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat atau lokasi yang digunakan
untuk pengambilan kasus observasi (Notoatmodjo,2017) .
Penelitian ini akan dilaksanakan di Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palu.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang
diperlukan dalam suatu penelitian (Jusuf, 2012). Populasi dalam
penelitian ini adalah semua Mahasiswa Semester VIII Prodi
Sarjana Terapan Keperawatan Kemenkes Palu berjumlah 63.

2. Sampel
a. Besar Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2017). Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total populasi.
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin,
sebagai berikut :
N
Rumus Slovin n = 2
1+ N e
Keterangan :
n = Besar Sampel
N = Besar Populasi
e = Batas Toleransi Kesalahan ( Error Tolerance )
Besar populasi 63 orang, maka dapat ditentukan besar sampel adalah
N
n=
1+ Ne ²
63
n=
1+(63 x 0.12 )
63
n=
1+(63 x 0.01)
63
n=
1,63
n = 38,6503
n = 38 responden
b. Cara pengambilan Sampel
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka sampel yang
dapat digunakan dalam penelitian ini minimal 38 Mahasiswa
Semester VIII Prodi Sarjana Terapan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Palu. Responden dalam penelitian ini merupakan
mahasiswa aktif Semester VIII Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan baik lai-laki maupun perempuan.
Dari jumlah sampel 38 peserta didik tersebut kemudian
ditentukan jumlah masing-masing sampel di setiap angkatan
dengan rumus (Hambali,2021) :
¿
ni = N n

Keterangan :

ni : Jumlah sampel angkatan

Ni : Jumlah populasi anngkatan

N : Jumlah populasi keseluruhan

n : Jumlah sampel keseluruhan

Berdasarkan rumus, jumlah sampel dari 2 kelas tersebut ialah :

33
Kelas IV A = ×38 = 20 Mahasiswa
63

30
Kelas IV B = ×38 = 18 Mahasiswa
63

D. Variabel Penelitian
1. Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah Hubungan Pola Makan
dengan Kejadian Gerd pada Mahasiswa Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palu.
2. Definisi Operasional
Defi nisi operasional ini penting dan diperlukan agar pengukuran
variabel atau pengumpulan data (Variabel) itu konsisten antara
sumber data (Responden) yang satu dengan responden yang lain.
(Notoatmodjo, 2012)
a. Pengetahuan Mahasiswa tentangHubungan Pola makan
dengan terjadinya GERD
Definisi : Segala sesuatu yang di ketahui dan di pahami oleh
mahasiswa keperawata tentang pola makan dengan kejadian
Gerd
b. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Definisi : Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah
suatu kondisi refluksnya HCL dari gaster ke esofagus,
mengakibatkan gejala klinis dan komplikasi yang menurunkan
kualitas hidup seseorang, GERD merupakan salah satu jenis
gangguan pencernaan yang cukup sering dijumpai di
masyarakat sehingga dapat menurunkan kualitas hidu*
E. Teknik pengumpulan data
1. Data primer
Data dikumpulkan dari hasil penelitian kuesioner seluruh
responden yang termasuk dalam chi-square. Data yang diperoleh
terdiri dari data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung
dari seluruh responden melalui pengisian kuesioner tentag aspek
pengetahuan dengan menggunakan skala guttman.
2. Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data dari
Mahasiswa Prodi Sarjana Terapan Keperawat Semester VIII
Poltekkes Kemenkes Palu
F. Pengolahan Data
Pengolahan data pada dasarnya proses memperoleh data atau
ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan
menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
dipeerlukan. Pengolahan data pada penelitian ini dibagi dalam 6
(enam) tahap, yaitu:
1. Editting, yaitu memeriksa kelengkapan dan keseragaman data
2. Coding, yaitu memberi kode pada data atau memberi symbol
tertentu untuk setiap jawaban
3. Tabulating, yaitu pengelompokan data ke dalam suatu table
tertentu menurut sifat yang dimiliki sesuai tujuan penelitian.
4. Entry, yaitu memasukkan data secara manual
5. Clearning data, yaitu merupakan tahap akhir dari pengolahan data
yang membersihkan data yang telah masuk dalam computer.
6. Describing data, menggambarkan atau meperjelas data yang
dikumpulkan (Notoatmodjo, 2012)
G. Penyajian data
Untuk menyajikan hasil penelitian, data disajikan dalam bentuk
tabel dan narasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
penelitian.
H. Etika Penelitian
Penelitian ini menekankan masalah etika penelitian antara lain :
1. Lembar persetujuan (informed consent)
Lembar persetujuan adalah bentuk persetujuan antara
peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lrmbar
persetujuan sebelum mengisi kusioner. Tujuan Informed consent
adalah agar responden mengerti.
2. Tanpa nama ( Anonymity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang
memberikan jaminan dalam penggunaan subjek peelitian dengan
cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada
lembar alat ukur 31 dan hanya menuliskan kode pada lembar
pegumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Kerahasiaan (Confidentially)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan
jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Aru, 2015. Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta.

Djajapranata, 2015, Helicobacter pylori dan penyakit saluran cerna, Aspek

epidemiologi, klinis, komplikasi dan pengelolaan infeksi Helicobacter


pylori, FK UNAIR, Surabaya

Dean Juniar Muharom, (2016). Gambaran Penderita Gastroesophagel Reflux


Disease Pada Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Immanuel Periode Januari-
Desember 2016https://text-id.123dok.com/document/q05xdg3y-gambaran-
penderita-gastroesophageal-reflux-disease-pada-pasien-rawat-jalan-di-
rumah-sakita-immanuel-bandung-periode-januari-desember-2014.html .
Diakses pada tanggal 08 JUNI 2022 pukul 21:24 W
Fitri Ajjah.B.F. Dkk 2020. “Hubungan Pola Makan Dengan Terjadinya
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD),” Journal of Nutrition College,
vol. 9, no. 3, pp. 169-179, sep 2020.
https://doi.org/10.14710/jnc.v9i3.27465
Hadi, 2012. Gastroenterologi. Bandung : PT Alumni.
Jusuf, S (2012). Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Mitra wacana Media
Makmun, 2015. Mengenal dan Menanggulangi Penyakit Perut. Bandung: CV
Putra Setia Anggita.
Notoatmodjo.( 2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, (2017). Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Rienka Cipta:
Jakarta.
Vakil dkk, 2016. The Montreal definition and classification of gastroesophageal

reflux disease: a global evidence-based consensus. Am J Gastroenterol.


Yusuf, 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah 1, Salemba Medika,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai