Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

“Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)”

Disusun oleh:

Windi Aditya Hasanah 1604015085

Amilia Citra Sari 1604015091

Kelompok : 3

Kelas : A1

Dosen : Nora Wulandari, M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRO.DR.HAMKA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kondisi refluksnya HCL dari
gaster ke esofagus, mengakibatkan gejala klinis dan komplikasi yang menurunkan
kualitas hidup seseorang, GERD merupakan salah satu jenis gangguan pencernaan yang
cukup sering dijumpai di masyarakat sehingga dapat menurunkan kualitas hidup
(Ndraha, 2014).
Prevalensi GERD di Amerika Utara yaitu 18,1%-27,8% di Eropa yaitu 8,8%- 25,9%
di Asia Timur 2,5%-7,8%, Australia 11,6%, dan Amerika Selatan yaitu 23,0% (El-Serag,
Sweet, Winchester, & Dent, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah
sakit Cipto Mangunkusumo, didapatkan peningkatan prevalensi GERD dari 5,7% pada
tahun 1997 sampai 25,18% pada tahun 2002, peningkatan ini terjadi akibat adanya
perubahan gaya hidup yang dapat meningkatkan faktor risiko GERD seperti merokok
dan obesitas (Simadibrata, Rani, & Adi, 2009).
GERD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor genetik, diet, rokok,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), obesitas, faktor pelindung lambung dan
faktor perusak gaster, faktor pelindung gaster diantaranya yaitu sekresi mukus, sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa, dan regenerasi epitel, sedangkan faktor perusak gaster
yaitu asam hidroklorida (HCL) lambung serta zat- zat yang dapat merangsang sekresi
asam HCL gaster berlebihan dan dilatasi gaster. Tidak adanya keseimbangan faktor
pelindung dan faktor perusak pada organ gaster merupakan inti dari permasalahan
GERD. Dengan menghindari faktor perusak seperti makanan pedas, kopi, dan NSAID,
diharapkan dapat menghindari kekambuhan GERD (Ndraha, 2014).
Pasien GERD biasanya mengeluhkan bermacam-macam keluhan, seperti heartburn,
regurgitation, dan gangguan makan, tetapi terkadang pasien datang dengan keluhan
sesak, nyeri dada, dan batuk. (Patti, 2016).

B. Tujuan
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium dan patogenesisnya).
2. Menjelaskan algoritma terapi penyakit GERD
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien GERD
4. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien GERD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) adalah gangguan medis yang umum.
Definisi konsensus GERD adalah “gejala atau komplikasi yang dihasilkan dari isi
lambung yang direfluks ke kerongkongan atau lebih, ke dalam rongga mulut (termasuk
laring) atau paru-paru. Kuncinya adalah bahwa gejala-gejala yang mengganggu ini
berdampak buruk pada kesejahteraan pasien. Sakit maag episodik yang tidak cukup
sering atau cukup menyakitkan untuk dianggap mengganggu oleh pasien tidak termasuk
dalam definisi GERD ini (Dipiro10th 2017, hlm 1447).

B. Epidemiologi
GERD terjadi pada orang-orang dari segala usia tetapi paling umum pada mereka
yang lebih tua dari usia 40 tahun. Meskipun kematian jarang terjadi, gejala-gejala GERD
mungkin memiliki dampak ekonomi yang signifikan dan berdampak pada kualitas hidup.
Kecuali selama kehamilan, tampaknya tidak ada perbedaan besar dalam kejadian
antara pria dan wanita. Meskipun gender pada umumnya tidak memainkan peran utama
dalam pengembangan GERD, memang demikian faktor penting dalam perkembangan
kerongkongan Barrett dan adenokarsinoma esofagus, yang keduanya lebih sering terjadi
pada pria.
Faktor-faktor risiko lain dan komorbiditas yang dapat berkontribusi pada
perkembangan atau memburuknya gejala GERD termasuk riwayat keluarga, obesitas,
merokok, konsumsi alkohol, obat-obatan dan makanan tertentu, penyakit pernapasan,
dan sindrom nyeri dada refluks. Pasien obesitas 2,5 kali lebih mungkin mengalami gejala
GERD (Dipiro10th 2017, hlm 1447).

C. Patofisiologi
Faktor kuncinya adalah refluks abnormal isi lambung dari lambung ke kerongkongan.
Dalam beberapa kasus, refluks dikaitkan dengan tekanan atau fungsi esofagus sphincter
(LES) yang lebih rendah. Pasien mungkin mengalami penurunan tekanan LES dari
relaksasi LES transient spontan, peningkatan sementara tekanan intraabdominal, atau
LES atonic. Beberapa makanan dan obat-obatan mengurangi tekanan LES.
Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya dapat berkontribusi
pada pengembangan GERD, termasuk anatomi esofagus abnormal, pembersihan
esofagus yang tidak tepat pada cairan lambung, penurunan resistensi mukosa terhadap
asam, penundaan pengosongan lambung yang tidak efektif, produksi faktor pertumbuhan
epidermis yang tidak memadai, dan produksi faktor epidermal yang tidak memadai, dan
berkurangnya produksi buffering asam saliva.
Esofagitis terjadi ketika esofagus berulang kali terpapar pada isi lambung yang
direfluks untuk periode yang lama. Hal ini dapat berkembang menjadi erosi epitel
skuamosa kerongkongan (esophagitis erosif).
Zat yang menyebabkan kerusakan kerongkongan saat refluks ke kerongkongan
meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas. Komposisi dan
volume refluks dan durasi paparan adalah penentu utama konsekuensi refluks
gastroesofagus.
Komplikasi dari paparan asam jangka panjang termasuk esofagitis, striktur esofagus,
Barrett esophagus, dan adenokarsinoma esofagus (Dipiro9th 2015, hlm 206).

D. Tanda & Gejala (Dipiro10th 2017, hlm 14533-1454)


1. Sindrom GERD berbasis-gejala (dengan atau tanpa cedera jaringan esofagus)
Gejala khas (dapat diperburuk oleh aktivitas yang memperburuk refluks
gastroesofageal seperti posisi berbaring, membungkuk, atau makan makanan yang
tinggi lemak):
a. Mulas (gejala ciri yang digambarkan sebagai sensasi hangat atau terbakar yang
meningkat dari perut yang mungkin menjalar ke leher; mungkin bersifat
waxing dan berkurang)
b. Regurgitasi / bersendawa
c. Nyeri dada refluks
2. Gejala-gejala alarm (gejala-gejala ini mungkin mengindikasikan komplikasi
GERD seperti Barrett's kerongkongan, striktur esofagus, atau adenokarsinoma
esofagus dan memerlukan evaluasi diagnostik lebih lanjut):
a. Disfagia (umum)
b. Odynophagia
c. Berdarah
d. Penurunan berat badan
3. Sindrom GERD berbasis Cidera Jaringan (dengan atau Tanpa Gejala
Terserang). Gejala (dapat muncul dengan gejala alarm seperti disfagia, odinofagia,
atau penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan):
a. Esofagitis
b. Penyempitan
c. Kerongkongan Barrett
d. Adenokarsinoma esophagus
4. Sindrom GERD Extraesofageal Gejala (gejala ini berhubungan dengan GERD,
tetapi kausalitas hanya dipertimbangkan jika sindrom GERD esofagus bersamaan
juga ada):
a. Batuk kronis
b. Radang tenggorokan
c. Desah
d. Asma (~ 50% penderita asma menderita GERD)

E. Diagnosa (Dipiro10th 2017, hlm 1454-1455)


Riwayat Klinis:
Umumnya cukup untuk mendiagnosis GERD pada pasien dengan gejala khas.
1. Endoskopi
Lebih disukai untuk menilai cedera mukosa dan untuk menilai komplikasi,
seperti striktur. Biopsi diperlukan untuk mengidentifikasi Barrett's esophagus,
adenocarcinoma, dan eosinophilic esophagitis(gangguan kerongkongan yang tidak
terkait asam amino yang umumnya tidak merespon dengan baik terhadap terapi
inhibitor pompa proton). GERD non-inflamasi dan gangguan motorik mayor dapat
terlewatkan dengan endoskopi.
2. Pemantauan Refluks Ambulatory
Identifikasi pasien dengan paparan asam esofagus berlebihan dan membantu
menentukan apakah gejalanya terkait dengan asam. Berguna untuk pasien yang
tidak merespons terapi penekan asam. Mendokumentasikan persentase waktu pH
intraesofagus < 4 dan menentukan frekuensi dan tingkat keparahan refluks.
Mengukur hanya refluks asam (bukan refluks non asam).
3. Pemantauan Impedansi – pH Gabungan
Mengukur refluks asam dan non asam
4. Manometri / Topografi Tekanan Esofagus Resolusi Tinggi (HREPT)
Berguna pada mereka yang telah gagal terapi inhibitor pompa proton dua kali
sehari dengan temuan endoskopi normal untuk mengidentifikasi gangguan motorik,
untuk mengevaluasi fungsi peristaltik pada mereka yang merupakan kandidat untuk
operasi antireflux, dan untuk memastikan penempatan probe pH yang tepat
(kemajuan terbaru dari tubeless Sistem pemantauan pH menggunakan landmark
endoskopi untuk penempatan dapat meniadakan kebutuhan akan manometri untuk
memastikan penempatan probe pH esofagus yang tepat)
5. Impedansi Manometri
Mengevaluasi pembersihan / retensi esofagus transit bolus.
Mengevaluasi LES dan tekanan sfingter esofagus atas dan peristaltik.
6. Empiric Proton Pump Inhibitor sebagai Tes Diagnostik untuk GERD
Lebih murah dan lebih nyaman daripada pemantauan pH rawat jalan tetapi tidak
memiliki rejimen dosis standar dan durasi uji diagnostik.
7. Radiografi Barium
Tidak secara rutin digunakan untuk mendiagnosis GERD karena tidak memiliki
sensitivitas dan spesifisitas tidak dapat mengidentifikasi kerongkongan Barrett.
Dapat mendeteksi hernia hiatal.

F. Pemeriksaan Penunjang (Ilmu penyakit dama jilid II ed VI 2015, hlm 1752-1753 )


1. Endoskopi saluran cerna bagian atas
2. Esofagografi dengan barium
3. Pemantauan pH 24 jam
4. Tes Berstain
G. Algoritma Terapi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu


Praktikum dilakukan di Laboratorium Farmakoterapi Universitas Muhammadiyah
Prof. Dr. Hamka pada tanggal 15 Oktober 2019.

B. Judul Praktikum
Gastrophageal Reflux Disease (GERD)

C. Resep dan Pertanyaan


KASUS
Ibu KR (48 tahun) datang ke Rumah Sakit dengan keluhan utama nyeri ulu hati yang
disertai rasa terbakar hingga ke leher dan punggung. Nyeri tersebut dirasakan sejak 2
bulan yang lalu dan semakin memburuk sejak 14 hari terakhir, terutama saat malam hari
saat pasien berbaring. Sedikitnya pasien merasakan gejala tersebut 4 kali seminggu.
Gejala ini membuat pasien sulit tidur sehingga pada siang hari pasien merasa kelelahan.
Pasien juga melaporkan terkadang mengalami regurgitasi setelah pasien makan yang
disertai rasa pahit di mulut dan terkadang pasien merasa sesak nafas. Pasien sudah
mencoba mengkonsumsi antasida 3x sehari sebelum makam selama 2 minggu, namun
gejala hanya membaik sementara. Berikut adalah data pasien :
1. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat ganguan saluran cerna
2. Pekerjaan pasien : karyawan swasta
3. Riwayat penyakit pasien : Diabetes mellitus tipe 2 selama 2 tahun berakhir
4. Riwayat pengobatan sebelumnya :
a) Antasida saat nyeri ulu hati 3x/hari sejak 2 minggu yang lalu
b) Metformin 500 mg 3x1 dan glibenklamid 5 mg 1x1 selama 1 tahun terakhir (pasien
masih memiliki obat dari kontrol 1 minggu yang lalu)
5. Pasien mengaku tidak mengkonsumsi NSAID
6. Berat badan pasien 70 kg, tinggi badan 150 cm
7. Pasien mengaku tidak terdapat darah pada feses
8. Dokter mendiagnosa pasien mengalami GERD dengan gejala moderate
9. Obat yang diresepkan dokter saat ini :
R/ Antasida tablet No. XXX
S 3 dd 1
R/ Ranitidin 150 mg No. XX
S 2 dd 1
R/ Metoklopramid 10 mg No. X
S 1 dd 1

Pertanyaan
1. Apa tujuan terapi pada pasien?
2. Apakah pasien memerlukan terapi pemeliharaan? Jika iya, sebutkan (obat, dosis,
serta durasinya)
3. Bagaimana rencana monitoring terapi pada pasien?
4. Sebutkan tatalaksana non farmakologi untuk kasus tsb
5. Jelaskan pebedaan gerd dan ulkus peptik?
6. Apakah alarm symptoms yang mengindikasikan adanya komplikasi GERD?
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil diskusi praktikum farmakokinetika kali ini mengenai GERD dapat
dijelaskan dalam penilaian yang tertera pada kasus penyakit tersebut termasuk ke dalam
GERD dengan gejala moderate.

Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks


dan / atau mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan
mukosa. Secara spesifik, yaitu:

1. Mengurangi keasaman dari refluksat.


2. Menurunkan volume lambung yang tersedia untuk direfluks.
3. Meningkatkan pengosongan lambung.
4. Meningkatkan tekanan LES.
5. Meningkatkan bersihan asam esofagus.
6. Melindungi mukosa esophagus.

Terapi GERD dikategorikan dalam beberapa fase, yaitu:

Fase I : mengubah gaya hidup dan dianjurkan terapi dengan menggunakan antasida dan/atau
OTC antagonis reseptor H2 (H2RA) atau penghambat pompa proton (PPI).
Fase II : intervensi farmakologi terutama dengan obat penekan dosis tinggi.
Fase III: terpai intervensional (pembedahan antirefluks atau terapi endoluminal).

Pada terapi kali ini pasien diberikan pengobatan yang bertujuan pengobatan GERD
untuk menghilangkan rasa sakit dan menyembuhkan, kemudian mencegah kambuhnya gerd
dan mencegah terjadinya komplikasi.
Salah satu terapi yang dapat dijalankan oleh pasien adalah terapi non-farmakologi
yaitu :
1. Mengangkat kepala saat tidur (meningkatkan bersihan esofageal). Gunakan
penyangga 6-10 inchi di bawah kepala. Tidur pada kasur busa.
2. Menghindari makanan yang dapat menurunkan tekanan LES (lemak, coklat, kopi,
kola, teh bawang putih, bawang merah, cabe, alkohol, karminativ (pepermint, dan
spearmint))
3. Menghindari makanan yang secara langsung mengiritasi mukosa esofagus (makanan
pedas, jus jeruk, jus tomat dan kopi)
4. Makan makanan yang tinggi protein (meningkatkan tekanan LES)
5. Makan sedikit dan menghindari tidur segera setelah makan (jika mungkin 3 jam)
(menurunkan volume lambung)
6. Penurunan berat badan (mengurangi gejala)
7. Berhenti merokok (menurunkan relaksasi spontan sfingter esofagus).
8. Menghindari minum alkohol (meningkatkan amplitudo sfinter esofagus, gelombang
peristaltik dan frekuensi kontraksi).
9. Menghindari pakai pakaian yang ketat.
10. Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat menurunkan tekanan
LES (Antikolinergik, barbiturat, benzodiazepin (misalnya diazepam), kafein,
penghambat kanal kalsium dihidropiridin, dopamin, estrogen, etanol, isoproterenol,
narkotik (meperidin, morfin), nikotin (merokok) nitrat, fentolamin, progesteron dan
teofilin).
11. Menghentikan, jika mungkin, penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi secara
langsung mukosa esofagus (tetrasiklin, quinidin, KCl, garam besi, aspirin, AINS dan
alendronat).

Salah satu terapi non-farmakologi yang harus dilakukan oleh pasien tersebut adalah
pengurangan berat badan dikarenakan hasil kalkulasi BMI dari pasien tersebut adalah 31,1
dimana memiliki resiko yang tinggi pada pasien yang mengalami GERD.
Tabel 1. Analisa SOAP

Karakte
ristik S O Terapi Obat DRP
Pasien
Ibu KR (48 • Mengeluh nyeri ulu • Berat badan 1. Antasida tablet 1. Drug
tahun), hati yang disertai pasien 70 kg, (30) 3 x sehari Interaction
Berat rasa terbakar tinggi badan 2. Ranitidin 150 (Drug.com)
badan 70 hingga ke leher dan 150 cm. mg (20) 2 x 2. Imporer
kg, tinggi punggung dirasakan • Dokter sehari Drug
badan sejak 2 bulan yang mendiagnosa 3. Metoklopramid Selections
150 cm. lalu dan semakin pasien 10 mg (10) (Dipiro9th
(BMI memburuk sejak 14 mengalami 1 x sehari 2015, hlm
Abnormal) hari terakhir, GERD dengan 208-209)
terutama saat malam gejala
hari saat pasien moderate
berbaring.
• Merasa kelelahan
pada siang hari
karena sulit tidur.
• Mengalami
regurgitasi setelah
makan serta mulut
terasa pahit dan
terasa sesak nafas
• Riwayat penyakit
pasien : Diabetes
mellitus tipe 2
selama 2 tahun
berakhir
• Pasien mengaku
tidak
mengkonsumsi
NSAID
• Pasien mengaku
tidak terdapat darah
pada feses

Pada pengobatan pasien GERD tersebut ditemukan beberapa Drug Related Problem
(DRP). Yang pertama adalah Drug Interaction (Drug.com) pada penilaian asessement kurang
tepat penggunaan Metoklopramid karena pasien belum mengalami tes endoskopi dan
mengalami interaksi dengan metformin. (Drug.com). Kami memberikan solusi planning pada
pengobatan tersebut agar Metoklopramid ditiadakan untuk menghindari interaksi obat yang
akan terjadi.
Selanjutnya untuk DRP kedua yaitu Imporer Drug Selections (Dipiro9th 2015, hlm
208-209), dimana pada terapi pengobatan Ranitidin HCL pada pasien GERD moderate
kurang tepat karena sesuai literatur pasien dengan GERD gejala moderate sebaiknya
diberikan terapi pengobatan dengan golongan PPI.
PPI lebih unggul daripada antagonis reseptor H2 dalam mengobati pasien GERD
sedang sampai parah. Ini tidak hanya pada pasien erosif esofagtis atau gejala komplikasi (BE
atau striktur), tetapi juga pasien dengan GERD nonerosif yang mempunyai gejala sedang
sampai parah. Kekambuhan umumnya terjadi dan terapi pemeliharaan jangka panjang
umumnya diindikasikan (Dipiro9th 2015, hlm 208-209).
Dan yang terakhir sebaiknya pasien diarahkan agar melakukan modifikasi gaya hidup
salah satunya yaitu pengurangan berat badan dengan olahraga dan mengkonsumsi makanan
yang kaya protein. Bertujuan agar mencegah tingkat keparahan dari penyakit GERD menjadi
tahap serius (komplikasi).
BAB V
KESIMPULAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kondisi refluksnya HCL dari
gaster ke esofagus, mengakibatkan gejala klinis dan komplikasi yang menurunkan kualitas
hidup seseorang, GERD merupakan salah satu jenis gangguan pencernaan yang cukup sering
dijumpai di masyarakat sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. Dari pengobatan terapi
diatas ditemukan beberap DRP yaitu:
1. Drug Interaction (Drug.com)
2. Imporer Drug Selections (Dipiro9th 2015, hlm 208-209)
Dengan pemberian assesement dan plan yang ditujukan pada terapi pengobatan pasien
tersebut diharapkan dapat memulihkan gejala GERD serta mencegah terjadinya komplikasi
pada pasien GERD tersebut. Ditambah dengan pengarahan modifikasi gaya hidup pada
pasien tersebut untuk meningkatkan dari penggunaan obat GERD tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004, Pedoman Pencegahan dan


Penanggulangan Infeksi di ICU. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Spesialistik.

Dipiro, Joseph T et al. 2005. Pharmacotherapy A Pathofisiologic Approach Sixth Edition.


The McGraw-Hill Companies. Hlm. 2081

Dipiro, Joseph T et al. 2008. Pharmacotherapy Principles dan Practice. The McGraw-Hill
companies. Hlm. 1193 – 1194

Dipiro, Joseph T et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. The McGraw-Hill
Companies. Hlm. 490, 491, 498, 499

Dipiro, Joseph T et al. 2017. Pharmacotherapy Handbook Tenth Edition. The McGraw-Hill
Companies. Hlm. 1204, 1205, 1206

Drugs.com, 2019, Prescription Drug Information, Interactions & Side Effects, Terdapat di:
https://www.drugs.com/drug_interactions.html [Diakses pada September 26, 2019].

Medscape.com, 2019, Drug Interaction Checker, Terdapat di:


https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker [Diakses pada September 26,
2019].

Ndraha, S. (2014). Penyakit Reflux Gastroesofageal. Medicinus (Scientific Journal of


Pharmaceutical Development and Medical Application), 5-7.

Patti, M. G. (2016). Retrieved January 3, 2016, from Medscape:


http://emedicine.medscape.com/article/176595-overview#showall

Simadibrata, M., Rani, A., & Adi, P. (2009). The Gastroesophageal Reflux Disease
Questionnaire Using Indonesian Language. Medical Journal Of Indonesia, 125-130.

Anda mungkin juga menyukai