Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM II

PEPTIC ULCER DISEASE / TUKAK LAMBUNG

Hari, Tanggal Praktikum : Kamis, 28 Oktober 2021


Kelas : A4A
Kelompok :I
A.A Sagung Devi Anjani (19021001)
Ade Resky Raka Putra (19021002)
Angie Mirandinha F.S.M (19021003)
Casting A.L Pandanga (19021004)
Desak Nyoman Rima Cahya Oktaviani (19021005)
Dewa Ayu Indah Wijayaningrum (19021006)
I Gede Agus Digit Gotama (19021007)

Nama Dosen : Ni Made Maharianingsih., S.Farm., M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................................................2
PRAKTIKUM II PEPTIC ULCER DISEASE / TUKAK LAMBUNG................................................3
I. TUJUAN.........................................................................................................................................3
II. DASAR TEORI.............................................................................................................................3
2.1 Definisi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung................................................................3
2.2 Klasifikasi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung............................................................4
2.3 Etiologi dan Patogenesis Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung.....................................4
2.4 Patofisiologi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung.........................................................6
2.5 Gambaran Klinik Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung.................................................7
2.6 Diagnosis Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung.............................................................8
2.7 Faktor Resiko Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung.......................................................9
2.8 Penatalaksanaan dan Terapi Faktor Resiko Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung.......10
III. KASUS.......................................................................................................................................15
IV. SOAP KASUS............................................................................................................................18
V. PEMBAHASAN..........................................................................................................................28
VI. KESIMPULAN..........................................................................................................................34
VII. SARAN.....................................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA

2
PRAKTIKUM II

PEPTIC ULCER DISEASE / TUKAK LAMBUNG

I. TUJUAN
1. Mengetahui definisi PUD.
2. Mengatahui patofisiologi PUD.
3. Mengetahui tatalaksana PUD (Farmakologi & Non-Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait PUD secara mandiri dengan menggunakan metode
SOAP.

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung
Tukak peptik (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau duodenum yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi asam lambung, pepsin, dan
infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor defensif/ faktor pelindung mukosa
(produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran darah mukosa) (Berardy dan
Lynda, 2005).
Tukak peptik merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas
sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut
erosi. Walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak (misalnya tukak karena stres)
(Wilson dan Lindseth, 2005).
Tukak lambung mengacu pada sekelompok gangguan ulsernatif pada saluran GI atas yang
membutuhkan asam dan pepsin untuk pembentukannya. Ulkus berbeda dari gastritis dan erosi
karena mereka meluas lebih dalam ke mucosa muscularis. Tiga bentuk umum dari tukak
lambung termasuk Helicobacter pylori yang berhubungan dengan luka, obat anti inflamasi
non steroid (NSAID), dan kerusakan mukosa berhubungan dengan stress (ulcer stress)
(DiPiro,2008).

3
Gambar 1. Anatomi Tukak lambung (Dipiro,J.T., et al.2008)
2.2 Klasifikasi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung
Tukak lambung dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe Yaitu sebagai berikut :

1. Tipe I. Merupakan tipe yang paling sering ditemukan. Umumnya lokasi tukak berada di
incisura angularis pada kurvatura minor, dekat dengan perbatasan antara antrum dan
mukosa korpus. Pasien dengan tukak lambung tipe I biasanya mempunya kadar sekresi
asam lambung yang normal atau sedikit menurun.
2. Tipe II. Tukak lambung tipe II dihubungkan dengan keadaan penyakit tukak peptik dalam
kondisi aktif atau diam. Pasien dengan tipe ini memiliki kadar sekresi asam lambung yang
normal atau sedikit meningkat.

3. Tipe III. Tukak lambung tipe III merupakan tipe dengan lokasi tukak prepilorik. Seperti
halnya tipe II, pasien dengan tukak lambung tipe III memiliki kadar sekresi asam lambung
yang normal atau sedikit meningkat.
4. Tipe IV. Pada tipe ini, lokasi tukak berada dekat dengan perbatasan gastroentero. Pasien
dengan tukak lambung tipe IV memiliki kadar sekresi.
5. Tipe V. Semua kasus tukak lambung yang diinduksi akibat penggunaan obat- obatan
digolongkan ke dalam tipe ini, tanpa melihat lokasi spesifiknya.

2.3 Etiologi dan Patogenesis Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung
a) Etiologi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung

Etiologi yang pasti belum diketahui. Ada dua pendapat yang ekstrim, apakah penyakit ini
adalah suatu kelainan setempat atau merupakan bagian dari suatu kelainan sistemik dimana
tukak hanya merupakan tanda/ gejala (Simadibrata, 2001). Tukak peptik terjadi karena
pengeluaran asam-pepsin oleh H. Pylory, NSAID atau faktor-faktor lain yang menyebabkan
ketidakseimbangan pertahanan mukosal lambung. Lokasi tukak menghubungkan dengan
jumlah faktor-faktor etiologi. Tukak dapat terjadi di perut bagian manapun seperti bagian
distal, antrum dan duodenum (Berardy dan Lynda, 2005).

Penyebab tukak lambung paling umum ada dua yaitu Helicobacter Pylori dan NSAID
sebagai berikut.

4
1. Helicobacter pylori- Related Ulcer
H. pylori secara tidak resmi terkait dengan kronis chritis, PUD, limfoma jaringan terkait
mukosa (MALT), dan kanker lambung. Terapi hanya 20% individu yang terinfeksi
mengembangkan tukak simptomatik dan ˂ 1% mengembangkan tukak lambung. Prevalensi
H. Pylori bervariasi berdasarkan lokasi geografis, lingkungan sosia ekonomi, etnis, dan usia.
Infeksi lebih umum di negara berkembang dari pada dinegara industri. Prevalensi di Amerika
Serikat diperkirakan 30% hingga 40%. Prevalensi yang lebih tinggi diantara individu yang
lebih tua mencerminkan ekuisis selama masa bayi dan anak usia dini. H. pylori juga dapat
ditularkan melalui muntah atau penggunaan endoskopi yang tidak disterikan secara memadai.
(Alldredge, et.al, 2013).

2. Non-SteroidAnti- Inflamasi
Anti Inflamasi Nonsteroid yang disebabkan penggunaan obat-obat ada banyak bukti yang
mengaitkan pengguaan kronis NSAID yang cedera pada saluran GI. Ulkus gaster dan
duodenum berkembang pada 15% hingga 30% dari penggunaan NSAID kronis. Sedangkan
1% menjadi 2% mengalami komplikasi terkait ulkus yang serius. Ulkus lambung adalah yang
paling umum dan berkembang terutama di antrum. NSAID dapat menyebabkan ulkus pada
kerongkongan dan usus besar, tetapi ulkus bisul ini lebih jarang terjadi. Angka kematian
diperkirakan sekitar 16.500 terkait NSAID setiap tahun di Amerika Serikat. (Alldredge, et.al,
2013).

b) Patogenesis Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung

Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi asam dan pepsin yang berlebih oleh mukosa
lambung atau berkurangnya kemampuan sawar mukosa gastroduodenalis untuk berlindung
dari sifat pencernaan dari kompleks asam-pepsin (Guyton dan Hall, 2007). Asam pepsin
penting dalam patogenesis tukak peptik. Akan tetapi berlawanan dengan tukak duodeni,
pasien umumnya mempunyai laju sekresi asam yang normal atau berkurang dibandingkan
dengan individu tanpa tukak. Sepuluh sampai dua puluh persen pasien dengan tukak lambung
juga mempunyai tukak duodeni (Mc.Guigan, 2001).
Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol, indomestasin,
fenilbutazon dan kotikostreroid mempunyai efek langsung terhadap mukosa lambung dan
5
menimbulkan tukak. Obat-obatan lain seperti kafein, akan meningkatkan pembentukan asam.
Stress emosi dapat juga memegang peranan dalam patogenesis tukak peptik, agaknya dengan
meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus. Sejumlah penyakit
tampaknya disertai pembentukan tukak peptik yaitu sirosis hati akibat alkohol, pankreatitis
kronik, penyakit paru kronik, hiperaratirioidisme dan sindrom Zollinger-Ellison (Wilson dan
Lindseth, 2005).
Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut berperan terhadap ulcerasi. Pada
kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum dibagian awal duodenum, jumlah sekresi
asam lambung lebih besar dari normal, sering sebanyak dua kali normal. Walaupun setengah
dari peningkatan asam ini mungkin disebabkan infeksi bakteri, percobaan pada hewan
ditambah bukti adanya perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada
manusia yang menderita ulkus peptikum mengarah kepada sekresi cairan lambung yang
berlebihan untuk alasan apa saja (sebagai contoh, pada gangguan fisik) yang sering
merupakan penyebab utama ulkus peptikum (Guyton dan Hall, 2007).
Belakangan ini, bukti-bukti menunjukkan bakteri Helicobacter pylori (dahulu disebut
Campylobacter pylori), mungkin merupakan agen penyebab dari tukak peptik. Kolonisasi
bakteri ini telah dilaporkan pada sejumlah besar penderita yang mengalami tukak duodenum
atau lambung serta pada beberapa bentuk gastritis akut pada kronik. Organisme ini melekat
pada epitel lambung dan merusak lapisan mukosa perlindungan dan meninggalkan daerah-
daerah epitel yang rusak (Mc.Guigan, 2001).

2.4 Patofisiologi Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung


Tukak terjadi karena gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam, pepsin atau
faktor-faktor iritan lainnya) dengan faktor defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah) (Sanusi,
2011). Sel parietal mengeluarkan asam lambung HCl, sel peptik atau zimogen mengeluarkan
pepsinogen yang oleh HCl dirubah menjadi pepsin dimana HCl dan pepsin adalah faktor
agresif terutama pepsin dengan pH < 4 (sangat agresif terhadap mukosa lambung). Bahan
iritan dapat menimbulkan defek barier mukosa dan terjadi difusi balik ion H+. Histamin
terangsang untuk lebih banyak mengeluarkan asam lambung, kemudian menimbulkan dilatasi
dan peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, kerusakan mukosa lambung, gastritis akut
atau kronik, dan tukak peptik (Tarigan, 2006).

6
Helicobacter pylori dapat bertahan dalam suasana asam di lambung, kemudian terjadi
penetrasi terhadap mukosa lambung, dan pada akhirnya H. pylori berkolonisasi di lambung.
Kemudian kuman tersebut berpoliferasi dan dapat mengabaikan sistem mekanisme
pertahanan tubuh. Pada keadaan tersebut beberapa faktor dari H. pylori memainkan peranan
penting diantaranya urase memecah urea menjadi amoniak yang bersifat basa lemah yang
melindungi kuman tersebut terhadap asam HCl (Rani & Fauzi, 2006).
Obat NSAID yang dapat menyebabkan tukak antara lain: indometasin, piroksikam,
ibuprofen, naproksen, sulindak, ketoprofen, ketorolac, flurbiprofen dan aspirin (Berardi &
Welage, 2008). Obat-obat tersebut menyebabkan kerusakan mukosa secara lokal dengan
mekanisme difusi non ionik pada sel mukosa (pH cairan lambung << pKa NSAID). Stres
yang amat berat dapat menyebabkan terjadinya tukak, seperti pasca bedah dan luka bakar
luas, hal ini terjadi karena adanya gangguan aliran darah mukosa yang berkaitan dengan
peningkatan kadar kortisol plasma. Stres emosional yang berlebihan dapat meningkatkan
kadar kortisol yang kemudian diikuti peningkatan sekresi asam lambung dan pepsinogen,
sama halnya dengan gaya hidup yang tidak sehat, seperti merokok, konsumsi alkohol dan
pemakaian NSAID yang berlebihan (Sanusi, 2011).

2.5 Gambaran Klinik Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung


Gambaran klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri epigastrium. Nyeri biasanya
timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri
ini seringkali digambarkan sebagai teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan
eksaserbasi merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen atas yang persisten.
Pola nyeri-makan-hilang ini dapat saja tidak khas pada tukak lambung. Bahkan pada
beberapa penderita tukak lambung makanan dapat memperberat nyeri. Biasanya penderita
tukak lambung akan mengalami penurunan berat badan. Sedangkan penderita tukak
duodenum biasanya memiliki berat badan yang tetap (Wilson dan Lindseth, 2005).
Penderita tukak peptik sering mengeluh mual, muntah dan regurgitasi. Timbulnya muntah
terutama pada tukak yang masih aktif, sering dijumpai pada penderita tukak lambung
daripada tukak duodenum, terutama yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai
di pilorus atau duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat instabilitas
neromuskuler dari kolon (Akil, 2006). Penderita tukak peptik terutama pada tukak duodenum
7
mungkin dalam mulutnya merasa dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan saliva tanpa
ada rasa. Keluhan ini diketahui sebagai water brash. Sedang pada lain pihak kemungkinan
juga terjadi regurgitasi pada cairan lambung dengan rasa yang pahit (Akil, 2006).
Secara umum pasien tukak gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom
atau kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung,
nyeri ulu hati, sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa
kenyang (Tarigan, 2001).

2.6 Diagnosis Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung


Kriteria terpenting pada diagnosis tukak duodenum adalah nyeri khas yang hilang oleh
makanan. Anamnesis tidak begitu informatif seperti pada penderita tukak lambung, sebab
gejala tidak enak pada epigastrum lebih sering timbul. Biasanya tidak mungkin untuk
membedakan antara tukak lambung dan duodenum hanya dari anamnesis saja (Wilson dan
Lindseth, 2005).
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan barium radiogram. Bila
radiografi barium tidak berhasil membuktikan adanya tukak dalam lambung atau duodenum
tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan endoskopi.
Peneraan kadar serum gastrin dapat dilakukan jika diduga ada karsinoma lambung atau
sindrom Zolliger-Ellison (Wilson dan Lindseth, 2005).
Diagnosis tukak gaster ditegakkan berdasarkan pengamatan klinis, hasil pemeriksaan
radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk pemeriksaan histopatologi, tes CLO
(Campylobacter Like Organism), dan biakan kuman Helicobacter pylori. Secara klinis pasien
mengeluh nyeri ulu hati kadang-kadang menjalar ke pinggang disertai mual dan muntah
(Tarigan, 2001).
a) Radiologi : Terlihat gambaran niche atau crater.
b) Endoskopi : Terlihat tukak gaster engan pinggir teratur, mukosa licin, lipatan
radiasi keluar dari pinggir tukak secara teratur.
c) Hasil Biopsi : Tidak menunjukkan adanya keganasan
d) Pemeriksaan tes CLO (Compylobacter Like Organism) /PA (Pyloric Antrum) : Untuk
mennjukkan apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam rangka eradikasi kuman
(Tarigan, 2001).

8
Pemeriksaan endoskopik saluran makanan memudahkan diagnosis tepat ulkus duodenum.
Endoskopik tidak diperlukan untuk diagnosis ulkus duodeum jika telah dikenali dengan
pemeriksaan radiografik barium. Akan tetapi endoskopi mungkin paling besar nilainya:

a) Dalam mendektesi ulkus duodenum yang dicurigai pada tiadanya ulkus yang dapat
diperlihatkan secara radiografik,
b) Pada pasien dengan deformitas radiografik dan ketidakpastian mengenai aktivitas ulkus,
c) Dalam mengenali ulkus yang terlampau kecil atau terlampau dangkal untuk dikenali
dengan sinar–x dan
d) Dalam mengenali (atau meniadakan), ulkus sebagai sumber pendarahan saluran makanan
yang aktif.
Endoskopi memungkinkan visualisasi dan dokumentasi fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk
dan lokasinya dan dapat memberikan suatu dasar/ basis referensi untuk penilaian penyembuhan
ulkus (Mc.Guigan, 2001). Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter
pylori adalah sebagai berikut:

a) Non Invasif
1. Serologi: I 9G, I 9A anti Helicobacter pylori
2. Urea breath test: 13C, 14C

b) Invasif / endoskopik
1. Tes urease: CLO (Campylobacter Like Organism), MIU (Motilit Indole Urease)
2. Histopatologi
3. Kultur mikrobiologi
4. Polymerase chain reaction (Rani, 2001).

2.7 Faktor Resiko Peptic Ulcer Disease atau Tukak Lambung


Beberapa faktor risiko terjadinya tukak peptik adalah sebagai berikut.

1. Pasien dengan sejarah penyakit tukak peptik, pendarahan GI bagian atas, komplikasi
akibat NSAID, atau penggunaan ulcerogenic medications (seperti kortikosteroid) atau
antikoagulan yang meningkatkan risiko pendarahan (seperti warfarin dan clopidogrel)
berisiko besar menyebabkan tukak peptik.
2. Usia, kebiasaan merokok, alkohol, dan penyakit kardiovaskular dapat meningkatkan

9
risiko komplikasi Gl dengan NSAID.
3. Beberapa makanan seperti kopi, teh soda minuman beralkohol, susu, dan makanan
rempah dapat menaikkan sekresi asam lambung dan menyebabkan dispepsia.
4. Faktor genetik dapat berisiko menyebabkan tukak peptik, namun belum diketahui secara
jelas.
5. Penderita Zollinger-Ellison’s Syndrome (ZES) (Tarigan, 2006).

2.8 Penatalaksanaan dan Terapi Faktor Resiko Peptic Ulcer Disease atau Tukak
Lambung
Tujuan pengobatan tukak peptik adalah menghilangkan keluhan/ gejala penderita,
menyembuhkan tukak, mencegah relaps/ kekambuhan dan mencegah komplikasi. Secara
garis besar pengobatan tukak peptik adalah eradikasi kuman H. Pylori serta pengobatan/
pencegahan gastropati NSAID (Tarigan, 2001).
Pada saat ini, penekanan pengobatan ditujukan pada peran luas infeksi Helicobacter pylori
sebagai penyebab ulkus peptikum. Eradikasi Helicobacter pylori infeksi dapat dilakukan
pengobatan antibiotik yang sesuai. Penderita ulkus harus menghentikan pengobatan dengan
NSAID atau apabila hal ini tidak dapat dilakukan pemberian agonis prostaglandin yang
berkerja lama, misalnya misoprostol (Ganong, 2003).
Dalam memberikan terapi terhadap tukak peptik akut pada umumnya serupa dengan
penderita tukak peptik kronik. Bila ditemukan penderita dengan keluhan berat, maka
sebaiknya dirawat di rumah sakit, serta perlu istirahat untuk beberapa minggu. Penderita
dengan keluhan ringan umumnya dapat dilakukan dengan berobat jalan (Akil, 2006).

10
Gambar. 2 Pedoman untuk evaluasi dan manajemen pasien dengan gejala dyspepsia atau
meyerupai ulcer (Dipiro, 2015).

Secara garis besar pengelolaan penderita dengan tukak peptik adalah sebagai berikut.

a. Non – Farmakologi
1) Istirahat Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil
atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap. Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat
inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat,
berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik. Stress dan kecemasan
memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan penyakit tukak (Tarigan, 2001).

2) Diet Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu tidak lebih baik
daripada makanan biasa, karena makanan halus akan merangsang pengeluaran asam. Cabai,
makanan merangsang, makanan mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada
beberapa pasien tukak dan dispepsia non tukak, walaupun belum dapat dibuktikan
keterkaitannya (Tarigan, 2001).

3) Pantang merokok Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat


sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodenum, menambah refluks

11
duogenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak
(Tarigan, 2001).

4) Alkohol belum terbukti mempunyai efek yang merugikan. Air jeruk yang asam, coca-cola,
bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat
menambah sekresi asam dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan tukak dan
sebaiknya diminum jangan pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2001).

b. Farmakologi

1) Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara berkompetisi
dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel pariental lambung. Bila histamin
berikatan dengan H2 maka akan dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara
histamin dan reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek
samping obat golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan
konstipasi (Berardy and Lynda, 2005).

Tabel 1. Obat-obat Antagonis Reseptor H2

Kemampuan antagonis reseptor H2 menurunkan asam lambung disamping dengan


toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam pengobatan penyakit. Hasil dari beberapa uji
klinik menunjukkan obat-obat ini dapat menjaga gejala dengan efektif selama episode akut dan
mempercepat penyembuhan tukak duodenal (Ghosh dan Kinnear, 2003).

2) PPI (Proton Pump Inhibitor)

12
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan memecah
KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli
serta pariental ke dalam lumen lambung. Panjang dapat menimbulkan kenaikan gastin darah
dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia belum terbukti
gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang (Tarigan, 2001).
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di ginjal. Dengan
pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan
penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20
mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacy dkk, 2008). Inhibitor
pompa proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi asam. Omeprazol juga
secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut
berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Efek
samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi, muntah, dan ruam
merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI (Lacy dkk,
2008).
3) Sulkrafat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein mukosa
yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya erosi dan ulserasi
mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis
protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni
stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal (Parischa dan
Hoogerwefh, 2008).
Dosis sulkrafat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering (Berardy dan Lynda, 2005).

4) Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein pada dasar
tukak dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam. Dosis obat 2 x 2 tablet sehari.
Efek samping, berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan,
2001).

5) Analog Prostaglandin: Misoprostol

13
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi mukus, sekresi
bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa. Biasanya digunakan sebagai penangkal
terjadinya tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2 x
400 mg pagi dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan kontraksi
otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal hamil (Tarigan, 2001).
Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis (kondisi penyakit bertambah parah) pada
pasien yang menderita penyakit radang usus, sehingga pemakaiannya harus dihindari pada
pasien ini. Misoprostol dikontaindikasikan selama kehamilan, karena dapat menyebabkan
aborsi akibat terjadinya peningkatan kontaktilitas uterus. Sekarang ini misoprostol telah
disetujui penggunaannya oleh United States Food and Drug Administration (FDA) untuk
pencegahan luka mukosa akibat NSAID (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).

6) Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan obat dispepsia.
Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara lokal. Preparat yang mengandung
magnesium akan menyebabkan diare sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi.
Kombinasi keduanya saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan
konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan sebelum tidur). Efek
samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis, barbiturat, salisilat, dan kinidin (Tarigan,
2001).

Tabel. 2 Antibiotik untuk eradikasi H. pylori

14
Tabel 3. Obat-obat untuk tukak peptic

III. KASUS
Tn Y MRS (UGD) 14 Agustus 2013, sore hari. Pengobatan direview (by pharmacist) 15
Agustus 2013, pagi hari. Usia pasien 54 tahun. Riwayat penyakit terdahulu Hiperurisemia,
Dislipidemia dengan riwayat pengobatan terdahulu Ziloric®, Lipitor®, Entrostop®.
Tidak ada riwayat alergi obat. Pada pasien dilakukan pemeriksaan endoskopi atas dan bawah.
Pemakaian Obat di Rumah Sakit adalah sebagai berikut.
15
Wakt Tanggal
Nama Obat Dosis Frekuensi Rute
u 14/8 15/8 16/8 17/8

Fleet Oral Pagi


Phosphosoda® Siang
Sore √
Malam √

Pasien diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali per-
hari. Untuk mengatasi diare tersebut, pasien minum Enterostop®. Selain itu, pasien
mengeluh perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya, feses tidak mengandung lendir, feses
cair, dan ada ampasnya. Endoskopi atas dan bawah pada tanggal 15/8 menunjukkan hasil :
Duodenal ulcer, gastritis erosive, colon polip, colitis, internal hemorrhoid grade 1-2.Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital adalah sebagai berikut.

Hasil Pemeriksaan Keterangan


Parameter
14/8 15/4

Tekanan Darah (mmHg) 110/70 120/80 Normal

Nadi (kali/Menit) 80 88 Normal

Tempratur (0C) 36,2 36,2 Normal

Laju Pernafasan 18 - Normal


(kali/Menit)

16
Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium
Parameter Nilai Normal Nilai Hasil Keterangan
Pemeriksaan (14/8)
Leukosit 7,5 ± 3,5 (x 109/L) 11,66 (x 109/L) Tinggi
Eritrosit 4,5-5,5 (x 1012/L) 5,0 (x 1012/L) Normal
Hemoglobin 13,0-17,5 (g/dL) 14,4 (g/dL) Normal
Hematokrit 40 - 52 (%) 44,1 (%) Normal
Platelet 150-400 (x 109/L) 287 (x 109/L) Normal
LED <6 ; <10 (mm/Jam) 14-29 (mm/Jam) Tinggi
Natrium 135-145 (mg/dL) 139 (mg/dL) Normal
Kalium 3,6-5 (mg/dL) 3,63 (mg/dL) Normal
Kreatinin 0,6-1,1 (mg/dL) 0,87 (mg/dL) Normal
BUN 6-20 (mg/dL) 16,8 (mg/dL) Normal
Asam Urat 3,4-7 (mg/dL) 8,5 (mg/dL) Tinggi
Kolesterol Total < 200 (mg/dL) 283 (mg/dL) Tinggi
TG (trigliserida) < 195 (mg/dL) 212 (mg/dL) Tinggi
HDL > 40 (mg/dL) 62,5 (mg/dL) Baik
LDL < 77,3 (mg/dL) 155,4 (mg/dL) Borderline
Gula Puasa 59 – 150 (mg/dL) 81 (mg/dL) Normal
Gula 2 Jam PP < 125 (mg/dL) 118 (mg/dL) Normal

17
Dif :
Eo 1–2% -
Ba 0–1% -
Stab 3–5% 4% Stab. dbn
Seg 54 – 66 % 82 % Seg. Tinggi
Lym 25 – 33 % 12 % Lym. Rendah
Mo 3–7% 2% Mo. dbn.

IV. SOAP KASUS


PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Tn. Y MRS
Jenis kelamin : Pria (laki-laki) tgl MRS: 14 Agustus
2013
Usia : 54 tahun tgl.KRS:
Tinggi badan : -
Berat Badan : -

Presenting Complaint

Pasien diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali
perhari. Untuk mengatasi diare tersebut, pasien minum enterostop. Selain itu, pasien
mengeluh perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya, fesesnya tidak mengandung
lendir, feses cair dan ada ampasnya.

Relevant Past Medical History: Ziloric®, Lipitor®, Entrostop®

Diagnosa: Duodenal ulcer, gastritis erosive, colon polip, colitis, internal hemorrhoid
grade 1-2

18
Diagnosa banding :

Drug Allergies: Pasien tidak memiliki alergi obat

Medication
No Nama Obat Indikasi Dosis Yang Dosis Terapi
Digunakan (Literatur)
1 Ziloric 100 mg Hiperurisemia 1x sehari 1 Tablet
2 Lipitor 10 mg DIslipidemia 1x sehari 1 tablet
3 Entrostop Antidiare -

 Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital adalah sebagai berikut.


Hasil Pemeriksaan Keterangan
Parameter
14/8 15/4

Tekanan Darah (mmHg) 110/70 120/80 Normal

Nadi (kali/Menit) 80 88 Normal

Tempratur (0C) 36,2 36,2 Normal

Laju Pernafasan 18 - Normal


(kali/Menit)

 Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium


Parameter Nilai Normal Nilai Hasil Keterangan
Pemeriksaan (14/8)
Leukosit 7,5 ± 3,5 (x 109/L) 11,66 (x 109/L) Tinggi
Eritrosit 4,5-5,5 (x 1012/L) 5,0 (x 1012/L) Normal
Hemoglobin 13,0-17,5 (g/dL) 14,4 (g/dL) Normal
Hematokrit 40 - 52 (%) 44,1 (%) Normal
Platelet 150-400 (x 109/L) 287 (x 109/L) Normal
LED <6 ; <10 (mm/Jam) 14-29 (mm/Jam) Tinggi
Natrium 135-145 (mg/dL) 139 (mg/dL) Normal

19
Kalium 3,6-5 (mg/dL) 3,63 (mg/dL) Normal
Kreatinin 0,6-1,1 (mg/dL) 0,87 (mg/dL) Normal
BUN 6-20 (mg/dL) 16,8 (mg/dL) Normal
Asam Urat 3,4-7 (mg/dL) 8,5 (mg/dL) Tinggi
Kolesterol Total < 200 (mg/dL) 283 (mg/dL) Tinggi
TG (trigliserida) < 195 (mg/dL) 212 (mg/dL) Tinggi
HDL > 40 (mg/dL) 62,5 (mg/dL) Baik
LDL < 77,3 (mg/dL) 155,4 (mg/dL) Borderline
Gula Puasa 59 – 150 (mg/dL) 81 (mg/dL) Normal
Gula 2 Jam PP < 125 (mg/dL) 118 (mg/dL) Normal

Dif :
Eo 1–2% -
Ba 0–1% -
Stab 3–5% 4% Stab. dbn
Seg 54 – 66 % 82 % Seg. Tinggi
Lym 25 – 33 % 12 % Lym. Rendah
Mo 3–7% 2% Mo. dbn.

 FIR

NO Pertanyaan Jawaban Alasan


1 Apakah pasien positif H.pylori? Iya Untuk memberikan
terapi yang tepat untuk
pasien
2 Apakah pasien suka makan Iya Untuk memberikan
makanan berlemak dan pedas? terapi yang tepat untuk
pasien
3 Bagaimana warna feses pasien? Feses berwarna hitam Untuk memberikan
terapi yang tepat untuk
pasien
4 Apakah pasien mengonsumsi Tidak ada Untuk memberikan
obat lain pada tanggal 15? terapi yang tepat untuk
pasien

20
5 Apakah Pasien masih Masih Untuk memberikan
mengalami diare? terapi yang tepat untuk
pasien
6 Apakah berat badan pasien Tidak terjadi Untuk memberikan
turun? penurunan berat badan terapi yang tepat untuk
pasien
7 Pada tanggal 14, Apakah pasien Ada, pasien diberikan Untuk memberikan
ada mengkonsumsi obat lain? Phosphosoda terapi yang tepat untuk
pasien

Problame List
(Actual Problem)
Medical Pharmaceutical

Pharmaceutical Problem
Subjective (symptom)

1. PUD Duodena Ulcer : perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya.


2. Dislipidemia : tidak terdapat subjek.
3. Hiperurisemia : todak terdapat subjek.
4. Colitis : Pasien diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi
diare 3-4 kali perhari, fesesnya tidak mengandung lendir, feses cair dan ada
ampasnya.
Objective (signs)

1. PUD Duodenal Ulcer


- Hasil tes endoskopi : duodenal ulcer, gastritis erosive.
- Leukosit : 11,66 (x 109/L)
- LED : 14-29 (mm/Jam)
2. Dislipidemia
- Kolesterol total : 283 (mg/dL) tergolong tinggi.
- TG (trigliserida) : 212 (mg/dL) tergolong tinggi.
- LDL : 155,4 (mg/dL) tergolong tinggi.
- Riwayat pengobatan : Lipitor®
3. Hiperurisemia

21
- Asam urat : 8,5 (mg/dL) tergolong tinggi.
- Riwayat pengobatan : Ziloric®.
4. Colitis
- Riwayat pengobatan : Entrostop®

Assesment (With Evidence)

Problem Medik Evidence Based Medicine

PUD Duodenal Ulcer Eradikasi Tukak peptik (peptic ulcer disease)


Helicobacter Pylory
adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara faktor agresif
(sekresi asam lambung, pepsin, dan
infeksi bakteri Helicobacter pylori)
dengan faktor defensif/ faktor pelindung
mukosa (produksi prostagladin, gastric
mucus, bikarbonat, dan aliran darah
mukosa) (Berardy dan Lynda, 2005).
Peptic ulcer merupakan luka yang
sifatnya kronik, biasanya merupakan
luka tunggal yang dapat muncul pada di
seluruh bagian gastrointestinal yang
terpejan efek getah asam atau pepsin.
Peptic uicer biasa djumpai di tempat-
tempat berikut: Pangkal duodenum,
lambung, biasanya pada bagian antrum,
taut gastroesofagus, refluks
gastroesofagus atau pada esofagus
Barrett, pada bagian tepi gastro
jejunostomi, duodenum, lambung,

22
dan/atau jejunum pada pasien dengan
sindrom Zollinger-Ellison (Robbins and
Cotran, 2005).

Dislipidemia Berdasarkan tes laboratorium yang telah


dilakukan Tn. Y dapat dilihat bahwa
kadar kolesterol total 283 (mg/dL)
dengan hasil trigliserida pasien
mencapai 212 mg/dl. Kadar normal dari
kolesterol total yaitu <200 mg/dL.
Hiperurisemia Berdasarkan tes laboratorium yang telah
dilakukan terhadap Tn. Y dapat dilihat
bahwa kadar Asam urat pasien adalah
sebesar 8,5 (mg/dL). Nilai tersebut
tergolong tinggi karena nilai normal
kadar asam urat yaitu berada pada
kisaran 3,4 – 7,0 mg/dL.
Collitis Berdasarkan keluhan yang dialami
pasien yaitu diare selama kurang lebih 2
minggu terakhir, dengan frekuensi diare
3-4 kali perhari, fesesnya tidak
mengandung lendir, feses cair dan ada
ampasnya.

Problem Medik Terapi DRP Saran


PUD (Duodenal Lanzoprazole 1 x 1P1.4 Indikasi yang Untuk keluhan
Ulcer) sehari 1 tablet. tidak tertangani. pasien yaitu PUD
C1.8 Tidak menerima diberikan obat
obat yang Lansoprazole
dibutuhkan. dengan aturan

23
C1.9 Dibutuhkan minum 1 X 1 Tab.
indikasi obat yang Dosis
baru. lansoprazole yang
dapat diberikan
kepada pasien
adalah 1 x 30mg
(dosis standar)
selama 4 minggu.
Hiperurisemia Zyloric 100 mg 1 x - Penggunaan obat
sehari 1 tablet. Zyloric dilanjutkan
untuk mengatasai
indikasi
hiperurisemia.
Dislipidemia Lipitor 10 mg 1x - Penggunaan Lipitor
sehari 1 tablet. dilanjutkan untuk
mengatasi indikasi
dislipidemia.
Colitis Entrostop P4.2 Masalah yang Entrostop diganti
tidak sesuai perlu dengan loperamid
klasifikasi lebih karena diare
lanjut. berlangsung selama
C1.9 Dibutuhkan kurang lebih dua
indikasi obat yang minggu.
baru

 Plan (With Evidence Based Medicine)


1. Ziloric (Allupurinol)

Ziloric (Allupurinol) 300 mg sehari sekali sesudah makan pada malam hari
berdasarkan EBM dalam jurnal dinyatakan bahwa penggunaan Ziloric (Allupurinol)
dibandingkan dengan febuxostat, penggunaan febuxostat memiliki efek samping
penyebab peptic ulcer sebesar >1% dimana kondisi pasien positif infeksi H.pylori.

24
Dan Ziloric (Allupurinol) direkomendasikan sebagai pengobatan gout pada pasien
peptic ulcer. Dan pengobatan untuk nyeri diberikan obat golongan NSAID selektif
COX-2 yaitu Celecoxib dosis 200 mg 2x sehari sesudah makan. Menurut EBM
NSAID selektif COX-2 yaitu celecoxib. Sehingga obat NSAID yang aman untuk
pasien gangguan lambung adalah celecoxib, karena selektif COX-2 yaitu hanya
menghambat enzim siklooksigenase 2 sehingga tidak menghasilkan prostaglandin
yang bersifat sebagai mediator nyeri dan inflamasi.

2. Lipitor (Atorvastatin)

Lipitor (Atorvastatin) terbukti dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas


kardiovaskular, maka obat ini adalah pilihan pertama bagi pasien dengan tingkat
risiko tinggi dan sangat tinggi yang mempunyai konsentrasi TG moderat. Statin
potensi tinggi seperti atorvastatin dan rosuvastatin, terutama pada dosis tinggi,
terbukti mampu menurunkan konsentrasi TG. Statin adalah obat pilihan penurun
konsentrasi kolesterol LDL dan digunakan sampai dosis terbesar yang dapat
ditoleransi untuk mencapai target konsentrasi kolesterol LDL. Ketika konsentrasi
awal sangat tinggi sehingga konsentrasi kolesterol LDL tidak mencapai target terapi
absolut dengan statin dosis tinggi, maka dianjurkan untuk mencapai target terapi
relatif, yaitu penurunan minimal 50% pada pasien dengan tingkat risiko sangat tinggi
atau minimal 30% bagi pasien dengan tingkat risiko tinggi. Dalam keadaan target
terapi relatif tidak tercapai, dapat dipertimbangkan kombinasi antara statin dengan
ezetimibe atau bile acid sequestrant atau asam nikotinat. (Jones P.H, 2005)

3. Lansoprazole

Dosis lansoprazole yang dapat diberikan kepada pasien adalah 1 x 30mg (dosis
standar) selama 4 minggu. Digunakannya lansoprazol karena merupakan pilihan
utama dibandingkan agen PPI lainnya, hal ini dikarenakan dengan standart dosis
lansoprazole memiliki aksi yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis rendah agen
PPI lainnya seperti omeprazol, pantoprazol dan rebeprazol, namun apabila

25
dibandingkan dengan esomeprazol, lansoprazol memiliki bioavaibilitas yang tidak
jauh berbeda (esomeprazol 89%, lansoprazol 80-90%, pantoprazol 77%, omeprazol
40-50%). Lansoprazol merupakan obat golongan PPI yang memiliki bioavaibilitas
tinggi, waktu konsentrasi puncak plasma yang cepat, harga ekonomis, dan memiliki
efek samping minimal, hal ini yang mungkin menjadikan lansoprazol banyak
digunakan. Selain itu, sebenarnya antar obat PPI satu dan lainnya tidak terlalu
memiliki efek yang berbeda signifikan pada terapi eradikasi, hal ini dikarenakan
adanya faktor dari individu masing-masing dalam merespon suatu obat (Vakil dan
Fennerty, 2003; Hajiani, 2009; Nurrokhmawati dkk., 2012).

4. Loperamid

Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek lokal pada usus karena
tidak mudah menembus ke dalam otak. Oleh karena itu, Loperamid hanya
mempunyai sedikit efek sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan.
Jika dikombinasi dengan antibiotik, loperamide akan mengurangi frekuensi diare dan
memperpendek durasi diare (Katzung, 1994). Dosis lazim untuk semua diare adalah 2
tablet pada permulaan dan1 tablet setelah diare setiap 2 jam sampai diare berhenti.

 Terapi Non – Farmakologi


1. Istirahat Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan,
bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam
istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik.
Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung
dan penyakit tukak (Tarigan, 2001).
2. Diet Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien

26
tukak dan dispepsia non tukak, walaupun belum dapat dibuktikan
keterkaitannya (Tarigan, 2001).
3. Pantang merokok Merokok menghalangi penyembuhan tukak gaster
kronik, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman
bulbus duodenum, menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi
sfingter pilorus sekaligus meningkatkan kekambuhan tukak (Tarigan,
2001).
4. Alkohol belum terbukti mempunyai efek yang merugikan. Air jeruk yang
asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh ulserogenik pada
mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam dan belum jelas
dapat menghalangi penyembuhan tukak dan sebaiknya diminum jangan
pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2001).
 Monitoring Efek Samping

1. Monitoring efek samping Lansoprazol


PPI tergolong aman untuk terapi dispepsia jangka pendek pada usia
lanjut dengan presentase pasien mengeluh mengalami konstipasi, diare,
pusing dan flatulens hanya sebesar 10%. Menurut Lodato et. al (2010), efek
samping berat yang dapat dialami pasien pada penggunaan jangka panjang
meliputi fraktur tulang, infeksi saluran cerna, defisiensi vitamin B12 dan
hipomagnesia. Kondisi tersebut jarang terjadi pada terapi PPI jangka pendek
namun risiko dapat meningkat jika terdapat obat lain yang dapat berinteraksi
dengan PPI. Meskipun PPI memiliki waktu paruh yang singkat, obat ini masih
dapat mengalami interaksi dengan obat-obat tertentu dengan jalur
metabolisme yang sama. Efek samping loperamide dapat timbul akibat dari
adanya gangguan motilitas usus seperti nyeri abdomen, perut kembung, mual
dan muntah serta konstipasi (Hanauer, 2009).

2. Monitoring efek samping Loperamid

27
Mual, nyeri perut, pusing-pusing, mulut kering, dan kelainan kulit
mendadak (eksantema). Namun efek jarang terjadi pada pemberian dosis
biasa.

V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada praktikum kali ini
terkait gejala PUD. Pada praktikum kali ini berdasarkan kasus dari Pasien atas
nama Tn. Y 54 tahun, pergi ke dokter dengan mengeluhkan pasien diare selama
kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali perhari. Untuk
mengatasi diare tersebut, pasien minum enterostop. Selain itu, pasien mengeluh
perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya, fesesnya tidak mengandung lendir,
feses cair dan ada ampasnya. Endoskopi atas dan bawah pada tanggal 15/8
menunjukkan hasil: duodenal ulcer, gastritis erosive, colon polip, colitis, internal
hemorrhoid grade 1-2.
Pasien mendapatkan pengobatan sebelumnya adalah Ziloric, Lipitor,
Enterostop. Tn. Y mendapatkan pemeriksaan untuk melakukan endoskopi di RS.
Hasil dari test endoskopi atau test terhadap bakteri H. Pylori dan pasien
dinyatakan positif bakteri H. Pylori. Penyelesaian dari kasus ini adalah dengan
menggunakan metode SOAP, dimana metode SOAP merupakan singkatan dari
Subjective atau data-data yang dirasakan oleh pasien yang bersifat subjectif
seperti gambaran apa adanya mengenai pasien yang dapat diperoleh dengan cara
mengamati, berbicara, dan berespon terhadap pasien, Objective, Assement, dan
Plan. Untuk menentukan langkah selanjutnya terhadap pengobatan pasien, maka
dilakukan dengan FIR (Further Information Required). FIR ditujukan untuk
mendapatkan informasi tambahan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk
menyelesaikan kasus.
Fir yang ditanyakan adalah sebagai berikut.
1. Apakah pasien positif H. Pylori?
2. Apakah pasien suka makan makanan berlemak dan pedas?
3. Bagaimana warna feses pasien?

28
4. Apakah pasien mengkonsumsi obat lain pada tanggal 15?
5. Apakah pasien masih mengalami diare?
6. Apakah berat badan pasien turun?
7. Pada tanggal 14 , apakah pasien ada mengkonsumsi obat lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini digunakan untuk mengetahui gejala atau lanjutan
dari keluhan pasien agar dapat memberikan terapi yang tepat untuk pengobatan
pasien. Setelah dilakukannya FIR kepada pasien didapatkanlah hasil sebagai
berikut.

1. Pasien positif H. Pylori.


2. Pasien suka mengkonsumsi makan makanan berlemak dan pedas.
3. Feses pasien berwarna hitam.
4. Pada tanggal 15 pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan lainnya.
5. Pasien masih mengalami diare.
6. Pasien tidak mengalami penurunan berat badan.
7. Pada tanggal 14, pasien diberikan obat lain yaitu phosphosoda.
Pud (peptic ulcer disease) merupakan lesi pada lambung atau duodenum yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi asam lambung,
pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor defensif/ faktor
pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran
darah mukosa) (Berardy dan Lynda, 2005).
Berdasarkan kasus yang kami dapat, dengan pasien bernama Tn. Y berumur
54 tahun, yang telah melakukan endoskopi dengan hasil pemeriksaan yaitu H.
Pylori positive dapat dikatakan bahwa pasien mengalami duodenal ulcer. Peran
Helicobacter pylori pada patogenesis sindrom PUD masih terus dipelajari. H.
Pylori diduga menyebabkan inflamasi dan dismotilitas, imenginisiasi
hipersensitivitas viseral dan meningkatkan sekresi asam. Pada kejadian sindrom
pud yang disebabkan oleh kelainan iorganik, seperti tukak peptikum, infeksi H.
pylori memiliki peranan yang penting (Brun & Kuo, 2010).

29
Kemudian pada pasien mengalami Displidemian dengan hasil tes
laboratorium yang telah dilakukan Tn.Y dapat dilihat bahwa kadar kolestrol total
283 (mg/dL) dengan hasil trigliserida pasien mencapai 212 mg/dl. Kadar normal
dari kolestrol total yaitu <200mg/dL.

Pada pemeriksaan Hipererusemia yaitu berdasarkan tes laboratorium yang


telah dilakukan terhadap Tn. Y dapat dilihat bahwa kadar Asam Urat pasien
adalah sebesar 8,5 (mg/dL). Nilai tergolong tinggi karena nilai normal kadar asam
urat yaitu berada pada kisaran 3,4-7,0 mg/dL

Dan pada pemeriksaan Collitis Berdasarkan keluhan yang dialami pasien yaitu
diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali
perhari, fesesnya tidak mengandung lender, feses cair dan ada ampasnya

Adapun terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien ini adalah
sebagai berikut.

1. Untuk keluhan pasien yaitu hiperurisemia diberikan obat Zyloric dengan


aturan minum 1 X 1 tab. Ziloric (Allupurinol) 300 mg sehari sekali
sesudah makan pada malam hari berdasarkan EBM dalam jurnal
dinyatakan bahwa penggunaan Ziloric (Allupurinol) dibandingkan dengan
febuxostat, penggunaan febuxostat memiliki efek samping penyebab
peptic ulcer sebesar >1% dimana kondisi pasien positif infeksi H.pylori.
Dan Ziloric (Allupurinol) direkomendasikan sebagai pengobatan gout
pada pasien peptic ulcer. Dan pengobatan untuk nyeri diberikan obat
golongan NSAID selektif COX-2 yaitu Celecoxib dosis 200 mg 2x sehari
sesudah makan. Menurut EBM NSAID selektif COX-2 yaitu celecoxib.
Sehingga obat NSAID yang aman untuk pasien gangguan lambung adalah
celecoxib, karena selektif COX-2 yaitu hanya menghambat enzim
siklooksigenase 2 sehingga tidak menghasilkan prostaglandin yang
bersifat sebagai mediator nyeri dan inflamasi.

2. Untuk keluhan pasien yaitu dislipidemia diberikan obat lipitor

30
(atorvastatin) dengan aturan minum 1 X 1 Tab. Lipitor (Atorvastatin)
terbukti dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular,
maka obat ini adalah pilihan pertama bagi pasien dengan tingkat risiko
tinggi dan sangat tinggi yang mempunyai konsentrasi TG moderat. Statin
potensi tinggi seperti atorvastatin dan rosuvastatin, terutama pada dosis
tinggi, terbukti mampu menurunkan konsentrasi TG. Statin adalah obat
pilihan penurun konsentrasi kolesterol LDL dan digunakan sampai dosis
terbesar yang dapat ditoleransi untuk mencapai target konsentrasi
kolesterol LDL. Ketika konsentrasi awal sangat tinggi sehingga
konsentrasi kolesterol LDL tidak mencapai target terapi absolut dengan
statin dosis tinggi, maka dianjurkan untuk mencapai target terapi relatif,
yaitu penurunan minimal 50% pada pasien dengan tingkat risiko sangat
tinggi atau minimal 30% bagi pasien dengan tingkat risiko tinggi. Dalam
keadaan target terapi relatif tidak tercapai, dapat dipertimbangkan
kombinasi antara statin dengan ezetimibe atau bile acid sequestrant atau
asam nikotinat. (Jones P.H, 2005)
3. Untuk keluhan pasien yaitu PUD diberikan obat Lansoprazole dengan
aturan minum 1 X 1 Tab. Dosis lansoprazole yang dapat diberikan kepada
pasien adalah 1 x 30mg (dosis standar) selama 4 minggu. Digunakannya
lansoprazol karena merupakan pilihan utama dibandingkan agen PPI
lainnya, hal ini dikarenakan dengan standart dosis lansoprazole memiliki
aksi yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis rendah agen PPI lainnya
seperti omeprazol, pantoprazol dan rebeprazol, namun apabila
dibandingkan dengan esomeprazol, lansoprazol memiliki bioavaibilitas
yang tidak jauh berbeda (esomeprazol 89%, lansoprazol 80-90%,
pantoprazol 77%, omeprazol 40-50%). Lansoprazol merupakan obat
golongan PPI yang memiliki bioavaibilitas tinggi, waktu konsentrasi
puncak plasma yang cepat, harga ekonomis, dan memiliki efek samping
minimal, hal ini yang mungkin menjadikan lansoprazol banyak digunakan.
Selain itu, sebenarnya antar obat PPI satu dan lainnya tidak terlalu

31
memiliki efek yang berbeda signifikan pada terapi eradikasi, hal ini
dikarenakan adanya faktor dari individu masing-masing dalam merespon
suatu obat (Vakil dan Fennerty, 2003; Hajiani, 2009; Nurrokhmawati
dkk., 2012).
4. Untuk keluhan pasien Collistis dengan keluhan pasien yaitu diare selama
kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali perhari,
fesesnya tidak mengandung lender, feses cair dan ada ampasnya,
pemberian Entrostop gejala tersebut masih berlangsung yang menandakan
adanya DRP yaitu P4.2 Masalah yang tidak sesuai perlu klasifikasi lebih
lanjut dan C19. Dibutuhkan indikasi obat yang baru diberikan Loperamide
dengan aturan minum 2 tablet pada permulaan dan 1 tablet setelah diare
setiap 2 jam sampai diare berhenti. Dipakainya loperamide karena opioid
yang paling tepat untuk efek local pada usus karena tidak mudah
menembus ke dalam otak. Oleh karena itu, Loperamide hanya mempunyai
sedikit efek sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan jika
kombinasi dengan antibiotic, loperamide akan mengurangi frekuensi diare
dan memperpendek durasi diare (Katzung,1994).

Selain terapi farmakologi yang dapat diberikan dengan obat-obat di atas,


adapun terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien Tn. Y adalah
sebagai berikut:

1. Hindari makanan pedas. Makan makanan secara teratur membantu


mengurangi konsentrasi asam dalam perut. Sebuah makanan kecil sebelum
tidur dapat meredakan rasa sakit yang dialami oleh ulkus peptikum pasien.
Pasien juga disaran untuk tidak makan secara berlebihan atau menghindari
makanan berat karena isi lambung yang tinggi memicu sekresi asam.
2. Menghindari atau mengelola kondisi stres karena stres menyebabkan
sekresi asam dalam lambung.
3. Hindari merokok karena dapat mengganggu penyembuhan luka atau

32
ulkus. Mencoba sering makan dengan kalori rendah.
4. Hindari obat-obatan misalnya NSAID (termasuk aspirin). Jika diperlukan
dapat menggunakan terapi alternative seperti acetaminophen, a non-
acetylated salicylate (e.g., salsalate), or a COX-2 selective inhibitor
sebagai terapi untuk pain relief.
5. Dianjurkan untuk merubah gaya hidup dengan mempertahankan diet yang
tepat dan menghindari makanan atau minuman yang mempengaruhi
mukosa lambung seperti kopi, teh, cola, dan alkohol.

Monitoring terhadap efek samping terapi yang dapat dilakukan pada kasus ini
adalah sebagai berikut.

1. Lansoprazole

MONITORING:
PPI tergolong aman untuk terapi dispepsia jangka pendek pada usia lanjut dengan
presentase pasien mengeluh mengalami konstipasi, diare, pusing dan flatulens
hanya sebesar 10%. Menurut Lodato et. Al (2010), efek samping berat yang dapat
dialami pasien pada penggunaan jangka panjang meliputi fraktur tulang, infeksi
saluran cerna, defisiensi vitamin B12 dan hipomagnesia. Kondisi tersebut jarang
terjadi pada terapi PPI jangka pendek namun risiko dapat meningkat jika terdapat
obat lain yang dapat berinteraksi dengan PPI. Meskipun PPI memiliki waktu
paruh yang singkat, obat ini masih dapat mengalami interaksi dengan obat-obat
tertentu dengan jalur metabolisme yang sama.

EFEK SAMPING:

33
Efek samping lansoprazole dapat timbul akibat dari adanya gangguan
motilitas usus seperti nyeri abdomen, perut kembung, mual dan muntah serta
konstipasi (Hanauer, 2008).

VI. KESIMPULAN
Dari kasus di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan keluhan – keluhan, pasien


didiagnosa mengalami Peptic Ulcer disease (PUD) pada bagian usus
halus (duodenal ulcer) dan colitis. Selain itu pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil asam urat yang tinggi yaitu 8,5 mg/dL,
sehingga pasien didiagnosa mengalami hiperurisemia dan hasil
pemeriksaan kolesterol total, trigliserida dan LDL berturut – turut yaitu
283 (mg/dL) ; 212 (mg/dL) ; 155,4 (mg/dL) yang tinggi, maka pasien
didiagnosa mengalami dislipisemia.

2. Terapi farmakologi untuk pasien PUD pada kasus di atas yaitu diberikan
obat Lansoprazole dengan aturan minum 1 X 1 Tab. Dosis lansoprazole
yang dapat diberikan kepada pasien adalah 1 x 30mg (dosis standar)
selama 4 minggu. Lansoprazol merupakan obat golongan PPI yang
memiliki bioavaibilitas tinggi, waktu konsentrasi puncak plasma yang
cepat, harga ekonomis, dan memiliki efek samping minimal, hal ini yang
mungkin menjadikan lansoprazol banyak digunakan.
Untuk mengatasi hiperurisemia pasien diberikan obat Zyloric dengan
aturan minum 1 x 1 tab. Ziloric (Allupurinol) 300 mg sehari sekali
sesudah makan pada malam hari. Penggunaan Ziloric (Allupurinol)
dibandingkan dengan febuxostat, penggunaan febuxostat memiliki efek
samping penyebab peptic ulcer sebesar >1% dimana kondisi pasien
positif infeksi H. pylori. Dan Ziloric (Allupurinol) direkomendasikan
sebagai pengobatan gout pada pasien peptic ulcer. Dan pengobatan untuk

34
nyeri diberikan obat golongan NSAID selektif COX-2 yaitu Celecoxib
dosis 200 mg 2x sehari sesudah makan. Obat NSAID yang aman untuk
pasien gangguan lambung adalah celecoxib, karena selektif COX-2 yaitu
hanya menghambat enzim siklooksigenase 2 sehingga tidak
menghasilkan prostaglandin yang bersifat sebagai mediator nyeri dan
inflamasi.
Untuk mengatasi dislipidemia pasien maka diberikan obat lipitor
(atorvastatin) dengan aturan minum 1 X 1 Tab. Lipitor (Atorvastatin)
terbukti dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular,
maka obat ini adalah pilihan pertama bagi pasien dengan tingkat risiko
tinggi dan sangat tinggi yang mempunyai konsentrasi TG moderat.
Untuk mengatasi keluhan colitis pasien maka diberikan terapi
Loperamide dengan aturan minum 2 tablet pada permulaan dan 1 tablet
setelah diare setiap 2 jam sampai diare berhenti.

3. Terapi yang dapat disarankan untuk pasien yaitu hindari makanan pedas,
mengelola kondisi stres, hindari merokok dan hindari obat – obatan yang
dapat memperburuk kondisi pencernaan misalnya NSAID (termasuk
aspirin).

4. Monitoring yang dilakukan yaitu berupa pemantauan efek samping yang


dari penggunaan obat lansoprazole seperti gangguan motilitas usus
seperti nyeri abdomen, perut kembung, mual dan muntah serta konstipasi
dan efek samping dari loperamide yaitu mual, nyeri perut, pusing-pusing,
mulut kering, dan kelainan kulit mendadak (eksantema).

VII. SARAN
Saran yang dapat diberikan yaitu agar pada analisa kasus – kasus selanjutnya
dapat mencari lebih banyak guideline serta Evidence Base Medicine (EBM) yang
akurat sehingga dapat menyarankan terapi yang lebih tepat.

35
DAFTAR PUSTAKA

Akil, H.A.M. 2006. Tukak Duodenum. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK UI.

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A., Kradjan,
W.A., et al., 2013. Koda-Kimble & Youngs. Applied Therapeutics The
Clinical Use of Drug. Lippincott Williams & Wilkins, Awolters Kluwer
Business.

Berardi R.R dan Lynda, S.W., 2005, Peptic Ulcer Disease dalam Pharmacotherapy a
Phatophysiologic Approach, Sixth Edition, McGraw-Hill, Medical
Publishing Division by The MC-Graw- Hill Companies.

Berardi R.R. and Welage L.S., 2008, Pharmacotherapi: A Pathophysiologic


Approach, dalam Gastrointestinal Disorders, Mc-GrawHill, New York,

Brun & Kuo. 2010. Therapeutic Advances in Gastroenterology.

Dipiro, J, T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V.,2015,


Pharmcotherapy Handbook, Ninth Edition, Mc Graw-Hill.

Dipiro, J.T, Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,2008,
Pharmacotherapy, A Pathophysiology Approach, Seventh edition, Mc
Graw-Hill Companies, United State.

Ganong, W. F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong. Edisi 22, Jakarta:
EGC.

Ghosh, S. & Kinnear, M. 2003, Peptic Ulcer Disease Clinical Pharmacy and
Therapeutic, 3rd edition, Churchill livingstone, New York, USA.

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC.
Hajiani, E. 2009. Treatment for Helicobacter pylori Infection, an
overview.Jundishapur Journal of Microbiology.

Hanauer, D.I., Hatfull, G.F., & Jacob-Sera, D. (2009). Active Assessment: Assessing
Scientific Inquiry. Virginia: Springer.

Hoogerwerf, W. A. dan P.J. Pasricha. 2008. Pharmacotherapy of Gastric Acidity.


Peptic Ulcers and Gastroesophageal Reflux Disease. Dalam Manual of
Pharmacology and Theraupetics. Editor Brunton, L., K. Parker, D
Blumenthal dan I .Buxton. Chpter 37th.The Mc Graw-Hill
Companies.Inc: USA.

Jones P H, Davidson MH. 2005. Reporting rate of rhabdomyolysis with


fenofibrate+statin
versus gemfibrozil+any statin. Am J Cardiol.

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2008, Drug Information
Handbook A Comprehensive Resource for All Clinicians and
Healthcare Professionals, 17th ed, Lexi-Comps Drug Reference
Handbook, United States of America.

Laudato. 2010. Global Environmental Risks, and the Future of Humanity.

McGuigan, J.F. 2001, Ulkus Peptikum dan Gastritis, EGC, Jakarta, Indonesia.

Rani, A. A., & Fauzi, A. 2006. Infeksi Helicobacter pylori dan Penyakit Gastro-
duodenal. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S.
Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: FKUI.

Robbins dan Cotran, 2005 , Dasar Patologis Penyakit, Edisi 7, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC,

Sanusi, I. A. 2011. Tukak Lambung. In A. A. Rani, M. S. K., & A. F. Syam (Eds.),


Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: Interna Publishing.
Simadibrata.2001. Tukak Peptik (Ulkus Peptikum). Dalam: Soeparman (Ed). Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Syam AF, Kolopaking MS, Rani AA 2001. Helicobacter pylori: Diagnosis and
Treatment. Medical Progress.

Tarigan, P. 2001. Tukak Gaster. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran.

Tarigan, P. 2006. Tukak Gaster. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., &


S. Setiati (Eds.), Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: FKUI.

Vakil, N. dan Fennerty, M.B. 2003. Systematic Review: Direct Comparative Trials
of the Efficacy of Proton Pump Inhibitors in the Management of
Gastro- Oesophageal Reflux Disease and Peptic Ulcer Disease,
Blackwell Publishing,  http://www.medscape.com/viewarticle/4 

Waller DG, Sampson AP, Renwick AG, Hillier K. 2014. Lipid disorders dalam
medical pharmacology and therapeutics. 4th edition. UK: Elsevier.

Wilson, L.M dan Lindseth, G.M. 2005. Pathophysiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit, Volome 1 Edisi 6, Silvia Anderson dan Lorain Carty
Wilson, diterjemahkan oleh Peter Anugrah, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai