Anda di halaman 1dari 30

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

“GASTROINTESTINAL INFECTION”

OLEH
KELOMPOK 3

Nama : Viviana Bali Sua (211023010)


Muhamad Apriyandi (211023011)
Ni Komang Trisna Putri (211023012)
I Gusti Agung Shelinda K (211023013)
Kelas : B4 Lintas Jalur

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS LINTAS JALUR
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2022/2023
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Penyakit Gastrointestinal Infection
2. Mengetahui klasifikasi Penyakit Gastrointestinal Infection
3. Mengetahui patofisiologi Penyakit Gastrointestinal Infection
4. Mengetahui tatalaksana secara (Farmakologi dan Non-Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Penyakit Gastrointestinal Infection secara
mandiri dengan menggunakan metode SOAP
II. DASAR TEORI
II.1. Definisi PUD (Peptic Ulcer Disease)
Peptic Ulcer Disease (PUD) adalah luka yang terdapat pada lapisan lambung
atau duodenum. Duodenum merupakan bagian pertama dari usus kecil akibat
gangguan sekresi asam lambung. Biasanya terdapat kerusakan pada lapisan lambung
atau usus halus (terjadi tukak di mukosa saluran cerna yang melas sampai ke
muscularis mucosa) karena aktivitas asam lambung dari sistem pencernaan yang
dapat disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori dan penggunaan bat
NSAIDs (Dipiro, 2011).
Peptic ulcer merupakan luka yang sifatnya kronik, biasanya merupakan luka
tunggal yang dapat muncul pada di seluruh bagian gastrointestinal yang terpejan efek
getah asam atau pepsin. Peptic ulcer biasa dijumpai di tempat-tempt berikut: Pangkal
duodenum, lambung, biasanya pada bagian antrum, taut gastroesofagus, refluks
gastroesofagus atau pada esofagus Barrett, pada bagian tepi gastro jejunostomi,
duodenum, lambung, dan/atau jejunum pada pasien dengan sindrom Zollinger-Ellison
(Robins and Cotran, 2005). Berdasarkan letak tukaknya, PUD dibagi menjadi :
a. Gastric ulcer (GU)
Merupakan tukak yang terjadi pada lambung. 80% kasus berhubungan dengan
infeksi H.pylori dan penggunaan NSAIDs. Pada pasien dengan GU biasanya sekresi
asam normal atau berkurang (David, 2011).
b. Duodenal ulcer (DU)
Merupakan tukak yang terjadi pada usus halus. 95% kasus berhubungan
dengan infeksi bakteri H.pylori. Meningkatnya sekresi asam diamati pada pasien
dengan DU dan diduga akibat infeksi H.pylori (David, 2011)

II.2. Klasifikasi PUD (Peptic Ulcer Disease)


Menurut Ise Truter (2009), tukak lambung dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe
Yaitu sebagai berikut :
a. Tipe I
Merupakan tipe yang paling sering ditemukan. Umumnya lokasi tukak berada
di incisura angularis pada kurvatura minor, dekat dengan perbatasan antara antrum
dan mukosa korpus. Pasien dengan tukak lambung tipe I biasanya mempunya
kadar sekresi asam lambung yang normal atau sedikit menurun.
b. Tipe II
Tukak lambung tipe II dihubungkan dengan keadaan penyakit tukak peptik
dalam kondisi aktif atau diam. Pasien dengan tipe ini memiliki kadar sekresi asam
lambung yang normal atau sedikit meningkat.
c. Tipe III
Tukak lambung tipe III merupakan tipe dengan lokasi tukak prepilorik. Seperti
halnya tipe I, pasien dengan tukak lambung tipe III memiliki kadar sekresi asam
lambung yang normal atau sedikit meningkat.
d. Tipe IV
Pada tipe ini, lokasi tukak berada dekat dengan perbatasan gastroentero. Pasien
dengan tukak lambung tipe IV memiliki kadar sekresi.
e. Tipe V
Semua kasus tukak lambung yang diinduksi akibat penggunaan obat- obatan
digolongkan ke dalam tipe ini, tapa melihat lokasi spesifiknya.
II.3. Patofisiologi PUD (Peptic Ulcer Disease)
a. Asam lambung dan pepsin
Faktor yang berpotensial untuk merusak membran mukosa adalah sekresi
asam lambung (asam klorida) dan pepsin. Asam lambung disekeresi oleh sel-sel
parietal yang mengandung reseptor histamin, gastrin, dan asetilkolin. Asam
lambung merupakan faktor independen yang berkontribusi pada gangguan
membran mukosa. Pada pasien dengan gastric ulcer biasanya asam lambung
disekresi dalam jumlah normal atau kurang (hipokloridia) (Dipiro, Talbert, Yee.
Matzke, Wells, Posey, 2005).
Sekresi asam dikeluarkan dalam jumlah yang sama dengan asam yang
disekresi di bawah basal atau kondisi puasa, basal acid output (BAO); setelah
stimulasi maksimal, maximal acid output (MAO); atau respons setelah makan.
Basal, maximal, dan makanan akan menstimulasi sekresi asam dan dapat
dipengaruhi oleh kondisi psikologis, usia, umur, dan kondisi kesehatan (Dipiro,
2008).
Pepsin diaktivasi oleh pH asam (pH optimal antara 1,5-3,8), inaktivasi
revesibel pepsin pada pH 4, dan inaktivasi irreversible pada pH 7. Pepsin berperan
dalam aktivitas proteolitik dalam pembentukan ulkus Dipiro (2005). Perbaikan
mukosal berkaitan dengan pergantian sel epitel, pertumbuhan dan regenerasi yang
dimediasi oleh prostaglandin. Perubahan pada mukosa pertahanan yang
disebabkan H. pylori dan NSAID merupakan kofaktor yang menyebabkan peptic
ulcer (Dipiro, et al., 2008).
b. Helicobacter pylori dan NSAID
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif dengan bentuk spiral
merupakan penyebab paling umum selain NSAID, infeksi H. pylori seringkali
disebarkan melalui rute oral. H. pylori ditemukan dalam lingkungan asam.
Mekanisme patogenik H. pylori meliputi kerusakan mukosa secara langsung,
perubahan dalam respon imun,dan hipergastrinemia menyebabkan sekresi asam
meningkat. H. pylori menempel membentuk molekul adhesi pada permukaan sel
epitel lambung. Di duodenum, H. pylori menempel hanya pada area yang
mengandung sel epitel dan meningkatkan sekresi asam lambung pada mukosa
duodenum. Kerusakan mukosa secara langsung disebabkan oleh factor virulensi
(vacuolating cytotoxin, cytotoxin-associated protein gene, dan factor penghambat
pertumbuhan) akan menguraikan enzim bakteri (lipase, protease, dan urease). H.
pylori dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang tidak sesuai karena
memproduksi enzim urease yang mengubah urea menjadi ammonia (Golan,
Tashjian, Armstrong, Armstrong, 2012).
Urease dapat merusak host, agen perusak lainnya adalah lipopolisakarida
(endotoksin). Keberadaan H. pylori dapat ditelusuri sebagian dari abnormalitas
respon imun yang muncul, bahkan respon imunitas mukosal TH2 yang mengontrol
infeksi luminal dengan mensekresi antibody IgA, H. pylori memunculkan respon
TH1, sitokin yang terasosiasi TH1 memicu inflamasi dan kerusakan sel epithelial
(Golan, et al, 2012). H. pylori menimbulkan kerusakan mukosa lambung dan
duodenum melalui pelepsan faktor kemotaktik, platelet activating factor,
leukotrien, dan eukosanoid lain yang berasal dari asam arakidonat, dan sitotoksin
seperti protease, lipase fosfolipase A2, fosfolipase C dan vacuolating cytotoksin
(Dipiro, et al., 2008).
Kerusakan mukosa lambung karena endotoksin yang dibentuk oleh
Helicobacterpylori memicu pembentukan leukosit, dimana leukosit akan menuju
ke daerah yang mengalami kerusakan, sehingga cytokines tambahan dilepaskan.
Derajat infeksi H.pylori dan beratnya kerusakan mukosa berbanding lurus dengan
luasnya infiltrasi leukosit. Endotoksin H. pylori meningkatkan inflamasi mukosa
melalui peningkatan adhesi lekosit pada sel-sel endotelium. H. pylori merangsang
faktor-faktor dalam tubuh manusia untuk meningkatkan produksi interleukin 8
(IL-8) mRNA epitel dan IL-8 imunoreaktif (Dipiro, et al., 2008).
Mekanisme lain yaitu kenaikan gastrin. Meningkatnya sekresi gastrin dipicu
oleh dua mekanisme, yaitu, ammonia yang dihasilkan membentuk lingkungan basa
dekat sel G dan memicu pelepasan gastrin, jumlah sel D antra dibawah normal
pada pasien terinteksi H. pylori, sehingga menurunkan produksi somatostatin dan
meningkatkan pelepasan gastrin. H. pylori juga menurunkan sekresi bikarbonat
duodenal dan melemahkan mekanisme perlindungan mukosa duodenal (Golan, et
al, 2012).
Respon antibodi lambung memicu pelepasan IgA dan IgG. Sekresi IgA dapat
melindungi mukosa tapa aktivasi komplemen, sedangkan IgG dengan
mengaktivasi komplemen yang menyebabkan kerusakan epitel immune complex
mediated dan penurunan sitoproteksi. Pada strain H.pylori yang virulen ditemukan
lebih banyak adhesi antara H. pylori dengan permukaan mukosa lambung. H.
pylori dapat meningkatkan gastrin plasma melalui perangsangan sel G lambung
dan menurunkan sekresi somatostatin melalui inhibisi sel G lambung, akibatnya
terjadi hipersekresi gastrin (Dipiro, et al., 2008).
Efek merugikan NSAID yang menimbulkan terjadinya ulkus peptic
diakibatkan oleh penghambatan COX-1 dan COX-2. COX atau prostaglandin H
sintase (PGHS) berfungsi sebagai katalis pada tahap pertama proses biosintesis
prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin. Ada dua bentuk isoform dari enzim
siklooksigenase, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 adalah bentuk enzim utama
yang ditemukan dibanyak jaringan dan bertanggung jawab dalam menjaga fungsi
normal tubuh termasuk keutuhan mukosa lambung dan pengaturan aliran darah
ginjal. Sebaliknya, COX-2 tidak ditemukan di jaringan pada kondisi normal, tetapi
diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti endotoksin, sitokin, mitogen dan
dikaitkan dengan produksi prostaglandin selama proses inflamasi, nyer, dan respon
piretik (Dipiro, 2008).
Aspirin dan NSAID non selektif menghambat COX-1 dan COX-2 yang
mengakibatkan toksisitas pada saluran cerna. Selain itu, aspirin dan NSAID non
aspirin menghambat aktivitas platelet pada COX-1 yang mengakibatkan
menurunnya agregasi platelet dan terjadi perdarahan berkepanjangan sehingga
meningkatkan perdarahan saluran cerna. NSAIDmenyebabkan kerusakan mukosa
lambung melalui dua mekanisme yaitu iritasi langsung maupun topikal pada epitel
lambung dan penghambatan sistemik sintesis prostaglandin mukosa endogen
(Dipiro, et al., 2008).
II.4. Penatalaksanaan Penyakit Peptic Ulcer Disease (PUD)
II.4.1. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi pada pasien ulkus dengan infeksi H.pylori adalah untuk
mengeradikasi bakteri H.pylori dan menyembuhkan ullus. Kesuksesan eradikasi
sangat menentukan proses penyembuhan ulkus selanjutnya dan dapat mengurangi
resiko kekambuhan sebesar ±10%. Tujuan terapi pada pasien peptik ulkus akibat
penggunaan NSAID adalah untuk menyembuhkan ulkus secepat mungkin (David,
2011). Dalam penatalaksaan PUD, sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk penegakan diagnosa PUD pada pasien yang memperlihatkan alarm
sign. Terapi pada pasien PUD dibagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya antara
lain:
a. Hasil uji bakteri Helicobacter pylori negative
Etiologi utama terkait dengan penggunaan NSAID, sehingga penggunaan obat
golongan tersebut harus dihentikan. Penatalaksanaan pasien yang tidak terinfeksi
didasarkan pada terapi antisekresi klasik Dua kelompok obat antisekresi yang paling
umum digunakan dalam kondisi ini adalah antagonis reseptor histamin-2 (H2RAs)
dan penghambat pompa proton (PPI). Mekanisme aksi adalah dengan menekan
sekresi asam oleh sel parietal lambung. Pertama obat mendapat efek dengan
memblokir reseptor histamin H2 yang ditempatkan pada membran basolateral sel,
mereka jarang digunakan sebenarnya dan telah digantikan hampir seluruhnya oleh
PPIS yang bertindak dengan pengikatan ireversibel dan penghambatan hidrogen-
kalium Pompa ATPase, terletak di permukaan luminal membran sel (Reimer, 2013).
Semua PPI mencapai tingkat penghambatan sekresi asam yang sama dan
tingkat penyembuhan dalam pengobatan PUD. PPI paling efektif bila diminum 30-60
menit sebelum makan. Tingkat penyembuhan ulkus global di atas 75%, meskipun PPI
mencapai hasil yang lebih baik daripada H2RA (mendekati 100%). Oleh karena itu,
penggunaan PPI dianjurkan bila memungkinkan. Jika terapi PPI standar gagal untuk
menyembuhkan tukak lambung, dianjurkan untuk mencoba dosis dua kali sehari atau
beralih ke PPI lain. Untuk ulkus besar (>2-3 cm), dosis ganda PPI direkomendasikan
selama 12 minggu. Dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mengontrol gejala pada
keadaan hipersekresi lainnya, seperti Sindrom Zollinger-Ellison. Probabilitas
kekambuhan ulkus dengan antisekresi klasik terapi adalah sekitar 80% per tahun,
setelah akhir pengobatan. Untuk alasan ini, perawatan pemeliharaan jangka panjang
dengan PPI adalah direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan risiko,
ditentukan oleh riwayat komplikasi sebelumnya, sering kambuh, evolusi lamban
(ulkus refrakter, raksasa atau fibrosa) atau ketika NSAID tidak dapat dihentikan.
Untuk kondisi terakhir ini, penggunaan inhibitor COX-2 sebagai alternatif,
memerlukan penilaian individu yang cermat dari kemungkinan risiko gastrointestinal
dan kardiovaskular. Tidak ada data konklusif dari uji coba terkontrol, mengenai
durasi terapi berkepanjangan, meskipun ini harus dipertahankan setidaknya sampai
penyembuhan ulkus telah dikonfirmasi, atau NSAID telah telah dihentikan. Jadwal
yang direkomendasikan untuk masing-masing obat ini adalah dosis standar sekali
sehari selama empat dan enam sampai delapan minggu, untuk tukak duodenum dan
tukak lambung akut. H2RA baik-baik saja diserap setelah pemberian dosis oral dan
tidak berkurang dengan makanan bersamaan pemasukan. H2RA dan PPI biasanya
ditoleransi dengan baik dengan insiden (< 3-4%) efek samping (Feldman, 2009).
Sebagian besar reversibel dan sebagian besar terjadi pada pasien berusia di atas
50 tahun. Untuk H2RA, disarankan untuk melakukan beberapa penyesuaian dosis
pada pasien dengan gagal ginjal. Ranitidin berikatan dengan sistem enzim sitokrom
P-450 (CYP) dan dapat menghambat eliminasi obat lain yang dimetabolisme melalui
jalur metabolisme yang sama. PPI adalah obat aman yang luar biasa dan tidak
memerlukan dosis penyesuaian untuk insufisiensi ginjal atau hati. Kekhawatiran
utama mengenai penggunaan jangka panjang dari agen ini termasuk kehadiran
hipergastrinemia yang dihasilkan oleh penghambatan sekresi asam dan hubungannya
dengan atrofi lambung. Namun, sejauh ini, belum belum melaporkan konsekuensi
klinis yang signifikan dari ini risiko. Efek samping lain dari penggunaan PPI yang
berkepanjangan, seperti potensi timbulnya infeksi enterik (Clostridium difficile) dan
nutrisi defisiensi (hipomagnesemia, penurunan penyerapan kalsium) dengan
peningkatan risiko patah tulang, defisiensi vitamin B12) Seharusnya
dipertimbangkan. PPI dimetabolisme oleh sitokrom P450 enzim, dengan CYP2C19
memiliki peran utama, dan dominasi rute ini bervariasi di antara agen yang berbeda,
yang dapat menyebabkan untuk perubahan dalam profil interaksi. Dalam hal ini, telah
dijelaskan bahwa pantoprazole memiliki potensi terendah untuk P450 metabolisme
dan interaksi obat (Wedemeyer, 2014).
Antagonisme antara PPI dan clopidogrel telah menjadi salah satu yang paling
relevan dijelaskan. Namun, potensi dampak negatif klinis dari beberapa PPI pada efek
terapeutik clopidogrel, masih kontroversial. Dalam penglihatan dari data yang tidak
meyakinkan, PPI dengan kekuatan penghambatan yang lebih lemah CYP2C19, lebih
disukai dalam kombinasi dengan clopidogrel, dibandingkan dengan mereka dengan
penghambatan yang lebih kuat seperti omeprazole (Agewall, 2013).
b. Hasil uji bakteri Helicobacter pylori positive
Apabila hasil uji positif tukak tidak berhubungan dengan penggunaan NSAID
atau positif adanya bakteri H.pylori, maka dilakukan terapi eradikasi. Obat-obatan
yang telah menunjukkan kemanjuran termasuk amoksisilin, klaritromisin,
metronidazol, tetrasiklin dan bismuth (Malfertheiner P, 2012). Adapun terapi
eradikasi ini dibagi menjadi 3 lini yaitu :
1) Lini Pertama
Terapi lini pertama terdiri dari triple therapy menggunakan PPI atau
ranitidine, bismuth citrate, dikombinasi dengan clarithromycin dan amoxicillin.
Alternatif kombinasi antibiotik menggunakan clarithromycin dan metronidazole
dapat diberikan pada mereka yang alergi penicillin. PPI diberikan sesuai jenis
yang digunakan, clarithromycin 250-500 mg, dan amoxicillin 1 g. Semua terapi
tersebut diberikan 2 kali sehari, direkomendasikan selama 7-14 hari (Olokoba,
2017).
Pada panduan internasional di Eropa dan Amerika Utara, lini pertama
adalah triple therapy. Terapi alternatif kombinasi amoxicillin dan
metronidazole dapat diberikan apabila terdapat resistensi terhadap
clarithromycin. Dosis relatif sama, namun durasi triple therapy menurut
American College of Gastroenterology guidelines adalah 10-14 hari, sedangkan
menurut the Maastricht III Consensus Report guidelines adalah 7 hari
(Wanmacher, 2011). Sebagai terapi alternatif lain, dapat digunakan sequential
regimen dengan proton pump inhibitor (PPI) ditambah amoxicillin 1 g dua kali
sehari selama 5 hari diikuti dengan PPI ditambah clarithromycin 500 mg dua
kali sehari dan imidazole agent (misalnya: tinidazole 500 mg dua kali sehari)
selama 5 hari berikutnya (hari ke 6-10).
Menurut The Asia–Pacific Consensus Conference tahun 2009,
rekomendasi terapi lini pertama untuk eradikasi infeksi H. pylori adalah PPI,
amoxicillin 1 g, dan clarithromycin 500 mg dua kali sehari. Pilihan lain adalah
bismuthbased quadruple therapy sebagai lini pertama dengan komponen terapi
PPI dua kali sehari, metronidazole 400 mg dua atau tiga kali sehari, tetracycline
500 mg empat kali sehari, dan bismuth 240 mg dua kali sehari. Regimen
bismuth-based quadruple therapy tidak ada di beberapa Negara, seperti Jepang
dan Australia. Terapi tersebut direkomendasikan digunakan selama 7 hari,
karena terapi lebih lama dianggap kecil manfaatnya, tidak efektif biayanya, efek
samping, dan kepatuhan pasien. Penggunaan sequential therapy selama 10 hari
belum direkomendasikan sebagai lini pertama di Asia karena data dianggap
belum cukup (Fock KM, 2009).
2) Lini Kedua
Kegagalan terapi sering berhubungan dengan resistensi H. pylori terhadap
clarithromycin atau metronidazole (atau keduanya). Rekomendasi terapi lini
kedua adalah dengan quadruple regimen terdiri dari tetracycline 500 mg empat
kali sehari, metronidazole 250 mg empat kali sehari, bismuth salt 120 mg empat
kali sehari, dan PPI sesuai jenis PPI yang digunakan 2 kali sehari. Quadruple
regimen dianggap lebih efektif dibandingkan terapi lini pertama, sehingga dapat
digunakan pada pasien yang gagal eradikasi menggunakan terapi lini pertama.
Kesulitan utama terapi ini adalah bismuth salts tidak terdapat di beberapa
negara termasuk Amerika Serikat, tetracycline dan metronidazole lebih sering
mengakibatkan efek samping dan interaksi dibandingkan antibiotik lain.
Apabila terapi ini gagal, pasien dievaluasi dengan pendekatan per kasus
(Olokoba, 2013)
3) Lini Ketiga/Rescue/Salvage Therapy
Infeksi H. pylori yang menetap setelah dua kali terapi dan tetap
membutuhkan eradikasi, sebaiknya dirujuk ke spesialis dengan fasilitas kultur
H. pylori dan dilakukan pemeriksaan sensitivitas terhadap terapi alternatif
(Wannmacher, 2015). Salvage therapy untuk eradikasi H. pylori termasuk
(Fock KM, 2009) :
– Triple therapy standar yang belum digunakan
– Bismuth-based quadruple therapy
– Levofloxacin-based triple therapy
– Rifabutin-based triple therapy
Karena kurangnya studi perbandingan antar terapi, belum cukup bukti
untuk merekomendasikan pilihan salvage treatment. Menurut Olokoba
(2013), terapi eradikasi H. pylori yang sedang berkembang antara lain :
– Fluoroquinolone based therapy
Levofloxacin-based triple therapy menjadi terapi lini kedua di
beberapa negara Eropa. Dari studi perbandingan di Italia,
levofloxacinbased triple therapy memiliki angka eradikasi lebih
tinggi dibandingkan terapi standar lini pertama. Regimen terapi
dengan levofloxacin telah mulai digunakan pada terapi lini kedua
dan lini ketiga untuk eradikasi H. pylori
– Rifabutin dan rifampicin-based therapy
Merupakan komponen anti-TBC, efektif dalam kombinasi dengan
PPI dan amoxicillin. Namun, harus diperhatikan karena penggunaan
rifabutin dapat berhubungan dengan resistensi Mycobacteria pada
pasien terinfeksi Mycobacteria sebelumnya. Rifabutin juga
berhubungan dengan efek samping, seperti myelotoxicity,
leukopenia, dan trombositopenia.
– Furazolidone-based therapy
Furazolidone aktif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif
(termasuk H. pylori) dan protozoa dengan menghambat enzim
bakteri. Terapi ini banyak digunakan pada populasi berpendapatan
rendah. Strain resisten terhadap furazolidone jarang ditemukan
Quadruple regimen dengan lansoprazole, bismuth, tetracycline, dan
furazolidone selama 1 minggu pada 10 pasien resisten
metronidazole menunjukkan rerata eradikasi 90% sebagai terapi lini
ketiga.
– Doxycycline-based therapy
Merupakan golongan antibiotik tetracycline yang digunakan hanya
2 kapsul sehari (100 mg dua kali sehari), sehingga kepatuhan pasien
meningkat. Tidak terdapat resistensi H. pylori sekunder terhadap
doxycycline pada pasien yang telah gagal menggunakan satu atau
lebih terapi eradikasi. Pada kasus resistensi metronidazole,
quadruple therapy selama 1 minggu menggunakan doxycycline,
amoxicillin, omeprazole, dan bismuth salts. Terapi ini terbukti
efektif sebagai terapi lini ketiga, menghasilkan rerata eradikasi 91%
pada pasien yang resisten terhadap metronidazole dan
clarithromycin.
– Lactoferrin
Lactoferrin merupakan antibiotik pada susu sapi, memiliki efek
bakteriostatik terhadap H. pylori secara in vivo dan in vitro. Protein
susu ini mengikat besi. Efikasinya sebagai tambahan terhadap
regimen terapi reguler untuk H. pylori dalam memperbaiki rerata
eradikasi bervariasi. Modalitas terapi ini masih belum diterima
secara umum.
– Levofloxacin dan rifaximin-based quadruple therapy
Levofloxacin dan rifaximin-based quadruple regimen sebagai terapi
lini pertama untuk terapi infeksi H. pylori telah diteliti oleh Choi,
dkk., namun efikasinya terbatas; dibutuhkan studi dengan subjek
lebih besar.
II.4.2. Terapi Non-Farmakologi
Pasien yang terdiagnosa dengan PUD diharapkan mengurangi konsumsi
beberapa makanan tertentu (seperti makanan pedas, alkohol, dan kopi) serta
menjalani diet. Diet dilakukan dengan cara makan dengan porsi kecil dan
berulangkali. Pasien dengan PUD juga sebaiknya menjalankan perubahan gaya hidup,
yakni dengan mengurangi stress, istirahat yang cukup, dan mengurangi atau bahkan
berhenti merokok. Pemberian probiotik yang mengandung bakteri Lactobacillus dan
Bifidobacterium dan makanan yang mengandung senyawa bioaktif dikombinasikan
dengan regimen eradikasi H.pylori dapat mengurangi inflamasi mucosal (Jessica,
2015).
Pasien juga harus menghindari obat-obatan misalnya NSAID (termasuk
aspirin). Jika diperlukan dapat menggunakan terapi alternative seperti acetaminophen,
non-acetylated salicylate (e.g., salsalate), atau COX-2 selective inhibitor sebagai
terapi untuk pain relief (Tim Dosen UNBI, 2022).

III. KASUS
Tn Y MRS (UGD) 14 Agustus 2013, sore hari. Pengobatan direview (by
pharmacist) 15 Agustus 2013, pagi hari. Usia pasien 54 tahun. Riwayat penyakit
terdahulu Hiperurisemia, Dislipidemia dengan riwayat pengobatan terdahulu
Alluric®, Lipitor®, Entrostop®. Tidak ada riwayat alergi obat. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan endoskopi atas dan bawah. Pemakaian Obat di Rumah Sakit adalah
sebagai berikut :

Nama Obat Dosis Frekuensi Rute Waktu Tanggal


14/8 15/8 16/8 17/8
Fleet Oral Pagi
Phosphosoda® Siang
Sore 
Malam 
Pasien diare selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan frekuensi
diare 3-4 kali per-hari. Untuk mengatasi diare tersebut, pasien minum
Enterostop®. Selain itu, pasien mengeluh perut terasa kembung, fesesnya ada
darahnya, fess tidak mengandung lendir, feses cair, dan ada ampasnya.
Endoskopi atas dan bawah pada tanggal 15/8 menunjukkan hasil:
Duodenal ulcer, gastritis erosive, colon polip, colitis, internal
hemorrhoid grade 1-2. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital adalah sebagai
berikut :

Parameter Hasil Pemeriksaan Keterangan


14/8 15/8
Tekanan Darah 110/70 120/80 Normal
(mmHg)
Nadi (kali/menit) 80 88 Normal
Temperatur (ºC) 36,2 36,2 Normal
Laju pernafasan 18 - Normal
(kali/menit)
Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium
Parameter Nilai Normal Nilai Hasil Keterangan
Pemeriksaan
(14/8)
Leukosit 7,5 ± 3,5 (x 109 L) 11,66 (x 109 L) Tinggi
Eritrosit 4,5-5,5 (x 1012 L) 5,0 5 (x 1012 L) Normal
Hemoglobin 13,0-17,5 (g/dL) 14,4 (g/dL) Normal
Hematokrit 40-52 (%) 44,1 (%) Normal
Platelet 150-400 (x 109 L) 287 (x 109 L) Normal
LED <6; <10 (mm/jam) 14-29 (mm/jam) Tinggi
Natrium 135-145 (mg/dL) 139 (mg/dL) Normal
Kalium 3,06-5 (mg/dL) 3,63 (mg/dL) Normal
Kreatinin 0,6-1,1 (mg/dL) 0,87 (mg/dL) Normal
BUN 6-20 (mg/dL) 16,8 (mg/dL) Normal
Asam Urat 3,4-7 (mg/dL) 8,5 (mg/dL) Tinggi
Kolesterol Total <200 (mg/dL) 283 (mg/dL) Tinggi
TG (Trigliserida) <195 (mg/dL) 212 (mg/dL) Tinggi
HDL >40 (mg/dL) 62,5 (mg/dL) Baik
LDL <77,3 (mg/dL) 155,4 (mg/dL) Burderline
Gula Puasa 59-150 (mg/dL) 81 (mg/dL) Normal
Gula Dua Jam PP <125 (mg/dL) 118 (mg/dL) Normal
Dif :
Eo 1-2% -
Ba 0-1% -
Stab 3-5% 4% Stab. dbn

Seg 54-66% 82% Seg. Tinggi

Lym 25-33% 12% Lym. Rendah

Mo 3-7% 2% Mo. dbn


IV. SOAP KASUS
PHARMACEUTICAL CARE PATIENT PROFILE
Tn. / Ny : Tn. Y
Usia : 54 tahun
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 60 kg
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Tgl. MRS : 15 Agustus 2021
Tgl. KRS :

Tanda Complaint
Presenting -tanda Tgl : Tgl : Tgl : Tgl : Tgl : Tgl :
Vital diare selama kurang
14/8 lebih 215/8
Pasien minggu terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali per-
hari. Untukdarah
Tekanan mengatasi diare
110 / tersebut,
70 120pasien
/ 80 minum Enterostop. Selain itu pasien
mengeluhkan perut terasa kembung, fesesnya ada darahnya, feses tidak mengandung lendir,
Nadi 80 88
feses cair, dan ada ampasnya.
Suhu 36,2 36,2
Laju Pernafasan 18 -
Diagnosa Kerja : Duodenal Ulcer (DU)
No. Further Information Required Alasan
Diagnosa Banding :
1. 2. Apakah pasien sudah melakukan Untuk mengetahui penyebab Peptic
pemeriksaan laboratorium terkait Ulcer Deases
Relevant Past Medical History : Entrostop®, Alluric®, Lipitor®
H.phylori?
3. 4. Apakah warna feses pasien serta Untuk memberikan terapi yang tepat
bagaimana
Drug Allergies : Pasien keadaaanya?
tidak memiliki alergi obat
5. 6. Apakah pasien ada mengkonsumsi Untuk memberikan terapi yang tepat
obat untuk mengatasi keluhan yang
di rasakan?

Problem List (Actual Problem)


No Medical Pharmaceutical
1
2

PHARMACEUTICAL PROBLEM
a. Subjective (symptom)
 Diare yang terjadi selama kurang lebih 2 minggu terakhir, dengan durasi
3-4 per-hari , untuk mengatasi diare tersebut pasien minum Entrostop
 Perut terasa kembung, pada feses ada darah tetapi tidak ada lender, serta
feses yang cair dan ada ampasnya
b. Objective (signs)
 Tekanan darah : 110/70 (mmHg) (14/8) ; 120/80 (mmHg) (15/8)
 Nadi : 80 kali/menit (14/8) ; 88 (kali/menit) (15/8)
 Temperature : 36,2 (°C)
 Laju pernafasan : (18 kali/menit)
 Leukosit : 11,66 (x 109/L)
 LED :14-29 (mm/Jam)
 Asam urat : 8,5 (mg/dL)
 Kolesterol total : 283 (mg/dL)
 Trigliserida : 212 (mg/dL)
 LDL : 155,4 (mg/dL)
c. Assesment (with evidence)
PROBLEM MEDIC TERAPI DOSIS DRP SARAN
Duodenal Ulcer (DU) - - P.1.4 indikasi yang Untuk keluhan pasien
tidak tertangani yang menderita
Duodenal Ulcer dengan
C.1.8 Tidak H.phylori positif (+)
menerima obat yang disarankan di berikan
dibutuhkan terapi PPI, Amoxcicilin,
dan Claritromicyn
C.1.9. Dibutuhkan selama 14 hari (Laurent
indikasi obat yang et al, 2015)
baru
Dispilidemia Lipitor - P.2.1 Adanya efek Penggunaan Lipitor
(atorvastatin samping (alergi) diberhentikan terlebih
) dahulu selama
C.1.1 Obat yang tidak pengobatan Duodenal
tepat (termasuk Ulcer.
kontraindikasi)
Efek samping
pemakaian
atorvastatin adalah
atralgia , dyspepsia,
diare, mual,
nasofaringitis,
insomnia, infeksi
saluran kemih, dan
nyeri pada
ekstreimitas( Nemati
et al, 2021)
Hiperurisemia Alluric - P.2.1 Adanya efek Penggunaan Alluric
(Allopurinol samping (alergi) diberhentikan terlebih
) dahulu selama
C.1.1 Obat yang tidak pengobatan Duodenal
tepat (termasuk Ulcer
kontraindikasi)

Diare Entrostop P.4.2 Masalah tidak Penggunaan entrostop


selesai. Perlu di ganti dengan
Klarifikasi lebih loperamide karena diare
lanjut yang berlangsung
C.1.9 Dibutuhkan selama 2 minggu tidak
indikasi obat yang kunjung membaik
baru
Internal Hemoroid - - P.1.4 indikasi yang Diagnose internal
grade 1-2 tidak tertangani hemoroid grade 1-2
pada pasien tidak
diberikan terapi
farmakologi, cukup
dengan terapi non-
farmakologi
d. Plan (including primary care implications)
 Terapi Farmakologi
1. Duodenal Ulcer (DU)
Terapi yang diberikan pada pasien yang positif H,phylori yaitu terapi
eradikasi lini pertama yani terapi rangkap 3 yaitu PPI (omeprazole 2 X 40mg
sebelum makan, diminum setiap 12 jam), Amoksisilin (2 X 1g setelah makan,
diminum setiap 12 jam), dan Claritromicyn (2 X 500mg setelah makan,
diminum setiap 12 jam). Terapi eradikasi ini digunakan selama 14 hari
(Lauret ME, 2015).
2. Dislipidemia
Untuk penggunaan Lipitor sebagai terapi dyslipidemia diberhentikan terlebih
dahulu selama pengobatan Duodenal Ulcer, dikarenakan Lipitor dapat
memicu adanya efek samping obat yaitu adalah atralgia , dyspepsia, diare,
mual, nasofaringitis, insomnia, infeksi saluran kemih, dan nyeri pada
ekstreimitas (Nemati et al, 2021),
3. Hiperuresemia
Penggunaan alluric diberhentikan terlebih dahulu selama pengobatan
Duodenal Ulcer. Walapun efek samping diare yang muncul sangat jarang
untuk penggunaan alluric yakni kurang dari 1%, tetapi lebih baik di hentikan
ketika feses pasien berdarah untuk mengurasi resiko bertambah parahnya
kondisi pasien. Untuk mengatasi nyeri direkomendasikan obat golongan
selective COX-2 Inhibitor yaitu celecoxib 200mg 2 x sehari.
4. Diare
Loperamide oral merupakan pilihan terbaik pada pasien diare, yang efektif
dalam menghilangkan gejala tetapi memiliki risiko merugikan yang tidak
diinginkan, pemberian dosis harus sesuai kondisi kronik pasien (Wingate, et
al., 2001). Penggunaan loperamide diberikan 1 X 4mg, diikuti 2mg setiap
buang air besar, dosis yang diminum tidak boleh lebih dari 16mg/ hari.
Penggunaaan loperamide dapat dihentikan bila kondisi tidak membaik dalam
48 jam.
 Terapi Non -Farmakologi
1. Pasien dengan keluhan Duodenal ulcer disertai dislipidiemia dan hiperurisemia
harus mengurangi atau menghilangkan kebiasaan merokok, mengurangi dan
mengontrol stress secara psikologis, meskipun tidak memelurkan diet khusus,
pasien disarankan menghindari makanan dan minuman yang memnyebabkan
dyspepsia atau memperburuk gejala maag misalnya mengkonsumsi makanan
pedas, mengkonsumsi kafein berlebihan, dan alcohol. (Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit, 2015)
2. Kemudian disarankan untuk diet makanan lunak, seperi bubur, makanan yang
mengandung susu tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena maanan
halus akan merangsang pengeluaran asam. Selain itu disarankan untuk
mengurangi makanan yang pedas dari cabai yang akan memperburuk keluhan
duodenal ulcer yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Tarigan,2001)
3. Untuk keluhan intenal hemoroid grade 1-2 apat dikurangi gejalanya dengan
minum air putih yang cukup, makan sayuran yang banyak, dan buah-buahan
yang banyak, sehingga membuat feces tidak mengeras. Apabila banyak
memakan makanan yang mengandung serat dan banyak minum air putih yang
banyak dapat meperlancar defekasi, selain itu ginjal menjadi sehat (Gotera,
2006). Selain itu hemorrhoid dapat dicegah dengan cara olah raga yang cukup,
duduk tidak terlalu lama dan berdiri tidak terlalu lama (Merdikoputro, 2006.
Pemberian obat melalui anus (suppositoria) dan salep anus diketahui tidak
mempunyai efek yang berarti kecuali sebagai efek anestetik dan astringen.
(Murbawani, 2006)
e. Monitoring
1. Untuk penggunaan terapi eradikasi duodenal ulcer yang positif
Helicobacter Pylori diberikan PAC yang digunakan selama 7-14 hari,
tujuan yang ingin dicapai dari pemberian terapi ini yaitu membuat pasien
negative H.phylori, kemudian menyembuhkan/menghilangkan gejala yang
dialami pasien serta mengurangi kemungkinan kekambuhan. (Basic
Pharmacology&Drug Notes,2017)
2. Penggunakan Lipitor dan Alluric yang diberhentikan sementara
diharapkan dapat mengurangi keluhan pasien terkait diare yang terjadi
selama 2 minggu dikarenakan kedua obat ini memiliki efek samping yang
menyebabkan diare pada pasien
3. Kemudian untuk diarenya diberikan loperamide dimana loperamide
berfungsi untuk memperlambat motilitas usus yang diharapkan dapat
mengurangi frekunsi diare pada pasien. (Basic Pharmacology&Drug
Notes,2017)
4. Terkait internal hemoroid grade 1-2 pasien hanya disarankan untuk
menggunakan terapi non farmakologi untuk mengurangi rasa tidak
nyaman pada diare yang disarankan minum air putih yang cukup, makan
sayuran yang banyak, dan buah-buahan yang banyak, sehingga membuat
feces tidak mengeras. Apabila banyak memakan makanan yang
mengandung serat dan banyak minum air putih yang banyak dapat
meperlancar defekasi, selain itu ginjal menjadi sehat, diharapkan keluhan
terkait hemoroid pada pasien dapat membaik.
V. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa terkait kondisi medis pasien agar
dapat diberikan rekomendasi terapi yang tepat sesuai dengan kondisi yang dialami
pasien. Dari kasus dan hasil praktikum mengenai SOAP pada pasien dengan Peptic
Duodenal Ulcer (PUD) yang telah dilakukan, didapatkan bahwa pasien yang
berinisial Tn. Y (54 tahun) dengan keluhkan diare selama kurang lebih 2 minggu
terakhir, dengan frekuensi diare 3-4 kali perhari. Untuk mengatasi diare tersebut,
pasien mengkonsumsi obat Entrostop. Selain itu, pasien mengeluh perut terasa
kembung, terdapat darah didalam feses namun feses tidak mengandung lendir, feses
cair dan ada ampasnya. Endoskopi atas bawah pada tanggal 15 Agustus 2022
menunjukan hasil duodenal ulcer, gastritis erosive, colon polip, colitis, dan internal
hemoroid grade 1-2. Pasien sebelumnya juga memiliki riwayat penyakit yaitu
Hiperurisemia atau kadar asam urat yang tinggi, dan Dislipidemia atau peningkatan
kadar kolesterol. Pengobatan yang telah pasien dapatkan sebelumnya adalah Alluric®
untuk mengobati Hiperurisemia, Lipitor® untuk mengobati Dislipidemia, dan
Entrostop® untuk mengobati diare yang dialami oleh pasien.
Penyelesaian kasus PUD pada praktikum ini menggunakan metode subject,
object, assessment, dan plan (SOAP) dimana metode ini sangat membantu dalam
menyusun kerangka pikir bertindak dan sebagai alat untuk mempermudah proses
telaah status pasien. Subjective berisi tentang keluhan atau kondsi yang dialami oleh
pasien. Objective berisi tentang data penunjang kondisi pasien seperti hasil
pemeriksaan laboratorium. Assesment memuat tentang problem medic dari pasien,
terapi yang telah dijalani dan DRP sebagai pertimbangan dalam rekomendasi terapi
selanjutnya. Plan adalah rencana atau rekomendasi terapi yang akan diberikan kepada
pasien. Selain itu juga diterapkan FIR (Further Information Required) untuk mencari
informasi lebih jauh terkait kondisi pasien agar terapi yang direkomendasikan tepat.
FIR digunakan untuk mendapatkan informasi tambahan yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk menyelesaikan kasus. FIR yang ditanyakan secara garis besar
meliputi terlaksana atau tidaknya pemeriksaan laboraturium pada pasien terkait
bakteri H.pylori, warna dan tekstur feses, dan ada tidaknya terapi tambahan yang
dikonsumsi pasien untuk mengatasi keluhan dimana hal-hal yang ditanyakan ini yang
menjadi alasan agar farmasis dapat mengetahui penyebab penyakit peptic ulcer
duodenal dan dapat memilihkan terapi yang tepat untuk pasien.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Tn. Y
menderita PUD yaitu Duodenal Ulcer akibat positif terinfeksi H. pylori. Selain itu
pasien juga menderita penyakit lain seperti dyslipidemia, hiperuresemia dan diare.
Dari hasil laboratorium yang dijalani oleh pasien, diketahui bahwa kadar kolesterol
total pasien yaitu 283 mg/dL dan trigliserida 212 mg/ddL. Kondisi tersebut tergolong
tinggi karena melebihi nilai normal yaitu kolesterol total <200 mg/dL dan trigliserida
195 mg/dL. Nilai kadar asam urat pasien adalah 8,5 mg/dL. Nilai ini tergolong tinggi
karena melebihi nilai normal yaitu 3,4-7 mg/dL. Pasien juga mengalami diare selama
kurang lebih 2 minggu dengan frekuensi 3-4 kali per hari disertai dengan feses cair,
tidak berlendir dan berampas.
Untuk mengatasi masalah pada kasus diatas, pasien diberikan terapi
farmakologi dan non farmakologi. Untuk terapi farmakologi pada pasien peptic
duodenal ulcer yang positif H.phylori yaitu terapi eradikasi lini pertama yani terapi
rangkap 3 yaitu PPI (omeprazole 2 X 40mg sebelum makan, diminum setiap 12 jam),
Amoksisilin (2 X 1g setelah makan, diminum setiap 12 jam), dan Claritromicyn (2 X
500mg setelah makan, diminum setiap 12 jam). Terapi eradikasi ini digunakan selama
14 hari (Lauret ME, 2015). Namun untuk pasien yang sudah mengalami resistensi
terhadap claritromicyn, terapi lini pertama dengan claritromicyn tidak boleh
digunakan, diganti dengan menggunakan metronidazole. Menurut Kamada, 2020
menyatakan bahwa kombinasi amoksisilin dan metronidazol memiliki efek terapi
yang optimal dalam pengobatan PUD pasien dengan resistensi claritromisin. PPI
yang direkomendasikan untuk pasien adalah omeprazole. Omeprazole dipilih karena
lebih efektif dalam mengurangi keasaman lambung dan meningkatkan pH intragastric
dari pada golongan PPI lain dan juga memiliki efek samping kemungkinan diare yang
lebih rendah yaitu 4% (Javed et al, 2020). Selain itu, omeprazole memiliki enzim H + ,
K+, dan ATPase yang merupakan enzim pemompa proton, sehingga dapat
menghambat sekresi asam lambung. (Ganiswara, 2007).
Untuk riwayat penyakit Dislipidemia yang diderita pasien, penggunaan Lipitor
sebagai terapi dislipidemia diberhentikan terlebih dahulu selama pengobatan
Duodenal Ulcer, dikarenakan Lipitor dapat memicu adanya efek samping obat yaitu
adalah atralgia, dyspepsia, diare, mual, nasofaringitis, insomnia, infeksi saluran
kemih, dan nyeri pada ekstreimitas (Nemati et al, 2021), Penggunaan lipitor diduga
merupakan salah satu penyebab diare yang dialami oleh pasien tidak membaik karena
atorvastatin memiliki persentase efek samping diare 5-14%. Pasien diharapkan untuk
berkonsultasi kembali kepada dokter untuk dipertimbangkan pergantian obat dengan
obat kolesterol yang memiliki efek samping diare lebih kecil dibanding atorvastatin
seperti rosuvastatin dan simvastatin. Hal ini dikarenakan obat kolesterol sangat
penting untuk pasien dengan riwayat dyslipidemia atau penyakit jantung karena dapat
mencegah terjadinya serangan jantung.
Untuk penggunaan Alluric (allopurinol) sebagai terapi hiperuresemia juga
diberhentikan terlebih dahulu selama pengobatan Duodenal Ulcer. Meskipun efek
samping diare yang disebabkan oleh allopurinol kurang dari 1%, tetapi lebih baik di
hentikan ketika feses pasien berdarah untuk mengurasi resiko bertambah parahnya
kondisi pasien. Untuk mengatasi nyeri direkomendasikan obat golongan selective
COX-2 Inhibitor yaitu celecoxib 200 mg 2 x sehari. Golongan selective COX-2
inhibitor dikembangkan untuk menghindari efek samping gangguan cerna saat
digunakan. Inhibitor COX-2 secara selektif mengikat dan menghambat tempat aktif
enzim COX-2 jauh lebih efektif daripada COX-1. (Freedy dan Sulistia, 2011).
Sedangkan terapi diare entrostop yang dilakukan sebelumnya untuk mengatasi
keluhan Diare pada pasien diganti dengan menggunakan loperamide. Loperamide
diberikan 1 x 4mg, diikuti 2mg setiap buang air besar, dosis yang diminum tidak
boleh lebih dari 16mg/ hari. Penggunaaan loperamide dapat dihentikan bila kondisi
tidak membaik dalam 48 jam. Loperamid merupakan obat antidiare turunan piperidin
butiramit yang aktif secara oral. Obat ini meningkatkan waktu transit usus halus dan
juga waktu transit dari mulut ke sekum, meningkatkan tonus sfingter anal, selain itu
loperamid juga memiliki aktivitas antisekretori untuk melawan toksin kolera dan
beberapa bentuk toksin E.coli. Obat ini lebih efektif untuk menangani diare dibanding
difenoksilat, karena penetrasi loperamid ke SSP buruk sehingga kecenderungan untuk
menyalahgunakannya kecil (Goodman, Gilman 2007).
Pada terapi non-farmakologi, pasien dengan keluhan Duodenal ulcer disertai
dislipidiemia dan hiperurisemia diharuskan mengurangi atau menghilangkan
kebiasaan merokok, mengurangi dan mengontrol stress secara psikologis, meskipun
tidak memelurkan diet khusus, pasien disarankan menghindari makanan dan
minuman yang memnyebabkan dyspepsia atau memperburuk gejala maag misalnya
mengkonsumsi makanan pedas, mengkonsumsi kafein berlebihan , dan alcohol.
(Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit, 2015). Kemudian disarankan untuk diet
makanan lunak, seperi bubur, makanan yang mengandung susu tidak lebih baik
daripada makanan biasa, karena maanan halus akan merangsang pengeluaran asam.
Selain itu disarankan untuk mengurangi makanan yang pedas dari cabai yang akan
memperburuk keluhan duodenal ulcer yang dapat menimbulkan rasa nyeri
(Tarigan,2001). Untuk keluhan intenal hemoroid grade 1-2 apat dikurangi gejalanya
dengan minum air putih yang cukup, makan sayuran yang banyak, dan buah-buahan
yang banyak, sehingga membuat feces tidak mengeras. Apabila banyak memakan
makanan yang mengandung serat dan banyak minum air putih yang banyak dapat
meperlancar defekasi, selain itu ginjal menjadi sehat (Gotera, 2006). Selain itu
hemorrhoid dapat dicegah dengan cara olah raga yang cukup, duduk tidak terlalu
lama dan berdiri tidak terlalu lama (Merdikoputro, 2006). Pemberian obat melalui
anus (suppositoria) dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang berarti
kecuali sebagai efek anestetik dan astringen. (Murbawani, 2006)

Adapun monitoring terhadap efektivitas dan efek samping terapi yang


dilakukan adalah dengan mengawasi penggunaan terapi eradikasi duodenal ulcer
yang positif Helicobacter Pylori diberikan PAC yang digunakan selama 7-14 hari,
agar tujuan yang ingin dicapai dari pemberian terapi ini yaitu membuat pasien
negative H.phylori, kemudian menyembuhkan/menghilangkan gejala yang dialami
pasien serta mengurangi kemungkinan kekambuhan dapat dicapai. Selain itu,
farmasis juga mengawasi penggunaan Lipitor dan Alluric yang diberhentikan
sementara agar dapat mengurangi keluhan pasien terkait diare yang terjadi selama 2
minggu dikarenakan kedua obat ini memiliki efek samping yang menyebabkan diare
pada pasien dan memonitoring penggunaan terapi Loperamide pada pasien guna
mengevaluasi apakah keluhan pasien menurun, stabil, ataupun bertambah parah.
Terkait internal hemoroid grade 1-2 pasien hanya disarankan untuk menggunakan
terapi non farmakologi untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada diare yang
disarankan minum air putih yang cukup, perbanyak konsumsi buah dan sayur agar
membuat feces tidak mengeras sehingga gejala internal hemoroid pada pasien dapat
membaik.
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan kasus yang sudah dibahas diatas, dapat disimpulkan bahwa pasien
didiagnosa mengalami Peptic Ulcer Disease (PUD) melalui pemeriksaan endoskopi
yang ditandai dengan adanya bakteri H.pylori. Selain itu pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil asam urat yang tinggi yaitu 8,5 mg/dL, sehingga pasien
didiagnosa mengalami hiperurisemia dan hasil pemeriksaan kolesterol total,
trigliserida dan LDL berturut - turut yaitu 283 (mg/dL) ; 212 (mg/dL) ; 155,4 (mg/dL)
yang tinggi, maka pasien didiagnosa mengalami dislipidemia. Terapi farmakologi
untuk pasien PUD pada kasus di atas yaitu diberikan terapi eradikasi lini pertama yani
terapi rangkap 3 yaitu PPI (omeprazole 2 X 40mg sebelum makan, diminum setiap 12
jam), Amoksisilin (2 X 1g setelah makan, diminum setiap 12 jam), dan
Claritromicyn (2 X 500mg setelah makan, diminum setiap 12 jam). Terapi eradikasi
ini digunakan selama 14 hari. Penggunaan obat Lipitor dan Alluric diberhentikan
terlebih dahulu selama pengobatan Duodenal Ulcer, dikarenakan kedua obat ini dapat
memicu adanya efek samping obat. Sedangkan untuk mengatasi keluhan diare oada
pasien, penggunaan obat Entrostop diganti dengan obat Loperamide.

Terapi non farmakologi yang disarankan untuk pasien yaitu menghindari


makanan pedas, mengelola stress, diet makanan lunak, dan disarankan untuk
memperbanyak konsumsi buah dan sayur. Monitoring yang dilakukan yaitu berupa
pemantauan efektivitas dan efek samping terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Feldman M., Friedman Of Brandt W. Sleisenger and Fordtran S. Gastrointestinal and


Liver Disease. Treatment of peptic ulcer disease Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2010. p : 869-886

Filppula AM, Hirvensalo P, Parviainen H, Ivaska VE, Lönnberg KI, Deng F,


Viinamäki J, Kurkela M, Neuvonen M, Niemi M. Comparative Hepatic and
Intestinal Metabolism and Pharmacodynamics of Statins. Drug Metab Dispos.
2021 Aug;49(8):658-667.

Freddy P. Wilmana & Sulistia Gan. (2011). Analgesik-Antipiretik Analgesik


AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam D. F.-U.
Indonesia, S. G. Gunawan, R. Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth (Penyunt.),
Farmakologi dan Terapi (hal. 230-246). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Goodman, Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Editor Joel G Hardman, Lee E.
Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman, Alih bahasa Tim Alih
Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Edisi 10, Volume 1. Jakarta: EGC.

Hamzah Pratama. 2016. Eradikasi Helicobacter Pylori RSU Siloam Tanggerang.


Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 43, No. 8. Tanggerang : CDK

Javed M, Ali MH, Tanveer MS, Tanveer MH. 2020. Omeprazole vs Lansoprazole in
the Management of Gastroesophageal Reflux Disease: A Systematic
Literature Review. J Med Res Innov. 4:2

Kamada, T. et all. 2021. “Evidence-based clinical practice guidelines for peptic ulcer
disease”. Journal of Gastroenterol . The Japanese Society of Gastroenterology.
56:303–322

Lauret ME, Rodriguez-Pelaez M, Perez I, Rodrigo L. 2015. “Peptic Ulcer Disease”.


Journal of Gastroenterology and Hepatobiliary Disorders. University of
Oviedo. Asturias. Spain. 1(1): 105.
Mamoona Javed, 2020. Omeprazole vs Lansoprazole in the Management of
Gastroesophageal Reflux Disease: A Systematic Literature Review. Journal of
Medical Research and Innovation, Vol. 4 No. 2 Hal. 1-10. United Kingdom :
JMRI.

Maningat P, Gordon BR, Breslow JL. How do we improve patient compliance and
adherence to long-term statin therapy? Curr Atheroscler Rep. 2013
Jan;15(1):291.

Nemati M, Srai M, Rudrangi R. 2021. Statin-Induced Autoimmune


Myopathy. Cureus.  26;13(2)

Rodriguez LAG, lick H. Risk of upper gastrointesunal bleeding and perforation


associated with individual non-steroidal anti-intlammaton drugs, lancet.
1994:343 189001 769-72.

Tomoari Kamada, dkk. 2020. Evidence based clinical practice guidelines for peptic
ulcer disease 2020. The Japanese Society of Gastroenterology 2021, Vol. 56
Hal. 303-322. Japan : Springer

Anda mungkin juga menyukai