Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

PRAKTIKUM I
PENYAKIT PARKINSON

Hari, Tanggal Praktikum: Selasa, 29 Maret 2022


Kelompok 3/A4B

Maria Nindyahni Gago (19021036)


Ngakan Made Gede Dwi Suputra (19021037)
Ni Kadek Anggita Putri (19021038)
Ni Kadek Ani Susilawati (19021039)
Ni Kadek Anita (19021040)

Dosen Pengampu : apt. Dhiancinantyan Windydaca Brata Putri,


S.Farm., M.Farm

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2022
PRAKTIKUM I
PENYAKIT PARKINSON

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dari penyakit parkinson
2. Mengetahui patofisiologi dan patogenesis penyakit parkinson
3. Mengetahui gejala dan faktor resiko penyakit parkinson
4. Mengetahui tatalaksana farmakologi dan non-farmakologi penyakit
Parkinson

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Parkinson
Penyakit Parkinson (PD) adalah penyakit neurodegeneratif
progresif yang ditandai oleh manifestasi motorik dan nonmotorik. Gejala
motorik PD terkait dengan hilangnya neuron dopaminergik striatal,
meskipun adanya gejala non motorik mendukung hilangnya saraf di daerah
non dopaminergik. Perubahan patofisiologis yang terkait dengan PD dapat
dimulai sebelum timbulnya manifestasi motorik dan termasuk sejumlah
manifestasi nonmotor, seperti gangguan tidur, depresi, kehilangan fungsi
penghidu dan perubahan kognitif (DeMaagd and Philip, 2015). Parkinson
adalah sindrom yang ditandai dengan bradykinesia atau akinesia, tremor
pada saat istirahat, rigidity, serta hilangnya reflek postural akibat
penurunan kadar DA dengan berbagai macam sebab (Shahab, 2007).
Pada PD, ada latensi yang panjang antara kerusakan pertama pada
sel-sel di nukleus sistem saraf dan timbulnya gejala klinis. Gejala dan
tanda PD biasanya tidak berkembang sampai 70-80% neuron
dopaminergik telah rusak. Dengan demikian, mengidentifikasi pasien
dalam periode antara dugaan timbulnya hilangnya sel dopaminergik dan
munculnya parkinsonisme klinis mungkin sangat penting untuk
pengembangan strategi pengobatan neuroprotektif yang efektif
(Emamzadeh and Surguchov, 2018).
2.2 Klasifikasi Parkinson
Berdasarkan penyebabnya, parkinsonism dibagi menjadi 4 jenis,
yaitu:
a. Idiopatik (primer), meliputi penyakit Parkinson dan Juvenile
Parkinsonism.
b. Simptomatik (sekunder), meliputi parkinsonism yang disebabkan oleh
penggunaan obat (misal antipsikosis, antiemetik, reserpin, tetrabenazin,
a-metildopa, lithium, flunarisi, sinarisin), infeksi dan pasca infeksi,
pasca ensefalitis, slow virus, disfungsi paratiroid, toksin, trauma
siringomielia. kranioserebral, tumor otak, vaskular
c. Parkinsonism plus (Multiple System Degeneration), meliputi degenerasi
ganglion kortikal basal, sindrom demensia, Parkinsonism Guam-
demensia-ALS, sindrom atrofi multi sistem, dan palsy supranuklear
progresif.
d. Parkinsonism heredodegeneratif, meliputi penyakit Hallervoden Spatz,
penyakit Huntington, Lubag, nekrosis striatal dan sitopati mitokondria,
neuroakantositosis, penyakit Wilson, seroid lipofusinosis, Penyakit
Gertsmann-Strausler-Scheinker, penyakit Machado-Joseph, atrofi
familial olivopontoserebelar, dan sindroma thalamik demensia
(Syamsudin, 2013).
2.3 Patofisiologi Parkinson
Penyakit Parkinson merupakan penyakit pada sistem
ekstrapiramidal yang dikarakterisasi oleh degenerasi neuron
dopaminergik. Seperti yang terlihat pada gambar, degenerasi progresif
neuron dopaminergik menyebabkan pengurangan proyeksi dopaminergik
dari substantia nigra pars compacta (SNc) ke striatum (jalur nigostriatal),
sehingga menghasilkan hilangnya fungsi dopaminergik. Terdapat dua tipe
reseptor DA, yaitu tipe eksikatorik (D1) yang mengaktivasi jalur langsung
dan tipe inhibitorik (D2) yang mengaktivasi jalur tidak langsung. Jalur
langsung dibentuk oleh neuron di striatum yang memproyeksikan
langsung ke GPi dan SNr, kemudian dilanjutkan ke ventroanterior (VA)
dan ventrolateral (VL) thalamus. Neurotransmitter yang terdapat di jalur
langsung adalah GABA yang bersifat inhibitorik, sehingga efek akhir dari
stimulasi jalur ini adalah penurunan arus rangsang dari thalamus ke
korteks. Sedangkan jalur tidak langsung dibentuk oleh neuron striatal yang
memproyeksikan ke GPe, lalu menginervasi STN, kemudian dilanjutkan
ke VA dan VL thalamus.

Proyeksi dari striatum ke GPe dan dari GPe ke STN menggunakan


neurotransmitter GABA, tetapi jalur akhir proyeksi STN ke GPi dan SNr
menggunakan neurotransmitter glutamatergik yang bersifat eksikatorik,
sehingga efek akhir dari stimulasi jalur ini adalah peningkatan arus
rangsang dari thalamus ke korteks. Hilangnya DA pada striatum
menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor D1 dan penurunan aktivitas
pada reseptor D2. Hasilnya adalah peningkatan hambatan pada proyeksi
VA dan VL thalamus ke korteks bagian depan, sehingga menyebabkan
penurunan aktivitas motorik (DeMaagd, 2015).
2.4 Etiologi Parkinson
Penyebab dasar terjadinya PP masih belum diketahui, sehingga
penyakit ini disebut dengan Idiophatic Parkinsonism. Penyakit ini
dianggap sebagai penyakit multifaktorial, yang dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan dan genetik (Mark, 2010). Faktor risiko terkuat yang
diasosiasikan menjadi penyebab terjadinya PP antara lain memiliki riwayat
keluarga menderita PP atau tremor serta riwayat konstipasi (Noyce, 2012).
Individu dengan konstipasi, dibandingkan dengan yang tanpa konstipasi,
memiliki risiko 2,27 kali lipat lebih besar mengalami perkembangan PP
(Adams-Carr, 2015). Peneliti lain berspekulasi bahwa konstipasi dapat
meningkatkan risiko PP dengan meningkatkan absorpsi neurotoksin pada
usus atau terdapat faktor risiko lingkungan maupun genetik yang tidak
diketahui baik pada konstipasi maupun PP (Lin, 2014).
Hal lain yang diasosiasikan positif tehadap PP antara lain trauma
kepala, depresi atau anxiety, dan penggunaan β-blocker (Bellou, 2016). β -
blocker dapat mengurangi neurotransmisi norepinefrin di otak. Sistem
norepinefrin dianggap memiliki peran penting dalam melindungi integritas
neuron dopaminergik pada SN. Gangguan pada sistem norepinefrin
dianggap memiliki peran penting terhadap patogenesis PP dengan
mempengaruhi awitan dan perkembangan kerusakan jalur DA nigostriatal.
Hilangnya norepinefrin dapat meningkatkan neurotoksik dari toksin
lingkungan ke neuron dopaminergik nigostriatal (Ton, 2007).
Hal yang diasosiasikan negatif terhadap PP antara lain latihan fisik,
merokok, konsumsi kopi alkohol, serta penggunaan nonsteroidal
antiinflamatory drugs (NSAID) dan calcium channel blocker (CCB)
(Bellou, 2016). Urat serum merupakan penangkap radikal bebas yang
dianggap berkontribusi terhadap hilangnya neuron dopaminergik = Latihan
fisik dapat meningkatkan kadar urat plasma, sehingga diasosiasikan
dengan menurunnya risiko terjadinya PP (Noyce, 2012).
Salah satu faktor lingkungan yang dikaitkan menjadi penyebab PP
adalah paparan senyawa kimia beracun, misal MPTP. Hipotesis ini
diperkuat oleh fakta bahwa individu yang tinggal di wilayah dengan
pestisida yang strukturnya mirip MPTP, relatif lebih besar memiliki risiko
menderita PP (Bartels, 2009). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa PP
lebih banyak diderita oleh individu yang tinggal di wilayah pedesaan, yang
bekerja sebagai petani dan mengkonsumsi air sumur (Mark, 2010).
Mutasi gen yang dikaitkan dengan PP antara lain gen α-synuclein
(SNCA), gen eukaryotic translation initiation factor 4 gamma 1 (EIF4G1),
gen glucocerebrosidase (GBA), gen loci leucine-rich repeat kinase 2
(LRRK2), gen loci PTEN-induced putative kinase 1 (PINK1), gen
superokside dismutase 2 (SOD2), dan gen vacuolar protein sorting 35
homolog (VPS35) (DeMaagd, 2015).
2.5. Gejala Klinis
Gejala Motorik
a. Tremor/bergetar
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan
dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah
satu ciri khas dari penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar)
jika sedang beristirahat. Namun, jika orang itu diminta melakukan
sesuatu, getaran tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut resting
tremor, yang hilang juga sewaktu tidur. Tremor terdapat pada jari
tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis, kadang-kadang
tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung (pil
rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada
kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut
membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang
waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang (resting/
alternating tremor).Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki,
tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah
dan jari tangan (seperti orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada
saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-
goyang jika tidak sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya,
jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti.Pada awalnya tremor hanya
terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa terjadi
pada kedua belah sisi.\
b. Rigiditas/kekakuan
Pada stadium dini, rigiditas otot terbatas pada satu ekstremitas atas
dan hanya terdeteksi pada gerakan pasif. Biasanya lebih jelas bila
pergelangan difleksi dan ekstensi pasif dan pronasi serta supinasi
lengan bawah secara pasif. Pada stadium lanjut rigiditas menjadi
menyeluruh dan berat sehingga memberikan tahanan bila persendian-
persendian digerakkan secara pasif. Rigiditas merupakan peningkatan
terhadap regangan otot pada otot antagonis dan agonis.Salah satu gejala
dini dari rigiditas ialah hilangnya gerak asosiasi lengan bila berjalan.
Peningkatan tonus otot pada sindrom prakinson disebabkan oleh
meningkatnya aktifitas neuron motorik alfa. Kombinasi dengan resting
tremor mengakibatkan bunyi seperti gigi roda yang disebut dengan
cogwheel phenomenon muncul jika pada gerakan pasif.
c. Akinesia/bradikinesia
Bradikinesia merupakan hasil akhir dari gangguan integrasi pada
impuls optik, labirin, propioseptif dan impuls sensoris di ganglia
basalis. Hal ini mengakibatkan berubahan aktivitas refleks yang
mempengaruhi motorneuron gamma dan alfa. Kedua gejala di atas
biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda
akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat.
Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan
yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi
pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa
menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa
ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil,
refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur. Gerakan
volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif,
misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat
mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi
lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta
mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti
topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah
sehingga ludah suka keluar dari mulut.
Gejala Non-Motorik
a. Disfungsi otonom
1. Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter
terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
2. Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
3. Pengeluaran urin yang banyak.
4. Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan
melemahnya hasrat seksual, perilaku orgasme.
b. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
c. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
d. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
e. Gangguan sensasi
1. Kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang,
pembedaan warna.
2. Penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh
hypotension orthostatic, suatu kegagalan system saraf otonom untuk
melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas
perubahan posisi badan.
3. Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia
atau anosmia)
(Husni, A., 2013).
2.6 Faktor Resiko Parkinson
1. Usia lanjut
Usia tua sering dihubungkan dengan proses degenerasi seluler,
penurunan mekanisme kompensasi dan kemampuan regenerasi sel.
Penuaan dikaitkan dengan disfungsi mitokondria, peningkatan produksi
radikal bebas dan stres oksidatif, menyebabkan ketidakstabilan genom
dan mutasi DNA, penurunan kelangsungan hidup sel, proses degenerasi
protein yang menyebabkan peningkatan deposisi abnormal protein
seluler otak yaitu α-synuclein. Peningkatan akumulasi protein ini
berpengaruh pada proses degenerasi di substansia nigra pars kompakta
dan kerusakan sistem dopaminergik di ganglia basalis.
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki lebih sering mengalami penyakit parkinson
dibandingkan wanita kemungkinan karena laki-laki mendapat paparan
faktor resiko yang lainnya, seperti toksin atau trauma kepala. Teori lain
menjelaskan bahwa estrogen mempunyai efek neuroprotektif. Teori
yang lain menjelaskan tentang adanya gen predisposisi parkinson dapat
dihubungkan dengan kromosom X.
3. Riwayat keluarga
Jika terdapat satu atau lebih keluarga dekat dengan penyakit
parkinson akan meningkatkan kemungkinan terkena parkinson pada
keluarga yang lainnya, biasanya dengan derajat minimal.
4. Penurunan kadar estrogen
Wanita post menopause yang tidak mendapatkan terapi pengganti
hormon mempunyai resiko terkena parkinson sebanding dengan post
histerektomi
5. Pekerja agricultural
Paparan terhadap toksin lingkungan seperti pestisida atau herbisida
mempunyai resiko terkena parkinson karena beberapa toksin
menghambat produksi dopamin dan merusak radikal bebas
6. Faktor genetic
Sebuah penelitian oleh Mayo Clinic menyatakan bahwa gen α-
synuclein kemungkinan berperan dalam perkembangan penyakit ini.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gen aktif yang berlebih
mempunyai resiko 1,5 kali lebih besar.
7. Penurunan kadar vitamin B
Sebuah penelitian pada mencit menunjukkan bahwa defisiensi
vitamin B menyebabkan gejala parkinson berat.
8. Trauma kepala
(David, 2016).
2.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut Hughes, yaitu:
a. Possible, bila terdapat 1 dari 4 gejala utama berikut: bradykinesia,
tremor pada saat istirahat, rigidity, dan ketidakstabilan postural.
b. Probable, bila terdapat 2 dari 4 gejala utama (termasuk kegagalan
refleks postural) atau terdapat 1 dari 3 gejala berikut: tremor istirahat
asimetris, rigiditas asimetris, atau bradikinesia asimetris.
c. Definite, bila terdapat 3 dari 4 gejala utama atau 2 dari 4 gejala utama
dengan satu gejala lain yang asimetris (tiga tanda kardinal). Bila semua
tanda tidak jelas, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang beberapa
bulan kemudian
(Syamsudin, 2013).
Kriteria diagnosis klinik menurut UK Parkinson's Disease Society Brain
Bank adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis sindrom Parkinson, dimana pasien memiliki gejala berupa
bradykinesia atau akinesia, ditambah minimal salah satu dari tiga tanda
berikut: 4-6 Hz tremor pada saat istirahat, rigidity, serta ketidakstabilan
postural yang tidak disebabkan oleh disfungsi visual, vestibular,
cerebellar, atau propioseptif.
b. Kriteria eksklusi untuk PP antara lain: riwayat stroke berulang, riwayat
trauma kepala berulang, post-encephalitis Parkinsonism, dalam terapi
neuroleptik saat muncul gejala, gejala unilateral yang jelas setelah 3
tahun, supranuclear gaze palsy, gejala serebellar, demensia berat onset
awal, tanda Babinski, adanya tumor otak pada CT-scan, dan memiliki
respon negatif terhadap L-Dopa.
c. Minimal 3 dari kriteria suportif (prospektif) berikut: unilateral onset,
tremor pada waktu istirahat, perjalanan penyakit progresif, gejala
asimetri yang menetap pada sebagian besar onset, memberikan respon
yang baik (70-100%) pada L-Dopa, timbul khorea berat yang diinduksi
L-Dopa, memberikan respon terhadap L-Dopa selama 5 tahun atau
lebih, serta perjalanan klinis 10 tahun atau lebih
(Syamsudin, 2013).
Perjalanan penyakit menurut Hoehn dan Yahr, yaitu:
a. Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan,
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat
dikenali orang terdekat.
b. Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu.
c. Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai
terganggu saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
d. Stadium 4: Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya
untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri
sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
e. Stadium 5: Stadium kakhetik (cachcactic stage), kecacatan total, tidak
mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu, memerlukan perawatan
tetap
(Syamsudin, 2013).
2.8 Tatalaksana Parkinson
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang
berkembang progresif dan penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu
strategi penatalaksanaannya adalah :
a. Terapi simtomatik, untuk mempertahankan independensi pasien,
b. Neuroproteksi
c. Neurorestorasi
Neuroproteksi dan neurorestorasi keduanya untuk menghambat
progresivitas penyakit Parkinson. Strategi ini ditujukan untuk
mempertahankan kualitas hidup penderitanya. Penyakit Parkinson
merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan secara holistik
meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk
menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat
mengatasi gejala yang timbul. Pengobatan penyakit parkinson bersifat
individual dan simtomatik, obat-obatan yang biasa diberikan adalah untuk
pengobatan penyakit atau menggantikan atau meniru dopamin yang akan
memperbaiki tremor, rigiditas, dan slowness (Ikawati, Z., 2011).
Perawatan pada penderita penyakit parkinson bertujuan untuk
memperlambat dan menghambat perkembangan dari penyakit itu.
Perawatan ini dapat dilakukan dengan pemberian obat dan terapi fisik
seperti terapi berjalan, terapi suara/berbicara dan pasien diharapkan tetap
melakukan kegiatan sehari-hari (Husni, A., 2013).
1. Terapi Farmakologi
a. Bekerja pada sistem dopaminergic
1) Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)
Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit
parkinson. Di dalam otak levodopa dirubah menjadi dopamine. L-
dopa akan diubah menjadi dopamine pada neuron dopaminergic
oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase
(dopadekarboksilase). Walaupun demikian, hanya 1-5% dari L-
Dopa memasuki neuron dopaminergik, sisanya dimetabolisme di
sembarang tempat, mengakibatkan efek samping yang luas.
Karenamekanisme feedback, akan terjadi inhibisi pembentukan
L-Dopa endogen. Carbidopa danbenserazide adalah dopa
dekarboksilase inhibitor, membantu mencegah metabolisme L-
Dopa sebelum mencapai neuron dopaminergik. Levodopa
mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki gerakan.
Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani
aktivitasnya secara normal. Obat inidiberikan bersama carbidopa
untuk meningkatkan efektivitasnya & mengurangi efek
sampingnya. Banyak dokter menunda pengobatan simtomatis
dengan levodopa sampai memang dibutuhkan. Bila gejala pasien
masih ringan dan tidak mengganggu, sebaiknya terapi dengan
levodopa jangan dilakukan. Hal ini mengingat bahwa efektifitas
levodopa berkaitan dengan lama waktu pemakaiannya. Levodopa
melintasi sawar- darah-otak dan memasuki susunan saraf pusat
dan mengalami perubahan enzimatik menjadi dopamin. Dopamin
menghambat aktifitas neuron di ganglia basal. Efek samping
levodopa pada pemakaian bertahun-tahun adalah diskinesia yaitu
gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak maupun
tubuh. Respon penderita yang mengkonsumsi levodopa juga
semakin lama semakin berkurang. Untuk menghilangkanefek
samping levodopa, jadwal pemberian diatur dan ditingkatkan
dosisnya, juga dengan memberikan tambahan obat-obat yang
memiliki mekanisme kerja berbeda seperti dopamin agonis,
COMT inhibitor atau MAO-B inhibitor. (Damier, P., 2008)
2) Agonis dopamin
Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid
(Permax), Pramipexol (Mirapex), Ropinirol, Kabergolin,
Apomorfin dan lisurid dianggap cukup efektif untukmengobati
gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor
dopamin, akan tetapi obat ini juga menyebabkan penurunan
reseptor dopamin secara progresif yangselanjutnya akan
menimbulkan peningkatan gejala Parkinson (Baehr MF, Michael,
2015). Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang
pernah mengalami serangan yang berfluktuasi dan diskinesia
sebagai akibat dari levodopa dosis tinggi. Apomorfin dapat
diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan setiap hari
dapat mengurangi fluktuasi gejala motorik. Efek samping obat ini
adalah halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual dan
muntah. (Baehr MF, Michael, 2015)
3) Penghambat Monoamine Oxidase (MAO Inhibitor)
Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO
diduga berguna padapenyakit Parkinson karena neurotransmisi
dopamine dapat ditingkatkan dengan mencegah perusakannya.
Selegiline dapat pula memperlambat memburuknya sindrom
Parkinson,dengan demikian terapi levodopa dapat ditangguhkan
selama beberapa waktu. Berguna untuk mengendalikan gejala dari
penyakit Parkinson yaitu untuk mengaluskan pergerakan.
Selegilin dan rasagilin mengurangi gejala dengan dengan
menginhibisi monoamine oksidase B (MAO-B), sehingga
menghambat perusakan dopamine yang dikeluarkan oleh neuron
dopaminergik. Metabolitnya mengandung L- amphetamin and L-
methamphetamin. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan
gabungan levodopa-carbidopa. Selain ituobat ini juga berfungsi
sebagai antidepresan ringan. Efek sampingnya adalah insomnia,
penurunan tekanan darah dan aritmia. (Baehr MF, Michael, 2015)
2. Terapi Non-Farmakologi
a. Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai
penyakitnya, misalnya pentingnya meminum obat teratur dan
menghindari jatuh. Menimbulkan rasa simpati dan empati dari
anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka
menjadi maksimal. (Purba JS, 2012)
b. Terapi Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita dan menghambat bertambah beratnya
gejala penyakit serta mengatasi masalah -masalah sebagai berikut :
Abnormalitas gerakan, Kecenderungan postur tubuh yang salah,
Gejala otonom, Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living
– ADL), dan Perubahan psikologik.Latihan yang diperlukan
penderita parkinson meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan
psikoterapi. Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu
dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan frenkle untuk
berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai,
latihan isometrik untuk kuadrisep femoris dan otot ekstensor
panggul agar memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi
(Purba JS,2012). Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian
ADL pasien, pengkajian lingkungan tenpat tinggal atau pekerjaan.
Dalam pelaksanaan latihan dipakai bermacam strategi, yaitu :
 Strategi kognitif : untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi,
bicara jelas dan tidakcepat, mampu menggunakan tanda-tanda
verbal maupun visual dan hanya melakukan satu tugas kognitif
maupun motorik.
 Strategi gerak : seperti bila akan belok saat berjalan gunakan
tikungan yang agak lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila
ingin memungut sesuatu dilantai.
 Strategi keseimbangan : melakukan ADL dengan duduk atau
berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan lengan
berpegangan pada dinding. Hindari escalator atau pintu berputar.
Saat berjalan di tempat ramai atau lantai tidak rata harus
konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar.
Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi
kognitif, kepribadian, status mental pasien dan keluarganya. Hasilnya
digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan melakukan
intervensi psikoterapi.
c. Tai Chi
Sebuah penelitian menyelidiki fungsi motorik dan tingkat
keparahan gejala motor dan non-motor dan tanda-tanda. Gejala
motor dan nonmotor dan tanda-tanda ini tidak diperbaiki setelah
pengobatan, meskipun dilaporkan sendiri keterlibatan dalam
kegiatan kehidupan sehari-hari yang ditingkatkan oleh latihan Tai
Chi. Latihan TTC (Therapeutic Tai Chi) melibatkan putus
pergerakan yang kompleks di dalam tugas-tugas motor yang
sederhana dan menggabungkan simultan gerakan, yang juga dapat
bermanfaat bagi pasien penyakit Parkinson. Kedua, fungsi fisik,
yaitu, keseimbangan dan ketangkasan, ditingkatkan. Dengan
demikian, studi ini menunjukkan bukti tambahan untuk Tai Chi
sebagai pengobatan komplementer untuk orang dengan penyakit
Parkinson-salah satu yang akan memungkinkan mereka untuk
terlibat lebih lengkap dalam kegiatan kehidupan sehari-hari (Choi
HJG, C Ewing et al, 2013).

III. KASUS
Bapak D, usia 58 thn, datang ke Poli syaraf dengan keluhan tangan
gemetar sejak 6 bulan yang lalu, dan semakin meningkat terus menerus
sehingga mengganggu aktivitasnya. Selain itu tangan, kaki dan badan terasa
pegal. Bapak D mendapatkan obat citicolin 500 mg (2 x 1), Levodopa 500 mg
(3 x 1), Asam folat 1000 mcg (2 x 1). Ia merasa sangat mual dan telah muntah
sebanyak tiga kali selama beberapa hari terakhir.

IV. LEMBAR SOAP


PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Nama : Bapak D
Jenis kelamin : Laki-laki Tgl. MRS : -
Usia : 58 tahun Tgl KRS :
Tinggi badan :-
Berat badan :-
Relevant Past Medical History : Citicolin 500 mg (2 x 1), Levodopa 500 mg
(3 x 1), Asam folat 1000 mcg (2 x 1), Amiodarone (1 x 1)

Presenting Complaint
Tangan gemetar sejak 6 bulan yang lalu, dan semakin meningkat terus
menerus sehingga mengganggu aktivitasnya. Selain itu tangan, kaki dan
badan terasa pegal. Ia merasa sangat mual dan telah muntah sebanyak tiga kali
selama beberapa hari terakhir.

Medications
No Nama Obat Indikasi Dosis yang digunakan
1 Citicolin Neuroprotektor 500 mg 2 x 1
2 Levodopa Antiparkinson 500 mg 3 x 1
3 Asam folat Defisiensi asam folat 1000 mcg 2 x 1
4 Amiodarone Antiaritmia 1x1

Diagnosa : Parkinson Stage 2 dan penyakit jantung (aritmia)


Diagnosa banding :
Drug Allergies : Tidak ada alergi obat

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital adalah sebagai berikut.


Parameter Hasil Pemeriksaan

Tekanan Darah (mmHg) 140/80 mmHg

Nadi (kali/Menit) 77 kali/menit

Tempratur (0C) 370C

Further Information
No Alasan Jawaban
Required (FIR)
1. Apakah ada riwayat Untuk dapat Ada riwayat, bapak
keluarga pasien yang memberikan dari pasien menderita
menderita parkinson? rekomendasi terapi parkinson
yang baik
2. Apakah masih ada Untuk dapat Mengalami dyskinesia
gejala yang timbul dari memberikan
ketiga obat yang dilihat rekomendasi terapi
dari efek samping? yang baik
3. Apakah pasien masih Untuk dapat Masih sampai saat ini
mengalami mual dan memberikan
muntah? rekomendasi terapi
yang baik
4. Apakah pasien Untuk dapat Tidak memiliki alergi
memiliki alergi obat? memberikan obat
rekomendasi terapi
yang tepat
5. Apakah pasien ada Untuk dapat Ada obat lain, yaitu
mengkonsumsi obat memberikan amiodarone (1 x 1)
sebelumnya seperti rekomendasi terapi
antagonis dopamin atau yang baik
obat lain?
6. Apakah pasien Untuk dapat Memiliki riwayat
memiliki riwayat mengetahui riwayat penyakit jantung, sejak
penyakit lain? , jika penyakit pasien 7 tahun lalu dan sudah
iya, sudah berapa terkontrol
lama?
7. Apakah pasien masih Untuk dapat Masih, rigidity masih,
mengalami gejala memberikan mual, muntah masih
tremor? rekomendasi terapi
yang baik
8. Berapa tekanan darah, Untuk dapat TD: 140/80 mmHg,
suhu, dan nadi pasien ? memberikan suhu: 370C, nadi: 77
rekomendasi terapi kali/menit
yang baik

Problem List
(Actual Problem)

Medical Pharmaceutical
Parkinson Stage 2
Penyakit jantung

PHARMACEUTICAL PROBLEM
- Subjective (Symptom)
1. Parkinson Stage 2 : Tangan gemetar sejak 6 bulan yang lalu,
dan semakin meningkat terus menerus sehingga mengganggu aktivitasnya.
Selain itu tangan, kaki dan badan terasa pegal. Merasa sangat mual dan
telah muntah sebanyak tiga kali selama beberapa hari terakhir.
2. Penyakit Jantung (aritmia) : riwayat penyakit jantung sejak 7 tahun lalu
dan sudah terkontrol
- Objective (Signs)
1. Parkinson Stage 2 dan Penyakit Jantung (Aritmia)
Tidak terdapat objektif pada kasus, tetapi setelah melakukan FIR
didapatkan hasil pemeriksaan yaitu sebagai berikut.
- Tekanan darah : 140/80 mmHg
- Suhu : 370C
- Nadi : 77 kali/menit
- Assesment (With evidence)
Problem Medik Evidence Based Medicine
Parkinson Stage 2 Penyakit Parkinson (PD) adalah penyakit
neurodegeneratif progresif yang ditandai oleh
manifestasi motorik dan nonmotorik. Gejala
motorik PD terkait dengan hilangnya neuron
dopaminergik striatal. Parkinson adalah sindrom
yang ditandai dengan bradykinesia atau akinesia,
tremor pada saat istirahat, rigidity, serta hilangnya
reflek postural akibat penurunan kadar DA dengan
berbagai macam sebab (Shahab, 2007). Pada kasus
pasien menderita parkinson stage 2 dilihat dari
keluhan tremor dan rigidity dimana ini dilihat dari
skala Hoehn and Yahr yaitu pada stadium 2
terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan
minimal, sikap/cara berjalan terganggu
(Syamsudin, 2013).

Penyakit Jantung Penyakit Jantung merupakan sebutan umum yang


(Aritmia) digunakan untuk menggambarkan gangguan
terhadap fungsi kerja jantung (Annisa R., 2019).
Aritmia atau disritmia merupakan gangguan irama
jantung yang merujuk kepada setiap gangguan
frekuensi, regularitas, lokasi asal atau konduksi
impuls listrik jantung (Thaler MS., 2013). Aritmia
merupakan irama jantung yang tidak normal yang
disebabkan oleh perubahan electrical system pada
jantung. Dalam aritmia detak jantung bisa menjadi
lebih cepat dari keadaan normal disebut takikardia,
atau bisa bergerak lambat disebut bradikardia
(National Health Fundation of Australia, 2016).

Problem
Terapi DRP Saran
Medik
Parkinson Citicolin 500 mg - Citicolin 500 mg (2 x 1)
Stage 2 (2 x 1) tetap dilanjutkan
Levodopa 500 mg P2.1 Adanya efek Levodopa Kombinasi
(3 x 1) samping (non- dengan Carbidopa.
alergi) Dengan pemberian
sebelum makan, dosis
C3.2 Dosis obat awal levodopa 100mg 3
terlalu tinggi x sehari 1 tablet dan
dosis carbidopa 25mg 3
x sehari 1 tablet.

-Untuk mengatasi
tremor digunakan
benztropin 1 mg (1 x 1)
diberikan pada malam
hari sebelum tidur

- Asam folat 1000 - Asam folat 1000 mcg (2


mg (2 x 1) x 1) tetap dilanjutkan
Penyakit Amiodarone 5 mg - Amiodarone (1 x 1)
Jantung (1 x 1) tetap dilanjutkan
(Aritmia)

- Plan (With Evidence Based Medicine)


Terapi Farmakologi
1. Parknson Stage 2 : Diberikan Citicolin, levodopa kombinasi carbidopa,
asam folat, benztropin.
a. Citicolin
Citicoline tetap dilanjutkan 500 mg (2 x 1), berdasarkan literatur,
dimana dosis oral paling efektif untuk citicoline berkisar antara 500-
2.000 mg/hari (Rajguru M, et al., 2014). Citicoline memiliki efek
neuroprotektif dan menstabilkan membran neuron dan karena sifat ini
diharapkan citicoline dapat bermanfaat bagi individu dengan penyakit
Parkinson (Ramaker C, et al., 2002). Selain itu, citicoline memiliki
efek hemat levodopa dan kemampuan untuk meningkatkan sintesis
dopamin sehingga disimpulkan bahwa citicoline memiliki kemampuan
untuk mengkompensasi pengurangan dosis levodopa (Eberhardt R,
2009). Hasil dari suatu penelitian menunjukkan adanya peningkatan
bicara, gaya berjalan, postur, tremor, kelincahan, dan kelambatan
gerakan (Marti Masso, Urtasun, 1991). Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa citicoline dapat meningkatkan kemanjuran levodopa,
dan dapat membantu mengurangi persyaratan dosis levodopa dan
meningkatkan hasil klinis secara keseluruhan pada pasien dengan
penyakit Parkinson (Agnoli, et al., 1982).
b. Levodopa Kombinasi dengan Carbidopa
Perbandingan efektivitas levodopa tunggal atau ketika L-Dopa
diberikan tanpa L-AAD inhibitor ditemukan sekitar 80% pasien akan
mengalami efek samping berupa anoreksia, mual, dan muntah.
Sedangkan efektivitas lebodopa bila L-Dopa dikombinasikan dengan
carbidopa, efek samping pada saluran pencernaan tersebut dapat
berkurang hingga kurang dari 20%, namun efek samping pada status
mental pasien tersebut akan muncul, misal depresi, agitasi, insomnia,
halusinasi, kebingungan, pusing, dan mimpi buruk (Aminoff, 2012).
Berdasarkan literatur tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
lebih memiliki efektivitas untuk terapi parkinsone adalah L-Dopa
yang dikombinasikan dengan carbidopa. Dosis L-Dopa yang dapat
menembus sawar darah otak kurang dari 1% dari dosis awal karena
adanya konversi oleh L-AAD di perifer. Oleh karena itu, L-Dopa
dikombinasikan dengan L-AAD inhibitor (misal carbidopa), yang tidak
dapat menembus sawar darah otak, sehingga jumlah L-Dopa yang
masuk ke otak meningkat serta mengurangi efek samping DA di
perifer, misal mual dan hipotensi (Rao, 2006). Dengan pemberian
sebelum makan, dosis awal levodopa 100 mg 3 x sehari 1 tablet dan
dosis carbidopa 25 mg 3 x sehari 1 tablet.
c. Benztropin sebagai antikolinergik
Benztropin menginduksi lebih sedikit stimulasi SSP dibandingkan
trihexyphenidyl, sehingga benztropin menjadi obat pilihan yang lebih
disukai untuk pasien geriatri. Berdasarkan literatur yang didapat,
dimana triheksifenidil dapat menyebabkan takikardi. Penggunaannya
harus diawasi serta dimonitor secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit jantung atau hipertensi. Triheksifenidil dapat menurunkan
mobilitas usus serta menyebabkan paralytic ileus. Jika dibandingkan
dengan benztropin dimana pada kasus ini, pasien memiliki riwayat
penyakit jantung, berdasarkan studi literatur didapatkan triheksifenidil
penggunaannya harus diawasi secara hati-hati pada pasien jantung,
untuk meminimalisir hal tersebut kami memutuskan untuk pengobatan
tremor pada pasien dengan benztropin. Benztropin diberikan secara
peroral 0,5 mg 1 x sehari 1 tablet diberikan malam hari sebelum tidur
(McEvoy, 2011).
d. Asam Folat
Pada penelitian Reynolds EH (2002) tentang peran asam folat dan
risiko serta manfaat suplementasinya dalam sistem saraf, dimana hal
ini menekankan pentingnya folat yang bermanfaat pada berbagai
proses metilasi dalam kombinasi dengan S-adenosilmetionin (SAM),
yang menyumbangkan gugus metilnya untuk mencegah
hiperhomosisteinemia (Reynolds EH, 2002). Namun defisiensi SAM,
yang terkait dengan, misalnya, penurunan kognitif dan / atau gangguan
mood, dan peningkatan kadar homosistein total, yang mendukung
timbulnya penyakit pembuluh darah, juga dapat disebabkan oleh obat-
obatan, misalnya, levodopa (Muller T, et al., 2002). Pendekatan
terapeutik yang efektif untuk penurunan kadar homosistein adalah
suplementasi asam folat tambahan, sebagai katalisis asam folat dan
cobalamin dan meningkatkan metabolisme homosistein menjadi
metionin (Muller T, et al., 2002). Suplementasi asam folat tambahan
dengan penurunan kadar homosistein total pada pasien PD yang
diobati dengan levodopa / DDI secara hipotetis akan mengurangi
perkembangan PD (Muller T, et al., 2003). Suplemen folat bergantung
pada dosis yaitu tanpa efek pada 2 kali lipat, efek sedang pada 5 kali
lipat dan efek terbaik pada dosis suplemen 10 kali lipat. Maka
pemberian asam folat tetap dilanjutkan dengan pemberian 1000 mcg 2
x sehari.
2. Penyakit Jantung (aritmia)
a. Amiodarone Tetap dilanjutkan
Penggunaan amiodarone tetap dilanjutkan karena penyakit jantung
yang dialami pasien sudah terkontrol dengan amiodarone maka tetap
diberikan tetapi tetap dengan monitoring efek samping obat.
Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia yang terutama
bekerja di saluran K+ sehingga memperpanjang durasi potensial aksi
dan interval QT. Mekanisme kerja amiodaron juga meliputi aktivitas
obat aritmia kelas I, II, dan IV sehingga disebut sebagai obat aritmia
dengan spektrum luas dan cukup efektif digunakan pada berbagai
macam aritmia (DiMarco, 2005). Pemberian amiodarone bisa
diberikan dengan dosis 1 x 1 200 mg per oral.
Terapi Non-Farmakologi
1. Parkinson Stage 2
a) Terapi Perubahan Gaya Hidup, Nutrisi, serta Latihan Fisik
Perubahan gaya hidup harus dimulai sedini mungkin dan
diterapkan selama menjalani terapi parkinson karena dapat
meningkatkan gaya berjalan, keseimbangan, dan kesehatan mental.
Intervensi yang paling umum dilakukan adalah menjaga nutrisi,
kondisi fisik, dan interaksi sosial. Modifikasi pola makan dapat
mengatasi konstipasi, mual, tidak teraturnya absorpsi obat, dan
meminimalkan risiko hilangnya berat badan. Program latihan dan
memperbanyak aktivitas di sang hari dapat meminimalkan terjadinya
tidur sing yang berlebihan, sehingga membuat tidur malam menjadi
nyenyak. Pasien parkinson harus didorong untuk melakukan
peregangan, penguatan, dan Latihan keseimbangan (Wagner, 2008).
b) Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai
penyakitnya, misalnya pentingnya meminum obat teratur dan
menghindari jatuh. Menimbulkan rasa simpati dan empati dari anggota
keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi
maksimal (Buku Ajar Patofisiologi, 2012).
c) Tai Chi
Latihan TTC (Therapeutic Tai Chi) melibatkan putus pergerakan
yang kompleks di dalam tugas-tugas motor yang sederhana dan
menggabungkan simultan gerakan, yang juga dapat bermanfaat bagi
pasien penyakit Parkinson. Kedua, fungsi fisik, yaitu, keseimbangan
dan ketangkasan, ditingkatkan. Dengan demikian, studi ini
menunjukkan bukti tambahan untuk Tai Chi sebagai pengobatan
komplementer untuk orang dengan penyakit Parkinson-salah satu yang
akan memungkinkan mereka untuk terlibat lebih lengkap dalam
kegiatan kehidupan sehari-hari (Choi HJG, C Ewing, et al., 2013).
2. Penyakit Jantung
Terapi non-farmakologi penyakit jantung meliputi mengurangi asupan
natrium, mengurangi aktivitas fisik (terutama isometrik), dan
mengurangi berat badan pada pasien yang obesitas. Secara umum,
asupan natrium harus dibatasi sekitar 2g/hari (Fuster Valentin et al,
2011).
Monitoring
a. Efektivitas Obat
1. Dimonitoring skala Hoehn and Yahr apakah skala sudah menurun atau
terjadi peningkatan
2. Dimonitoring penyakit jantung dari pasien apakah masih terkontrol
setelah obatnya diganti
3. Dimonitoring mual dan muntah pasien apakah sudah membaik setelah
dilakukan kombinasi obat Levodopa dengan carbidopa
4. Dimonitoring tekanan darah sistolik dan diastolik pasien dengan
melakukan pengecekan tekanan darah kembali.
b. Efek Samping
1. Citicolin
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena Citicoline biasanya
pasien akan mengalami diare, mual, reaksi hipersensitifitas seperti ruam
kulit, gangguan vaskukar seperti sakit kepala, insomnia, serta
perubahan tekanan darah sementara (Khare et al., 2016).
2. L-Dopa dikombinasikan dengan carbidopa
Bila L-Dopa dikombinasikan dengan carbidopa, efek samping pada
saluran pencernaan tersebut dapat berkurang hingga kurang dari 20%,
namun efek samping pada status mental pasien tersebut akan muncul,
misal depresi, agitasi, insomnia, halusinasi, kebingungan, pusing, dan
mimpi buruk (Aminoff, 2012).
3. Benztropin
Efek samping, mungkin terjadi peningkatan tekanan okular,
sehingga perlu dilakukan evaluasi genioskopi dan monitoring tekanan
intraokular secara periodik, monitor pasien parkinsonism dengan
hipertropi prostat atau penyakit obstruktif pada saluran kemih
berkenaan dengan kemungkinan terjadinya retensi urine, monitor pasien
parkinsonism dengan penyakit obstruktif pada saluran pencernaan
berkenaan dengan kemungkinan terjadinya penurunan mobilitas usus
dan paralytic ileus, monitor pasien parkinsonism dengan penyakit hati
dan ginjal (McEvoy, 2011).
4. Asam folat
Efek toksik asam folat yaitu pada dosis lebih dari 100 kali dosis
harian yang dianjurkan, asam folat dapat meningkatkan frekuensi
kejang pada penderita epilepsi dan memperburuk kerusakan saraf pada
orang-orang yang menderita kekurangan vitamin B12. Dengan dosis per
oral 15 mg/hari dapat terjadi tanda-tanda anorexia, nausea, abdominal
distention,flatulence, biter/bad taste, altered sleep patterns, kesulitan
berkonsentrasi, irritabilitas, aktivitas berlebihan, depresi (Berdanier
et.al., 2008; Muskiet et.al., 2006).
5. Amiodarone
Efek samping yang paling serius adalah keracunan paru,
eksaserbasi aritmia dan injuri pada hepar. Umumnya efek samping akan
kembali normal dengan penghentian terapi amiodaron. Kebanyakan
efek samping terjadi pada pemakaian lebih dari 6 bulan (Yuniadi,
2009).
V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait
yang diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada praktikum kali
ini terkait dengan penyakit parkinson. Tujuan praktikum ini antara lain
mengetahui definisi dari penyakit parkinson, mengetahui patofisiologi,
patogenesis penyakit parkinson, mengetahui gejala, faktor resiko penyakit
parkinson, mengetahui tatalaksana farmakologi, dan non-farmakologi penyakit
parkinson, serta dapat menyelesaikan kasus terakait penyakit parkinson secara
mandiri dengan menggunakan metode SOAP.
Pada praktikum farmakoterapi III tentang parkinson ini, dimana
terdapat kasus atas nama Bapak D, usia 58 thn, datang ke Poli syaraf dengan
keluhan tangan gemetar sejak 6 bulan yang lalu, dan semakin meningkat terus
menerus sehingga mengganggu aktivitasnya. Selain itu tangan, kaki dan badan
terasa pegal. Bapak D mendapatkan obat citicolin 500 mg (2 x 1), Levodopa
500 mg (3 x 1), Asam folat 1000 mcg (2 x 1). Ia merasa sangat mual dan telah
muntah sebanyak tiga kali selama beberapa hari terakhir. Penyelesaian farmasis
review dari kasus ini adalah dengan menggunakan metode SOAP, dimana
metode SOAP merupakan singkatan dari Subjective, Objective, Assement, dan
Plan.
Sebelum melakukan analisis dan pemberian rekomendasi terapi lebih
lanjut, maka perlu diajukannya FIR (Further Information Required) kepada
pasien yang ditujukan untuk mendapatkan informasi tambahan yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan kasus. Berdasarkan FIR maka
diketahui bahwa pasien atas nama Bapak D, usia 58 tahun memiliki riwayat
genetik penyakit parkinson dari bapak pasien sendiri, diketahui sampai saat ini
pasien masih mengalami dyskinesia, mual, muntah, ragidity, dan diketahui juga
pasien tidak memiliki riwayat alergi obat. Selain itu, pasien ada mengkonsumsi
obat lain yaitu Amiodarone (1 x 1) karena pasien memiliki riwayat penyakit
jantung (aritmia) yang sudah diderita sejak 7 tahun lalu dan telah terkontol
dengan obat tersebut. Diketahui hasil pemeriksaan tekanan darah pasien yaitu
140/80 mmHg, suhu pasien 370C, serta denyut nadi pasien yaitu 77 kali/menit.
Berdasarkan skala Hoehn dan Yahr, Bapak D mengalami problem
medik Parkinson stadium 2. Penyakit Parkinson (PD) adalah penyakit
neurodegeneratif progresif yang ditandai oleh manifestasi motorik dan
nonmotorik. Gejala motorik PD terkait dengan hilangnya neuron dopaminergik
striatal. Parkinson adalah sindrom yang ditandai dengan bradykinesia atau
akinesia, tremor pada saat istirahat, rigidity, serta hilangnya reflek postural
akibat penurunan kadar DA dengan berbagai macam sebab (Shahab, 2007).
Pada kasus pasien menderita parkinson stage 2 dilihat dari keluhan tremor dan
rigidity yang dialami pasien, dimana ini dilihat dari skala Hoehn and Yahr
yaitu pada stadium 2 terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu (Syamsudin, 2013).
Selain penyakit parkinson, pasien Bapak D juga memiliki riwayat
penyakit jantung (aritmia) yang diderita sejak 7 tahun lalu. Penyakit jantung
merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan gangguan
terhadap fungsi kerja jantung (Annisa R., 2019). Aritmia atau disritmia
merupakan gangguan irama jantung yang merujuk kepada setiap gangguan
frekuensi, regularitas, lokasi asal atau konduksi impuls listrik jantung (Thaler
MS., 2013). Aritmia merupakan irama jantung yang tidak normal yang
disebabkan oleh perubahan electrical system pada jantung. Dalam aritmia detak
jantung bisa menjadi lebih cepat dari keadaan normal disebut takikardia, atau
bisa bergerak lambat disebut bradikardia (National Health Fundation of
Australia, 2016).
Berdasarkan analisis kasus di atas dengan metode SOAP, berikut
adalah tabel SOAP-nya .

Problem Subjektif Objektif Terapi DRP Saran


Medik
Parkinson Tangan -Tekanan Citicolin - Pemberian
Stage 2 gemetar sejak darah : 500 mg (2 x Citicolin 500
6 bulan yang 140/80 1). mg (2 x 1)
lalu, dan mmHG tetap
semakin - Suhu : dilanjutkan.
meningkat 37oC
terus menerus
sehingga
mengganggu
aktivitasnya.
-Tangan, kaki
dan badan
terasa pegal.
-
Keseimbangan
tubuh belum
terganggu
-Mual dan
Muntah

Levodopa P2.1 Levadopa


500 mg (3 x Adanya dapat
1). efek dikombinasi
samping dengan
obat carbidopa.
(non- Levadopa
alergi). 100 mg
diberikan 3
C3.2 x sehari 1
Dosis tablet dan
obat carbidopa 25
terlalu mg
tinggi. diberikan 3
x sehari 1
tablet.
Asam folat - Pemberian
1000 mcg (2 Asam Folat
x 1). 1000 mcg (2
x 1)
dilanjutkan
Penyakit - Nadi : Amiodarone - Penggunaan
Jantung 77x/menit (1 x 1) amiodaron
(1 x 1) tetap
dilanjutkan

Tujuan terapi parkinsonism yang diberikan kepada pasien


parkinsonism adalah menjaga kemandirian, activity daily living, dan quality of
life pasien parkinsonism dengan cara mengurangi gejala parkinsonian,
meminimalkan perkembangan fluktuasi respon, serta meminimalkan terjadinya
ESO antiparkinsonian (Brown, 2010). Pemilihan antiparkinsonian didasarkan
pada usia pasien, gejala dominan, dan stadiumnya (Suryamiharja, 2007).
Adapun terapi farmakologi yang dapat diberikan pada pasien Bapak D
adalah sebagai berikut.
1) Parknson Stage 2 : Diberikan Citicolin, levodopa kombinasi carbidopa,
asam folat, benztropin.
a. Citicolin
Citicoline tetap dilanjutkan 500 mg (2 x 1), berdasarkan literatur,
dimana dosis oral paling efektif untuk citicoline berkisar antara 500-
2.000 mg/hari (Rajguru M, et al., 2014). Citicoline memiliki efek
neuroprotektif dan menstabilkan membran neuron dan karena sifat ini
diharapkan citicoline dapat bermanfaat bagi individu dengan penyakit
Parkinson (Ramaker C, et al., 2002). Selain itu, citicoline memiliki efek
hemat levodopa dan kemampuan untuk meningkatkan sintesis dopamin
sehingga disimpulkan bahwa citicoline memiliki kemampuan untuk
mengkompensasi pengurangan dosis levodopa (Eberhardt R, 2009). Hasil
dari suatu penelitian menunjukkan adanya peningkatan bicara, gaya
berjalan, postur, tremor, kelincahan, dan kelambatan gerakan (Marti
Massk, Urtasun, 1991). Dalam penelitian lain ditemukan bahwa citicoline
dapat meningkatkan kemanjuran levodopa, dan dapat membantu
mengurangi persyaratan dosis levodopa dan meningkatkan hasil klinis
secara keseluruhan pada pasien dengan penyakit Parkinson (Agnoli, et
al., 1982).
b. Levodopa Kombinasi dengan Carbidopa
Levodopa merupakan terapi gold standard dalam mengobati
penyakit parkinson. Levodopa merupakan precursor dopamin yang dapat
menembus Blood Brain Barrier. Levodopa umumnya ditambah dengan
carbidopa yang merupakan inhibitor dekarboksilase perifer (PDI).
Carbidopa menghambat dekarboksilasi levodopa menjadi dopamin dalam
sirkulasi sistemik, sehingga memungkinkan untuk distribusi levodopa
lebih besar ke dalam sistem saraf pusat. Dengan menambahkan
penghambat dopa decarboxylase yang tidak melewati sawar darah otak
seperti carbidopa atau benserazide sebesar 75-100 mg/hari, maka
konsentrasi kadar levodopa akan cukup mencapai sistem saraf pusat,
serta mengurangi rasa mual (Fahn S and Jankovic J, 2007).
Perbandingan efektivitas levodopa tunggal atau ketika L-Dopa
diberikan tanpa L-AAD inhibitor ditemukan sekitar 80% pasien akan
mengalami efek samping berupa anoreksia, mual, dan muntah.
Sedangkan efektivitas lebodopa bila L-Dopa dikombinasikan dengan
carbidopa, efek samping pada saluran pencernaan tersebut dapat
berkurang hingga kurang dari 20%, namun efek samping pada status
mental pasien tersebut akan muncul, misal depresi, agitasi, insomnia,
halusinasi, kebingungan, pusing, dan mimpi buruk (Aminoff, 2012).
Berdasarkan literatur tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang lebih
memiliki efektivitas untuk terapi parkinsone adalah L-Dopa yang
dikombinasikan dengan carbidopa. Dosis L-Dopa yang dapat menembus
sawar darah otak kurang dari 1% dari dosis awal karena adanya konversi
oleh L-AAD di perifer. Oleh karena itu, L-Dopa dikombinasikan dengan
L-AAD inhibitor (misal carbidopa), yang tidak dapat menembus sawar
darah otak, sehingga jumlah L-Dopa yang masuk ke otak meningkat serta
mengurangi efek samping DA di perifer, misal mual dan hipotensi (Rao,
2006). Dosis L-Dopa, setelah dikombinasi dengan carbidopa, dimana
pasien parkinsonism biasanya mengawali terapi dengan sehari 3 kali 1
tablet konvensional/ODT carbidopa/L-Dopa 25 mg/100 mg, kemudian
tingkatkan sebesar 25 mg/100 mg tiap hari sampai tercapai dosis harian
sebesar 200 mg/800 mg. Alternatif lain, awali dengan sehari 3-4 kali 1
tablet konvensional/ODT carbidopa/L-Dopa 10 mg/100 mg, kemudian
tingkatkan sebesar 25 mg/100 mg tiap hari sampai tercapai dosis harian
sebesar 80 mg/800 mg. Berdasarkan literature tersebut, Levodopa
kombinasi dengan carbidopa diberikan sebelum makan, dosis awal
levodopa 100 mg 3 x sehari 1 tablet dan dosis carbidopa 25mg 3 x sehari
1 tablet.
c. Benztropin sebagai antikolinergik
Benztropin juga merupakan antimuskarinik antiparkinsonian atau
termasuk dalam kelas sintetis antagonis reseptor muskarinik (obat
antikolinergik). Benztropin disetujui FDA sebagai terapi tambahan untuk
semua bentuk parkinsonisme, termasuk: Parkinsonisme idiopatik dan
Parkinsonisme pascaensefalitis. Benztropin memusuhi reseptor
asetilkolin dan histamin. Di SSP dan otot polos, benztropin bekerja
dengan berkompetisi dengan asetilkolin pada reseptor muskarinik.
Akibatnya, mengurangi efek kolinergik sentral dengan memblokir
reseptor muskarinik yang muncul untuk memperbaiki gejala penyakit
Parkinson. Selain itu, benztropin dapat memperpanjang kerja dopamin
dengan menghambat pengambilan kembali dan penyimpanannya.
Benztropin menginduksi lebih sedikit stimulasi SSP dibandingkan
trihexyphenidyl, sehingga benztropin menjadi obat pilihan yang lebih
disukai untuk pasien geriatri. Berdasarkan literatur yang didapat, dimana
triheksifenidil dapat menyebabkan takikardi. Penggunaannya harus
diawasi serta dimonitor secara hati-hati pada pasien dengan penyakit
jantung atau hipertensi. Triheksifenidil dapat menurunkan mobilitas usus
serta menyebabkan paralytic ileus. Jika dibandingkan dengan benztropin
dimana pada kasus ini, pasien memiliki riwayat penyakit jantung,
berdasarkan studi literatur didapatkan triheksifenidil penggunaannya
harus diawasi secara hati-hati pada pasien jantung, untuk meminimalisir
hal tersebut kami memutuskan untuk pengobatan tremor pada pasien
dengan benztropin. Benztropin diberikan secara peroral 0,5 mg 1 x sehari
1 tablet diberikan malam hari sebelum tidur (McEvoy, 2011).
d. Asam Folat
Pada penelitian Reynolds EH (2002) tentang peran asam folat dan
risiko serta manfaat suplementasinya dalam sistem saraf, dimana hal ini
menekankan pentingnya folat yang bermanfaat pada berbagai proses
metilasi dalam kombinasi dengan S-adenosilmetionin (SAM), yang
menyumbangkan gugus metilnya untuk mencegah hiperhomosisteinemia
(Reynolds EH, 2002). Namun defisiensi SAM, yang terkait dengan,
misalnya, penurunan kognitif dan / atau gangguan mood, dan
peningkatan kadar homosistein total, yang mendukung timbulnya
penyakit pembuluh darah, juga dapat disebabkan oleh obat-obatan,
misalnya, levodopa (Muller T, et al., 2002). Pendekatan terapeutik yang
efektif untuk penurunan kadar homosistein adalah suplementasi asam
folat tambahan, sebagai katalisis asam folat dan cobalamin dan
meningkatkan metabolisme homosistein menjadi metionin (Muller T, et
al., 2002). Suplementasi asam folat tambahan dengan penurunan kadar
homosistein total pada pasien PD yang diobati dengan levodopa / DDI
secara hipotetis akan mengurangi perkembangan PD. Suplemen folat
bergantung pada dosis yaitu tanpa efek pada 2 kali lipat, efek sedang
pada 5 kali lipat dan efek terbaik pada dosis suplemen 10 kali lipat
(Muller T, et al., 2003). Berdasarkan literatur tersebut, maka pemberian
asam folat tetap dilanjutkan dengan pemberian 1000 mcg 2 x sehari 1
2. Penyakit Jantung (aritmia)
a. Amiodarone Tetap dilanjutkan
Penggunaan amiodarone tetap dilanjutkan karena penyakit jantung
yang dialami pasien sudah terkontrol dengan amiodarone yang dilihat
dari denyut nadi pasien yaitu 77 kali/menit, dimana nilai parameter ini
termasuk ke dalam kategori normal, maka dari itu, penggunaan
amiodarone tetap diberikan tetapi tetap dengan monitoring efek
samping obat. Amiodaron termasuk golongan III, yaitu obat aritimia
yang terutama bekerja di saluran K+ sehingga memperpanjang durasi
potensial aksi dan interval QT. Mekanisme kerja amiodaron juga
meliputi aktivitas obat aritmia kelas I, II, dan IV sehingga disebut
sebagai obat aritmia dengan spektrum luas dan cukup efektif
digunakan pada berbagai macam aritmia (DiMarco, 2005). Pemberian
amiodarone bisa diberikan dengan dosis 1 x 1 200mg per oral.
Selain terapi farmakologi yang dapat diberikan dengan obat-obatan di
atas, adapun terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien Bapak D
adalah sebagai berikut.
1. Parkinson Stage 2
a. Terapi Perubahan Gaya Hidup, Nutrisi, serta Latihan Fisik
Perubahan gaya hidup harus dimulai sedini mungkin dan
diterapkan selama menjalani terapi parkinson karena dapat meningkatkan
gaya berjalan, keseimbangan, dan kesehatan mental. Intervensi yang
paling umum dilakukan adalah menjaga nutrisi, kondisi fisik, dan
interaksi sosial. Modifikasi pola makan dapat mengatasi konstipasi, mual,
tidak teraturnya absorpsi obat, dan meminimalkan risiko hilangnya berat
badan. Program latihan dan memperbanyak aktivitas di sang hari dapat
meminimalkan terjadinya tidur sing yang berlebihan, sehingga membuat
tidur malam menjadi nyenyak. Pasien parkinson harus didorong untuk
melakukan peregangan, penguatan, dan Latihan keseimbangan (Wagner,
2008).
b. Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai
penyakitnya, misalnya pentingnya meminum obat teratur dan
menghindari jatuh. Menimbulkan rasa simpati dan empati dari anggota
keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi
maksimal (Buku Ajar Patofisiologi, 2012).
c. Tai Chi
Latihan TTC (Therapeutic Tai Chi) melibatkan putus pergerakan
yang kompleks di dalam tugas-tugas motor yang sederhana dan
menggabungkan simultan gerakan, yang juga dapat bermanfaat bagi
pasien penyakit Parkinson. Kedua, fungsi fisik, yaitu, keseimbangan
dan ketangkasan, ditingkatkan. Dengan demikian, studi ini
menunjukkan bukti tambahan untuk Tai Chi sebagai pengobatan
komplementer untuk orang dengan penyakit Parkinson-salah satu yang
akan memungkinkan mereka untuk terlibat lebih lengkap dalam
kegiatan kehidupan sehari-hari (Choi HJG, C Ewing, et al., 2013).
2. Penyakit Jantung
Terapi non-farmakologi penyakit jantung meliputi mengurangi asupan
natrium, mengurangi aktivitas fisik (terutama isometrik), dan mengurangi
berat badan pada pasien yang obesitas. Secara umum, asupan natrium harus
dibatasi sekitar 2g/hari (Fuster Valentin et al, 2011).
Setelah melakukan plan, adapun yang dilakukan selanjutnya yaitu
memonitoring efektivitas obat yang disarankan atau yang telah diberikan,
selain efektivitas obat perlu juga dimonitoring efek samping obat. Adapun
Monitoring terapi yang dapat dilakukan pada kasus ini adalah sebagai berikut.
1. Efektivitas Obat
a. Dimonitoring skala Hoehn and Yahr apakah skala sudah menurun atau
terjadi peningkatan
b. Dimonitoring penyakit jantung dari pasien apakah masih terkontrol
setelah obatnya diganti
c. Dimonitoring mual dan muntah pasien apakah sudah membaik setelah
dilakukan kombinasi obat Levodopa dengan carbidopa
d. Dimonitoring tekanan darah sistolik dan diastolik pasien dengan
melakukan pengecekan tekanan darah kembali.
2. Efek Samping
a. Citicolin
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena Citicoline biasanya
pasien akan mengalami diare, mual, reaksi hipersensitifitas seperti ruam
kulit, gangguan vaskukar seperti sakit kepala, insomnia, serta perubahan
tekanan darah sementara (Khare et al., 2016).
b. L-Dopa dikombinasikan dengan carbidopa
Bila L-Dopa dikombinasikan dengan carbidopa, efek samping pada
saluran pencernaan tersebut dapat berkurang hingga kurang dari 20%,
namun efek samping pada status mental pasien tersebut akan muncul,
misal depresi, agitasi, insomnia, halusinasi, kebingungan, pusing, dan
mimpi buruk (Aminoff, 2012).
c. Benztropin
Efek samping mungkin terjadi peningkatan tekanan okular,
sehingga perlu dilakukan evaluasi genioskopi dan monitoring tekanan
intraokular secara periodik, monitor pasien parkinsonism dengan
hipertropi prostat atau penyakit obstruktif pada saluran kemih berkenaan
dengan kemungkinan terjadinya retensi urine, monitor pasien
parkinsonism dengan penyakit obstruktif pada saluran pencernaan
berkenaan dengan kemungkinan terjadinya penurunan mobilitas usus dan
paralytic ileus, monitor pasien parkinsonism dengan penyakit hati dan
ginjal (McEvoy, 2011).
d. Asam folat
Efek toksik asam folat yaitu pada dosis lebih dari 100 kali dosis
harian yang dianjurkan, asam folat dapat meningkatkan frekuensi kejang
pada penderita epilepsi dan memperburuk kerusakan saraf pada orang-
orang yang menderita kekurangan vitamin B12. Dengan dosis per oral 15
mg/hari dapat terjadi tanda-tanda anorexia, nausea, abdominal
distention,flatulence, biter/bad taste, altered sleep patterns, kesulitan
berkonsentrasi, irritabilitas, aktivitas berlebihan, depresi (Berdanier et.al.,
2008; Muskiet et.al., 2006).
e. Amiodarone
Efek samping yang paling serius adalah keracunan paru,
eksaserbasi aritmia dan injuri pada hepar. Umumnya efek samping akan
kembali normal dengan penghentian terapi amiodaron. Kebanyakan efek
samping terjadi pada pemakaian lebih dari 6 bulan (Yuniadi, 2009).
VI. KESIMPULAN & SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa kasus terkait penyakit parkinson yang
telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut.
1. Penyakit Parkinson (PD) adalah penyakit neurodegeneratif
progresif yang ditandai oleh manifestasi motorik dan
nonmotorik. Gejala motorik PD terkait dengan hilangnya neuron
dopaminergik striatal. Berdasarkan skala Hoehn dan Yahr,
Bapak D mengalami problem medik Parkinson stadium 2.
2. Patofisiologi parkinson yaitu penyakit pada sistem
ekstrapiramidal yang dikarakterisasi oleh degenerasi neuron
dopaminergik. Degenerasi progresif neuron dopaminergik
menyebabkan pengurangan proyeksi dopaminergik dari
substantia nigra pars compacta (SNc) ke striatum (jalur
nigostriatal), sehingga menghasilkan hilangnya fungsi
dopaminergik.
3. Gejala parkinson ada 2 yaitu gejala motorik dan non-motorik,
gejala motorik meliputi: tremor/bergetar, rigiditas/kekakuan,
akinesia/bradikinesia. Sedangkan gejala non-motorik yaitu:
disfungsi otonom, gangguan suasana hati, penderita sering
mengalami depresi, ganguan kognitif, menanggapi rangsangan
lambat, gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur
(insomnia), gangguan sensasi. Serta faktor resiko rarkinson
yaitu: usia lanjut, jenis kelamin, riwayat keluarga , penurunan
kadar estrogen, pekerja agricultural, faktor genetic, penurunan
kadar vitamin B, dan trauma kepala.
4. Tatalaksana pada parkinson setelah dilakukan analisia kasus
yaitu untuk parkinson stage 2 pasien Bapak D diberikan
Parknson Stage 2 pemberian citicolin 500 mg (2 x 1) tetap
dilanjutkan, levodopa kombinasi carbidopa diberikan sebelum
makan, dosis awal levodopa 100 mg 3 x sehari 1 tablet dan dosis
carbidopa 25 mg 3 x sehari 1 tablet, benztropin diberikan secara
peroral 0,5 mg 1 x sehari 1 tablet diberikan malam hari sebelum
tidur, dan asam folat tetap dilanjutkan yaitu sebanyak 1000 mcg
2 x sehari. Untuk riwayat penyakit jantung (aritmia) pasien
pemberian amiodarone tetap dilanjutkan dengan dosis 1x1 200
mg per oral. Adapun terapi non-farmakologi yang dapat
disarankan yaitu melakukan terapi perubahan gaya hidup,
nutrisi, serta latihan fisik, dengan melakukan edukasi , dan
melakukan latihan TTC (Therapeutic Tai Chi). Terapi non-
farmakologi penyakit jantung meliputi mengurangi asupan
natrium, mengurangi aktivitas fisik (terutama isometrik), dan
mengurangi berat badan pada pasien yang obesitas.

6.2 Saran
Adapun saran yang dapat praktikan sampaikan yaitu,
sebaiknya pada praktikum selanjutnya agar lebih teliti dalam
menganalisis SOAP dan dapat memberikan terapi pada pasien
berdasarkan guidelines serta Evidence-Based Medicine agar dapat
memberikan terapi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Adams-Carr, K.I., Bestwick, J.P., Shribman, S., Lees, A., Schrag. A.. Noyce, A.J.
2015. Constipation preceding Parkinson's disease: a systematic review
and meta-analysis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. P : 1-7.

Agnoli A, Ruggieri S, Denaro A, Bruno G. 1982. New strategies in the


management of Parkin son’s disease: a biological approach using a
phospholipid precursor (CDP-choline). Neuropsychobiology;8. P : 289-
296.

Aminoff, M.J. 2012. Pharmacologic management of parkinsonism & other


movement disorders. In: Katzung, B.G, Master, S.B., Trevor, A.J. Basic &
Clinical Pharmacology, Twelfth Edition. The McGraw-Hill Companies,
Inc.

Annisa, R. 2019. Analisis Komparasi Algoritma Klasifikasi Data Mining untuk


Prediksi Penderita Penyakit Jantung. Jurnal Teknik Informatika
Kaputama (JTIK); vol 3(1). P : 22 – 28.

Baehr MF, Michael. 2015. Duu,s Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed. United
States of America: Thieme.

Bartels, A.L., Leenders, K.L. 2009. Parkinson's disease: The syndrome, the
pathogenesis and pathophysiology. Cortex, Vol. 45 No. 8. P : 915-21.

Bellou, V., Belbasis, L., Tzoulaki, L, Evangelou, E., Ioannidis, J.P.A. 2016.
Enviromental risk factors and Parkinson's disease: An umbrella review of
meta-analysis. Parkinsonism and Related Disorders, Vol 23. P : 1-9.

Brown, K., Johnsten, D., Kinsella, J., McMilan, F., Qureshi, S., Sonthalia, V.
Twaddle, S. 2010. Diagnosis and pharmacological management of
Parkinson's disease: A national clinical guideline Edinburgh: Scottish
Intercollegiate Guidelines Network.

Choi HJG, C Ewing et al. 2013. Therapeutic Effects of Tai Chi in Patients with
Parkinson’s Disease, Thieme. P : 7.

Damier, P. 2008. Evidence for the use of Levodopa-Carbidopa Entacapone


(STALEVO) to improve motor fluctuations in Parkinson's disease.
European Neurological Review. P : 37-40.

David, C. 2016. Parkinson's Disease Dementia.


DeMaagd, G., Philip, A. 2015. Parkinson's disease and its management part 1:
Disease entity, risk factors, pathophysiology, clinical presentation, and
diagnosis. P&T, Vol. 40 No. 8. P : 504-10.

DiMarco JP, Gersh BJ, Opie LH. 2005. Antiarrhythmic drugs and strategy. In
Opie Drug of the Heart (Sixth Edition). WB Saunders: Philadelphia. P :
.236- 42.

Eberhardt R, Birbamer G, Gerstenbrand F, Rainer E, Traegner H. 1990. Citicoline


in the treatment of Parkinson’s disease. Clinical therapeutics. P: 12:489-
495.

Emamzadeh, F. N. and Surguchov, A. 2018. Parkinson ’ s Disease : Biomarkers


,Treatment , and Risk Factors, 12(August). P : 1–14. doi:
10.3389/fnins.2018.00612. Diakses pada tanggal 9 April 2022. Tersedia
pada: Google Scholar.

Fuster, Valentine MD, PhD, MACC, et al. 2011. Hurst’s The Heart. 13 Th
Edition, Volume 1, The McGraw-Hill Companies.

Husni, A. 2013. Parkinsonism vaskuler. Dalam: Husni, A., Suryamiharja. A.,


Ahmad, B., Samatra, DP.G.P, Akbar, M., Tummewah, R., Subagya,
Syamsuddin, T., Akbar, M, Dewanto, G. Buku Panduan Tatalaksana
Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak Lainnya. Kelompok Studi
Movement Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).

Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta: Bursa


Ilmu.

Lin, C, Lin, J., Liu, Y., Chang, C., Wu, R. 2014. Risk of Parkinson's disease
following severe constipation: A nationwide population based cohort
study. Parkinsonism and Related Disorders. P : 1-5.

Mark, MH. 2010. Parkinson's Disease Handbook: A Guide for Patients and Their
Families New Jersey American Parkinson Disease Association, Inc.

Martí Massó JF, Urtasun M. 1991. Citicoline in the treatment of Parkinson’s


disease. Clinical therapeutics; 13. P : 239-242.

McEvoy, G.K. 2011. AHFS Drug Information Essentials. Maryland : American


Society of Health-System Pharmacists.

Muller T., Woitalla D., Kuhn W., et al. 2002. Benefit of folic acid
supplementation in parkinsonian patients treated with levodopa. Germany
: J Neurol Neurosurg Psychiatry;74. P : 549.
National Health Fundation of Australia. 2016. Heart arrhythmias. P : 2–7.

Noyce, AJ, Bestwick, 1.P, Silveim-Moriyama, I, Hawkes, C.H. Giovannoni, G,


Lees, AJ, Schrag, A. 2012. Meta Analysis of Early Nonmotor Features
and Risk Factors for Parkinson Disease American Neurological
Association Neurol. Vol. 72 No. 6. P : 893 901.

Purba JS. 2012. Penyakit Parkinson. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

Rajguru, P., Kolber, M. J., Garcia, A. N. Smith, M. T., Patel, C. K., Hanney, W.
2015. Use of Mindfulness Meditation in the Management of Chronic Pain:
A Systematic Review of Randomized Controlled Trials. XXX).

Ramaker C, Marinus J, Stiggelbout AM, Van Hilten BJ. 2002. Systematic


evaluation of rating scales for impairment and disability in Parkinson’s
disease. Movement disorders : official journal of the Movement Disorder
Society; 17. P : 867-876.

Rao, S.S., Hofmann, L., Shakil, A., 2006. Parkinson's Disease: Diagnosis and
treatment. American Academy of Family Physician, Vol.74 No. 12. P :
2046-54.

Reynolds EH. 2002. Benefits and risks of folic acid to the nervous system. J
Neurol Neurosurg Psychiatry;72. P : 567–71.

Shahab, A. 2007. Clinical Features and Diagnosis of Parkinson Discase. Dalam:


Sjahrir, H., Nasution, D., Gofir, G. Parkinson's Disease & Other
Movement Disorders. Medan : Pustaka Cedekia Press bekerjasama dengan
Panitia "The National Symposium of Parkinsons Discase & other
movement disorders" dan Departemen Neurologi FK USU Medan serta
PERDOSSI Cabang Medan.

Syamsudin, T. 2013. Penyakit Parkinson Dalam Buku Panduan Tatalaksana


Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak Lainnya. Kelompok Studi
Movement Disorder Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).

Thaler MS. 2013. Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan (7th ed). Jakarta:
EGC.

Ton, T.G.N., Heckbert, S.R., Longstreth Jr. W.T., Rossing, M.A., Kukull, W.A.,
Franklin, G.M, Swanson, P.D., Smith-Weller, T., Chekoway, H. 2007.
Calcium channel blockers and B-blockers in relatin to Parkinson's
disease. Parkinsonism Relat Disord, Vol. 13 No. 3. P : 165-69.

Yuniadi, Yoga. 2009. Clinical Aplication of Amiodarone Trials. J. Kardiol


Indones; 30. P : 25-28.

Anda mungkin juga menyukai