FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Ny. NN
Presenting Complaint
Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu, sesak nafas sejak kemarin, demam, batuk, mual
dan muntah.
Drug Allergies: -
Tanda-tanda Vital 11-1-2017
Tekanan darah (mmHg) 120/70
Nadi (x / menit) 120
Suhu (oC) 36.3
RR ( x / menit) 18
Saturasi O2 (%) 98
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
10 mg setiap hari
dengan SC / IM
1 amp + ns 500 inj. Sebagai alternatif,
1 Infus adona + ns Anti hemorrange
ml/8 jam 25-100 mg per hari
dengan infus IV atau
infus tetes.
Infus aminophyllin 240 mg inj dalam
2 Asma 6-7 mg/kg IV
dalam ns ns 500 ml/8 jam
3 x 5 ml for
3 ns 3% Elektrolit Dosis Individual
nebul
1,25 mg/kg IV setiap 4
4 Paracetamol inj Analgetik 3 x 500 mg
x sehari
15-30 mg 3-4 kali
5 Codein tab Antitusive 10 mg tab 3 x 1
sehari.
600 mg PO q12hr
6 Acetlysisteine tab Mukolitik 200 mg tab 3 x 1
selama 2 hari
Asam tranexamat 1-1,5 g atau 15-25 mg /
7 Anti hemorrage 500 mg inj 3 x 1
tab kg
500 mg PO / IV sekali
sehari selama 7-14 hari
8 Levofloxacin inj Antibiotik 1 x 750 mg atau 750 mg PO / IV
sekali sehari selama 5
hari
2-4 g setiap hari dalam
2 dosis terbagi,
9 Cefoperazone inj Antibiotik 2 x 1 gram
meningkat menjadi 12
g setiap hari
setiap 4 jam 1
10 Combivent reps Asma 3 ml tiap 6 jam
resp
11 Flixotide reps Asma 3 x 1 reps 500-2000 mcg2x sehari
Methylprednisolon 30mg IV tiap 12 jam
12 Anti Inflamasi 3 x 625 mg
inj selama 5 hari
1 g PO q6hr
13 Sulcrafat syr Gastritis 3 x 15 ml awalnya; pemeliharaan:
1 g PO q12hr
Omeprazole 40 mg 20 mg PO qDay selama
14 Gastritis 2 x 40 mg
inj 4-8 minggu
15 Acitral syr Gastritis 3 x 15 ml 3 x 15 ml
LABORATORY TEST
Test (normal range) 11 Januari 2017
Leukosit (7,5± 3,5 (x 109/L)) 290
Hb (L: 13-17 g/dL) 12,7
Chloride 103
CPR quantitative 47,16
Blood gas:
pH 7,298
P O2 60,1
P CO2 49,1
SO2 87
T CO2 25
M1.4 Ada Indikasi yang tidak diterapi P1.5 Ada indikasi tapi obat tidak
diresepkan
Intervensi
I3.6 Obat baru diberikan
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjective (symptom)
Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu, sesak nafas sejak kemrin, demam, batuk, mual dan
muntah.
- Objective (signs)
LABORATORY TEST
Test (normal range) 11 Januari 2017
Leukosit (7,5± 3,5 (x 109/L)) 290
Hb (L: 13-17 g/dL) 12,7
Chloride 103
CPR quantitative 47,16
Blood gas:
pH 7,298
P O2 60,1
P CO2 49,1
SO2 87
T CO2 25
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu
dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Dan pasien dalam kasus ini memiliki criteria seperti diatas
Penyebab
P.1.1 pemilihan obat
Pneumonia tidak tepat (bukan untuk
indikasi yang paling
tepat) termasuk
penggunaan obat yang
kontraindikasi
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
Levofloxacin inj 1 x - Dilanjutkan
750 mg
Methylprednisolone Masalah Dihentikan karena
inj 3 x 625 mg pasien mengalami
Penyebab sesak karena
P.3.2 dosis obat terlalu Pneumonia dan
tinggi rumah pasien dekat
- dengan pabrik
Intervensi
I.3.2 mengubah dosis
obat
Infus aminophylin Masalah Infus aminophylin
240 mg inj dalam ns M.3.2 Obat tidak 240 mg inj dalam ns
500 ml/8 jam diperlukan 500 ml/8 jam
dihentikan
Penyebab
P.1.1 pemilihan obat
tidak tepat (bukan untuk
indikasi yang paling
tepat) termasuk
penggunaan obat yang
kontraindikasi
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
- Flixotide resp 3 x1 Masalah Flixotide resp 3 x1
rep M.3.2 Obat tidak rep dihentikan
diperlukan
Penyebab
P.1.1 pemilihan obat
tidak tepat (bukan untuk
indikasi yang paling
tepat) termasuk
penggunaan obat yang
kontraindikasi
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
Combivent reps Masalah Dihentikan karena
setiap 4 jam 1 resp M.3.2 Obat tidak pasien mengalami
diperlukan sesak karena
Pneumonia dan
Penyebab rumah pasien dekat
P.1.1 pemilihan obat dengan pabrik.
tidak tepat (bukan untuk
indikasi yang paling
tepat) termasuk
penggunaan obat yang
kontraindikasi
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
Sasak nafas Oksigenasi dengan Masalah Diberikan oksigenasi
kanul nasal M1.4 Ada Indikasi yang dengan kanul nasal
tidak diterapi ketika pasien masuk
Penyebab rumah sakit dan
P1.5 Ada indikasi tapi diberikan terapi non
obat tidak diresepkan farmakologi untuk
Intervensi meredakan gejala
I3.6 Obat baru diberikan sesak.
Paracetamol Inj 3 x Masalah Paracetamol Inj 3 x
500 mg M.3.2 Obat tidak 500 mg dihentikan
diperlukan hal ini dikarenakan
pada data kasus
- Penyebab diketahui suhu badan
P.1.2 tidak ada indikasi pasien 36,3 oc yang
penggunaan obat atau merupakan suhu
indikasi obat tidak jelas normal tubuh,
paracetamol dapat
Inervensi diberikan kembali
I 3.5 obat dihentikan apa bila suhu tubuh
pasien meningkat
Infus adona 1 amp + Masalah Infus adona 1 amp +
ns 500 ml/8 jam M.3.2 Obat tidak ns 500 ml/8 jam
diperlukan dihentikan hal ini
dikarenakan pada
Penyebab FIR tidak ditemukan
P.1.2 tidak ada indikasi adanya pendarahan
penggunaan obat atau pada pasien
indikasi obat tidak jelas
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
-
Asam tranexamat Masalah Asam tranexamat
M.3.2 Obat tidak dihentikan hal ini
diperlukan dikarenakan pada
FIR tidak ditemukan
Penyebab adanya pendarahan
P.1.2 tidak ada indikasi pada pasien
penggunaan obat atau
indikasi obat tidak jelas
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
Sucralfate syr 3 x 1 Masalah Sucralfate syr 3 x 1
M.3.2 Obat tidak resp dihentikan hal
diperlukan ini dikarenakan pada
FIR tidak ditemukan
Penyebab adanya
P.1.2 tidak ada indikasi maag/gangguan
penggunaan obat atau gastrointestinal
indikasi obat tidak jelas lainnya pada pasien
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
- Omeprazole 40 mg Masalah Omeprazole 40 mg
inj 2 x 40 mg M.3.2 Obat tidak inj 2 x 40 mg
diperlukan dihentikan hal ini
dikarenakan pada
Penyebab FIR tidak ditemukan
P.1.2 tidak ada indikasi adanya
penggunaan obat atau maag/gangguan
indikasi obat tidak jelas gastrointestinal
lainnya pada pasien
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
Acitral syr 3 x 15 ml Masalah Acitral syr 3 x 15 ml
M.3.2 Obat tidak dihentikan hal ini
diperlukan dikarenakan pada
FIR tidak ditemukan
Penyebab adanya
P.1.2 tidak ada indikasi maag/gangguan
penggunaan obat atau gastrointestinal
indikasi obat tidak jelas lainnya pada pasien
Inervensi
I 3.5 obat dihentikan
Mual muntah Masalah Digunakan
M1.4 Ada Indikasi yang domperidon 20 mg 3-
tidak diterapi 4 kali sehari
Penyebab
P1.5 Ada indikasi tapi
obat tidak diresepkan
Intervensi
I3.6 Obat baru diberikan
Monitoring
Efektivitas
Monitoring gejala sesak, batuk, demam, mual dan muntah pasien
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, diketahui pasien atas nama Tn. NN usia 25 tahun di diagnose infeksi
Pneumonia CAP (dikarnakan ditemukannya bakteri gram positif pada kultur sputum. Pada saat
masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas sejak kemarin, batuk berdahak , mual dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD: 120/70 mmHg, Nadi: 120 x/menit, suhu: 36,3℃, RR:
12 x/menit, dan sarturasi O2: 98%. Dilakukan test hematologi (tes darah) dimana nilai WBC:
290mm³, Hb: 12,7 g/dL, Kalium: 3,27 mg/dL, Chloride: 103 mg/dL, CRP Quantitative: 47,16
mg/L, pH darah: 7,298 mg/L, PO2: 60,1 mmHg, PCO2: 49,1 mmHg, SO2: 87%, dan TCO2: 25%.
Informasi lain yg didapatkan dari pasien yaitu, pasien tinggal didekat pabrik.
Pada khasus ini dilakukan penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia kumuniti dengan
menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team
(PORT). Berdasarkan kasus, nilai yang didapatkan yaitu 85 yang merupakan persayaratan rawat
inap. Akan tetapi, menurut PDPI (2003). Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu
di rawat inap bila dijumpai salah satu dari criteria seperti frekuensi nafas > 30/menit, PaO2/FiO2
kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, foto toraks paru
melibatkan > 2 lobus (tekanan sistolik <90 mmHg & tekanan diastolic >60 mmHg). Pada kasus,
nilai PaO2 pasien yaitu 60.1 mmHg yang artinya berdasarkan persyaratan PDPI nilai tersebut
memenuhi untuk pasien harus mendapatkan terapi rawat inap.
Terapi Framakologi
Pasien telah mendapatkan terapi : infus adona 1 amp + ns 500 ml/8 jam, infus aminophyllin
240 mg inj dalam ns 500 ml/8 jam, ns 3% 3 x 5 ml for nebul (stop tgl 14 jan), paracetamol inj 3 x
500 mg, codein 10 mg tab 3 x 1 (stop tgl 14 jan), acetlysisteine 200 mg tab 3 x 1, asam tranexamat
500 mg inj 3 x 1, levofloxacin inj 1 x 750 mg, cefoperazone inj 2 x 1 gram, combivent reps setiap
4 jam 1 resp, flixotide reps 3 x 1 rep, methylprednisolon inj 3 x 625 mg, sulcrafat syr 3 x 15 ml,
omeprazole 40 mg inj 2 x 40 mg, acitral syr 3 x 15 ml. Berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh
pasien ketika masuk rumah sakit yaitu pneumonia CAP, mual muntah, batuk berdahak, dan sesak
maka ditemuka DRP, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pasien mengalami pneumonia yang termasu dalam Pneumonia CAP (Community-acquired
pneumonia), hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan kultum sputum yang positif Streptococcus
viridian. Dimana Pneumonia CAP tanpa modifikasi yang didapatkan di masyarakat dan tidak
dicurigai adanya pneumonia atipatik. Menurut guedline lini pertama pada pengobatan Pneumonia
CAP rawat inap adalah dengan menggunakan antibiotic golongan betalaktam +antibetalaktase iv,
atau sefalosporin G2 dan G3 iv atau Fluorokuinolon respirasi iv. Pada khasus ini diberikan
antibiotika levofloksasin inj 1 x 750 mg selama 3 hari dan diganti dengan levofloxacin oral 1x 750
mg selama 7 hari. Hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial.
Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ke tersediaan antibiotic yang diberikan secara
iv dan antibiotic oral yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotic iv yang telah
digunakan.
Berdasarkan Jurnal Levofloxacin adalah fluoroquinolone yang memiliki spektrum aktivitas
luas terhadap beberapa patogen bakteri penyebab pneumonia yang didapat masyarakat (CAP).
Efectivitas dan tolerabilitas levofloxacin 500 mg sekali sehari selama 10 hari pada pasien dengan
CAP memiliki efektivitas yang baik dan juga levofloxacin sekali sehari (750 mg) dosis pendek (5
hari) juga memiliki efektifitas yang baik sehingga disetujui untuk digunakan di AS dalam
pengobatan CAP, sinusitis bakteri akut, pielonefritis akut, dan infeksi saluran kemih. Levofloxacin
dapat digunakan sebagai monoterapi pada pasien dengan CAP (Norredin. 2010).
Berdasarkan Jurnal The Comparative Antimicrobial Activity Of Levofloxacin Tested
Against 350 Clinical Isolates Of Streptococci yang membandingkan aktivitas levofloxacin dengan
fluoroquinolones lainnya, beta-laktam (penisilin dan sefalosporin), erythromycin, dan vancomycin
terhadap bakteri streptokokus. Hasil yang didapatkan semua isolat dihambat oleh konsentrasi
levofloxacin <atau = 2 mikrogram / ml termasuk semua kelompok viridans yang resisten terhadap
penisilin dan strain pneumokokus. Levofloksasin memiliki efectifitas yang lebih baik
dibandingkan golongan fluoroquinolones lainnya, penisilin, sefalosporin, dan eritromisin,
sedangkan semua strain tetap rentan terhadap vankomisin. Levofloxacin adalah bakterisida
terhadap sebagian besar streptokokus dan telah meningkatkan aktivitas bila dikombinasikan
dengan gentamisin. Hasil ini menunjukkan bahwa levofloxacin saja atau dalam kombinasi dengan
aminoglikosida dapat terbukti bermanfaat sebagai alternatif untuk terapi konvensional dari infeksi
streptokokus viridans (Biedenbach, 1996).
Berdasarkan guedline dan EBM yang didapatkan maka untuk penatalaksanaan terapi
Pneumonia CAP rawat inap pada pasien NN digunakan Levofloksasin inj 1 x 500 mg selama 3
hari dan diganti dengan levofloxacin oral 1x 500 mg selama 7 hari. Serta Cefoperazone inj 2 x 1
gram dihentikan karena didapatkah hasil dari EBM bahwa levofloksasin lebih efekif pada
pengobatan bakteri Streptococcus viridans dibandingkan dengan Cefoperazone.
Pada khasus ini pasien juga mengalami keluhan sesak nafas namun pasien tidak memiliki
riwayat asma, dimana pada terapi sebelumnya sudah diberikan obat asma yaitu infus aminophyllin
240 mg inj dalam ns 500 ml/8 jam, ns 3% 3 x 5 ml for nebul (sudah dihentikan pada tanggal 14),
combivent reps setiap 4 jam 1 resp, Flixotide reps 3 x 1 rep, methylprednisolon inj 3 x 625 mg.
Dimana penggunaan obat semuanya dihentikan karena pasien tidak memiliki riwayat asma namun
pasien sesak dikarenakan pneumonia. Infeksi bakteri, jamur, dan virus merupakan penyebab utama
seseorang bisa mengalami pneumonia. Zat asing penyebab infeksi akan menyerang kantung udara
yang membuat tubuh kehilangan oksigen untuk masuk ke dalam darah. Akibatnya, sel-sel organ
tubuh lain tidak berfungsi dengan baik karena kekurangan oksigen sehingga dapat menimbulkan
sesak nafas. Terapi yang diberikan adalah pemberian oksigenasi dengan kanul nasal ketika masuk
rumah sakit (Rezky,2017).
Berdasarkan penelitian pada pasien pneumonia dengan gejala sesak, dilakukan upaya
memperbaiki kebersihan jalan nafas dengan cara diajarkan latihan nafas dalam, berikan oksigen
yang cukup, anjurkan pasien semi folwer dan anjurkan pasien beristirahat. Didapatkan hasil bahwa
dengan terapi tersebut efektif dalam mengurangi gejala sesak nafas yang dialami pasien
(Rezky,2017).
Pasien tidak mengalami pendarahan ketika masuk rumah sakit namun pada terapi
sebelumnya pasien diberikan obat yang memiliki indikasi sebagai menghentikan pendarahan yaitu
infus adona 1 amp + ns 500 ml/8 jam, asam tranexamat. Berdasarkan keluhan pasien maka infus
adona 1 amp + ns 500 ml/8 jam, asam tranexamat dihentikan karena pasien tidak mengalami
pendarahan (Medscape).
Pasien mengalami batuk berdahak, sedangkan pada terapi sebelumnya diberikan obat batuk
codein 10 mg tab 3 x 1 namun sudah di stop pada tanggal 14 dan acetlysisteine 200 mg 3x1 yang
tetap dilanjutkan. Codein merupakan obat batuk antitussive (obat batuk kering) sedangkan
Acetlysisteine merupakan obat batuk mukolitik yang berfungsi untuk mengencerkan dahak dengan
dosis untuk orang dewasa 600 mg/hari (Drug.com). Berdasarkan keluhan pasien yaitu batuk
berdahak maka pemberian obat Acetlysisteine 200 mg 3x1 dilanjutkan. Diberikan 200mg 3x1
karena umur pasien termasuk dewasa yaitu 25 tahun dan codein dihentikan.
Sebanyak 161 pasien memenuhi syarat untuk pengacakan (81 untuk kelompok N-
asetilsistein dan 80 untuk kelompok kontrol). Selama 12 bulan follow-up, kejadian eksaserbasi
pada kelompok N-asetilsistein secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol
(1,31 vs 1,98) eksaserbasi per pasien-tahun; rasio risiko, 0,41; 95% CI, 0,17- 0,66; P = 0,0011).
Jumlah rata-rata eksaserbasi pada kelompok N-acetylcysteine adalah 1 (0,5-2), dibandingkan
dengan 2 (1-2) pada kelompok kontrol (U = - 2,95, P = 0,003). Sebanyak 24,7% dari pasien
kelompok N-acetylcysteine dan 11,3% dari pasien kelompok kontrol tetap bebas eksaserbasi
selama tindak lanjut 12 bulan (χ2 = 4,924, P = 0,026). Dibandingkan dengan kelompok kontrol,
volume dahak 24 jam pada kelompok N-acetylcysteine berkurang secara signifikan (t = - 3.091, P
= 0,002). Selain itu, kelompok N-acetylcysteine menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam
kualitas hidup. Tidak ada efek samping parah yang dilaporkan pada kelompok intervensi (Qian Qi,
2019).
Berdasarkan jurnal penelitian ventilator-related-pneumonia (VAP) ditandai oleh morbiditas,
mortalitas, dan lama tinggal yang lama di unit perawatan intensif (ICU). Penelitian ini bertujuan
untuk menguji efek N-asetil-sistein (NAC) dalam mencegah VAP pada pasien yang dirawat di
ICU. Kami melakukan percobaan prospektif, acak, double-blind, terkontrol plasebo dari 60 pasien
dengan ventilasi mekanik yang berisiko tinggi terkena VAP. NAC (600 mg / dua kali sehari) dan
plasebo (dua kali sehari) diberikan kepada kelompok NAC (n = 30) dan kelompok kontrol (n =
30), masing-masing, melalui tabung nasogastrik di samping perawatan rutin. Respon klinis
dianggap sebagai primer (kejadian VAP) dan hasil sekunder. Dua puluh dua (36,6%) pasien
mengembangkan VAP. Pasien yang diobati dengan NAC secara signifikan lebih kecil untuk
mengembangkan VAP yang dikonfirmasi secara klinis dibandingkan dengan pasien yang diobati
dengan plasebo (26,6% vs 46,6%; P = 0,032). Pasien yang diobati dengan NAC memiliki lama
rawat inap yang secara signifikan lebih sedikit (14,36 ± 4,69 hari vs 17,81 ± 6,37 hari, P = 0,028)
dan lebih sedikit tinggal di rumah sakit (19,23 ± 5,54 hari vs 24,61 ± 6,81 hari; P = 0,03)
dibandingkan pasien yang diobati dengan plasebo. Waktu untuk VAP secara signifikan lebih lama
pada kelompok NAC (9,42 ± 1,9 hari vs 6,46 ± 2,53 hari; P = 0,002). Insiden pemulihan lengkap
secara signifikan lebih tinggi pada kelompok NAC (56,6% vs 30%; P = 0,006). Tidak ada kejadian
buruk yang terkait dengan NAC yang diidentifikasi. NAC aman dan efektif untuk mencegah dan
menunda VAP, dan meningkatkan tingkat pemulihan lengkapnya pada populasi ICU terpilih yang
berisiko tinggi (Mojtaba, 2018).
Pasien mengalami demam sebelum masuk rumah sakit namun ketika sudah masuk rumah
sakit suhu tubuh pasien 36,3 ℃ . Sebelumnya pasien telah diterapi dengan obat antipiretik yaitu
paracetamol inj 3 x 500 mg. Menurut WHO suhu tubuh normal dewasa adalah 36,5 – 37,5 ℃ ,
suhu tubuh pasien termasuk rentang normal maka paracetamol dihentikan (WHO, ). Apabila suhu
tubuh pasien meningkat kembali atau pasien mengalami demam maka dapat diberikan kembali
paracetamol dosis dan bentuk sediaan yang menyesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada khasus pasien mengalami mual dan muntah namun pasien tidak memiliki riwayat
maag. Pada terapi sebelumnya pasien diberikan obat maag yaitu sucralfate syr 3 x 1, omeprazole
40 mg inj 2 x 40 mg acitral syr 3 x 15 ml maka dari itu terdapat DRP, tidak ada indikasi
penggunaan obat atau indikasi obat tidak jelas. Sehingga ketiga obat tersebut dihentikan
penggunaannya dan diberikan domperidon untuk mengobati mual dan muntah yang dialami
pasien. Dosis domperidon yang digunakan adalah 20 mg 3-4 kali sehari untuk mengurangi mual
dan muntah (Drug.com).
MONITORING
EVALUASI
DAPUS
Qian Qi,1,2 Yirepanjaing Ailiyaer dkk. 2019. Effect of N-acetylcysteine on exacerbations of
bronchiectasis (BENE): a randomized controlled trial. 20: 73.
Dapus : Norredin. 2010. Levofloxacin in the treatment of community-acquired pneumonia.
NCBI
Pud med. · January 1980 Postoperative vomiting treated with domperidone. A double-blind
comparison with metoclopramide and a placebo. 31(2):129-37
Mojtaba Sharafkhah,1 Ali Abdolrazaghnejad, dkk. Safety and efficacy of N-acetyl-cysteine
for prophylaxis of ventilator-associated pneumonia: a randomized, double blind, placebo-
controlled clinical trial. 2018. 8(1): 19–23.