Anda di halaman 1dari 21

YAYASAN ANUGERAH HUSADA BALI INDONESIA

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI


Jl. Tantular Barat No. 9 Renon Denpasar – Bali 80114 , Telp. (0361) 474 7770 Kode PT: 082007
e: iik.medali@gmail.com ; w :www.iikmpbali.ac.id
WORKSHEET DISKUSI KASUS HEPATITIS

NAMA KELOMPOK
1. Ni Wayan Mita Arisia (18021011)
2. Ni Komang Vera Vidianti (18021012)
3. Luh Ayu Anisa Dewi (18021013)
4. Komang Ayu Purnama Sari (18021014)
5. I Dewa Ayu Diah Yuniantari (18021015)

ATURAN DISKUSI
1. Buatlah kasus dibawah ini dalam format SOAP!
2. Apakah tanda dan gejala yang mengindikasikan pasien benar menderita hepatitis B dan
C!
3. Apakah faktor risiko yang menyebabkan pasien menderita hepatitis?
4. Adakah tambahan informasi (FIR) yang kalian perlukan untuk rencana terapi pasien?
5. Apakah tujuan terapi dari kasus dibawah ini?
6. Apakah rencana terapi yang sudah diberikan oleh dokter sudah tepat?
7. Hal apa saja yang perlu dimonitoring (efektivitas dan efek samping obat) dari kasus
pasien dibawah ini?

KASUS HEPATITIS B DAN C KRONIK

Seorang laki-laki 33 tahun ras Cina pekerjaan wiraswasta datang ke Internis dengan
keluhan kepala terasa berat sejak 1 bulan. Kepala terasa berat ini terutama dirasakan setiap pagi
hari dan mulai berkurang pada siang dan malam hari. Tetapi akhir-akhir ini kepala terasa berat
dirasakan hampir setiap hari. Penderita juga mengeluh lemah pada badan yang juga dirasakan
sejak 1 bulan. Terasa pegal-pegal pada seluruh badan kadang disertai flu, dan badan sumer-
sumer. Kadang-kadang penderita juga mengeluh mual-mual tapi tidak sampai muntah. Terasa
tidak enak di bagian ulu hati seperti terasa penuh berisi makanan. Penderita juga mengeluh perut
kanan atas terasa sebah, tidak pernah mengeluh mata kuning, tidak pernah mengeluh kencing
warna seperti air teh.
Penderita tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. Penderita mempunyai
kebiasaan minum-minuman beralkohol, kebiasaan memakai narkoba dengan jarum suntik serta
narkoba jenis yang diminum. Tetapi sejak penderita sakit, penderita sudah berhenti minum-
minuman keras dan memakai narkoba. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita dengan
kesadaran kompos mentis, keadaan umum baik, pada lengan penderita tampak tatto, status gizi
penderita baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit regular, isi cukup, respirasi 18
x/mnt, dengan temperatur aksila 36,20 C. pada pemeriksaan mata pada konjungtiva palpebra
tidak ada anemi, sklera tidak icterus, tidak ada odema palpebra. Pada pemeriksaan THT tidak
ditemukan kelainan. Pemeriksaan dada tampak simetris, suara nafas vesikuler, ronchi tidak ada,
wheezing tidak ada. Suara jantung S1 dan S2 tunggal, murmur tidak ada. Pemeriksaan abdomen
tidak tampak distensi, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan
ekstremitas hangat dan tidak ditemukan edema.
Dari pemeriksaan laboratorium tanggal 23 Nopember 2005 didapatkan SGOT 165 U/l,
SGPT 119 U/l, bilirubin total 0,84 mg/dl, bilirubin direk 0,13 mg/ dl, glukosa puasa 85 mg/dl,
kolesterol total 179 mg/dl, kolesterol LDL 140 mg/dl, kolesterol HDL 34 mg/dl, TG 107 mg/dl,
asam urat 8,4 mg/dl.
Pada tanggal 26 Nopember 2005 diperiksa HBsAg (+), anti HCV (+), serum kreatinin 0,9
mg/dl, ureum 29 mg/dl. Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan WBC 12,3 /ul, HGB 14,9
g/dl, PLT 182 x103 /ul. USG abdomen didapatkan hasil liver ukuran membesar, permukaan rata
tepi tajam, echoparenchyme meningkat difuse, tidak tampak nodul, liver kidney contrast (+),
lain-lain kesan normal. Kesan USG adalah fatty liver.
Dari pemeriksaan imunoserologi tanggal 28 Nopember 2005 didapatkan anti HCV
reaktif, anti HBc IgM non reaktif, HBeAg reaktif, anti HBe non reaktif.
Pada tanggal 30 Nopember 2005 pemeriksaan protrombin time 11,7 detik, INR 0,7.
HCV-RNA (+) 1,61 x 103 IU/ml, pada tanggal 2 Desember dilakukan Biopsi hati pemeriksaan
mikroskopis didapatkan jaringan hepar dengan portal triads, sel hepar dengan balloning
degeneration dan focal necrosis, lobolus hepar sebagian besar masih baik, pada daerah portal
sudah ada moderate piece meal necrosis dan moderate portal infiltrate of inflamatory cells (grade
3), sudah ada fibrosis periportal dan belum ada portal to portal fibrosis (stage 1). Sirosis tidak
ada, tidak ada tanda-tanda keganasan. Kesimpulan diagnosis PA adalah kronik hepatitis (B dan
C) with moderate piece-meal necrosis dan moderate portal infiltrate (inflamatori grade 3) with
fibrotic portal tracts (stage 1). Pada jaringan biopsi hepar telah dilakukan
ASPCR dengan hasil adanya mutasi pada gen p53 pada kodon 249.
Penderita diterapi dengan PEG INF alfa 80 mg/ minggu, ribavirin 6 tablet/hari, 3TC 100
mg/hr. Terapi ini diberikan selama 6 bulan. Selama masa pengobatan penderita tidak
menunjukkan intoleransi terhadap obat-obatan anti virus tersebut. Berdasarkan evaluasi ulangan
dalam 1 bulan terapi dilakukan pemeriksaan pada tangal 11 Januari 2006 dengan HCV-RNA
virus tidak terdeteksi.
Pada tanggal 6 Juli 2006 dilakukan pemeriksaan HBsAg (+), HBeAg (+), SGOT 25 U/L,
SGPT 32 U/L. HCV-RNA kualitatif (-), tapi HBsAg masih (+) dengan SGPT dan SGOT masih
dalam batas normal sehinga pada tanggal 6 Juli 2006 3TC di hentikan pemberiannya. Pada
evaluasi ulangan tanggal 7 Agustus 2006 didapatkan kadar SGPT 91,9 U/L, SGOT 51,3 U/ L.
Pemeriksaan USG abdomen kesan tidak jauh berbeda dengan USG sebelumnya yaitu fatty liver.

Jawaban Diskusi :
1. Lembar Soap

PHARMACEUTICAL

CARE PATIENT

PROFILE
Tn. / Ny.

Jenis Kelamin : laki-laki Tgl. MRS :


Usia : 33 tahun Tgl. KRS :
Tinggi badan

: Berat badan

Presenting Complaint
Pasien mengeluh kepala terasa berat sejak 1 bulan setiap pagi hari dan mulai berkurang pada
siang dan malam hari tetapi akhir-akhir ini dirasakan hampir setiap hari. Pasien juga
mengeluh lemah pada badan sejak 1 bulan, terasa pegal-pegal seluruh badan kadang disertai
flu, dan badan sumer-sumer, mual-mual tapi tidak sampai muntah, tidak enak dibagian ulu
hati, perut kanan atas terasa sebah.
Diagnosa kerja :

Diagnosa banding :
 Relevant Past Medical History:

Drug Allergies: tidak ada

Tanda-tanda Vital

Tekanan darah 120/80 mmHg

Nadi 80x/menit

Suhu 36,20 0 c

RR 18x/menit
MEDICATION

No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Literatur


digunakan
1 PEG INF Alfa Hepatitis C kronik 80 mg/minggu Peginterferon alfa-2a (pegasys)
diberikan dalam bentuk injeksi.
Untuk terapi tunggal dosisnya 180 mcg
1 kali seminggu. (Primawati,2008)
2 Ribavirin Obat yang digunakan untuk 6 tablet/hari Pemberian 1000-1200mg/hari dlm 2
mengobati Hepatitis C kronis dosis terbagi (pagi dan malam), dalam
dalam kombinasi dengan kombinasi dengan larutan injeksi
interferon alfa 2b, bronkiolitis interferon alfa-2b selama 24-48 minggu
berat karena respiratory untuk pasien yang belum mendapat
synctial virus (RSV) pengobatan atau selama 24 minggu
untuk pasien kambuhan. Dosis ribavirin
tergantung berat badan pasien. Berat
badan kurang dari atau sama dengan 75
kg (1000mg/hari) dengan cara 400 mg
pagi hari dan 600 mg malam hari.
Berat badan > 75 kg = 1200mg/hari
dengan cara 2 x 600 mg.
(PIONAS,2015)
3 3TC-HBV Peradangan pada organ hati 100 mg/hari Dosis 3TC yang dianjurkan untuk
yang disebabkan oleh virus dewasa adalah 300mg setiap hari: boleh
Hepatitis B (HBV) satu tablet 300mg sehari, atau satu
tablet 150mg dua kali sehari. Ada
usulan agar takaran dikurangi untuk
orang dengan berat badan di bawah
50kg, walau pengurangan ini jarang
dilakukan. 3TC dapat dipakai dengan
makanan atau antara makan.
LABORATORY TEST
Test (normal range) 23/11/2005
WBC (4000-10000/mm3) 12,3/ul
Hb (L: 13-17 g/dL) 14,9 g/dl
RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000-450000/mm3) 182 x 103/ul
Gula darah puasa (76-110 mg/dL) 85 mg/dl
Gula darah 2 jam PP (90-130 mg/dL)
Cholesterol (150-250 mg/dL) 179 mg/dl
TG (50-200 mg/dl) 107 mg/dl
Uric acid (L:3,4-7 mg/dL) 8,4 mg/dl
Albumin (3,5-5,0 g/dL)
SGOT (0-35 u/L) 165 U/l
SGPT (0-37 u/L) 119 U/l
BUN (10-24 mg/dL) 29 mg/dl
Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl) 0,9 mg/dl
Natrium (135-15 mEq/L)
Kalium (3,5-5,0 mEq/L)

No Further Information Required Alasan


1. Sejak kapan pasien mengalami flu? Untuk menentukan terapi lanjutan, karena
dilihat dari gejala pasien mengatakan bahwa
badan terasa pegal ditambah dengan flu
2. Apakah keluarga pasien memiliki Riwayat penyakit keluarga sangat penting
riwayat penyakit hepatitis? diketahui untuk pemeriksaan/pemberian terapi
lanjutan
3. Bagaimana aktivitas keseharian Aktivitas keseharian juga sangat penting untuk
pasien? menentukan terapi lanjutan
4. Apakah pasien pernah melakukan Untuk menentukan terapi yang sesuai dan
pengobatan sebelumnya? mencegah terjadinya interaksi obat
5. Sudah berapa lama pasien Untuk menentukan terapi yang sesuai
mengonsumsi narkoba?
6. Apakah jarum suntik yang digunakan Untuk mendiagnosa penyakit pasien apakah
pasien apakah sudah pernah dipakai kemungkinan tertular melalui jarum suntik yang
atau masih baru? terkontaminasi
7. Apakah ada data terkait tipe HCV Untuk menentukan terapi yang sesuai
genotipe pasien?
Problem List (Actual Problem)
Medical Pharmaceutical
1 1
2 2
3 3
4 4
5 5
PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)

Laki-laki usia 33 tahun ras Cina pekerjaan wiraswasta datang ke Internis dengan keluhan
kepala terasa berat sejak 1 bulan lalu, dirasakan setiap pagi hari dan mulai berkurang pada siang dan
malam hari. Penderita juga mengeluh lemah pada badan yang juga dirasakan sejak 1 bulan. Terasa
pegal-pegal pada seluruh badan kadang disertai flu, dan badan sumer- sumer. Kadang-kadang
penderita juga mengeluh mual-mual tapi tidak sampai muntah. Terasa tidak enak di bagian ulu hati
seperti terasa penuh berisi makanan. Penderita juga mengeluh perut kanan atas terasa sebah.

- Objective (signs)
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 80x/menit
Suhu 36,20 0 c
RR 18x/menit

LABORATORY
TEST
Test (normal range) 23/11/2005 26/11/2005 28/11/2005 30/11/2005 06/7/2005 07/8/2005
WBC (4000-10000/mm3) 12,3/ul
Hb (L: 13-17 g/dL) 14,9 g/dl
RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000- 182 x 103/ul
450000/mm3)
Gula darah puasa (76-110 85 mg/dl
mg/dL)
Gula darah 2 jam PP
(90-130 mg/dL)
Cholesterol (150-250 179 mg/dl
mg/dL)
Cholesterol LDL 140mg
Cholesterol HDL 34 mg/dl
TG (50-200 mg/dl) 107 mg/dl
Uric acid (L:3,4-7 mg/dL) 8,4 mg/dl
Albumin (3,5-5,0 g/dL)
SGOT (0-35 u/L) 165 U/l 25 U/l 51,3 U/l
SGPT (0-37 u/L) 119 U/l 32 U/l 91,9U/l
BUN (10-24 mg/dL)
Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl) 0,9 mg/dl
Natrium (135-15 mEq/L)
Kalium (3,5-5,0 mEq/L)
Bilirubin total 0,84 mg/dl
Bilirubin direk 0,13 mg/dl
HbsAg + +
HbeAg + +
Anti HCV + +
HCV-RNA + -

Assesment (with evidence)


PM TERAPI DRP EBM
Hepatitis B PEG INF alfa 80 Tidak ada DRP
Pemberian interferon 4,5 mu atau
dan C mg/minggu
5 mu seminggu 3x selama 4-6
bulan dapat efektif. Apabila
pengobatan diberikan selama 12
bulan makan angka serokonversi
HBeAg akan lebih meningkat.
Pemberian monoterapi dengan
pegylated IFN- α-2a menghasilkan
angka keberhasilan serokonversi
HBeAg lebih tinggi dibanding
IFN- α2a konvensional (Heri,
2017).
3TC 100 mg/ hari Tidak ada DRP Pemberian lamivudin 100 mg/hari
(Lamivudin)
selama 1 tahun dapat menekan
HBV DNA, normalisasi ALT,
serokonversi HBeAg, dan
mengurangi progresi fibrosis
secara bermakna dibandingkan
plasebo. Namun lamivudin
memicu resistensi. Dilaporkan
bahwa resistensi terhadap
lamivudin sebesar lebih dari 32%
setelah terapi selama 1 tahun, dan
menjadi 57% setelah terapi selama
3 tahun. Resiko resistensi
terhadap lamivudin meningkat
dengan semakin lamanya
pemberian. (Primawati,2008)
Ribavirin 6 M3. 2 Obat tidak Kombinasi IFN alfa-2b dengan
tablet/hari
diperlukan ribavirin dapat menyebabkan
I3. 5 Obat dihentikan monoterapi yang bersifat adekuat
sehingga hrus dikombinasikan
dengan penggunaannya,
penggunaan ribavirin yang
dikombinaskan dengn IFN alfa-2b
yang dapat menyebabkan
mekanisme dalam tubuh terjadi
penghambatan langsung replikasi,
peghambatan enzim inosine
monophosphate dehydrogenase
serta imunomodulasi dengan
menginduksi respon imun.
Kombinasi ribavirin dan IFN alfa-
2b kurang efektif dibandingkan
kombinasi penginterferon alfa dan
ribavirin.

DRP (Drug Related Problem)

1. Ribavirin

O2.O Masalah terselesaikan sebagian

M3. 2 Obat tidak diperlukan

I3. 5 Obat dihentikan


Plan (Including primary care implications)
1. PEG INF Alfa
EBM :

Terapi yang direkomendasikan dalam pengobatan hepatitis C adalah interferon alfa pegilasi
(PEG-IFNα: PEG-IFNα2a atau PEG-IFNα2b) dan analog nukleos(t)ida (NA: ribavirin, sofosbufir,
simeprevir, daclatasvir, sofosbuvir/ ledipasvir, parviritaprevir/omb dan dasabuvir. Dosis
PEG-IFNα adalah injeksi subkutan sekali seminggu 180 g atau kurang untuk PEG-IFNα2a dan 1,5
g/kg atau kurang untuk PEG-IFNα2b. Dosis NA adalah sekali hingga dua kali sehari. Durasi terapi
adalah 12 sampai 24 minggu tergantung pada genotipe virus yang menginfeksi (European
Association for the Study of the Liver, 2016).

Pada pasien HBeAg + dengan SGPT yang lebih besart 3x dari BANN, respons angka
keberhasilan terapi interferon adalah sekitar 30-40% dibandingkan 10-20% pada kontrol.
Pemberian interferon 4,5 mu atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif. Apabila
pengobatan diberikan selama 12 bulan makan angka serokonversi HBeAg akan lebih meningkat.
Pemberian monoterapi dengan pegylated IFN- α-2a menghasilkan angka keberhasilan
serokonversi HBeAg lebih tinggi dibanding IFN- α2a konvensional (Heri, 2017).

Pada pasien dengan kadar SGPT pra-terapi yang lebih rendah (1,3-3x ULM) angka
serokonversi HBeAg lebih rendah tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian kortikosteroid
sebelum terapi interferon. Namun demikian efek samping yang hebat pernah dilaporkan akibat
penggunaan cara ini. Bila serokonversi HBeAg ke anti HBe tercapai, maka akan menetap pada
lebih dari 80% kasus (Heri, 2017).

Pasien hepatitis B kronik aktif dengan HBeAg negatif, anti HBe positif, HBV DNA positif
juga memberikan respons selama terapi interferon, tetapi biasanya terjadi relaps pada akhir terapi.
Pengobatan ulangan dengan IFN- α menunjukkan angka keberhasilan respons 20-40% baik pada
HBeAg positif maupun negative (Heri, 2017).

Pada penelitian jangka panjang ditemukan bahwa serokonversi HBeAg, baik yang diinduksi
oleh terapi interferon atau secara spontan, bermanfaat untuk kelangsungan hidup, kejadian gagal
hati dan mencegah HCC. Pengobatan interferon biasanya berhubungan dengan efek samping
seperti flu, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya masih dapat ditoleransi, namun kadang-
kadang perlu dilakukan modifikasi dosis. Lama terapi interferon standar adalah 4-6 bulan
sedangkan pegilated interferon adalah 12 bulan (Heri, 2017).

2. Lamivudin
EBM :
Kemudian untuk terapi 3 TC (lamivudine) distop karena Pemberian kombinasi terapi antiviral
pada hepatitis B yaitu pemberian INF dan lamivudin tidak memberikan manfaat berlebih
dibandingkan dengan terapi tunggal interferon saja. (Eka Saputra,2007). Lamivudin merupakan
antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B.
Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT,
serokonversi HBeAg, dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo.
Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar
lebih dari 32% setelah terapi selama 1 tahun, dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun.
Resiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan semakin lamanya pemberian.
(Primawati,2008).
3. Ribavirin
Pada infeksi hepatitis C akut, terapi dilakukan untuk mencegah infeksi virus menjadi kronik.
Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala klinik, HCV RNA
tidak dapat dieliminasi secara spontan. Terapi terpilih untuk kondisi ini adalah pegylated
interferon (α2a dan α2b) dan ribavirin. Dosis yang digunakan untuk pegylated interferon α2a
adalah 180 µg satu kali seminggu atau 1,5 µg/kgbb perminggu untuk pegylated interferon α2b.
Dosis ribavirin yang direkomendasikan untuk pasien koinfeksi hepatitis C dan HIV berbeda-beda,
tergantung kepada jenis genotipe. Untuk genotipe 1 dan 4 dosis yang dianjurkan adalah 1000-
1200 mg/hari, sementara untuk genotipe 2 dan 3, dosis ribavirin yang digunakan adalah 800 mg.
durasi terapi untuk semua genotipe adalah 48 minggu. Akan tetapi, terapi dihentikan, apabila pada
minggu ke 12, hasil pemeriksaan HCV RNA kuantitatif, menunjukkan penurunan kurang dari 2
log. (Hull M, 2016)

Monitoring
 Efektivitas
1. Terapi PEG INF Alfa 80 mg

Untuk kelompok imunomodulasi salah satunya yang sering dipakai adalah


IFN. IFN adalah kelompok protein intra seluler yang normal ada dalam tubuh dan
diproduksi oleh berbagai macam sel. Beberapa kasiat IFN adalah khasiat antiviral,
imunomodulator, antiproliferatif dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat antiviral
langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang
mempunyai kasiat antiviral (Poernomo, 2006; Abdurachman, 1966; Hernomo, 2006).

2. Terapi 3TC (lamivudin)

Lamivudin memantau fungsi hati selama 6 bulan ke depan.

3. Terapi Ribavirin

Obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan
Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon
alfa sendiri.

 Efek Samping Obat


1. Terapi PEG INF Alfa 80 mg
Penggunaan PEG-IFNα berpotensi menimbulkan efek samping yang beratnya
tergantung pada dosis yang diberikan dan lamanya terapi. Efek samping yang umum
adalah kelelahan, anoreksia, penurunan berat badan, demam dan sakit kepala. Efek
samping yang lebih parah adalah neuropsikiatri, seperti depresi emosional dan vertigo
(Pouresmaeeli, 2015).
2. Terapi 3TC (lamivudin)

a. Batuk, pilek, atau hidung tersumbat

b. Sakit kepala

c. Mual

d. Diare

e. Gangguan tidur

(Kemenkes, 2017)

3. Terapi Rabivirin
a. Lemas.
b. Sakit kepala.
c. Insomnia.
d. Anoreksia.
e. Faringitis.
f. Iritabilitas
Form Medication Record

Nama Tanggal Waktu Nama Dosis Alergi Tanda


Pasien Diberikan Pemberian Obat Obat Obat dan Tangan
Obat Obat Reaksi Apoteker
Alergi

2. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang mengindikasikan bahwa pasien menderita Hepatitis B dan C
yaitu, pasien mengalami keluhan kepala terasa berat sejak 1 bulan. Kepala terasa berat
dirasakan terutama setiap pagi hari dan mulai berkurang pada siang dan malam hari. Pasien
juga mengeluh lemah pada badan yang juga dirasakan sejak 1 bulan, terasa pegal-pegal pada
seluruh badan kadang disertai flu, dan badan sumer-sumer. Kadang-kadang panderita juga
mengeluh mual-mual tetapi tidak sampai muntah, terasa tidak enak di bagian ulu hati seperti
terasa penuh berisi makanan, penderita juga mengeluh perut kanan atas terasa sebah, tidak
pernah mengeluh mata kuning, tidak pernah mengeluh kencing warna seperti air teh.

Tanda dan gejala yang dialami pasien tersebut serupa dengan tanda dan gejala yang
timbul dari penyakit Hepatitis B dan C. Hepatitis B akut memiliki gejala yang perlahan yaitu
ditandai dengan gejala hilang nafsu makan, diare dan muntah, letih (malaise), rasa sakit pada
otot, tulang sendi, demam ringan, dan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. (Mustofa &
Kurniawaty, 2013), sedangkan Hepatitis C ditandai dengan gejala-gejala fatique, tidak nafsu
makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas.
3. Faktor Resiko

Faktor risiko hepatitis C adalah penggunaan narkoba suntik, tranfusi darah dan produk
darah, hemodialis, tenaga kesehatan, hubungan seksual multipartner, tato dan tindik tubuh dan
kelahiran dari ibu yang terinfeksi hepatitis C.

4. Tambahan FIR
No Further Information Required A
(FIR) lasan
1 Apakah pasien pernah melakukanUntuk mendiagnosa penyakit pasien
hubungan seksual dengan pasangan
berbeda-beda?
2 Apakah orang terdekat (teman/ Untuk mendiagnosa penyakit
pacar/sahabat) pasien ada yang memiliki pasien apakah tertular melalui
riwayat penyakit hepatitis? kontak langsung dengan penderita
3 Apakah pasien sudah pernah melakukan Untuk mendiagnosa penyakit
vaksin hepatitis sebelumnya? pasien
4 Apakah pasien memiliki riwayat penyakit Untuk menentukan terapi
lain? lanjutan

5. Tujuan Terapi

Secara umum pengobatan hepatitis kronik B dan C dengan antiviral bertujuan untuk
(Soewignjo, 1999 ; Abdurachman, 1966 ; Dienstag, 2005) :

a. Menghentikan replikasi virus

b. HBsAg dan HCV RNA yang negatif

c. Keluhan yang menghilang

d. Proses peradangan hati yang membaik

e. Tingkat penularan yang kurang

f. Mencegah terjadinya sirosis dan KHP

g. Masa harapan hidup yang meningkat

Tujuan pengobatan hepatitis C adalah kesembuhan yang diukur dengan sustained


virological response (SVR). SVR yang dimaksud dimana virus tidak terdeteksi pada saat 12
minggu (SVR12) dan 24 minggu (SVR24) setelah diselesaikannya terapi. SVR ini
berhubungan dengan kesembuhan dan kecil sekali kemungkinan virus untuk muncul kembali
(relaps). Jika SVR tercapai, akan kita jumpai nilai transaminase (SGOT/SGPT) yang normal
serta perbaikan atau hilangnya nekroinflaamsi dan fibrosis pada penderita yang belum
mencapai tahap sirosis. Untuk mencegah komplikasi seperti sirosis dan karsinoma
hepatoselular, serta mencegah transmisi lebih lanjut. Dengan demikian, dengan tercapainya
SVR, diharapkan:

1. Mencegah komplikasi hepatic maupun ekstrahepatik

2. Meningkatkan kualitas hidup dan membuang stigma di masyarakat

3. Mencegah penularan infeksi hepatitis

Terapi pada hepatitis C kronis ditujukan untuk semua pasien baik belum maupun
pernah diterapi sebelumnya, menginginkan untuk mendapatkan terapi, dan tidak memiliki
kontraindikasi terapi. Namun, terdapat kelompok pasien tertentu yang mendapat prioritas
untuk mendapatkan terapi. Secara umum, pasien yang memiliki derajat keparahan yang berat
harus diprioritaskan. Berikut ini adalah kelompok pasien yang menjadi priotitas untuk
mendapatkan terapi hepatitis C kronik:

1. Pasien dengan fibrosis yang signifikan (METAVIR F2 atau F3) atau sirosis
(METAVIR F4), termasuk sirosis dekompensata

2. Pasien dengan manifestasi ekstrahepatik yang signifikan seperti cryoglobulinemia


dengan vasculitis, nefropati terkait kompleks imun HCV, limfoma non-Hodgkin

3. Rekurensi HCV pasca transplantasi hati

4. Pasien dengan risiko progresivitas penyakit yang cepat akibat komorbiditas.


Contohnya adalah penerima transplantasi organ pada atau stem sel, koinfeksi
hepatitis B (HBV), diabetes

5. Kelompok yang berisiko menular atau tertular hepatitis C seperti pemakai narkoba
suntik (penasun), atau lelaki penyuka lelaki dengan perilaku seksual berisiko tinggi.
Pada kelompok tersebut selain dilakukan terapi, diberikan edukasi mengenai risiko
reinfeksi dan upaya prepentif setelah berhasilnya terapi.

6. Rencana terapi yang diberikan sudah benar

1. Terapi PEG INF Alfa 80 mg

Penggunaan peginterferon alfa-2a dan interferon alfa terbatas karena keberhasilan


kurang dari 50% dan sering terjadi kekambuhan. Terapi sebaiknya dihentikan jika tidak
terjadi perbaikan dalam waktu 3-4 bulan. Peginterferon alfa-2a dan interferon alfa
dikontraindikasikan pada keadaan decompensated liver disease, namun tetap dapat
digunakan dalam dosis rendah disertai dengan kewaspadaan yang tinggi. 

2. Terapi 3TC (lamivudin)

Lamivudine, adalah analog nukleosida pertama yang disetujui untuk pengobatan


hepatitis B kronis. Lamivudine efektif dalam mempromosikan serokonversi HBeAg,
penekanan DNA HBV, normalisasi ALT dan mengurangi perkembangan fibrosis hati.
Namun, pengobatan dengan lamivudine dibatasi karena dapat menyebabkan resistansi
virus. Hal ini disebabkan sekitar 68% pasien mengalami resistansi setelah 4 tahun
pengobatan dengan obat tersebut.

Penderita diterapi dengan PEG INF alfa 80 mg/ minggu, 3TC 100 mg/hr. Terapi ini
diberikan selama 6 bulan. Selama masa pengobatan penderita tidak menunjukkan
intoleransi terhadap obat-obatan anti virus tersebut. Pemberian kombinasi terapi antiviral
pada hepatitis B yaitu pemberian IFN dan lamivudin tidak memberikan manfaat berlebih
dibandingkan dengan terapi tunggal interferon saja. Tapi dengan adanya infeksi gabungan
dengan hepatitis C pemberian terapi kombinasi beberapa anti viral bisa dipertimbangkan.

3. Terapi Ribavirin.

Pada infeksi hepatitis C akut, terapi dilakukan untuk mencegah infeksi virus menjadi
kronik. Terapi dimulai apabila dalam 3 bulan setelah awal munculnya tanda dan gejala
klinik, HCV RNA tidak dapat dieliminasi secara spontan. Terapi terpilih untuk kondisi ini
adalah pegylated interferon (α2a dan α2b) dan ribavirin. Dosis yang digunakan untuk
pegylated interferon α2a adalah 180 µg satu kali seminggu atau 1,5 µg/kgbb perminggu
untuk pegylated interferon α2b. Dosis ribavirin yang direkomendasikan untuk pasien
koinfeksi hepatitis C dan HIV berbeda-beda, tergantung kepada jenis genotipe. Untuk
genotipe 1 dan 4 dosis yang dianjurkan adalah 1000-1200 mg/hari, sementara untuk
genotipe 2 dan 3, dosis ribavirin yang digunakan adalah 800 mg. durasi terapi untuk
semua genotipe adalah 48 minggu. Akan tetapi, terapi dihentikan, apabila pada minggu ke
12, hasil pemeriksaan HCV RNA kuantitatif, menunjukkan penurunan kurang dari 2 log.
7. Monitoring
 Efektivitas
1. Terapi PEG INF Alfa 80 mg

Untuk kelompok imunomodulasi salah satunya yang sering dipakai adalah IFN.
IFN adalah kelompok protein intra seluler yang normal ada dalam tubuh dan
diproduksi oleh berbagai macam sel. Beberapa kasiat IFN adalah khasiat antiviral,
imunomodulator, antiproliferatif dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat antiviral
langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang
mempunyai kasiat antiviral (Poernomo, 2006; Abdurachman, 1966; Hernomo, 2006).

2. Terapi 3TC (lamivudin)

Lamivudin memantau fungsi hati selama 6 bulan ke depan.

3. Terapi Ribavirin

Obat antivirus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan


Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon
alfa sendiri.

 Efek Samping Obat


1. Terapi PEG INF Alfa 80 mg
Penggunaan PEG-IFNα berpotensi menimbulkan efek samping yang beratnya
tergantung pada dosis yang diberikan dan lamanya terapi. Efek samping yang umum
adalah kelelahan, anoreksia, penurunan berat badan, demam dan sakit kepala. Efek
samping yang lebih parah adalah neuropsikiatri, seperti depresi emosional dan vertigo
(Pouresmaeeli, 2015).
2. Terapi 3TC (lamivudin)

a. Batuk, pilek, atau hidung tersumbat

b. Sakit kepala
c. Mual
d. Diare

e. Gangguan tidur
3. Terapi Ribavirin
a. Lemas.
b. Sakit kepala.
c. Insomnia.
d. Anoreksia.
e. Faringitis.
f. Iritabilitas
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman SA. Hepatitis virus kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996p. 262-70.
Badan POM RI. 2015. Pusat Informasi Obat Nasional. Jakarta: BPOM RI
Dienstag JL, Isselbacher KJ. In: Braunwald E, Hauster SL, Fauci AS, Longo DL, Jameson JL,
editors. Chronic hepatitis. Harrison’s principles of internal medicine. 16 th
ed. New York: Mc Graw Hill Co;2005.p.1844-55
European Association for the Study of the Liver. 2016. EASL Recommendations on Treatmenf of
Hepatitis C. J Hepatol. Article in Press.
Heri W., dan dr. Tjok Istri A.S., 2017. Hepatitis. Di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP
Sanglah.
Hernomo K. Long-term treatment of chronic HVB with antiviral drug. Surabaya: Pusat Gastro
Hepatologi Surabaya Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr
Sutomo Surabaya SUDEMA 2;2006.p.53-6
Hull M, Shafran S, Wong A, et al. 2016. Updated Canadian HIV/Hepatitis C Adult Guidelines For
Management And Treatment. Canadian Journal of Infectious Diseases and Medical
Microbiology 1-34.
Mustofa S, Kurniawaty E. 2013. Manajemen gangguan saluran serna : Panduan bagi dokter
umum. Bandar Lampung: Aura Printing & Publishing. hlm.272-7.
Noer, Sjaifoellah H.M., Sundoro, Julitasari. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi Pertama.
Editor : H. Ali Sulaiman. Jakarta: Jayabadi.
Poernomo BS. Interferon treatment for chronic hepatitis B focus: pegylated interferon alfa 2 a for
treatment strategy and aiming sustained remission. Denpasar: SUDEMA
2;2006.p.58.
Pouresmaeeli M, Alavian SM, Keshvari M, Salimi S, Mehrnoush L. Efficacy and tolerability of
peginterferon alpha2a and peginterferon alpha-2b in Iranian patients with
chronic hepatitis c. Hepat Mon. 2015;15(9):e30780. doi: 10.5812/
hepatmon.30780.
Primawati, Estu Rahardian. 2008. Kajian Drug Related Problems (Drps) Pada Kasus Hepatitis B
Non-Komplikasi Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Periode Januari – Juni 2007. Yogyakarta. Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Soewignjo S, Gunawan S. Hepatitis virus B dan karsinoma hepatoseluler. Hepatitis virus B.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1999.p.86- 7.
Kementrian Kesehatan. 2017. Situasi Penyakit Hepatitis B di Indonesia . Infodatin.

Anda mungkin juga menyukai