Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PENYAKIT INFEKSI (PNEUMONIA)

OLEH:
Ni Kadek Dwi Fitri Sumandari (161200031)
Ni Ketut Indah Cahaya Dewi (161200032)
Ni Komang Intan Prima Asri (161200033)
Ni Komang Kartika Saraswati (161200034)
Ni Komang Sinta Dewi (161200035)
Ni Komang Sri Wahyuni (161200036)

A1-B FARMASI KLINIS


Tanggal praktikum: Selasa,16 Oktober 2018
Dosen Pengampu: I. B. N. Maharjana, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2018
PENYAKIT INFEKSI (PNEUMONIA)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi infeksi (Pneumonia)
2. Mengetahui pathogenesis dan patologi infeksi (Pneumonia)
3. Mengetahui klasifikasi pneumonia
4. Mengetahui tatalaksana penyakit pneumonia (Farmakologi & Non-
Farmakologi.
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait infeksi (Pneumonia) secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.

B. DASAR TEORI
1. Definisi
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan
pneumonia sebagai inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit). Pneumonia yang
disebabkan Myobacterium tuberculosis tidak termasuk, sedangkan
peradangan paru disebabkan nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bakan toksik, dan obat-obatan) disebut Pneumonitis (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2014).

2. Patogenesis dan Patologi


Mikroorganise mendapatkan akses ke saluran pernafasan bawah
dengan tiga rute. Organisme tersebut mungkin dihirup sebagai partikel
aerosol, atau masuk ke paru-paru melalui aliran darah dari tempat infeksi
ekstrapulmoner. Namun, aspirasi konten diorofaringeal, kejadian umum
pada orang sehat dan sakit selama tidur, adalah mekanisme utama dimana
patogen paru mendapatkan akses ke saluran udara dan alveoli yang normal
steril. Ketika mekanisme pertahanan paru berfungsi optimal,
mikroorganisme yang disedot dibersihkan dari daerah sebelum infeksi
dapat terbentuk.Namun. Aspirasi patogen potensial dari orofaring dapat
menyebabkan pneumonia jika pertahanan paru terganggu. Faktor yang
mempromosikan aspirasi, seperti sensorium yang berubah dan penyakit
neuromuscular, dapat menyebabkan peningkatan ukuran inoculum yang
dikirim ke saluran pernapasan bagian bawah, sehingga mekanisme
pertahanan local yang luar biasa. Infeksi paru-paru dengan virus menekan
aktivitas antibakteri paru-paru dengan mengganggu fungsi makrofag
alveolar dan membersihkan mukosiliar, sehingga membuat tahap untuk
pneumonia bakteri sekunder. Transportasi mukosiliar juga tertekan oleh
etanol dan narkotika dan oleh penyumbatan bronkus oleh lender, tumor,
atau kompresi ekstrinsik. Semua faktor ini dapat sangat mengganggu
pembersihan paru untuk bakteri yang diaspirasi.
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme
diparu. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganime dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi diparu sangat
tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran
0,5-2,0m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada salurannapas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan
infeksi dari sebaagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil
sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada
keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan oemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-
10
/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1ml) dapat
memberikan titer inoculum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas
bagian atas sama dengan disaluran napas bagian bawah, akan tetapi pada
beberapa penelitian tidak ditemuukan jenis mikroorganisme yang sama.
Patogen yang paling menonjol yang menyebakan Community-
Acquired Pneumonia (CAP) pada orang dewasa yang sehat adalah S.
pneumoniae (pneumococcus) dan mencakup hingga 75% dari semua kasus
akut. Patogen umum lainnya termasuk M. pneumonia, Legionella, C.
pneumonia, H.influenzae, dan berbagai virus termasuk influenza. 41,42
Community-Acquired Pneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus
aerus dan bakteri batang gram negative diamati terutama pada geriatric,
terutama mereka yang berada dipanti jompo, dan berkaitan dengan
alkoholisme dan kondisi yang melemahkan lainnya. Istilah atipikal dapat
digunakan pada pneumonia untuk menunjukkan bahwa pneumonia dapat
disebabkan oleh patogen atipikal. Meskipun terminologi yang lebih tua ini
perlahan memudar, atipikal pneumonia atau patogen atipikal mengacu
pada pneumonia (misalnya Pneumonia bilateral lobar dengan pewarnaan
Gram negative sputum) yang disebabkan oleh M. pneumonia,
C.pneumonia, atau Legionella.
Bakteri basil aerob gram negative dan S. aureus adalah agen
penyebab utama hospital-acquired pneumonia. Bakteri anaerob adalah
agen etiologi paling umum dalam pneumonia yang mengikuti gross
aspiration dari konten lambung atau orofaring.
Pneumonia pada infant dan anak-anak disebabkan oleh
mikroorganisme yang lebih luas, dan tidak seperti situasi pada orang
dewasa, nonbacterial pathogens mendominasi, sebagian besar pneumonia
terjadi pada kelompok usia pediatri disebabkan oleh virus, terutama RSV,
parainfluenza dan adenovirus. M. pneumonia adalah patogen penting oleh
older children. Diluar periode neonatal, pneumococcus adalah bakteri
patogen utama pada pneumonia masa kanak-kanan, diikuti oleh kelompok
A Streptococcus dan S.aureus, H.influenzae tipe b, yang pernah menjadi
patogen masa kanak-kanan utama, telah menjadi penyebab pneumonia
yang jarang terjadi sejak patogen masa kanak-kanak utama, telah menjadi
oenyebab pneumonia yang jarang terjadi sejak diperkenalkannya vaksinasi
aktif terhadap organisme ini pada akhir 1980an.

3. Klasifikasi Pneumonia
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya maupun
berdasarkan klinis dan epidemiologis.
a. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Penyebabnya
Berdasarkan penyebabnya, pneumonia dibedakan menjadi bacterial
pneumonia dan non bacterial pneumonia.
1) Bacterial Pneumonia
Bacterial pneumonia terutama disebabkan oleh streptokokus gram
positif dan organisme gram negative yang biasanya menghuni
saluran pencernaan (enteric) serta tanah dan air (nonenterik).
Sebagai tambahan, Legionella yang merupakan organisme
nonenterik dengan pewarnaan gram negative, menyumbang
sebagian kecil Bacterial pneumonia berupa community-and
hospital-acquired bacterial pneumonia, walaupun kejadian
sebenarnya mungkin tidak dilaporkan. Akhirnya, Myobacterium
tuberculosis, acid-fast staining bacillus, telah muncul kembali
sebagai penyebab penting pneumonia dipusat kota seluruh Amerika
Serikat.
2) Non-Bacterium Pneumonia
Virus, species Myocoplasma, species Chlamydia, dan jamur
diketahui merupakan penyebab sindrom pneumonia pada semua
kelompok umur. Penyebutan atypical pneumonia, berbeda dari
typical bacterial pneumonia yang paling sering terlihat pada orang
dewasa, telah digunakan untuk menggambarkan penyakit yang
disebabkan oleh banyak agen ini.
b. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis Dan Epidemiologis
Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia diklasifikasikan
menjadi Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia),
Pneumonia nosocomial (hospital-acquired pneumonia.nosocomial
pneumonia). Pneumonia aspirasi, Pneumonia pada penderita
Immunocompromised
1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat
dimasyarakat. Menurut kepustakaan penyebab pneumonia
komuniti banyak disebabkan bakteri Gram positif dan dapat pula
bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negative. Berdasarkan laporan 5 tahun terakfir dari beberapa
pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan
Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum
sebagai berikut:
a) Klebsiella pneumonia 45,18%
b) Streptococcus pneumonia 14,04
c) Streptococcus viridans 9,21%
d) Staphylococcus aureus 9%
e) Pseudomonas aeruginosa 8,56%
f) Streptococcus hemolyticus 7,89%
g) Enterobacter 5,26%
h) Pseudomonas spp 0,9%
2) Pneumonia nosocomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial
pneumonia)
Pneumonia nosocomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi
setelah pasien 48 jam dirawat dirumah sakit dan disingkirkan
semua ineksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit. Setelah
saluran kemih dan aliran darah, paru-paru adalah tempat infeksi
yang paling sering didapat dirumah sakit. Pneumonia nosocomial
terlihat paling sering terjadi pada pasien dengan critically ill.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien terhadap perkembangan
pneumonia nosocomial meliputi tingkat keparahan penyakit, durasi
rawat inap, posisi terlentang, aspirasi yang disaksikan, koma,
sindrom gangguan pernafasan akut, transportasi pasien, dan
paparan antibiotic sebelumnya.
Faktor predisposisi terkuat, adalah ventilasi mekanis (intubasi),
yang melewati pertahanan alami dari saluran napas terhadap
migrasi organisme saluran pernapasan bagian atas ke saluran
bawah. Keadaan ini diperparah oleh penggunaan agen penghambat
reseptor H2 secara luas diunit ICU, yang meningkatkan PH sekresi
lambung dan dapat meningkatkan proliferasi
mikroorganismedisaluran cerna bagian atas. Mikroaspirasi
subklinis adalah kejadian yang terjadi secara rutin pada pasien
intubasi dan mengakibatkan inokulasi kandungan lambung yang
terkontaminasi bakteri ke paru-paru dan kejadian pneumonia
nosocomial yang lebih tinggi.
Ventilator-associated pneumonia dapat didiagnosis secara akurat
oleh salah satu dari beberapa kriteria standar, termasuk
pemeriksaan histopatologis jaringan paru yang diperoleh dengan
open-lung biopsy, kavitasi cepat infiltrasi paru tanpa kanker atau
tuberculosis, kultur cairan pleura positif, dan species yang sama
dengan antibiogram identic untuk patogen yang diisolasi dari darah
dan sekresi pernapasan tanpa sumber bakteriemia lain yang dapat
diidentifikasi.
Organisme yang paling sering dikaitkan dengan pneumonia
nosocomial adalah S.aureus dan bakteri gram negative enteric
(misalnya Klebsiella atau E.coli) dan bakteri gram negative
nonenterik (misalnya Pseudomonas), organisme yang menjajah
faring pasien yang dirawat dirumah sakit dan kritis. Diagnosis
pneumonia nosocomial biasanya ditemukan dengan adanya
infiltrasi baru pada radiografi dada, demam. Status pernafasan yang
memburuk, daan munculnya sekresi pernafasan kental dan
neutrophil. Sebenarnya diagnosisnya seringkali sulit dilakukan
pada pasien yang sakit parah dengan patologi paru yang
mendasarinya yang dapat dikaitkan dengan radiografi perubahan
abnormal, seperti yang terjadi pada gagal jantung kongesif atau
penyakit paru-paru kronis. Antibiotic spectrum luas sering dimulai
secara empiris bahkan dalam keadaan samar, dengan bronkoskopi
yang diperuntukkan bagi pasien dengan responsif yang buruk.
Pneumonia aspirasi
3) Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia akibat regurgitasi
cairan saluran cerna ke paru, terjadi pada penderita penurunan
kesadaran seperti penyalahgunaan obat, kejang, gangguan
serebrovaskular atau dalam pengaruh pembiusan.
4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Pneumonia pada penderita immunocompromised merupakan
pneumonia yang terjadi pada seseorang dengan defek system imun
humoral dan selular.

4. Tatalaksana Terapi Pneumonia


Farmakoterapi antimikroba yang sesuai untuk penyakit infeksi
tertentu memerlukan pengetahuan tentang patogen yang menginfeksi,
karakteristik inang (host), dan aktivitas yang diharapkan obat terhadap
patogen. Aspek terapi yang paling mendasar dimulai dengan diagnosis
yang tepat. Berbagai macam tes laboratorium tersedia untuk membantu
dokter dalam memverifikasi adanya infeksi dan untuk memantau respon
terhadap terapi. Meski bermanfaat, tes ini bertujuan pada interpretasi dan
tidak dapat digantikan dengan penilaian klinis yang baik. Kelainan organis
terhadap antimikroba yang diberikan adalah kunci untuk menentukan hasil
dari terapi pasien. Karakteristik host, seperti status kekebalan tubuh, lokasi
infeksi, dan fungsi tubuh-organ, berperan penting dalam memilih
antimikroba yang paling tepat untuk individu tertentu.
Prioritas pertama dalam menilai/melakukan assessment pada pasien
pneumonia adalah untuk mengevaluasi kecukupan fungsi pernafasan dan
untuk megetahui adanya tanda-tanda penyakit sistemik, khususnya
dehidrasi atau sepsis akibat kolapsnya peredaran darah. Oksigen atay pada
kasus parah, ventilasi mekanis dan resusitasi cairan harus diberikan
seperlunya. Perawatan suportif lebih lanjut pada pasien dengan pneumonia
meliputi oksigen yang dilembabkan untuk hipoksemia, pemberian
bronkodilator (albuterol) saat ada bronkospasme, dan fisioterapi dada
dengan drainase postural jika terlihat bukti adanya sekresi yang ditahan
terlihat. Tambahan untuk terapi suportif termasuk hidrasi yang adekuat
(secara intravena jika perlu), dukungan nutrisi optimal, dan pengendallian
demam. Sampel sputum yang tepat dapat diperoleh untuk menentukan
etiologi mikrobiologis. Rehidrasi harus diberikan untuk mengganti
kehilangan yang mungkin terjadi akibat demam, asupan yang buruk,
dan/atau muntah yang terjadi. Pemilihan antimikroba yang tepat harus
dilakukan berdasarkan data mikrobiologi yang mungkin terjadi atau yang
telah didokumentasikan pasien, distribusi disaluran pernafasan, efek
samping, dan biaya.
Penatalaksanaan secara umum pneumonia meliputi berdasarkan
klinis dan epidemiologis di/jabarkan sebagai berikut:
a. Terapi pada HAP dan VAP
Beberaapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosocomial ialah:
1. Semua terapi awal antibiotic adalah empiric dengan pemilihan
antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90%
dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungankan pola
resistensi setempat.
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat
dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk
menjamin efektivitas yang maksimal. Pemberian terapi empiris
harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi,
dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan
setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan
ada perbaikan respons klinis
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan
terinfeksi kuman MDR.
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan
klinis memburuk.
6. Data mikroba dan sensitivity dapat digunakan untuk mengubah
pilihan empiric apabila respons klinis awal tidak memuaskan.
Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data microbial dan uji
kepekaan tidak ada mengubah mortaliti apabila terapi empiric telah
memberikan hasil yang memuaskan.
Tabel 1. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP pada
pasien tanpa factor resiko pathogen MDR, onset dini dan semua derajat
penyakit (mengacu ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan
 Streptocoocus pneumonia Betalaktam + antibetalaktamase
 Haemophilus influenza (Amoksisilin klavulanat)
 Metisilin-sensitif Atau
Staphylocoocus aureus Sefalosporin G3 nonpseudomonal
 Antibiotik sensitive basil (Seftriakson, sefotaksim)
Gram negative enteric Atau
- Escherichia coli Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
- Klebsiella pneumonia Moksifloksasin)
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens

Tabel 2. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP untuk
semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor
resiko pathogen MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi
 Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal
pathogen pada Tabel 1 (Sefepim, seftasidim, sefpirom)
Pseudomonas aeruginosa Atau
Klebsiella pneumonia Karbapenem antipseudomonal
(ESBL) (Meropenem, imipenem)
Acinetobacter sp Atau
β-laktam penghambat β lactamase
(Piperasilin-tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Methicillin resisten Aminoglikosida ( Amikasin,
Staphylococcus aureus gentamisin atau tobramisin)
(MRSA) ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin

Tabel 3. Dosis antibiotic intravena awal secara empiric untuk HAP dan
VAP pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen
MDR (mengacu pada ATS/IDSA 2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal
- Sefepim 1-2 gr setiap 8-12 jam
- Seftasidim 2 gr setiap 8 jam
- Sefpirom 1 gr setiap 8 jam
Karbapenem
- Meropenem 1 gr setiap 8 jam
- Imipenem 500 mg setiap 6 jam, 1 gr setiap
8 jam
Β-laktam penghambat β-laktamase
- Piperasilin-tasobaktam 4,5 gr setiap 6 jam
Aminoglikosida
- Gentamisin 7 mg/kg BB/hr
- Tobramisin 7 mg/kg BB/hr
- Amikasin 20 mg/kg BB/hr
Kuinolon antipseudomonal
- Levofloksasin 750 mg setiap hari
- Siprofloksasin 400 mg setiap 8 jam
15 mg/kg BB/12 jam
Vankomisin 15mg/kgBB/12bjam

Linesolid 600 mg setiap 12 jam


Teikoplanin 400 mg/ hari
Suspek HAP, VAP
(semua derajat)

Onset lanjut (≥ 5 hari) atau terdapat factor resiko


untuk MDR

Tidak Ya

Antibiotik spectrum terbatas Antibiotik spectrum luas untuk


(Tabel 1) patogen MDR (Tabel 2)

Gambar 1. Skema terapi empiric untuk HAP dan VAP

Lama Terapi
Pasien yang mendapat antibiotic empiric yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P. aeruginosa dan respon klinis pasien baik serta terjad
resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari
atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan
Enterobacteriaceae maka lama terapi 14-21 hari.
Respons Terapi
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun
mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48-72 jam pertama pengobatan
sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotic dalam kurun waktu
tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata.

b. Terapi pada CAP


Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat
diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu
keadaan yang dapat meningkatkan resiko infeksi dengan mikroorganisme
pathogen yang spesifik misalnya S.pneumoniae yang resisten penisilin.
Yang termasuk dalam factor modifikasi adalah: (ATS 2001)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
- Umur lebih dari 65 tahun
- Memakai obat-obatan golongan p lactam selama tiga bulan terakhir
- Pecandu alcohol
- Penyakit gangguan kekebalan
- Penyakit penyerta yang multiple
b. Bakteri enteric Gram negative
- Penghuni rumah jompo
- Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
- Mempunyai kelainan penyakit multiple
- Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudmonas aeruginosa
- Bronkiektasis
- Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
- Pengobatan antibiotic spectrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
- Gizi kurang
Penatalaksaan pneumonia komuniti dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif/simptomatik
- Istirahat ditempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat peurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotic harus diberikan (sesuia bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita sawat inap di ruangan rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simpatimatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotic harus diberikan (sesuai dengan) kuramg dari 8 jam
c. Penderita sawat inap di ruangan rawat intensif
1. Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simpatimatik antara lain antipiretik, mukolitik
2. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
3. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD di observasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di
ruang rawat biasa, bila terjadi respiratpry distress maka penderita
dirawat di ruang rawat intensif.
Rawat jalan:
 Tanpa faktor modifikasi
 Golongan B laktam atau B lacktam + anti laktamase
 Dengan faktor modifikasi:
Golongan B lacktam + anti B laktamase atau fluorokuinolon
respirasi (levofloksasin, moksifloksasia, gatifloksasia)
 Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin, klaritromisin, azitromisin)

Rawat inap:
 Tanpa faktor modifikasi
Golongan B laktam + anti B laktamase iv atau
Sefalosporin G2, G3 iv atau
Fluorokuinolon respirasi iv
 Dengan faktor modifikasi:
Sefalosporin G2, G3 iv atau
Fluorokuinolon respirasi iv
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid
baru

Ruang rawat intensif :


Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas
 Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru
atau fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas
 Sefalosporin anti pseudomonas (spirofloksasin iv atau
aminoglikosida iv)
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik : (Sefalosporin anti
pseudomonas iv atau carbapenem iv ditambah lagi makrolid
baru atau Fluorokuinolon respirasi iv

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk


maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivity.

Pengobatan pneumonia atipik


Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia
termasuk atipik. Antibiotic terpilih pada pneumonia atipik yang
disebabkan oleh M.pneumoniae, C. pneumonia dan Leginella adalah
golongan:
- Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
- Fluorokuinolon respiness
- Doksisiklin

TERAPI SULIH (SWITCH THERAPY)


Masa perawatan dirumah sakit sebaiknya di persingkat dengan perubahan
obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk
mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial.
Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan ke tersediaan
antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang aktivitinya
mampu mengimbangi aktiviti antibiotik iv yang telah digunakan.
Perubahan ini dapat diberikan secara sequwntial (obat sama, potensi
sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama
atau berbeda, potensi lebih rendah)
 Contoh terapi sekuensial: levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
 Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral
 Contoh step down: amoksisilin, sefuroksin, sefatoksim iv ke cefiksim
oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada
hari ke 4 diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk
perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti:
 Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
 Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
 Penderita sudah tidak panas kurang lebih 8 jam
 Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk)
 Leukosit menuju normal / normal

EVALUASI PENGOBATAN
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak
ada perbaikan, kita harus meninjau kembali didiagnosis, faktor-faktor
penderita, obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya seperti
dapat dilihat pada gambar 1.

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
Adapun alat yang digunakan yaiu sebagai berikut:
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan Koneksi Internet
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah sebagai berikut:
1. Text Book (Dipiro, Koda-Kimble, DIH, ESC dan JNC)
2. Data NIlai Normal Laboraturium
3. Evidence terkait ( Journal, Systematic, Review, Meta Analisis )

D. STUDI KASUS
Pasien NN didiagnosa dengan pneumonia CAP, asma bronchial sedang (MRS
11 januari 2017). Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu. Pasien mengeluh
sesak sejak kemarin, demam sejak 8 januari 2017, sudah berobat, sakit
dirasakan menetap, sudah diberikan nebul ventolin di rumah tidak membaik.
Pasien batuk, mual dan muntah 1x. Ketika MRS, TD:120/70, Temp: 36,3
celcius : HR : 120 x/minute, RR : 18 x/minute, saturasi O2 : 98%. Kultur
sputum: streptococcus viridran. Hasil pemeriksaan henatologi adalah sebagai
berikut.
Hb: 12,7; WBC: 290; Sodium:142; Potassium: 3,3; Chloride: 103; CRP
quantitstive: 47,16 ; Kalium: 3,27
Blood gas:
- pH : 7,298
- PO2 : 49,1
- SO2 : 87
- T CO2 : 25
Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut
- Infus odana 1 amp + ns 500 ml/ 8 jam
- Infus aminophyllin 240 mg inj dalam ns 500/8 jam
- ns 3% 3x5 ml for nebul (stop tgl 14 jan)
- paracetamol inj 3 x 500 mg
- codein 10 mg tab 3 x 1 (stop tgl 14 jan)
- acetlysisteine 200 mg tab tab 3 x 1
- asam tranexamat 500 mg inj 3 x 1
- levofloxacin inj 1 x 750 mg
- cefoperazone inj 2 x 1 gram
- combivent reps setiap 4 jam 1 reps
- flixotide reps 3 x 1 rep
- methylprednisolon inj 3 x 625 mg
- sulcrafat syr 3 x 15 ml
- omeprazole 40 mg inj 2 x 40 mg
- acitral syr 3 x 15 ml
E. Form SOAP

PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Tn./Ny. : NN

Jenis Kelamin : Laki-laki Tgl. MRS: 11 Januari 2017


Usia : 66 tahun Tgl. KRS: -
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 65 kg

Presenting Complaint
Pasien menegeluh sesak napas sejak kemarin, rasa sakit menetap, batuk, mual,
muntah 1x

Diagnosa kerja : Infeksi Pneumonia


Diagnosa banding : Infeksi Pneumonia CAP (karena ditemukannya bakteri
gram positif pada kultur sputum)

Relevant Past Medical History:


Asma (terakhir kali kambuh 3 bulan yang lalu)

Drug Allergies:
Tidak ada

Tanda-Tanda Vital 11/01/17 Nilai normal Keterangan


Tekanan darah(mmHg) 136/95 120/80 Normal
Nadi (x/min) 113 60-100 Bradikardia
Suhu (oC) 36 36-37 Normal
RR (x/min) 26 14-20 Normal
Saturasi O2(%) 86 95-100 normal
Medication
No Dosis yang Dosis Terapi
Nama Obat Indikasi
. digunakan (literatur)
1 amp + ns 500 1 amp + ns 500 ml/
Infus adona
1 Perdarahan ml/ 8 jam 8 jam
Infus Infus
2 Infus Menghilangkan 240 mg inj  iv: 5-7 mg/KgBB
aminophyllin bronkospasme dalam ns 500/8  maintenance: 5-7
terkait asma jam mg/Kg/BB PO
Cairan yang
3x5 ml for nebul 3 x 5 mL untuk
3 ns 3% nebul digunakan
(stop tgl 14 jan) nebul
untuk nebul
(prn) 650 mg
paracetamol Antipiretik dan setiap 4 jam iv
4 3 x 500 mg
inj analgesik atau 325-650 mg
PO setiap 4 jam
Analgesik 10 mg tab 3 x 1
5 codein 10 mg tab 3 x 1
opioid (stop tgl 14 jan)
Mukolitik
6 acetlysisteine (pengencer 200 mg tab 3 x 1 3 x 200 mg
dahak)
Mengurangi
asam atau
7 500 mg inj 3 x 1 500 mg inj 3 x 1
tranexamat menghentikan
perdarahan
levofloxacin Antibiotic gol. 750 mg/hari iv,
8 1 x 750 mg
inj quinolone selama 5 hari
2 x 2-4 gram/hari
iv, selama 5 hari.
cefoperazone Antibiotic gol.
9 2 x 1 gram Switch ke cefixime
inj sefalosporin
2 x 200mg PO
selama 9 hari
Mengatasi
combivent setiap 4 jam 1 Di nebul 3 ml
10 penyakit saluran
reps reps setiap 6 jam
nafas
Mencegah dan
11 flixotide reps 3 x 1 reps 2 x 1 resp
mengobati asma
30 mg/12 jam iv
selama 5 hari,
kemudian 30
methylpredni
12 peradangan 3 x 625 mg mg/hari selama 5
solon inj
hari, kemudian 15
mg/24 jam iv
selama 11 hari
13 sulcrafat syr Tukak lambung 3 x 15 ml 3 x 15 ml
40 mg inj 2 x 40 40 mg inj 2 x 40
14 omeprazole mual
mg mg
Mengatasi
gejala maag (prn) Tab 3 x 200
15 acitral syr 3 x 15 ml
(nyeri lambung, mg PO
mual, muntah)
Laboratory Test
Hematologi Test:

Test (normal range) Nilai Keterangan


WBC (4000-10000/mm3) 290 mm3 rendah
Hb (13-17 g/dL) 12,7 g/dL rendah
Natrium (135-150 mEq/L) 142 mg/dL normal
Kalium (3,5-5,0 mEq/L) 3,3 mg/dL rendah
Chloride (95-105mEq/L) 103 mg/dL normal
CRP Quantitative (<10mg/L) 47,16 tinggi
pH darah (7,35-7,45) 7,298 normal
PaO2 (80-100 mmHg) 60,1 Rendah
PCO2(35-45 mmHg) 49,1 tinggi
SO2 (>93%) 87 rendah
TCO2(arteri: 19-25mmol/L, vena:
25 normal
23-30 mmol/L)
Pemeriksaan Lainnya:
- Kultur sputum: Streptococcus viridran (bakteri gram positif)

No
Further Information Required Alasan
.
1 Apa jenis kelamin pasien, berapa Untuk menentukan dosis serta
umur, berat badan, tinggi badan agar pemberiannya tepat pasien
pasien?
Laki-laki, 66 th, 65Kg, 160cm
2 Apakah ada riwayat alergi obat?Agar dapat memberikan terapi
Tidak ada yang sesuai dengan keadaan
pasien
3 Apakah pasien memiliki riwayat Untuk menentukan tepat indikasi
penyakit lain? terhadap penggunaan obat oleh
Ada, asma pasien
Problem List (Actual Problem)
No
Medical Pharmaceutical
.
- Asam tranexamat inj C1.3: Ada obat tanpa indikasi
- Codein tab
- Infus adona
1
- Sulcrafat syr
- Nebul ns 3%
- methylprednisolone inj
- Omeprazole inj C1.5: Ada duplikasi dari obat yang
2
tidak sesuai
Subjective
1. Pasien menegeluh sesak napas sejak kemarin,
2. rasa sakit,
3. batuk,
4. mual,
5. muntah 1x

Objective
1. pH darah = 7,298 (dibawah 5. HR = 120x/menit (diatas normal)
normal) 6. BMI = 25,39 (overweight)
2. PO2 =60,1 mmHg (dibawah 7. WBC = 290 mm3 (rendah)
8. Hb = 12,7 mg/dL (rendah)
normal)
9. Kalium = 3,3 mEq/L(rendah)
3. PCO2 =49,1 mmHg (diatas
10. CRP Quantitative = 47,16 mg/L
normal)
(tinggi)
4. SO2 =87% (dibawah normal)
11. Pemeriksaan lainnya: kultur sputum terdapat Streptococcus viridran
(bakteri gram positif)

Assessment
1. C1.3 Ada obat tanpa indikasi (Asam tranexamat inj, Codein tab,
Infus adona, Sulcrafat syr, methylprednisolone inj, nebul ns 3%)
2. C1.5 ada duplikasi dari obat yang tidak sesuai (Omeprazole inj –
Acitral syr)
3. Obat tanpa DRP: infus aminophylline, Paracetamol inj, Acetylcystein tab.
Levofloksasin inj, cefoperazone inj, combivent resp, flixotide resp, acitral
syr.

Plan
A. Terapi Farmakologi
1. UGD
 Bronkospasme:Infus aminophyllin dengan dosis2 x 5-7
mg/KgBB(medscape application)
 Streptococcus viridran (bakteri gram positif: diberikan dosis
kombinasi antibiotic cefoperazone inj dengan levofloxacin inj 750
mg/hari iv selama 1 hari(Medscape application)
2. Rawat inap (maintenance)
 Rasa sakit: paracetamol inj dengan dosis 650 mg setiap 4 jam iv
(prn) (Medscape appliation)
 Batuk: acetlysisteine dengan dosis 200 mg tab 3 x 1 (Medscape
application)
 Mual dan muntah : acitral syr dengan dosis 3 x 15 ml (prn)
sebelum makan(Medscape application)
 Streptococcus viridran (bakteri gram positif) : levofloxacin inj dan
cefoperazone inj 750 mg/hari iv, selama 2 hari (untuk maintenance
diberikan dosis tunggal antibiotic golongan sefalosporin yaitu
cefixime dengan dosis 2 x 200mg PO selama 11 hari) (Medscape
application)
 Dyspnea (gangguan saluran nafas yang disebabkan oleh
levofloxacin): diberikan obat dengan dosis kombinasi yaitu
flixotide 2x1 resp dan combivent repsdi nebul 3 ml setiap 6 jam
(prn) (Medscape application).
3. Rawat Jalan
Vaksinasi (vaksin pneumokokal 0.5 ml/IM dan vaksin influenza
1ml/IM) diberikan ulang dalam rekomendasi setelah > 2 tahun dari
pemberian awal.
4. Terapi Non-Farmakologi
 Hindari lingkungan yang merupakan faktor pajanan
 Rehabilitasi paru secara komprehensif
 Memperbaiki nutrisi
 Memberikan edukasi kepada pasien
Monitoring
A. Evektivitas
 Infus aminophyllin bronkodilator terkait asma
 Paracetamol injuntuk mengurangi rasa sakit
 Acetlysisteineagarpengencer dahak
 Acitral syr untuk mengatasi gejala nyeri lambung, mual, muntah
 Kombinasi Levofloxacin inj – Cepaferazone inj untuk obat anti bakteri
(Antibiotic gol. Quinolone - Sefalosporin)
 Cefixime untuk obat anti bakteri pada terapi sulih (Antibiotic gol.
sefalosporin)
 Flixotide untuk mencegah dan mengobati asma.
 Combivent reps untuk mengatasi penyakit saluran nafas.
B. Efek Samping Obat
 Infus Aminophyllin: diare, mual,muntah, takikardia
 Acetlysisteine:Mengantuk, Mual, Muntah, Sariawan,Pilek,Demam
 Paracetamol inj: mual, muntah, insomnia,sakit kepala
 Acitral syr: Sembelit, Penyakit Alzheimer, Kelemahan otot, Mual,
Refleks lambat,Muntah,Diare
 Kombinasi Levofloxacin inj – Cepaferazone inj: mual, sakit kepala,
diare, insomnia, monitoring penggunaan tidak boleh lebih dari 3 hari
agar tidak terjadi resistensi antibiotic.
 Cefixime: diare, mual, muntah, sakit kepala
 Flixotide: ruam, kesulitan bernapas, pembengkakan wajah, bibir, lidah,
atau tenggorokan, Mimisan yang parah atau berkelanjutan.
 Combivent reps: bronchitis,infeksi saluran nafas atas, penyakit paru,
sakit kepala

Form Medication Record

Penggunaan Obat di UGD


Nama Tgl di- Waktu Nama Obat Dosis Obat Alergi Tanda
Pasien berikan Pemberian Obat Tangan
Obat Obat dan Apt.
Reaksi
Alergi
Setiap 12 Amino- 2 x 5-7mg/kg -
jam phylline IV

Setiap 24 kombinasi 750 mg/hari -


Tn. 11/1/17 jam antibiotic iv selama 1
NN
cefoperazone hari
inj- dengan
levofloxacin
inj
Form Medication Record

Penggunaan Obat di Rawat Inap


Nama Tgl di- Waktu Nama Obat Dosis Obat Alergi Tanda
Pasien berikan Pemberian Obat Tangan
Obat Obat dan Apt.
Reaksi
Alergi
Setiap 12 Amino- 2 x 5- -
jam phylline 7mg/kg IV

Setiap 6 PCT inj 650mg -


jam setiap 4 jam
IV
Setiap 24 kombinasi 750 mg/hari -
jam antibiotic iv selama 4
cefoperazone hari,
inj- dengan kemudian
levofloxacin ganti
Tn. 12/1/17 inj dengan
NN terapi sulih
Setiap 12 Flixotide resp 2x1 resp -
jam
Setiap 6 Combivent Dinebul 3ml -
jam resp (prn) setiap 6 jam
Setiap 12 Cefixime Tab a2x200 -
jam tablet (sebagai mg selama 9
terapi sulih) hari
Setiap 8 Acitral syr 3x15 ml -
jam (prn)
Setiap 8 Acethylsistein 3x200 mg -
jam tab
F. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, diketahui pasien atas nama Tn. NN usia 66
tahun di diagnosa infeksi Pneumonia CAP (dikarnakan ditemukannya bakteri
gram positif pada kultur sputum). Pada saat masuk rumah sakit pasien
mengeluh sesak nafas sejak kemarin, rasa sakit menetap, batuk, mual dan
muntah sebanyak 1x. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD: 136/95
mmHg, Nadi: 113 x/menit, suhu: 36℃, RR: 26 x/menit, dan sarturasi O2:
86%. Dilakukan test hematologi (tes darah) dimana nilai WBC: 290mm³, Hb:
12,7 g/dL, natrium: 142 mg/dl, Kalium: 3,3 mg/dL, Chloride: 103 mg/dL,
CRP Quantitative: 47,16 mg/L, pH darah: 7,298 mg/L, PO2: 60,1 mmHg,
PCO2: 49,1 mmHg, SO2: 87%, dan TCO2: 25%. Informasi lain yg didapatkan
dari pasien yaitu, pasien memiliki riwayat penyakit asma. Dari perhitungan
BMI diaptkan nilai BMI pasien sebsar 25,39, dengan berat badan 65kg dan TB
: 166cm yang artinya pasien berada direntang pre-overweight.
Pada assessment, berdasarkan pengobatan yang telah didapatkan oleh
pasien sebulumnya, terdapat beberapa DRP. C-1.3 (ada obat tetapi tidak ada
indikasi) antaralain asam tranexamat inj yang digunakan untuk mengurangi
atau menghentikan perdarahan, tetapi pasien tidak mengalami pendarahan
sehingga asam tranexamat termasuk ke dalam DRP. Infus adona yang
digunakan juga untuk perdarahan, tetapi pasien tidak mengalami pendarahan
sehingga infus adona termasuk ke dalam DRP.Sulcrafat sirup untuk tukak
lambung, tetapi pasien tidak mengalami tukak lambung sehingga Sulcrafat syr
termasuk ke dalam DRP. Terdapat pula C-1.5 (ada duplikasi dari obat yang
tidak sesuai). Pada hal duplikasi yang terjadi yaitu Omeprazole inj dengan
acitral syr, kedua jenis obat tersebut memiliki indikasi yang sama yaitu untuk
mual, namun pasien telah mendapat obat acitral syr terlebih dahulu sehingga
pemberian omeprazole dihentikan.
Planning yang diberikan adalah terapi farmakologi dan non-farmakologi,
tujuan penatalaksanaan terapi yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Terapi farmakologi yang diberikan pada saat pasien berada di UGD yaitu
diberikan obat bronkospasme yaitu infus aminophylin dengan dosis 5-7
mg/KgBB. Bronkospasme sendiri merupakan penyempitan yang terjadi pada
dinding bronkial, biasanya bersifat sementara namun dapat menjadi akut
dikarenakan peradangan pada lapisan paru-paru dan asma. Penggunaan klinik
bronkhodilator pada infeksi pernapasan bawah adalah pada kasus bronkhitis
kronik yang disertai obstruksi pernapasan. Agen yang dapat digunakan yaitu
metilxantine atau derivat metilxantine meliputi teofilin dan derivatnya seperti
aminofilin merupakan bronchodilator yang baik. Selain itu dengan indeks
keamanan yang sempit pada teofilin perlu dimonitor kadar plasmanya. Derivat
metilxantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase intrasel yang
akan memecah cyclic-AMP (yang diasumsikan berguna untuk
bronkhodilatasi)(DEPKES RI, 2005).
Pilihan terapi akibat infeksi bakteri gram positif diberikan kombinasi
antibiotik cefoperazone inj dengan levofloxacin inj 750 mg/hari IV selama 1
hari. Sedangkan pada saat pasien sedang di rawat inap diberikan obat untuk
rasa sakit/nyerinya yaitu paracetamol inj dengan dosis 650 mg setiap 4 jam IV
(bila perlu). Penggunaan golongan quinolon yang merupakan antimikrobial
dengan memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Mekanisme
kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNA-
gyrase. Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama
bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang, dengan
spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired
maupun infeksi nosocomial, hal ini yang memungkinkan penggunaannya
secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain. Dalam kasus ini
kombinasi dengan cefoperazon inj adalah karena mekanisme kerja golongan
cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin
protein binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel
sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian
bakteri. Jadi kombinasi kedua jenis antibiotic ini dapat saling menguntungkan
dalam penurunan jumlah koloni bakteri yang menginfeksi(DEPKES RI,
2005).
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia kumuniti dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT). Berdasarkan kasus, nilai
yang didapatkan yaitu kurang dari 70 yang merupakan persayaratan rawat
inap. Akan tetapi, menurut PDPI (2003). Bila skor PORT kurang < 70 maka
penderita tetap perlu di rawat inap bila dijumpai salah satu dari criteria seperti
frekuensi nafas > 30/menit, PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks
paru menunjukkan kelainan bilateral, foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
(tekanan sistolik <90 mmHg & tekanan diastolic >60 mmHg). Pada kasus,
nilai PaO2 pasien yaitu 60.1 mmHg yang artinya berdasarkan persyaratan
PDPI nilai tersebut memenuhi untuk pasien harus mendapatkan terapi rawat
inap.
Selain itu, pasien mendapatkan juga mukolitik sebagai pengencer dahak
agar mudah diekspektorasi. Obat batuk diberikan acetylsisteine 200mg 3x1
tablet. Mekanisme kerja mukolitik adalah dengan cara membuka ikatan gugus
sulfidril pada mucoprotein sehingga menurunkan viskositas mucus (DEPKES
RI, 2005).
Untuk mual muntah diberikan acitral syr 3x15 mL sebelum makan (bila
perlu), untuk bakteri gram positifnya diberikan levofloxacin inj dan
cefoperazone inj 750 mg/hari IV selama 2 hari (maintenance : diberikan dosis
tunggal antibiotik cefixime dosis 2x200 mg PO selama 11 hari). Dan yang
terakhir untuk gangguan saluran nafas yang disebabkan karena
pemberianlevofloxacin sehingga diberikan obat dengan dosis kombinasi yaitu
flixotide 2x1 resp dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam (Medscape
application).
Pada kasus ini diberikan pertolongan pertama pada penyakit pneumonia.
Sehingga, diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone inj dengan
levofloxacin terlebih dahulu selama 3 hari, kemudian setelah 3 hari diganti
dengan memberikan antibiotic tunggal golongan sefalosporin yaitu cefixime
200 mg diminum 2 kali sehari 1 tablet selama 11 hari. Pemberian terapi sulih
(switch theraphy) adalah untuk pencegahan resistensi pasien terhadap jenis
antibiotic yang diinjeksikan (golongan quinolone dan golongan sefalosporin
generasi ketiga). Menurut PDPI, terapi sulih juga diterapkan apabila pasien
tidak memiliki indikasi untuk mendapatkan antibiotic injeksi lagi, tidak
terdapat kelainan pada penyerapan saluran cerna, tidak mengalami demam
kurang lebih 8 jam, gejala klinik yang membaik, dan normalnya jumlah
leukosit. Persyaratan tersebut memenuhi kriteria dari pasien, sehingga terapi
sulih ditetapkan menggunakan antibiotic yang memiliki potensi yang sama
yaitu menggunakan cefixime, antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga
(PDPI, 2003).
Mekanisme kerja combivent reps yaitu untuk menghambat reflex
diperantai vagital oleh aksi asetilkolin antagonis, mencegah peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler yang disebabkan oleh interaksi asetilkolin
dengan reseptor muskarinik pada otot polos (medsacpe). Sedangkan
mekanisme kerja flixotide resp tidak diketahui dengan tepat tetapi, agen telah
terbukti menunjukkan efek antiinflamasi pada neutrofil, eosinofil, makrofag,
sel mast, limfosit, dan mediator (medscape). Karena terdapat mekanisme yang
berbeda sehingga, diberikan kombinasi untuk asma dengan memberikan
kombinasi flixotide 2x1 resp dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Adapun terapi non farmakologi yang diterapkan untuk kasus ini yaitu
dengan menghindari lingkungan yang merupakan faktor pajanan yang
merupakan syarat bagi determinan penyakit untuk bisa menyebabkan penyakit
atau memulai terjadinya infeksi.Rehabilitasi paru secara komprehensif seperti
fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase
postural. Memperbaiki nutrisi karena diperlukan keseimbangan antara kalori
yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi
nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.
Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan
ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia
dan hiperkapni. Selain itu, memberikan edukasi kepada pasien dengan syarat
edukasi yang diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan.
Sebagai terapi tambahan untuk mencegah eksaserbasi yaitu diberikan
vaksinasi. Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) diberikan
kepada pasien karena pasien merupakan golongan geriatri. Vaksinasi awal
dilakukan saat pasien melakukan kontrol post terapi rawat inap dengan
keadaan pasien yang sembuh dan sehat. Vaksin diberikan ulang dalam
rekomendasi setelah > 2 tahun dari pemberian awal. Efek samping vaksinasi
yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitiviti tipe 3, sehingga perlu monitoring terhadap hal
tersebut(DEPKES RI, 2005).
G. Kesimpulan
Dari praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa pneumonia adalah
inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, dan parasit). Pathogenesis dan patologi infeksi (Pneumonia)yaitu
infeksi paru-paru dengan virus menekan aktivitas antibakteri paru-paru dengan
mengganggu fungsi makrofag alveolar dan membersihkan mukosiliar,
sehingga membuat tahap untuk pneumonia bakteri sekunder. Transportasi
mukosiliar juga tertekan oleh etanol dan narkotika dan oleh penyumbatan
bronkus oleh lender, tumor, atau kompresi ekstrinsik. Klasifikasi pneumonia
berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 yaitu pneumonia bacterial dan
pneumonia non bacterial sedangkan berdasarkan klinis dan epidemiologisnya
dibagi menjadi 4 yaitu pneumonia komuniti (CAP), pneumonia nosocomial
(HAP), pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada penderita
immunocompromised.

Penatalaksanaan penyakit pneumonia secara Farmakologi yaitu rasa


sakit diberikan paracetamol inj dengan dosis 650 mg setiap 4 jam iv (prn)
(medscape). Batuknya diberikan acetlysisteine dengan dosis 200 mg tab 3 x 1
(medscape). Untuk mual dan muntah diberikan acitral syr dengan dosis 3 x 15
ml (prn) 30 – 60 menit sebelum makan (medscape). Untuk streptococcus
viridran (bakteri gram positif) diberikan levofloxacin inj dan cefoperazone inj
750 mg/hari iv, selama 3 hari (untuk maintenance diberikan dosis tunggal
antibiotic golongan sefalosporin yaitu cefixime dengan dosis 2 x 200mg PO
selama 11 hari) (medscape). Dan untuk dyspne (gangguan saluran nafas yang
disebabkan oleh levofloxacin) diberikn obat dengan dosis kombinasi yaitu
flixotide 2x1 resp dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam (medscape).
Kemudian terapinon farmakologi yaitu hindari lingkungan yang merupakan
faktor pajanan, rehabilitasi paru secara komprehensif, memperbaiki nutrisi,
dan memberikan edukasi kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Acetaminophen [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/tylenol-acetaminophen-343346 . Diakses
pada Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Acetylcysteine [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/n-acetylcysteine-mucomyst-
acetylcysteine-343425. Diakses pada Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Cefixime [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/combivent-respimat-albuterol-
ipratropium-343443. Diakses pada Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Cefixime [online]. Tersedia online pada


https://search.medscape.com/search/?q=Cefoperazone&. Diakses pada
Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Combivent [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/arnuity-ellipta-fluticasone-furoate-
inhaled-999960. Diakses pada Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Fluticasone [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/arnuity-ellipta-fluticasone-furoate-
inhaled-999960. Diakses pada Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Levofloxacin [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/levaquin-levofloxacin-systemic-
levofloxacin-342532. Diakses pada Minggu, 21 Oktober 2018

Anonim. 2018. Sucralfate [online]. Tersedia online pada


https://reference.medscape.com/drug/carafate-sucralfate-342006. Diakses
pada Minggu, 21 Oktober 2018
Anonim. 2018. Theophylline [online]. Tersedia online pada
https://reference.medscape.com/drug/theo-24-theochron-theophylline-
343447. Diakses pada Minggu, 21 Oktober 2018

DEPKES RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran


Pernapasan. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan RI

PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta: PDPA

Anda mungkin juga menyukai