Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PENYAKIT INFEKSI (PNEUMONIA)

Oleh :
Vincent Gunawan (161200098)
Yunita Triani (161200099)
Putu Aditya Sastra Dharma (161200100)
Putu Ari Krisna Wiratama (161200101)
Renaldi Pebridiansyah Irawan (161200102)
Sang Ayu Made Meildawati (161200103)

Hari/Tanggal : Selasa, 16 Oktober 2018


Dosen Pengampu: I.B.N. Maharjana, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt
A1D Farmasi Klinis

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi infeksi (Pneumonia)
2. Mengetahui pathogenesis dan patologi infeksi (Pneumonia)
3. Mengetahui klasifikasi pneumonia
4. Mengetahui tatalaksana penyakit pneumonia (Farmakologi & Non-Farmakologi.
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait infeksi (Pneumonia) secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

B. DASAR TEORI
1. Definisi
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan pneumonia
sebagai inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, dan parasit). Pneumonia yang disebabkan Myobacterium
tuberculosis tidak termasuk, sedangkan peradangan paru disebabkan
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bakan toksik, dan obat-obatan)
disebut Pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014).

2. Patogenesis dan Patologi


Mikroorganise mendapatkan akses ke saluran pernafasan bawah dengan tiga
rute. Organisme tersebut mungkin dihirup sebagai partikel aerosol, atau masuk ke
paru-paru melalui aliran darah dari tempat infeksi ekstrapulmoner. Namun, aspirasi
konten diorofaringeal, kejadian umum pada orang sehat dan sakit selama tidur,
adalah mekanisme utama dimana patogen paru mendapatkan akses ke saluran udara
dan alveoli yang normal steril. Ketika mekanisme pertahanan paru berfungsi

1
optimal, mikroorganisme yang disedot dibersihkan dari daerah sebelum infeksi
dapat terbentuk.Namun. aspirasi patogen potensial dari orofaring dapat
menyebabkan pneumonia jika pertahanan paru terganggu. Faktor yang
mempromosikan aspirasi, seperti sensorium yang berubah dan penyakit
neuromuscular, dapat menyebabkan peningkatan ukuran inoculum yang dikirim ke
saluran pernapasan bagian bawah, sehingga mekanisme pertahanan local yang luar
biasa. Infeksi paru-paru dengan virus menekan aktivitas antibakteri paru-paru
dengan mengganggu fungsi makrofag alveolar dan membersihkan mukosiliar,
sehingga membuat tahap untuk pneumonia bakteri sekunder. Transportasi
mukosiliar juga tertekan oleh etanol dan narkotika dan oleh penyumbatan bronkus
oleh lender, tumor, atau kompresi ekstrinsik. Semua faktor ini dapat sangat
mengganggu pembersihan paru untuk bakteri yang diaspirasi.
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme diparu.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganime dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi diparu sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada salurannapas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

2
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebaagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan oemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1ml) dapat memberikan titer
inoculum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama
dengan disaluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak
ditemuukan jenis mikroorganisme yang sama.
Patogen yang paling menonjol yang menyebakan Community-Acquired
Pneumonia (CAP) pada orang dewasa yang sehat adalah S. pneumoniae
(pneumococcus) dan mencakup hingga 75% dari semua kasus akut. Patogen umum
lainnya termasuk M. pneumonia, Legionella, C. pneumonia, H.influenzae, dan
berbagai virus termasuk influenza. 41,42 Community-Acquired Pneumonia yang
disebabkan oleh Staphylococcus aerus dan bakteri batang gram negative diamati
terutama pada geriatric, terutama mereka yang berada dipanti jompo, dan berkaitan
dengan alkoholisme dan kondisi yang melemahkan lainnya. Istilah atipikal dapat
digunakan pada pneumonia untuk menunjukkan bahwa pneumonia dapat
disebabkan oleh patogen atipikal. Meskipun terminologi yang lebih tua ini perlahan
memudar, atipikal pneumonia atau patogen atipikal mengacu pada pneumonia
(misalnya Pneumonia bilateral lobar dengan pewarnaan Gram negative sputum)
yang disebabkan oleh M. pneumonia, C.pneumonia, atau Legionella.
Bakteri basil aerob gram negative dan S. aureus adalah agen penyebab utama
hospital-acquired pneumonia. Bakteri anaerob adalah agen etiologi paling umum

3
dalam pneumonia yang mengikuti gross aspiration dari konten lambung atau
orofaring.
Pneumonia pada infant dan anak-anak disebabkan oleh mikroorganisme yang
lebih luas, dan tidak seperti situasi pada orang dewasa, nonbacterial pathogens
mendominasi, sebagian besar pneumonia terjadi pada kelompok usia pediatri
disebabkan oleh virus, terutama RSV, parainfluenza dan adenovirus. M. pneumonia
adalah patogen penting oleh older children. Diluar periode neonatal, pneumococcus
adalah bakteri patogen utama pada pneumonia masa kanak-kanan, diikuti oleh
kelompok A Streptococcus dan S.aureus, H.influenzae tipe b, yang pernah menjadi
patogen masa kanak-kanan utama, telah menjadi penyebab pneumonia yang jarang
terjadi sejak patogen masa kanak-kanak utama, telah menjadi oenyebab pneumonia
yang jarang terjadi sejak diperkenalkannya vaksinasi aktif terhadap organisme ini
pada akhir 1980an.

3. Klasifikasi Pneumonia
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya maupun
berdasarkan klinis dan epidemiologis.
a. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Penyebabnya
Berdasarkan penyebabnya, pneumonia dibedakan menjadi bacterial pneumonia
dan non bacterial pneumonia.
1) Bacterial Pneumonia
bacterial pneumonia terutama disebabkan oleh streptokokus gram positif
dan organisme gram negative yang biasanya menghuni saluran pencernaan
(enteric) serta tanah dan air (nonenterik). Sebagai tambahan, Legionella
yang merupakan organisme nonenterik dengan pewarnaan gram negative,
menyumbang sebagian kecil Bacterial pneumonia berupa community-and
hospital-acquired bacterial pneumonia, walaupun kejadian sebenarnya

4
mungkin tidak dilaporkan. Akhirnya, Myobacterium tuberculosis, acid-fast
staining bacillus, telah muncul kembali sebagai penyebab penting
pneumonia dipusat kota seluruh Amerika Serikat.
2) Non-Bacterium Pneumonia
Virus, species Myocoplasma, species Chlamydia, dan jamur diketahui
merupakan penyebab sindrom pneumonia pada semua kelompok umur.
Penyebutan atypical pneumonia, berbeda dari typical bacterial pneumonia
yang paling sering terlihat pada orang dewasa, telah digunakan untuk
menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh banyak agen ini.
b. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis Dan Epidemiologis
Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia diklasifikasikan menjadi
Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia), Pneumonia nosocomial
(hospital-acquired pneumonia.nosocomial pneumonia). Pneumonia aspirasi,
Pneumonia pada penderita Immunocompromised
1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat dimasyarakat.
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan
bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan
dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan
dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram
negative. Berdasarkan laporan 5 tahun terakfir dari beberapa pusat paru di
Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makasar) dengan cara
pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda
didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
a) Klebsiella pneumonia 45,18%
b) Streptococcus pneumonia 14,04
c) Streptococcus viridans 9,21%

5
d) Staphylococcus aureus 9%
e) Pseudomonas aeruginosa 8,56%
f) Streptococcus hemolyticus 7,89%
g) Enterobacter 5,26%
h) Pseudomonas spp 0,9%
2) Pneumonia nosocomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial
pneumonia)
Pneumonia nosocomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien
48 jam dirawat dirumah sakit dan disingkirkan semua ineksi yang terjadi
sebelum masuk rumah sakit. Setelah saluran kemih dan aliran darah, paru-
paru adalah tempat infeksi yang paling sering didapat dirumah sakit.
Pneumonia nosocomial terlihat paling sering terjadi pada pasien dengan
critically ill. Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien terhadap
perkembangan pneumonia nosocomial meliputi tingkat keparahan penyakit,
durasi rawat inap, posisi terlentang, aspirasi yang disaksikan, koma, sindrom
gangguan pernafasan akut, transportasi pasien, dan paparan antibiotic
sebelumnya.
Faktor predisposisi terkuat, adalah ventilasi mekanis (intubasi), yang
melewati pertahanan alami dari saluran napas terhadap migrasi organisme
saluran pernapasan bagian atas ke saluran bawah. Keadaan ini diperparah
oleh penggunaan agen penghambat reseptor H2 secara luas diunit ICU, yang
meningkatkan PH sekresi lambung dan dapat meningkatkan proliferasi
mikroorganismedisaluran cerna bagian atas. Mikroaspirasi subklinis adalah
kejadian yang terjadi secara rutin pada pasien intubasi dan mengakibatkan
inokulasi kandungan lambung yang terkontaminasi bakteri ke paru-paru dan
kejadian pneumonia nosocomial yang lebih tinggi.

6
Ventilator-associated pneumonia dapat didiagnosis secara akurat oleh salah
satu dari beberapa kriteria standar, termasuk pemeriksaan histopatologis
jaringan paru yang diperoleh dengan open-lung biopsy, kavitasi cepat
infiltrasi paru tanpa kanker atau tuberculosis, kultur cairan pleura positif,
dan species yang sama dengan antibiogram identic untuk patogen yang
diisolasi dari darah dan sekresi pernapasan tanpa sumber bakteriemia lain
yang dapat diidentifikasi.
Organisme yang paling sering dikaitkan dengan pneumonia nosocomial
adalah S.aureus dan bakteri gram negative enteric (misalnya Klebsiella atau
E.coli) dan bakteri gram negative nonenterik (misalnya Pseudomonas),
organisme yang menjajah faring pasien yang dirawat dirumah sakit dan
kritis. Diagnosis pneumonia nosocomial biasanya ditemukan dengan adanya
infiltrasi baru pada radiografi dada, demam. Status pernafasan yang
memburuk, daan munculnya sekresi pernafasan kental dan neutrophil.
Sebenarnya diagnosisnya seringkali sulit dilakukan pada pasien yang sakit
parah dengan patologi paru yang mendasarinya yang dapat dikaitkan dengan
radiografi perubahan abnormal, seperti yang terjadi pada gagal jantung
kongesif atau penyakit paru-paru kronis. Antibiotic spectrum luas sering
dimulai secara empiris bahkan dalam keadaan samar, dengan bronkoskopi
yang diperuntukkan bagi pasien dengan responsif yang buruk.
Pneumonia aspirasi
3) Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia akibat regurgitasi cairan saluran
cerna ke paru, terjadi pada penderita penurunan kesadaran seperti
penyalahgunaan obat, kejang, gangguan serebrovaskular atau dalam
pengaruh pembiusan.
4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised

7
Pneumonia pada penderita immunocompromised merupakan pneumonia
yang terjadi pada seseorang dengan defek system imun humoral dan selular.

4. Tatalaksana Terapi Pneumonia


Farmakoterapi antimikroba yang sesuai untuk penyakit infeksi tertentu
memerlukan pengetahuan tentang patogen yang menginfeksi, karakteristik inang
(host), dan aktivitas yang diharapkan obat terhadap patogen. Aspek terapi yang
paling mendasar dimulai dengan diagnosis yang tepat. Berbagai macam tes
laboratorium tersedia untuk membantu dokter dalam memverifikasi adanya infeksi
dan untuk memantau respon terhadap terapi. Meski bermanfaat, tes ini bertujuan
pada interpretasi dan tidak dapat digantikan dengan penilaian klinis yang baik.
Kelainan organis terhadap antimikroba yang diberikan adalah kunci untuk
menentukan hasil dari terapi pasien. Karakteristik host, seperti status kekebalan
tubuh, lokasi infeksi, dan fungsi tubuh-organ, berperan penting dalam memilih
antimikroba yang paling tepat untuk individu tertentu.
Prioritas pertama dalam menilai/melakukan assessment pada pasien
pneumonia adalah untuk mengevaluasi kecukupan fungsi pernafasan dan untuk
megetahui adanya tanda-tanda penyakit sistemik, khususnya dehidrasi atau sepsis
akibat kolapsnya peredaran darah. Oksigen atay pada kasus parah, ventilasi mekanis
dan resusitasi cairan harus diberikan seperlunya. Perawatan suportif lebih lanjut
pada pasien dengan pneumonia meliputi oksigen yang dilembabkan untuk
hipoksemia, pemberian bronkodilator (albuterol) saat ada bronkospasme, dan
fisioterapi dada dengan drainase postural jika terlihat bukti adanya sekresi yang
ditahan terlihat. Tambahan untuk terapi suportif termasuk hidrasi yang adekuat
(secara intravena jika perlu), dukungan nutrisi optimal, dan pengendallian demam.
Sampel sputum yang tepat dapat diperoleh untuk menentukan etiologi
mikrobiologis. Rehidrasi harus diberikan untuk mengganti kehilangan yang

8
mungkin terjadi akibat demam, asupan yang buruk, dan/atau muntah yang terjadi.
Pemilihan antimikroba yang tepat harus dilakukan berdasarkan data mikrobiologi
yang mungkin terjadi atau yang telah didokumentasikan pasien, distribusi disaluran
pernafasan, efek samping, dan biaya.
Penatalaksanaan secara umum pneumonia meliputi berdasarkan klinis dan
epidemiologis di/jabarkan sebagai berikut:
a. Terapi pada HAP dan VAP
Beberaapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosocomial ialah:
1. Semua terapi awal antibiotic adalah empiric dengan pemilihan antibiotik
yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang
mungkin sebagai penyebab, perhitungankan pola resistensi setempat.
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan
dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang
maksimal. Pemberian terapi empiris harus intravena dengan sulih terapi pada
pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang
baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan
respons klinis
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR.
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk.
6. Data mikroba dan sensitivity dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empiric apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian
antibiotik berdasarkan data microbial dan uji kepekaan tidak ada mengubah
mortaliti apabila terapi empiric telah memberikan hasil yang memuaskan.

9
Tabel 1. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa
factor resiko pathogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu
ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan
 Streptocoocus pneumonia Betalaktam + antibetalaktamase
 Haemophilus influenza (Amoksisilin klavulanat)
 Metisilin-sensitif Atau
Staphylocoocus aureus Sefalosporin G3 nonpseudomonal
 Antibiotik sensitive basil (Seftriakson, sefotaksim)
Gram negative enteric Atau
- Escherichia coli Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
- Klebsiella pneumonia Moksifloksasin)
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens

Tabel 2. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP untuk semua
derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen
MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi
 Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim,
pathogen pada Tabel 1 seftasidim, sefpirom)
Pseudomonas aeruginosa Atau
Klebsiella pneumonia Karbapenem antipseudomonal
(ESBL) (Meropenem, imipenem)
Acinetobacter sp Atau
β-laktam penghambat β lactamase
(Piperasilin-tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau

10
Methicillin resisten Aminoglikosida ( Amikasin, gentamisin
Staphylococcus aureus atau tobramisin)
(MRSA) ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin

Tabel 3. Dosis antibiotic intravena awal secara empiric untuk HAP dan VAP pada
pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen MDR (mengacu
pada ATS/IDSA 2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal
- Sefepim 1-2 gr setiap 8-12 jam
- Seftasidim 2 gr setiap 8 jam
- Sefpirom 1 gr setiap 8 jam
Karbapenem
- Meropenem 1 gr setiap 8 jam
- Imipenem 500 mg setiap 6 jam, 1 gr setiap 8 jam

Β-laktam penghambat β-laktamase 4,5 gr setiap 6 jam


- Piperasilin-tasobaktam
Aminoglikosida 7 mg/kg BB/hr
- Gentamisin 7 mg/kg BB/hr
- Tobramisin 20 mg/kg BB/hr
- Amikasin
Kuinolon antipseudomonal 750 mg setiap hari
- Levofloksasin 400 mg setiap 8 jam
- Siprofloksasin 15 mg/kg BB/12 jam
15mg/kgBB/12bjam
Vankomisin
600 mg setiap 12 jam
Linesolid 400 mg/ hari
Teikoplanin

11
Suspek HAP, VAP
(semua derajat)

Onset lanjut (≥ 5 hari ) atau terdapat factor


resiko untuk MDR

Tidak Ya

Antibiotik spectrum terbatas Antibiotik spectrum luas untuk


(Tabel 1) patogen MDR (Tabel 2)

Gambar 1. Skema terapi empiric untuk HAP dan VAP

Lama Terapi
Pasien yang mendapat antibiotic empiric yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya
bukan P. aeruginosa dan respon klinis pasien baik serta terjad resolusi gambaran klinis
dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila
penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14-21 hari.
Respons Terapi
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi.
Respons klinis terlihat setelah 48-72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak

12
merubah jenis antibiotic dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang
nyata.

b. Terapi pada CAP


Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga
diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan
resiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya
S.pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam factor modifikasi
adalah: (ATS 2001)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
- Umur lebih dari 65 tahun
- Memakai obat-obatan golongan β lactam selama tiga bulan terakhir
- Pecandu alcohol
- Penyakit gangguan kekebalan
- Penyakit penyerta yang multiple
b. Bakteri enteric Gram negative
- Penghuni rumah jompo
- Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
- Mempunyai kelainan penyakit multiple
- Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudmonas aeruginosa
- Bronkiektasis
- Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
- Pengobatan antibiotic spectrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
- Gizi kurang
Penatalaksaan pneumonia komuniti dibagi menjadi:

13
a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif/simptomatik
- Istirahat ditempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat peurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotic harus diberikan (sesuia bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita sawat inap di ruangan rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simpatimatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotic harus diberikan (sesuai dengan) kuramg dari 8 jam
c. Penderita sawat inap di ruangan rawat intensif
1. Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simpatimatik antara lain antipiretik, mukolitik
2. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
3. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD di observasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang
rawat biasa, bila terjadi respiratpry distress maka penderita dirawat di ruang
rawat intensif.
Rawat jalan:
 Tanpa faktor modifikasi
 Golongan B laktam atau B lacktam + anti laktamase
 Dengan faktor modifikasi:

14
Golongan B lacktam + anti B laktamase atau fluorokuinolon respirasi
(levofloksasin, moksifloksasia, gatifloksasia)
 Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin, klaritromisin, azitromisin)

Rawat inap:
 Tanpa faktor modifikasi
Golongan B laktam + anti B laktamase iv atau
Sefalosporin G2, G3 iv atau
Fluorokuinolon respirasi iv
 Dengan faktor modifikasi:
Sefalosporin G2, G3 iv atau
Fluorokuinolon respirasi iv
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru

Ruang rawat intensif :


Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas
 Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas
 Sefalosporin anti pseudomonas (spirofloksasin iv atau aminoglikosida
iv)
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik : (Sefalosporin anti
pseudomonas iv atau carbapenem iv ditambah lagi makrolid baru atau
Fluorokuinolon respirasi iv

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivity.

Pengobatan pneumonia atipik


Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk
atipik. Antibiotic terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh
M.pneumoniae, C. pneumonia dan Leginella adalah golongan:

15
- Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
- Fluorokuinolon respiness
- Doksisiklin

TERAPI SULIH (SWITCH THERAPY)


Masa perawatan dirumah sakit sebaiknya di persingkat dengan perubahan obat
suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya
perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus
memperhatikan ke tersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral
yang aktivitinya mampu mengimbangi aktiviti antibiotik iv yang telah digunakan.
Perubahan ini dapat diberikan secara sequwntial (obat sama, potensi sama), switch
over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi
lebih rendah)
 Contoh terapi sekuensial: levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
 Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral
 Contoh step down: amoksisilin, sefuroksin, sefatoksim iv ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4
diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat
suntik ke oral pada pneumonia komuniti:
 Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
 Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
 Penderita sudah tidak panas kurang lebih 8 jam
 Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk)
 Leukosit menuju normal / normal
EVALUASI PENGOBATAN
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kembali didiagnosis, faktor-faktor penderita, obat-

16
obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya seperti dapat dilihat pada
gambar 1.

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
Adapun alat yang digunakan yaiu sebagai berikut:
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan Koneksi Internet
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah sebagai berikut:
1. Text Book (Dipiro, Koda-Kimble, DIH, ESC dan JNC)
2. Data NIlai Normal Laboraturium
3. Evidence terkait ( Journal, Systematic, Review, Meta Analisis )

D. STUDI KASUS
Pasien NN didiagnosa dengan pneumonia CAP, asma bronchial sedang (MRS 11
januari 2017). Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu. Pasien mengeluh sesak sejak
kemarin, demam sejak 8 januari 2017, sudah berobat, sakit dirasakan menetap, sudah
diberikan nebul vemtolin di rumah tidak membaik. Apsien batuk, mual dan muntah 1x.
ketika MRS, TD:120/70, Temp: 36,3 celcius : HR : 120 x/minute, RR : 18 x/minute,
saturasi O2 : 98%. Kultur sputum: streptococcus viridran. Hasil pemeriksaan henatologi
adalah sebagai berikut.
Hb: 12,7; WBC: 290; Sodium:142; Potassium: 3,3; Chloride: 103; CRP quantitstive:
47,16 ; Kalium: 3,27

17
Blood gas:
- pH : 7,298
- PO2 : 49,1
- SO2 : 87
- T CO2 : 25
Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut
- Infus odana 1 amp + ns 500 ml/ 8 jam
- Infus aminophyllin 240 mg inj dalam ns 500/8 jam
- ns 3% 3x5 ml for nebul (stop tgl 14 jan)
- paracetamol inj 3 x 500 mg
- codein 10 mg tab 3 x 1 (stop tgl 14 jan)
- acetlysisteine 200 mg tab tab 3 x 1
- asam tranexamat 500 mg inj 3 x 1
- levofloxacin inj 1 x 750 mg
- cefoperazone inj 2 x 1 gram
- combivent reps setiap 4 jam 1 reps
- flixotide reps 3 x 1 rep
- methylprednisolon inj 3 x 625 mg
- sulcrafat syr 3 x 15 ml
- omeprazole 40 mg inj 2 x 40 mg
- acitral syr 3 x 15 ml

BAB II
FORM SOAP

18
PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Tn./Ny. : NN
Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS: 11 Januari 2017
Usia : 66 tahun Tgl. KRS:
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 65 kg

Presenting Complaint
Pasien menegeluh sesak nafas, demam, batuk, mual dan muntah.

Diagnosa kerja :-
Diagnosa banding :-

 Relevant Past Medical History:


Pneumonia CAP dan Asma Bronchial sedang

Drug Allergies:
Antibiotik Penisilin

Tanda-Tanda Vital 11 januari 2017

19
Tekanan darah (mmHg) 120/70
Nadi 120x/mnt
Suhu (oC) 36,3oC
RR 18x/mnt

Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
10 mg setiap hari
dengan SC/
Untuk
1 amp + ns 500 IMinj. Sebagai
1 Infus Adona menghentikan
ml/8 jam alternatif, 25-100 mg
perdarahan
per hari dengan infus
IV atau infus tetes.
Untuk mencegah
batuk dan
240 mg inj
kesulitan bernafas
2 Infus Aminophyllin dalam ns 500 6-7 mg/kg IV
karena penyakit
ml/8jam
paru-paru yang
berkepanjangan
Nebul (stop tgl 14
3 ns 3% 3x5 ml Dosis Individual
jan)
1,25 mg/kg IV setiap 4
4 Paracetamol inj Untuk analgetik 3x500mg
x sehari
Codein (stop tgl 14 Untuk meredakan 15-30 mg 3-4 kali
5 10 mg tab 3x1
jan) batuk sehari.
Untuk
600 mg POq 12hr
6 Acetlysisteine mengencerkan 200mg tab 3x1
selama 2 hari
dahak
Untuk mengurangi
1-1,5 g atau 15-25 mg /
7 Asam tranexamat atau menghentikan 500 mg inj 3x1
kg
perdarahan
500 mg PO / IV sekali
Obat antibiotik sehari selama 7-14 hari
8 Levofloxacin inj golongan 1x750 mg atau 750 mg PO / IV
quinolone sekali sehari selama 5
hari
Golongan 2-4 g setiap hari dalam
9 Cefoperazone inj 2x1 gram 20
antibiotik 2 dosis terbagi,
sefalosporin meningkat menjadi 12
g setiap hari
Untuk mengobati
penyakit saluran
10 Combivent reps 4 jam 1 resp 3 ml tiap 6 jam
pernafasan, untuk
obat sesak
Sebagai obat anti
Methylprednisolon
11 inflamasi dan 3x625 mg 500-2000 mcg2x sehari
inj
kortikosteroid
Untuk mengobati
tukak lambung
dengan cara 30mg IV tiap 12 jam
12 Sulcrafat syr 3x15 ml
memberikan selama 5 hari
lapisan pada
lambung tersebut
1 g PO q6hr
40 mg inj 2x40
13 Omeprazole Obat lambung awalnya; pemeliharaan:
mg
1 g PO q12hr
20 mg PO qDay selama
14 Acitral syr Obat lambung 3x15 mg
4-8 minggu

Further Information
No Alasan Jawaban
Required
Berapa usia pasien, jenis Melengkapi data pasien dan 66
1 kelamin, tinggi badan, berat mengetahui faktor resiko pada tahun,Perempuan,
badan pasien? pasien 160cm, 65 kg,
Agar dapat mengetahui apakah
Apakah pasien memiliki Ya, Antibiotik
2 pasien memiliki riwayat alergi
riwayat alergi obat? Penisilin
pada obat yang akan di berikan

Problem List (Actual Problem)

21
Medical Pharmaceutical
Obat maag : C1. 3 : ada obat tanpa indikasi
 Omeprazole
Obat pendarahan : C1. 3 : ada obat tanpa indikasi
 Infus Adona
 Asam tranexamat

PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)
Ny. NN menegeluh sesak nafas sejak kemarin , demam sejak 8 jan 2017, batuk, mual dan
muntah.

Objective (signs)
Tanda-Tanda Vital 11 januari 2017
Tekanan darah (mmHg) 120/70
Nadi 120x/mnt
Suhu (oC) 36,3oC
RR 18x/mnt

LABORATORY TEST
Test (normal range) 11 Januari 2017

Hb (L:13-17 g/dL) 12,7


Wbc (4000-10000 mm3) 290
Sodium 142
Potassium 3,3
Choloride 103
CRP quantitative 47,16
Kalium 3,27
Blood gas :
 pH 7,298
 P O2 60,1

22
 P CO2 49,1
 S O2 87
 T CO2 25

Assesment (with evidence)


- Pasien termasuk menderita penyakit Pneumonia CAP/Peumonia Komuniti, karena
pada pemeriksaan Kultur sputrum disebabkan olah Steptococcus vidrian
- C1.3 : Tidak ada indikasi untuk obat
 Infus Adona, Asam traxenamat : untuk pendarahan
 Omeprazole : untuk maag
Plan (including primary care implications)

Problem Medik Planning Treatment

 Combivent nebul 3 ml setiap 6 jam tidak


melebihi 3ml/4jam (di Rumah Sakit).
Sesak nafas  Combivent aerosol 100 mcg/20 mcg per 1
aktuasi tidak melebihi 6 aktuasi (penobatan
di rumah)
 Sulcrafat sry 3x15 ml ( 1 jam sebelum
Mual dan muntah makan)
 Acitral syr (15 menit sebelum makan)
 Levofloxacin inj 1x750 mg dan
Cefoperazone inj 2x1 gram (1 jam setelah
Pneumonia CAP (Antibiotik)
makan) (Di Rumah Sakit)
 Jika pasien sudah membaik, Cefixime Oral
Batuk  Acetylsisteine 200 mg 3x1
 Paracetamol inj 3x500mg
 Paracetamol oral 3x500 mg ( Jika
Nyeri
merasakan nyeri di Rumah) (prn)

 Methylprednisolone inj 3x62,5 mg


Inflamasi
Hari ke-2 : 2x31,25 mg

23
Hari ke-3 : 2x16,5 mg
Hari ke-4 : 2x8 mg
Hari ke-5 : 2x4 mg
*Setelah label off, diberikan Flixotide
Aerosol

Terapi Non Farmakologi


 Istirahat di tempat tidur
 Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
 Bila panas tinggi perlu dikompres
Monitoring
 Efektivitas
Combivent : sesak nafas/bronkodilator
Sulcrafat sry : mual muntah
Paracetamol : analgetik
Levofloxacin : antibiotik
Cefoperazone : antibiotik
Acetlysisteine : batuk
Methylprednisolon : inflamasi
 Efek Samping Obat
Combivent : bronchitis, penyakit paru, sakit kepala dan batuk
Sulcrafat sry : konstipasi, diare dan mulut kering
Paracetamol : mual, muntah, sakit kepala dan insomia
Levofloxacin : mual, sakit kepala, diare, insomnia dan konstipasi
Cefoperazone : ruam kulit, mual, muntah dan diare
Acetlysisteine : ruam dan hipertensi
Methylprednisolon : insomnia, pusing dan mual

24
BAB III
PEMBAHASAN

Pada praktikum Farmakoterapi II kali ini, diketahui pasien bernama Ny. NN berusia 66
tahun, MRS 11 Januari 2017 didiagnosa dengan Pneumonia CAP dan Asma Broncial
sedang. Berdasarkan data subjective yang diperoleh, pasien (Tuan NMA) mengeluh
mengeluh sesak sejak kemarin, demam sejak 8 januari 2017, sudah berobat, sakit dirasakan
menetap, sudah diberikan nebul vemtolin di rumah tidak membaik. Pasien batuk, mual dan
muntah 1x. ketika MRS, TD:120/70, Temp: 36,3 celcius : HR : 120 x/minute, RR : 18
x/minute, saturasi O2 : 98%. Kultur sputum: streptococcus viridran. Hasil pemeriksaan
hematologi Hb: 12,7; WBC: 290; Sodium:142; Potassium: 3,3; Chloride: 103; CRP
quantitstive: 47,16 ; Kalium: 3,27;Blood gas (pH : 7,298;PO2 : 49,1;SO2 : 87;T CO2 : 25)
Berdasarkan assessment yang dilakukan, setelah dilakukan FIR diketahui bahwa pasien
memeliki riwayat alergi obat terhadap penisilin. Planning yang sesuai untuk kasus yang
dialami Ny. NN adalah dengan menjalankan terapi farmakologi maupun terapi non
farmakologi. Tujuan terapi dilakukan untuk mengurangi gejala, mengurangi keparahan
eksaserbasi dan meningkatkan status kesehatan.
Maka terapi pengobatan yang dapat disusun dalam Planning Therapy Ny. NN
adalah sebagai berikut.
a. C-1.3 : ada obat tetapi tidak ada indikasi
 Asam tranexamat inj : digunakan untuk Mengurangi atau menghentikan
perdarahan. Tetapi pasien tidak mengalami pendarahan sehingga asam
tranexamat termasuk ke dalam DRP.
 Infus adona : untuk perdarahan. Tetapi pasien tidak mengalami pendarahan
sehingga infus adona termasuk ke dalam DRP.
 Sulcrafat syr : untuk Tukak lambung. Tetapi pasien tidak mengalami tukak
lambung sehingga Sulcrafat syr termasuk ke dalam DRP.

25
b. C-1.5 : ada duplikasi dari obat yang tidak sesuai
Omeprazole inj : untuk mual, namun pasien telah mendapat obat acitral syr
sehingga pemberian omeprazole dihentikan.

Planning yang diberikan adalah terapi farmakologi dan non-farmakologi, tujuan


penatalaksanaan terapi yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi farmakologi
yang diberikan pada saat pasien berada di UGD yaitu diberikan obat bronkospasme yaitu
infus aminophylin dengan dosis 240 mg inj dalam ns 500 ml/8jam. Bronkospasme sendiri
merupakan penyempitan yang terjadi pada dinding bronkial, biasanya bersifat sementara
namun dapat menjadi akut dikarenakan peradangan pada lapisan paru-paru dan asma.
Untuk bakteri gram positifnya diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone inj dengan
levofloxacin inj 750 mg/hari IV selama 1 hari. Di berikannya obat cefoperazone di
karenakan cefoperazone merupakan obat antibiotic golongan sefalosporin, untuk
levofloxacin merupakan golongan antibiotic quinolone, di berikannya antibiotic tersebut di
karenakan pasien memiliki riwayat alergi pada golongan antibiotic penisilin.
Sedangkan pada saat pasien sedang di rawat inap diberikan obat untuk rasa
sakit/nyerinya yaitu paracetamol inj dengan dosis 650 mg setiap 4 jam IV (bila perlu). Obat
batuk diberikan acetylsisteine 200mg 3x1 tablet, untuk mual muntah diberikan acitral syr
3x15 mL sebelum makan (bila perlu), untuk bakteri gram positifnya diberikan levofloxacin
inj dan cefoperazone inj 750 mg/hari IV selama 2 hari. Dan yang terakhir untuk gangguan
saluran nafas yang disebabkan karena pemberian levofloxacin sehingga diberikan obat
dengan dosis combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Pada kasus ini diberikan pertolongan pertama pada penyakit pneumonia. Sehingga,
diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone inj dengan levofloxacin terlebih dahulu
selama 3 hari.
Mekanisme kerja combivent reps yaitu untuk menghambat reflex diperantai vagital
oleh aksi asetilkolin antagonis, mencegah peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler

26
yang disebabkan oleh interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos
(medsacpe). Sedangkan mekanisme kerja flixotide resp tidak diketahui dengan tepat tetapi,
agen telah terbukti menunjukkan efek antiinflamasi pada neutrofil, eosinofil, makrofag, sel
mast, limfosit, dan mediator (medscape). Karena terdapat mekanisme yang berbeda
sehingga, diberikan kombinasi untuk asma dengan memberikan kombinasi flixotide 2x1
resp dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Adapun terapi non farmakologi yang diterapkan untuk kasus ini yaitu:
 Hindari lingkungan yang merupakan faktor pajanan
Faktor pajanan merupakan syarat bagi determinan penyakit untuk bisa
menyebabkan penyakit atau memulai terjadinya infeksi.
 Rehabilitasi paru secara komprehensif
Seperti fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase
postural
 Memperbaiki nutrisi
Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan,
bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan
pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak
rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap
hipoksia dan hiperkapni.
 Memberikan edukasi kepada pasien
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan.

27
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan pneumonia sebagai
inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, dan parasit). Pneumonia yang disebabkan Myobacterium tuberculosis tidak
termasuk, sedangkan peradangan paru disebabkan nonmikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, aspirasi bakan toksik, dan obat-obatan) disebut Pneumonitis (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2014).
diketahui pasien bernama Ny. NN berusia 66 tahun, MRS 11 Januari 2017
didiagnosa dengan Pneumonia CAP dan Asma Broncial sedang. Berdasarkan data
subjective yang diperoleh, pasien (Tuan NMA) mengeluh mengeluh sesak sejak
kemarin, demam sejak 8 januari 2017, sudah berobat, sakit dirasakan menetap, sudah
diberikan nebul vemtolin di rumah tidak membaik. Pasien batuk, mual dan muntah 1x.
ketika MRS, TD:120/70, Temp: 36,3 celcius : HR : 120 x/minute, RR : 18 x/minute,
saturasi O2 : 98%. Kultur sputum: streptococcus viridran. Hasil pemeriksaan
hematologi Hb: 12,7; WBC: 290; Sodium:142; Potassium: 3,3; Chloride: 103; CRP
quantitstive: 47,16 ; Kalium: 3,27;Blood gas (pH : 7,298;PO2 : 49,1;SO2 : 87;T CO2 :
25)
Berdasarkan assessment yang dilakukan, setelah dilakukan FIR diketahui bahwa
pasien memeliki riwayat alergi obat terhadap penisilin.
Terapi farmakologi yang di berikan adalah sebagai berikut :
• Combivent nebul 3 ml setiap 6 jam tidak melebihi 3ml/4jam (di Rumah
Sakit).
• Combivent aerosol 100 mcg/20 mcg per 1 aktuasi tidak melebihi 6 aktuasi
(pengobatan di rumah)

28
• Sulcrafat sry 3x15 ml ( 1 jam sebelum makan)
• Acitral syr (15 menit sebelum makan)
• Levofloxacin inj 1x750 mg dan Cefoperazone inj 2x1 gram (1 jam setelah
makan) (Di Rumah Sakit)
• Jika pasien sudah membaik, Cefixime Oral
• Acetylsisteine 200 mg 3x1
• Paracetamol inj 3x500mg
• Paracetamol oral 3x500 mg ( Jika merasakan nyeri di Rumah) (prn)
• Methylprednisolone inj 3x62,5 mg
Hari ke-2 : 2x31,25 mg
Hari ke-3 : 2x16,5 mg
Hari ke-4 : 2x8 mg
Hari ke-5 : 2x4 mg
*Setelah label off, diberikan Flixotide Aerosol
Dan terapi Non-Farmakologi yang di berikan adalah sebagai berikut :
 Hindari lingkungan yang merupakan faktor pajanan
 Rehabilitasi paru secara komprehensif
 Memperbaiki nutrisi
 Memberikan edukasi kepada pasien

29
DAFTAR PUSTAKA

Ari Estuningtyas., Azali Arif. 2008. Obat Lokal. In Farmakologi dan Terapi Edisi V.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Kedokteran.
Krisna Adi Jaya,Made dkk.2017.Modul Pratikum Farmakoterapi II (Penyakit System
Pencernaan, Saluran Pernafasan, Dan Infeksi).Denpasar:Institut Ilmu kesehatan
Medika Persada Bali
Medscape application.2018.
PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPA

30

Anda mungkin juga menyukai