Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM I : PENYAKIT DISPEPSIA

KELOMPOK VII
OLEH :
Ni Nyoman Andilia Khisdhina (171200154)
Pande Galang Ayu Lestari (171200155)
Ni Putu Risma Riantini (171200156)
Putu Risma Meliana Ayu Sangging (171200157)
Si Luh Ayu Nyoman Shinta Pradewi (171200158)
Sindy Astika Darmayanti (171200159)

Dosen Pengampu : Dhiancinantyan Windydaca Brata Putri, S. Farm., M. Farm., Apt


Hari/Tanggal Praktikum : Rabu, 9 Oktober 2019

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
DENPASAR
2019
i
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………...……………………………. i

DAFTAR ISI .............................………………………………………………...... ii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1

1.1 Tujuan Praktikum ………………………………………………………. 1

BAB II DASAR TEORI ………………………………………………………….. 2

2.1 Definisi Dispepsia ………………………………………………………. 2

2.2 Epidemiologi Dispepsia ……………………………………….……… 2

2.3 Etiologi dan Patofosiologi Dispepsia……………………………….……... 3

2.4 Klasifikasi Dispepsia ………………………………………………………. 4

2.5 Assesment Klinis dan Diagnosa ………………………………………..…. 5

2.6 Farmakologi Dispepsia………………………………………………..……. 7

2.7 Tatalaksana Dispepsia ….…………………………………………………. 10

BAB III ALAT DAN BAHAN……………………………………………………… 13

3.1 Alat …………………………………………..…………………………… 13

3.2 Bahan …………………………………………………………………… 13

3.3 Kasus …………………………………………………………………… 13

BAB IV SOAP……………………………………………………………………… 14

4.1 SOAP KASUS 1…………………………………………………………… 20

4.2 SOAP KASUS 2…………………………………………………………… 20

BAB V PEMBAHASAN ………………………………………………………….. 26

ii
5.1 Studi Kasus………………………………………………………..……..…. 26

5.2 FIR…………………………………………………………………..……… 26

5.3 Terapi Sebelumnya………………………………………………….……... 29

5.4 Assesment…………………………………………….……………………. 29

5.5 Terapi Farmakologi…………… ………………………………………..…. 31

5.6 Terapi Non Farmakologi…………….……… ……………………..…..…. 36

5.6 Monitoring…………….……… ………………………………………..…. 37

BAB VI PENUTUP………………………………………………………………… 39

6.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 39

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dispepsia.
2. Mengetahui klasifikasi dispepsia.
3. Mengatahui patofisiologi dispepsia.
4. Mengetahui tatalaksana dispepsia (Farmakologi & Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait dispepsia secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP.

1
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Definisi Dispepsia


Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan
saluran pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu gangguan pencernaan yang paling
banyak diderita. Dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa nyeri atau tidak
menyenangkan pada bagian atas perut (Almatsier, 2004). Kata dispepsia berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “pencernaan yang jelek”. Dispepsia adalah ketidaknyamanan bahkan
hingga nyeri pada saluran pencernaan terutama bagian atas. Dispepsia merupakan
sekumpulan gejala seperti rasa panas di ulu hati, perih, mual, dan kembung. Penyebab
dispepsia bermacam- macam diantaranya tukak lambung dan peradangan pada lapisan
lambung yang disebabkan oleh obat NSAID, infeksi, alkhohol ( Ari F Syam, 2006).Moore
MC ( 1997 ) menyebutkan gangguan saluran pencernaan dapat disebabkan merokok,
penurunan tekanan spingter esofagus bawah, stres emosional, makanan yang memicu sekresi
asam lambung berlebihan seperti kopi, alergi atau sensitif terhadap makanan seperti merica,
cabe, jahe,rempah lain.Menurut Susanti (2011), kebiasaan mengkonsumsi makanan dan
minuman, seperti makan pedas, asam, minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi dapat
meningkatkan resiko munculnya gejala dispepsia. Suasana yang sangat asam di dalam
lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan.
Dispepsia menurut North of England dyspepsia Guideline Development Group
menyimpulkan suatu definisi yang luas dan sesuai dengan yang diadopsi dari Working Party
dan British Society of Gastroenterology (BSG) bahwa dispepsia merupakan gejala-gejala
yang terjadi di saluran cerna bagian atas, termasuk yang penyebabnya fungsional ( belum
diketahui dengan jelas penyebabnya ) maupun organik ( biasanya ada kelainan pada saluran
cerna ) ( Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017 ).

2.2 Epidemiologi Dispepsia


Keluhan berupa sindroma dispepsia merupakan keadaan yang sebenarnya sering
ditemui dalam praktek klinis sehari-hari. Prevalensi dispepsia di Amerika serikat sebesar 23-
25,8 %, di India 30,4 %, New Zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-41%.3
Diperkirakan bahwa hampir 30 % kasus pada praktek umum dan 60 % pada praktek
2
gastroenterologist merupakan kasus dispepsia. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia
2007, dispepsia menempati peringkat ke-10 untukkategori penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%. Sindroma
dispepsia dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu sindroma dyspepsia akibat
kelainan organik dan sindroma dispesia fungsional (non-organik)(Djojoningrat, 2009).
Berdasarkan survei epidemiologi kasus sindroma dispepsia akibat kelainan organic sebanyak
40 % dan fungsional sebanyak 60%. Hal tersebut menandakan bahawa angka kejadian
sindroma dispepsia akibat kelainan organik lebih sedikit dibandingkan dengan fungsional.
Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007,ditemukan peningkatan prevalensi
dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1998 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Dispepsia
fungsional di Indonesia pada tahun 2010 dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi yaitu 5
% dari seluruh kunjungan ke sarana pelayanan primer (Putri dkk, 2015).

2.3 Etiologi dan Patofosiologi Dispepsia


Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura
esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit
pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

Tabel1. Etiologi Dispepsia


Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia. Pada umumnya adalah
obat obatan OAINS ( Obat Anti Inflamasi Non Steroid ) yang dapat merusak mukosa
sehingga menyebabkan gastritis.

3
Tabel 2. Obat Yang Menjadi Penyebab Dispepsia
Terdapat faktor lain yang mempunyai peranan penting dalam timbulnya dispepsia,
antara lain: infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), dismotilitas saluran cerna dan sekresi
asam lambung, faktor psikososial seperti kolerasi dengan stress, kolerasi dengan kelainan
psikiatri dan tipe kepribadian. Penderita dispepsia yang terinfeksi H. pylori terjadi
peningkatan kadar GRP (Gastrin Releasing Peptide). Infeksi H. pylori dapat menimbulkan
terjadinya gastritis kronis secara bervariasi, yang ditandai dengan adanya infiltrasi neutrofil
dalam mukosa lambung dan produksi mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator
inflamasi tersebut dapat mempengaruhi sekresi asam lambung, dan mempengaruhi motilitas
lambung. Dismotilitas saluran cerna dapat menyebabkan waktu pengosongan lambung
tertunda/lambat, yang kemungkinan disebabkan terjadinya gangguan pada fundus lambung,
yang menyebabkan timbulnya dispepsia. Pada umumnya penderita dispepsia memiliki tingkat
sekresi asam lambung yang rata-rata normal. Tetapi adanya peningkatan sensitivitas mukosa
terhadap asam lambung menimbulkan rasa tidak nyaman padaabdomen( Krisna Adi Jaya dan
Oka Dwicandra, 2017 ).

2.4 Klasifikasi Dispepsia


Hasil pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas yang sering ditemukan pada kasus
dispepsia dapat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu ( Citra Yuriana Putri, 2016 ) :
a. Uninvestigated Dyspepsia

4
Suatu kondisi dimana pasien mengalami tanda tanda seperti nyeri pada abdominal
atas, heartburn, refluks asam lambung tanpa mual dan muntah, gejala tersebut bukan
merupakan tanda tanda gejala/kondisi yang berbahaya ( alarm signs ) sehingga tidak
perlu dilakukan endoskopi.
b. Investigated Dyspepsia
Investigated dyspepsia disebabkan oleh 4 faktor penyakit seperti PUD ( kerusakan
yang terjadi pada mukosa lambung/usus halus akibat dari asam lambung ), GERD (
bagian bawah esophagus terpapar pepsin dan asam lambung akibat refluks asam
lambung yang melewati sfingter esophagus ), NUD ( mengalami dyspepsia selama
beberapa minggu tetapi tidak ditemukan abnormalitas organ ), keganasan. Kondisi ini
dimana pasien mengalami tanda tanda gejala/kondisi yang berbahaya ( alarm signs )
sehingga memerlukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui penyebabnya.

2.5 Assesment Klinis dan Diagnosa Dispepsia

Gambar 1. Penilaian Klinis dan Diagnosis Dispepsia

Gejala-gejala dispepsia yang meliputi: nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen
bagian atas, seperti heartburn, refluks asam, mual dan muntah, terasa penuh, cepat kenyang,
5
tak suka makan, dan pengeluaran gas yang berlebihan (bersendawa). Walaupun gejala-gejala
tersebut tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab dari dispepsia, akan tetapi gejala
klinis tersebut harus ditindak lanjuti dengan memperhatikan ada atau tidaknya alarm signs
meliputi: pendarahan saluran cerna yang kronis (hematemesis, melena, anemia defisiensi
besi), penurunan beratbadan >10%, kesulitan menelan yang progresif, muntah yang menetap,
abdominal swelling; atau jika pasien berusia ≥55 tahun dengan gejala dispepsia tanpa sebab
yang jelas dan menetap.Selain itu dilakukan review tentang riwayat mengkonsumsi obat-
obatan yang mungkin menjadi penyebab dari dispepsia, misalnya: kalsium antagonis, nitrat,
teofilin, bifosfoalnat, steroid, dan NSAID.
Bila pada clinic assesment tidak ditemukan alarm signs dan pasien berusia <55
tahun, maka pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan. Pada kondisi ini pasien
dikategorikan mengalami uninvestigated dyspepsia.Endoskopi dilakukan hanya bila
muncul tanda alarm signs dan memiliki usia ≥55 tahun dengan gejala dispepsia tanpa sebab
yang jelas dan menetap. Pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan pada semua pasien
dengan beberapa alasan yaitu: biaya yang mahal dan adanya rasa tidak nyaman padapasien.
Pasien yang akan diendoskopi harus bebas dari Proton Pump Inhibitor (PPI) ataupun H2
Receptor Antagonist (H2RA) selama 2 minggu sebelum dilakukan endoskopi agar hasil
endoskopinya akurat dan tidak terjadi false negatif dalam memperlihatkan gambaran kondisi
lambung yang sebenarnya. Karena dikhawatirkan setelah diberi PPI atau H2RA maka erosi
atau ulkus yang ada menjadi hilang.
Beberapa metode untuk melakukan pemeriksaan H.pylori antara lain: Uji serologi,
faecal (stool) antigen testing, labelled C-urea breath tests. Uji serologi merupakan tes yang
paling murah dari ketiga tes tersebut, tetapi akurasinya kurang dengan sensitivitas dan
spesifikasi sebesar 80-90%. Faecal (stool) antigen testing lebih akurat dibandingkan dengan
uji serologi karena memiliki sensitivitas dan spesifikasi 90-100%. Labelled C-urea breath
tests juga lebih akurat dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki sensitivitas dan
spesifikasi >95%. Jika dilihat dari nilai sensitivitasnya dan spesifikasinya maka Labelled C-
Urea Breath Test memiliki nilai rentang yang paling dekat yaitu 100% sehingga dapat
disimpulkan uji ini yang paling akurat dibandingkan uji lainya( Krisna Adi Jaya dan Oka
Dwicandra, 2017 ).

6
2.6 Farmakologi Obat
i. Antasida
Golongan obat ini bekerja dengan cara menetralkan asam lambung secara lokal.
Obat antasida yang dijual di pasaran biasanya merupakan kombinasi dari Mg(OH) 2
dan Al(OH)3. Mg(OH) mempunyai efek laxative sedangkan Al(OH) mempunyai
efek konstipasi sehingga dikombinasikan. Selain itu, beberapa antasida juga
dikombinasikan dengan Dimethicone atau simetichone sebagai antiflatulen serta
dikombinasikan dengan obat golongan H2RA seperti Famotidin dan Cimetidin
(Lullman H. et al, 2000).

ii. Pompa Proton Inhibitor (PPI)


Inhibitor pompa proton merupakan obat yang memerlukan aktivasi di lingkungan
asam. Mekanisme kerjanya adalah memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase yang
akan memecah K+/H+ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli sel pariental kedalam
lumen lambung (Tarigan, 2001). Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan
ini meliputi omeprazole, lanzoprazol, esomeprazole dll.

7
iii. H2RA (H2 Receptors Antagonist)
H2RA atau antagonis reseptor H2 memiliki mekanisme kerjanya memblokir
histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel (Tarigan, 2001). Obat-
obatan yang termasuk dalam golongan ini meliputi ranitidine, cimetidine,
famotidine dll.

Blokade H2RA

8
iv. Analog Prostaglandin
Mekanisme kerjanya mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi mukus,
sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.Contoh obat yang termasuk
dalam golongan ini adalah misoprostol, namun obat ini dikontraindikasikan untuk
kehamilan karena dapat menyebabkan aborsi akibat peningkatan kontraktilitas uterus
(Tarigan, 2001).

v. Obat penangkal kerusakan mukosa


1). Koloid bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein pada
dasar tukak dan melindunginya terhadap rangsangan pepsin dan asam. Obat ini
mempunyai efek penyembuhan hampir sama dengan H2RA serta adanya efek
bakterisidal terhadap H. pylori sehingga kemungkinan relaps berkurang. Efek
samping tinja berwarna kehitaman sehingga timbul keraguan dengan perdarahan
(Tarigan, 2001).
2). Sukralfat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein
mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya
erosi dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida
bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sukralfat
juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi local
prostaglandin dan faktor pertumbuhan epidermal. Karena diaktivasi oleh asam,
maka disarankan agar sukralfat digunakan pada kondisi lambung kosong, satu
9
jam sebelum makan, selain itu harus dihindari penggunaan antasid dalam waktu
30 menit setelah pemberian sukralfat (Tarigan, 2001).

2.7 Tatalaksana Dispepsia


Tujuan umum penatalaksanaan dispepsia yaitu untuk mengontrol gejala dispepsia
secara efektif, sedangkan tujuan khususnya disesuaikan dengan penyebab dispepsia.Tujuan
khusus tersebut akan dibahas pada masing-masing penatalaksanaan dispepsia sesuai
penyebabnya.

a. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan Uninvestigated Dyspepsia adalah mengontrol secara efektif gejala
dispepsia, mengidentifikasi dan mengobati H.pylori, menceggah kekambuhan dan komplikasi
( Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017 ).

10
11
b. Non Farmakologi

1) Perubahan life style, termasuk menurunkan berat badan, makan makanan sehat dan
berhentimerokok.
 Penelitian mengenai life style untuk mengurangi gejala dispepsia sedikit
dan tidak meyakinkan.
 Studi epidemiologi menunjukan hubungan antara obesitas dan GORD,
tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dispepsia dan faktor-faktor lain
seperti: merokok, alkohol, kopi, dan makanan. Merokok, alkhol, kopi,
coklat memiliki efek relaksasi pada sfingter esofagus bawah. Obesitas
dapat mengacaukan sfingter esofagus bawah dengan mekanisme menekan
diafragma. Merokok meningkatkan pengeluaran asam lambung dan
menunda pengosongan asam lambung. Alkhol secara langsung
menyebabkan luka pada mukosa lambung dan menyebabkan NUD.
Makanan berlemak dapat menunda pengosongan lambung dan juga
mempengaruhi GORD. Walaupun demikian perubahan life style dapat
memberikan efek pada beberapa pasien dan secara umum bermanfaat
sehingga menyebabkan perubahan life style merupakan faktor yang
penting.
2) Terapi fisiologi
Terapi fisiologi meliputi psikoterapi dan terapi perilaku, dapat mengurangi
gejala dispepsia pada beberapa pasien.Pasien dengan NUD pada 3 percobaan
kecil diberikan intervensi, intervensipada percobaan pertama berupa 6 sesi
relaksasi dan sesi analisis situasi dalamwaktu 90 menit selama 12 minggu.
Percobaan kedua lagi berupa 10 sesi terapiindividual kongnitif dalam waktu 45
menit selama 4 bulan dan percobaanketiga menggunakan sesi terapi
psikodinamik selama 3 jam, diikuti oleh 6 sesidalam waktu 50 menit. Secara
psikologi menunjukan penurunan gejaladispepsia dalam waktu 3 bulan dan
berlangsung lama hingga 1 tahun (Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017).

12
BAB III
ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat
1. Form soap.
2. Form medication record.
3. Kalkulator scientific.
4. Laptop dan koneksi internet.

3.2 Bahan
1. Text book.
2. Data nilai normal laboratorium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

3.3 Kasus
Kasus 1
Ny. XY, 38 thn, datang ke apotek mengeluhkan rasa sesak, kembung, tidak enak
diperut bagian ulu hati. Pasien mengurangi rasa tidak enak dengan cara beberapa kali
makan dalam sehari. Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 2 minggu
terakhir. Pasien juga tidak mengeluhkan hal yang lain. Pasien memiliki riwayat
penyakit “maag” dan mengobati dirinya dengan obat maaf saja. Ny. XY belum
mengkonsumsi obat lainnya. Apoteker dari apotek ABC memberikan Polysilane ®
kepada Nn. XY. Temukan DRP pada kasus ini ?
Kasus 2
Nn. W, 26 thn, pergi ke dokter umum kembali dengan mengeluhkan rasa nyeri di ulu
hati bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan yang belum hilang.
Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 15 hari terakhir. Sebelumnya pasien
mendapatkan obat ranitidine tablet dan antasida sirup. Akhirnya Nn. W mendapatkan
rujukan untuk melakukan endoskopi di RS. Hasil dari endoskopi adalah gastritis ec
dyspepsia. Pasien kembali ke dokter dengan membawa hasilnya dan mendapatkan
obat berupa sulcrafat sirup, omeprazole tablet, domperidone tablet, dan antasida sirup.
Temukan DRP pada kasus ini

13
BAB IV
SOAP

FORM SOAP KASUS 1

PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Ny. XY

Jenis Kelamin : Wanita Tgl. MRS :


Usia : 38 Tahun Tgl. KRS :
Tinggi badan : Ideal
Berat badan : Ideal

Presenting Complaint

Rasa Sesak , Kembung, Tidak enak diperut bagian ulu hati

Diagnosa kerja : Uninvestigated Dyspepsia

Diagnosa banding : Dispepsia Akut (< 4 Minggu), yaitu 2 minggu terakhir

 Relevant Past Medical History: Penyakit Maag

Drug Allergies: Tidak ada keterangan

Tanda-tanda Vital tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl

Tekanan darah

14
Nadi

Suhu

RR

Medication

No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi


digunakan (literatur)

3-4 dalam sehari


Dispepsisa/ Menetralkan 2 x 1 tablet
(Dewasa)
1
Polysilane ® asam lambung (Underdoses)
(MIMS.COM)

LABORATORY TEST

Test (normal range) Tgl tgl

WBC (4000-10000/mm3)

Hb (L: 13-17 g/dL)

RBC (4-6x106/mm3)

Hct (L:40-54%)

PLT (150000-450000/mm3)

Gula darah puasa (76-110 mg/dL)

Gula darah 2 jam PP (90-130 mg/dL)

Cholesterol (150-250 mg/dL)

TG (50-200 mg/dl)

Uric acid (L:3,4-7 mg/dL)

Albumin (3,5-5,0 g/dL)

15
SGOT (0-35 u/L)

SGPT (0-37 u/L)

BUN (10-24 mg/dL)

Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)

Natrium (135-15 mEq/L)

Kalium (3,5-5,0 mEq/L)

Further Information Jawaban


No Alasan
Required Terkait FIR

Apakah pasien memiliki Untuk menentukan management terapi Tidak Ada Alergi
1.
riwayat alergi obat ? yang tepat untuk pasien

Untuk menghitung BMI normal pada Berat Badan dan


Berapa berat badan dan tinggi
2. pasien sehingga mempermudahkan Tinggi Badan
badan pasien ?
menentukan dosis yang tepat, Ideal

Apakah sudah pernah Untuk mengetahui penyebab dari Tidak Ada


3.
melakukan tes laboratorium ? dispepsia dan klasifikasi dispepsia

Untuk mengetahui apakah pasien Warna feses


Apakah feses pasien
4. mengalami pendarahan pada lambung normal, tidak
berwarna hitam?
atau tidak. berwarna hitam

Untuk mengetahui penyebab dispepsia Tidak ada


Apakah Pasien
yang dialami pasien , yang
5. mengkonsumsi obat golongan
kemungkinan bisa disebabkan oleh
NSAID ?
obat golongan NSAID

Apakah pasien Untuk mengetahui penyebab dispepsia Tidak


6.
mengkonsumsi alkohol ? yang dialami pasien

7. Apakah pasien perokok ? Untuk mengetahui penyebab dispepsia Tidak

16
yang dialami pasien

Berapakah aturan pakai untuk Bentuk Sediaan


Untuk menentukan ketepatan terapi
obat polysilane yang pasien Tablet
8. untuk pasien sudah tepat dan sesuai
minum ? dan bagaimana
atau belum 2 x1 tablet
bentuk sediannya ?

Problem List (Actual Problem)

Medical Pharmaceutical (DRP)

1 Dispepsia 1 M.1.1 Obat Tidak Efektif atau

Pengobatan Gagal

2 P.3.1 Dosis Obat Terlalu Rendah

3 C1.1 Obat yang tidak sesuai menurut

guideline

PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)

 Rasa Sesak , Kembung, Tidak enak diperut bagian ulu hati.

- Objective (signs)

 Tinggi Badan Ideal

17
 Berat Badan Ideal

BMI Ideal = 18,50 – 24,99 (Soernaryati, 2013)

Assesment (with evidence)

 Pasien terdiagnosa mengalami Uninvestigated dyspepsia karena gejala yang dialami


pasien bukan merupakan tabda-tanda/ gejala yang berbahaya (Alarm Sign) sehingga
tidak perlu dilakukan pemeriksaan endoskopis.

 Pasien terdiagnosa dyspepsia akut karena muncul dalam periode waktu yang cepat (<
4 minggu)

 Pasien termasuk dispefungsional karena penyebabnya belum diketahui dengan jelas.

 Polysilane = M.1.1 Obat Tidak Efektif atau Pengobatan Gagal

P.3.1 Dosis Obat Terlalu Rendah

C.1.1 Obat tidak sesuai menurut Guideline

Plan (including primary care implications)

 FARMAKOLOGI

1. Karena pasien termasuk uninvestigated dyspepsia, akut dyspepsia dan fungsioal


dyspepsia, maka diberikan obat golongan PPI (Pompa Proton Inhibitor) yaitu
Lansoprazole 20 mg, 1x sehari 1 tablet. Menurut Guideline NICE golongan obat PPI
(Pompa Proton Inhibitor) dinyatakan lebih efektif dari pada golongan antasida untuk
menangani kasus uninvestigated dyspepsia. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme PPI
yaitu menghambat produksi asam lambung, sehingga lebih efektif apabila
dibandingkan dengan golongan antasida yang hanya menetralkan asam lambung.
(Nice, 2014)

2. Golongan PPI memiliki efek sangat besar terhadap produksi asam. Golongan ini
selektif menghambat karbonat anhydrase mukosa lambung yang mungkin turut
berkontribusi terhadap sifat suspense asamnya (Parischa dan Hoorgrweth, 2008)

 NON FARMAKOLOGI

1. Istirahat yang cukup

18
2. Tidak Stress

3. Makan-makanan yang sehat

Monitoring

 Efektivitas

Dengan diberikannya lansoprazole , diharapkan dapat mengurangi gejala dyspepsia


yang dialami pasien, sehingga pasien tidak mengalami gejala dyspepsia.

 Efek Samping Obat

Lansoprazol: sakit kepala, diare, konstipasi, mual, sakit perut. (Medscape.com)

19
FORM SOAP KASUS 2

PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Ny. W

Jenis Kelamin : Wanita Tgl. MRS :

Usia : 26 Tahun Tgl. KRS :

Tinggi badan : -

Berat badan :-

Presenting Complaint

Rasa nyeri pada ulu hati atas dan bawah, mual muntah

Diagnosa kerja : Gastritis ec dispepsia

Diagnosa banding : Dispepsia Akut (< 4 Minggu), yaitu 15 hari terakhir

 Relevant Past Medical History: Penyakit Gigi

Drug Allergies: Tidak ada keterangan

20
Tanda-tanda Vital tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl

Tekanan darah

Nadi

Suhu

RR

Medication

No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi

digunakan (literatur)

1 Sucralfat Melapisi mucosa lambung - 3 x sehari 15 ml

Menghambat sekresi
2 Omeprazole - 1 x 1 30 mg kaps
lambung

3 Domperidone Mual - 3 x sehari 10 mg

Menetralkan asam
4 Antasida - 3-4 x sehari 5 ml
lambung

21
LABORATORY TEST

Test (normal range) Tgl tgl

WBC (4000-10000/mm3)

Hb (L: 13-17 g/dL)

RBC (4-6x106/mm3)

Hct (L:40-54%)

PLT (150000-450000/mm3)

Gula darah puasa (76-110 mg/dL)

Gula darah 2 jam PP (90-130 mg/dL)

Cholesterol (150-250 mg/dL)

TG (50-200 mg/dl)

Uric acid (L:3,4-7 mg/dL)

Albumin (3,5-5,0 g/dL)

SGOT (0-35 u/L)

SGPT (0-37 u/L)

BUN (10-24 mg/dL)

Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)

Natrium (135-15 mEq/L)

Kalium (3,5-5,0 mEq/L)

Further Information Jawaban


No Alasan
Required Terkait FIR

Apakah pasien memiliki Untuk menentukan management terapi Tidak Ada Alergi
1.
riwayat alergi obat ? yang tepat untuk pasien

2. Apakah Pasien Untuk mengetahui penyebab dispepsia Tidak ada

22
mengkonsumsi obat golongan yang dialami pasien , yang
NSAID ? kemungkinan bisa disebabkan oleh
obat golongan NSAID

Apakah pasien Untuk mengetahui penyebab dispepsia Tidak


3.
mengkonsumsi alkohol ? yang dialami pasien

Untuk mengetahui penyebab dispepsia Tidak


4. Apakah pasien perokok ?
yang dialami pasien

Problem List (Actual Problem)

Medical Pharmaceutical (DRP)

1. Gastritis M.3.2

P.1.2

2. Nafsu Makan M.1.4

P.1.5

PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)

 Rasa nyeri pada ulu hati bagian atas dan bawah, mual, muntah, penurunan nafsu
makan yang hilang selama 15 hari terakhir.

- Objective (signs)

 Pemeriksaan endoskopis

 Hasil endoskopis adalah dyspepsia maka kondisi pasien digolongkan investigated


dyspepsia

 Tidak ditemukan infeksi bakteri

23
 Berat Badan Ideal

Assesment (with evidence)

 Pasien terdiagnosa mengalami Ininvestigated dyspepsia karena gejala yang dialami


pasien merupakan tanda-tanda/ gejala yang berbahaya (Alarm Sign) dan telah
dilakukan pemeriksaan endoskopis.

 Pasien terdiagnosa dyspepsia akut karena muncul dalam periode waktu yang cepat (<
4 minggu)

 Dispepsia = M.3.2 Obat Tidak Diperlukan

P.2.1 Tidak ada indikasi penggunaan obat atau obat tidak jelas

 Penurunan nafsu makan = M.1.4 Ada indikasi tidak diresepkan

P.1.5 Ada indikasi tapi obat tidak diresepkan

Plan (including primary care implications)

 FARMAKOLOGI

1. Karena pasien termasuk Investigated dyspepsia dan akut dyspepsia, maka diberikan
obat golongan PPI (Pompa Proton Inhibitor) yaitu Omeprazole 1 x sehari 20 mg.
Obat diberikan low dose karena berdasarkan penatalaksanaan terapi untuk pasien
yang digolongkan investigated dyspepsia diberikan low dose untuk dosisi awal
pengobatan.

2. Menurut Buku Penggunaan Penghambat Pompa Proton pada Gangguan Sekresi


Asam Lambung, 2002. Golongan obat PPI (Pompa Proton Inhibitor) dinyatakan
lebih efektif dari pada golongan antasida maupun golongan H2RA. Hal ini dapat
dilihat dari mekanisme PPI yaitu menghambat produksi asam lambung, sehingga
lebih efektif apabila dibandingkan dengan golongan antasida yang hanya
menetralkan asam lambung. Maka dari itu penggunaan obat H2RA (Rnitidin) dan
Antasida tidak diperlukan atau distop

3. Golongan sucralfat tidak diperlukan dalam pengobatan karena kondisi pasien tidak
mengalami kerusakan.

4. Penangana nafsu makan menghilang tidak diperlukan penambahan obat vitamin


menambahkan nafsu makan karena itu merupakan suatu gejala.

24
 NON FARMAKOLOGI

1. Istirahat yang cukup

2. Tidak Stress

3. Makan-makanan yang sehat

Monitoring

 Efektivitas

Dengan diberikannya Omperazole dan Domperidone , diharapkan dapat mengurangi


gejala dyspepsia yang dialami pasien, sehingga pasien tidak mengalami gejala
dyspepsia.

 Efek Samping Obat

Omperazole : Gangguan Pencernaan, diare, sakit kepala, sembelit dan batuk.


Domperidone : Pusing, sakit kepala, mengantuk, diare.
(MIMS.COM)

25
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Studi Kasus


5.1.1 Kasus 1
Berdasarkan kasus yang telah ditelaah, pasien yang bernama XY dengan jenis
kelamin perempuan, berusia 38 tahun, memiliki tinggi badan ideal dan berat badan ideal.
Datang dengan keluhan sesak, kembung, tidak enak di bagian perut pada ulu hati. Pasien
sebelumnya pernah menderita penyakit maag. Pasien juga tidak melakukan pemeriksaan
laboratorium untuk mengetahui penyabab dari penyakit ini.

5.1.2 Kasus 2
Berdasarkan kasus yang telah ditelaah, pasien yang bernama W dengan jenis
kelamin perempuan, berusia 26 tahun. Datang dengan keluhan rasa nyeri pada ulu hati
bagian atas, dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan. Pasien sebelumnya pernah
menderita penyakit gigi. Pasien juga melakukan pemeriksaan laboratorium endoskopi.

5.2 FIR (Further Information Required)


5.2.1 FIR Kasus 1
FIR merupakan suatu informasi tambahan yang bisa kita gali dari pasien untuk
dapat menentukan terapi dengan benar dan tepat. FIR yang dapat ditanyakan kepada
pasien Ny. XY yaitu sebagai berikut:
1. Riwayat alergi obat.
Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan kepada pasien agar Apoteker dapat
memberikan pengobatan yang tepat tanpa menimbulkan alergi pada pasien.
Berdasarkan pemaparan dari pasien, tidak ada alergi obat yang diderita oleh
pasien.
2. Tinggi dan berat badan pasien
Pertanyaan ini ditanyakan karena sebelumnya pasien tidak diketahui tinggi dan
berat badannya, sehingga pertanyaan ini enting untuk menentukan BMI dari
pasien untuk menentukan apakah pasien underweight, normal, atau overweight.

26
Berdasarkan pemaparan pasien, tinggi badannya adalah ideal dengan berat
badan ideal. Sehingga, berdasarkan data dari pasien, dapat ditentukan BMI nya
dengan menggunakan rumus berikut.

Berdasarkan perhitungan berat badan dan tinggi badan pasien yang ideal maka
disimpulkan BMI pasien memasuki nilai normal dari BMI adalah 18.5-24.99.

Gambar 1.1 Kategori BMI


(Soenaryati, 2013)

3. Melakukan tes laboratorium terkait dyspepsia


Tes laboratorium dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab dan klasifikasi
dyspepsia yang diderita oleh pasien. Berdasarkan pemaparan dari pasien,
belum pernah melakukan pemeriksaan laboratorium sebelumnya. Sehingga
dapat disarankan kepada pasien untuk melakukan tes laboratorium agar dapat
menentukan penyebab dari dyspepsia tersebut.
4. Merokok atau minum alkohol
Merokok atau minum alkohol merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya
dyspepsia. Pasien tidak meminum alkohol dan merokok.
5. Warna Feses pasien
Warna feses pasien dapat menentukan apakah pasien mengalami pendarahan
pada saluran pencernaan atau organ dalam. Jika feses berwarna hitam
menandakan bahwa pasien mengalami pendarahan pada saluran cerna.
Berdasarkan pemaparan, pasien memiliki warna feses yang tidak hitam atau
dapat dikatakan normal.
6. Mengkonsumsi Obat Golongan NSAIDS

27
Penggunaan obat-obat sebelumnya terutama golongan NSAIDS patut untuk
ditanyakan untuk mengetahui penyebab lain dari penyakit dyspepsia yang
diderita oleh pasien. Berdasarkan pemaparan yang diberikan oleh pasien,
pasien tidak mengkonsumsi obat golongan. Sehingga, dyspepsia yang diderita
pasien tidak disebabkan karena riwayat penggunaan obat golongan NSAIDS.
7. Aturan Pakai dan Bentuk sediaan Polysilane
Pertanyaan ini patut dipertanyakan guna mengetahui ketepatan terapi sesuai
dengan penyakitnya. Berdasarkan pemaparan pasien dikatakan bahwa pasien
menjapatkan tablet dengan aturan pakai 2 x 1 tablet. Dimana aturan pakai ini
tidak efektif karena menurut mims.com aturan pemakaian tablet dewasa adalah
3- 4 kali dalam sehari.

5.2.2 FIR Kasus 2


FIR merupakan suatu informasi tambahan yang bisa kita gali dari pasien
untuk dapat menentukan terapi dengan benar dan tepat. FIR yang dapat ditanyakan
kepada pasien Ny. XY yaitu sebagai berikut:
1. Riwayat alergi obat.
Pertanyaan ini penting untuk ditanyakan kepada pasien agar Apoteker dapat
memberikan pengobatan yang tepat tanpa menimbulkan alergi pada pasien.
Berdasarkan pemaparan dari pasien, tidak ada alergi obat yang diderita oleh
pasien.
2. Melakukan tes laboratorium terkait dyspepsia
Tes laboratorium dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab dan klasifikasi
dyspepsia yang diderita oleh pasien. Berdasarkan pemaparan dari pasien,
pernah melakukan pemeriksaan laboratorium sebelumnya yaitu pemeriksaan
endoskopi
3. Merokok atau minum alkohol
Merokok atau minum alkohol merupakan faktor yang dapat memicu terjadinya
dyspepsia. Pasien tidak meminum alkohol dan merokok. Pasien tidak merokok
dan minum alkohol.
4. Mengkonsumsi Obat Golongan NSAIDS

28
Penggunaan obat-obat sebelumnya terutama golongan NSAIDS patut untuk
ditanyakan untuk mengetahui penyebab lain dari penyakit dyspepsia yang
diderita oleh pasien. Berdasarkan pemaparan yang diberikan oleh pasien,
pasien tidak mengkonsumsi obat golongan. Sehingga, dyspepsia yang diderita
pasien tidak disebabkan karena riwayat penggunaan obat golongan NSAIDS.

5.3 Terapi Sebelumnya


5.3.1 Terapi Sebelumnya Kasus 1
Karena pasien sempat menderita penyakit maag, maka terapi yang diberikan oleh
dokter adalah polysilane. Obat polysilane ini diindikasikan untuk menetralkan asam
lambung dengan dosis yang diberikan kepada pasien adalah 2 x 1 tablet. Untuk dosis
literature yang disarankan untuk penggunaan obat polysilane ini adalah 3-4 x sehari
(MIMS). Berdasarkan dosis literature dan dosis yang diberikan kepada pasien
mengalami underdose.

5.3.2 Terapi Sebelumnya Kasus 2


Pasien sebelumnya diberikan obat antasida sirup dan tablet. Lalu pasien sempat
melalukan pemeriksaan endoskopi dan hasil pemeriksaannya adalah gastritis ec
dyspepsia maka pasien mendapatkan obat berupa sucralfat sirup, omeprazole tablet,
domperidone tablet dan antasida sirup.

5.4 Assessment
5.4.1 Assessment Kasus 1
Assessment dapat ditentukan dari keluhan yang diderita oleh pasien dan tanda
bahaya yang dialami pasien. Keluhan dari pasien adalah sesak, kembung, tidak enak di perut
bagian ulu hati yang terjadi selama 2 minggu terakhir. Tanda-tanda berbahaya pada
dyspepsia adalah pendarahan pada saluran cerna, kesulitan menelan yang progresif,
abmoninal swelling, muntah yang menetap dan jika pasien berada 55 tahun dengan gejala
dengan tanpa sebab yang jelas dan menetap (Jaya, 2013). Pasien tidak mengalami tanda-
tanda berbahaya, jadi tidak perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan endoskopi
hanya dapat dilakukan jika pasien mengalami tanda-tanda berbehaya dari penyakit

29
dyspepsia, pasien berusia 55 tahun dan jika gejalanya tanpa sebab yang jelas dan menetap.
Jika dilihat dari umur pasien, pasien berusia 20 tahun dan pemeriksaan endoskopi hanya
dilakukan pada pasien yang berada 55 tahun, maka dari itu tidak dilakukan pemeriksaan
endoskopi. Jika dilihat dari keluhan pasien, tanda bahaya dan pemeriksaan endoskopi maka
pasien termasuk ke dalam uninvestigated dyspepsia. Pasien dikategorikan ke dalam
uninvestigated dyspepsia karena pasien tidak membutuhkan pemeriksaan endoskopi dan
tidak ada tanda-tanda berbahaya yang dialami oleh pasien (PGI, 2014). Untuk DRP (Drug
Related Problem), P.3.1 Dosis obat terlalu rendah , C.1.1 Obat yang tidak sesuai menurut
guideline, M.1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal.
Setelah dilakukan assasement, maka planning yang dapat dilakukan kepada pasien,
yaitu:
1. Lansoprazole 30 mg , 1 kali sehari sebelum makan, untuk mengatasi dispepsia
(maag, sesak, kembung, serta tidak enak pada uluhati)

5.4.2 Assessment Kasus 2


Assessment dapat ditentukan dari keluhan yang diderita oleh pasien dan
tanda bahaya yang dialami pasien. Keluhan dari pasien rasa nyeri ulu hati bagian atas dan
bawah, mual, muntah, yang merupakan salah satu gejala dyspepsia, serta penurunan nafsu
makan yang sudah dialami pasien selama 15 hari terakhir. Pasien mengalami tanda-tanda
berbahaya, jadi tidak perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi. Berdasarkan hasil
pemeriksaan endoskopi, maka hasilnya gastritis ec dyspepsia dan tidak ditemukan bakteri
H.pylory pada pasien. Jika dilihat dari keluhan pasien, tanda bahaya dan pemeriksaan
endoskopi maka pasien termasuk ke dalam investigated dyspepsia. Pasien dikategorikan ke
dalam investigated dyspepsia karena pasien membutuhkan pemeriksaan endoskopi dan ada
tanda-tanda berbahaya yang dialami oleh pasien (PGI, 2014). Untuk DRP (Drug Related
Problem), M.3.2 Obat tidak diperlukan dan P.1.2 tidak ada indikasi penggunaan obat atau
obat tidak jelas.
Setelah dilakukan assasement, maka planning yang dapat dilakukan kepada pasien,
yaitu:
1. Omeprazole 10 mg (Low Dose) , 1 kali sehari sebelum makan pada pagi hari , untuk
mengatasi dispepsia

30
2. Domperidone 10 mg, 3 x sehari, untuk meringankan rasa mual dan muntah
(Antiemetik)

5.5 Terapi Farmakologi


5.5.1 Terapi Farmakologi Kasus 1
Terapi yang diberikan sebelumnya kepada pasien adalah diberikan obat polysilane
dengan diminum 2 x 1 tablet. Tetapi untuk pengobatan uninvestigated dyspepsia, obat
PPI lebih baik dibandingkan dengan antasida dan H2RA (H2 Reseptor Antagonis). Hal
tersebut dikarenakan obat PPI lebih dapat mengurangi gejala dibandingkan dengan
pemberian antasida. Bersadarkan guideline, pemberian PPI juga lebih efektif dan lebih
murah untuk pengobatan jangka panjang.
1. PPI dengan Antasida
Pemberian PPI lebih efektif dibandingkan dengan pemberian antasida untuk
pengobatan uninvestigated dyspepsia. Menurut rasio risiko yang dikumpulkan
untuk penilaian global gejala adalah 0,72 (95% CI: 0,64-0,80; Q: p = 0,24;
ukuran: n / a). Tingkat rata-rata dalam antasid atau kelompok alginat adalah
63% dan PPI tercapai pengurangan absolut 18% (95% CI: 12% hingga 23%;
Q: p = 0,41; ukuran n / a) angka yang diperlukan untuk perlakukan untuk satu
responden tambahan 5,6 (95% CI: 4,3 hingga 8,3). Untuk heartburn, efeknya
adalah lebih besar, Rasio Risiko: 0,52 (95% CI: 0,45-0,60); Q: p = 0,96;
ukuran: n / a). Tingkat rata-rata heartburn pada kelompok antasid / alginat
adalah 56% dan PPI mencapai pengurangan absolut 25% (95% CI: 8% hingga
42%; Q: p = 0,002; ukuran n / a). Untuk nyeri epigastrik ada yang signifikan
heterogenitas dan rasio risiko tidak signifikan, Rasio Risiko: 0,84 (95% CI:
0,63-1,13; Q: p = 0,03; ukuran n / a). Tingkat rata-rata nyeri epigastrium pada
kelompok antasid adalah 46% dan PPI mencapai pengurangan absolut 8%
(95% CI: -4% hingga 18%; Q: p = 0,067; ukuran n / a).
2. PPI dengan H2RA
PPI lebih efektif dalam mengurangi gejala uninvestigated dyspepsia daripada
H2RA. Menurut rasio risiko yang dikumpulkan untuk penilaian global gejala

31
adalah: 0,64 (95% CI: 0,58-0,72; Q: p <0,001; ukuran: n / a) meskipun ada
heterogenitas dalam ukuran efeknya. Tingkat rata-rata dalam kelompok H2RA
adalah 64% dan PPI mencapai pengurangan absolut dari 22% (95% CI: 13%
hingga 32%; Q: p = 0,06; ukuran n / a) angka yang diperlukan untuk mengobati
satu tambahan responden 4,5 (95% CI: 3,1-7,7). Rasio risiko yang
dikumpulkan untuk heartburn adalah: 0,46 (95% CI: 0,38-0,60); Q: p = 0,57;
ukuran: n / a). Rata-rata heartburn dalam kelompok H2RA adalah 36% dan
PPI mencapai absolut pengurangan 19% (95% CI: 15% hingga 24%; Q: p =
0,76; ukuran n / a). Untuk rasio risiko pooled untuk nyeri epigastrium adalah:
0,70 (95% CI: 0,59-0,83; Q: p = 0,33; ukuran n / a). Tingkat rata-rata nyeri
epigastrium pada kelompok H2RA adalah 38% dan PPI mencapai pengurangan
absolut sebesar 11% (95% CI: 7% hingga 16%; Q: p = 0,067; ukuran n / a)
3. H2RA dengan Antasida
Antara H2RA dan antasid tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil yang
diamati. Menurut rasio risiko dikumpulkan untuk penilaian global gejala
adalah 0,98 (95% CI: 0,78-1,24). Rasio risiko dikumpulkan untuk heartburt
adalah 0,86 (95% CI: 0,35-2,11). Maka kurang efektif untuk mendeteksi
pengurangan gejala pada heartburn symptoms
(Internal Clinical Guidelines Team. 2014)

Berdasarkan jurnal “The efficacy of Proton Pump Inhibitors in Nonulcer


Dyspepsia: A Systematic Review and Economic Analysis” menyebutkan bahwa
penggunaan obat golongan PPI lebih cost effectiveness apabila terdapat nyeri epigastrik.
Di mana pasien mengeluh nyeri pada ulu hati dimana hanya membayar $76/bulan bebas
dyspepsia. Penggunaan dyspepsia juga juga lebih efektif jika dilihat dari perspektif
health care. PPI yang dipilih adalah Lanzoprazol.

32
Gambar 1. Matheson, J.A and Jarvis, B. Lansoprazole An Update of its place in the
Management of AcidRelated Disorders Drug. 2001

Gambar 2. NICE, 2014

Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit dyspepsia yang dialami oleh Ny. XY
yaitu dengan pemberian obat lanzoprasol dengan dosis 30mg 1 kali sehari. Pemberian
obat golongan PPI lebih efektif dibandingkan dengan pemberian obat golongan
antasida, karena obat golongan PPI dapat menyebabkan nyeri episgatrik hanya sebesar
8% sedangkan antasida 46% (NICE, 2014). Lansoprasol yang memiliki efektifitas
sangat kuat dalam menghambat sekresi asam lambung (Srikandi, 2017). Obat golongan
PPI bekerja dengan cara memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase yang akan memecah
K+/H+ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli sel pariental kedalam lumen lambung (Tarigan,

33
2001). Dalam pemberian terapi dengan obat lanzoprasol dilakukan monitoring terhadap
efektivitas dari lanzoprasol dalam terapi untuk mengurangi gejala dyspepsia pasien
bahkan sampai hilang serta efek samping yang muncul seperti, Lansoprazol: sakit
kepala (3-7%), diare (1-5%), konstipasi (1-5%), mual (1-3%), sakit perut (1-3%)
(Medscape.com)

5.5.2 Terapi Farmakologi Kasus 2


Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit gastritis ec dyspepsia yang dialami
oleh Nn. W yaitu dengan pemberian obat Omeprazole dengan dosis 10 mg 1 kali sehari
dan domperidone 10 mg 3 kali sehari untuk mengatasi rasa rasa mual dan meringankan
frekuensi muntah pasien. Pemberian obat golongan PPI lebih efektif dibandingkan
dengan pemberian obat golongan antasida, karena obat golongan PPI dapat
menyebabkan nyeri episgatrik hanya sebesar 8% sedangkan antasida 46% (NICE,
2014). Obat golongan PPI bekerja dengan cara memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase
yang akan memecah K+/H+ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan menghasilkan energi
yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli sel pariental kedalam lumen
lambung (Tarigan, 2001). Pemilihan obat PPI berupa omeprazole adalah pilihan yang
efektif untuk dyspepsia tipe refluks. Dimana Dosis yang dipilihkan adalah 10 mg karena
berdasarkan literature dan penatalaksanaan terapi dijelaskan bahwa investigated
dyspepsia digunkan low dose untuk pengobatan pertama selama 1 bulan.

Gambar 1. Matheson, J.A and Jarvis, B. Lansoprazole An Update of its place in the
Management of AcidRelated Disorders Drug. 2001

34
Gambar 2. NICE, 2014

Pengobatan tambahan berupa domperidon untuk meringankan mual dan


muntah. Mekanisme dari antiemetic berupa domperidone yaitu menimbukan efek
antagonis terhadap dopamine perifer dan antagonis dopamine pada reseptor dopamine
sentral di chemoreceptor trigger zone sehingga menimbulkan efek gastrokinetik yang
akan meredakan mual dan muntah serta refluk asam lambung.

35
5.6 Terapi Non Farmakologi
5.6.1 Terapi Non Farmakologi Kasus 1 dan Kasus 2
Terapi non farmakologi juga sebaiknya diberikan kepada pasien untuk dapat
mempercepat tingkat kesembuhan dari pasien. Berdasarkan gaya hidup yang dijalani
oleh pasien, maka dapat ditentukan terapi non farmakologinya adalah sebagai berikut:
1. Tidak melakukan merokok
Tidak merokok merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi
gejala dari dispepsia. Kandungan zat kimia pada asap rokok sangat berbahaya,
di antaranya karbon berhetimida, nitrogen oksida, amonia, hidrogen sianida,
nikotin, dan lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon,
oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada
berbagai dampak rokok terhadap kesehatan.
Zat beracun yang terdapat dalam rokok mampu mengikis lapisan lambung
dan menyebabkan enzim pencernaan tidak berfungsi dengan baik, sehingga
menyebabkan perokok berat mengalami kesulitan dalam mencerna makanan
yang dikonsumsinya.Merokok juga dapat menambah modifikasi radang yang
terjadi karena bakteri HelicobacterPylori. Oleh karena itu mengurangi atau
bahkan berhenti menggunakan rokok dapat membantu menurunkan resiko
bahaya yang disebabkan oleh bahan kimia dari rokok,sertaresiko terinfeksinya
bakteri H. Pylori. Dengan berhenti merokok juga dapat meningkatkan kualitas
kesehatan.

2. Selalu mengkonsumsi makanan yang sehat untuk menjaga berat badan pasien
agar tetap normal dan untuk mengurangi gejala dyspepsia
Mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat akan membantu
meningkatkan kesehatan seperti meningkatkan kesehatan pada saluran cerna.
Untuk mencegah atau mengurangi gejala dispepsia yaitu dengan mengurangi
mengonsumsi makanan pedas. Makanan pedas secara berlebihan dapat
merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk
berkontraksi. Makananpedas,jugamengandung gas danasam. Suasana yang
sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang

36
tertelan bersama makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak, maka
suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding
lambung. Oleh karena itu mengurangi konsumsi makanan pedas dapat
mencegah timbulnya gejala yang dapat menyebabkan dispepsia.

3. Mengurangi atau mencegah beban kerja yang padat dengan cara melakukan
terapi fisiologi seperti prikoterapi untuk mencegah terjadinya stress yang
berlebih pada pasien.
Terapi fisiologi menggunakan psikoterapi ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan
organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti
disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan
terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua,
beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala
tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien
mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan
bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan
ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi ini
terbukti efektif pada pasien dengan uninvestigated dyspepsia. Terapi ini
membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah
episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai
ide-idepenyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan
tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004)

5.7 Monitoring
5.7.1 Monitoring Kasus 1
Monitoring yang dilakukan bisa dengan monitoring efektivitas dan memonitoring
efek samping obat, untuk melihat apakah terapi yang diberikan sudah efektif dan untuk
melihat efek samping dari pemberian terapi kepada pasien.
a. Monitoring efektivitas

37
Dengan pemberian terapi Lansoprazole diharapkan dapat mengurangi
gejala dyspepsia yang dialami pasien, sehingga pasien tidak mengalami
kekambuhan gejala dyspepsia.
b. Monitoring efek samping obat
Penggunaan Lanzoprazole dapat menyebabkan sakit kepala, diare,
konstipasi, mual, sakit perut. (Medscape.com)

5.7.2 Monitoring Kasus 2


Monitoring yang dilakukan bisa dengan monitoring efektivitas dan
memonitoring efek samping obat, untuk melihat apakah terapi yang diberikan sudah
efektif dan untuk melihat efek samping dari pemberian terapi kepada pasien.
a. Monitoring efektivitas
Dengan pemberian terapi Omeprazole dan Domperidone diharapkan
dapat mengurangi gejala Gastritis ec dyspepsia yang dialami pasien, sehingga
pasien tidak mengalami kekambuhan gejala dyspepsia.
c. Monitoring efek samping obat
1. Penggunaan Omeprazole dapat menyebabkan Gangguan Pencernaan, diare,
sakit kepala, sembelit dan batuk.Omperazole : Gangguan Pencernaan, diare,
sakit kepala, sembelit dan batuk. (MIMS.COM)
2. Penggunaan Domperidone dapat menyebabkan Pusing, sakit kepala,
mengantuk, diare. (MIMS.COM)

38
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. Dispepsia merupakan gejala-gejala yang terjadi di saluran cerna bagian atas,
termasuk yang penyebabnya fungsional (belum diketahui dengan jelas
penyebabnya) maupun organik (biasanya ada kelainan pada saluran cerna).
2. Kasus 1 Pasien terdiagnosa mengalami dyspepsia uninvestigated, hal ini
dikarenakan oleh pasien tidak mengalami tanda bahaya (alarm sign) dan umur
pasien 38 th yaitu <55 th sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi.
3. Kasus 2 Pasien terdiagnosa mengalami dyspepsia investigated, hal ini
dikarenakan oleh pasien mengalami tanda bahaya (alarm sign) dan pernah
dilakukan pemeriksaan endoskopi.
4. Untuk terapi farmakologi pada kasus 1 pasien diberikan obat golongan PPI yaitu
Lansoprazole 1 x 30 mg sebelum makan. Menurut guideline NICE golongan
obat PPI (pompa proton inhibitor) dinyatakan lebih efektif daripada antasida
untuk menangani kasus dyspepsia uninvestigated.
5. Untuk terapi farmakologi pada kasus 1 pasien diberikan obat golongan PPI yaitu
Omperazole 1 x 10 mg sebelum makan dan diberikan antiemetic berupa
domperidone 10 mg, 3 kali sehari untuk meredakan mual dan muntah.
6. Untuk terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan tidak melakukan aktivitas
merokok, selalu makan makanan yang bergizi dan mengurangi beban kerja agar
tidak menimbukan stress.

39
DAFTAR PUSTAKA

Djojoningrat, D. 2014. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I;

Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid1.

Edisi ke-4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease. 2018. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.

Koda-Kimble, Mary Anne., Lloyd Yee Young, et all. 2009. Applied Therapeutic The

Clinical Use of Drugs Ninth Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017, Modul Praktikum Farmakoterapi II (Penyakit
Sistem Pencernaan, Saluran pernafasan dan Infeksi), Program S1 Farmasi Klinis,
Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali, Denpasar.
Lullmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger, Color Atlas of Pharmacology, 2 rd, ed,

2000, 266-280

Matheson, J.A and Jarvis, B. Lansoprazole An Update of its place in the Management of

AcidRelated Disorders Drug. 2001;61(12):1801-1833

Moayyedi, Paul., et al. 2004. The efficacy of Proton Pump Inhibitors in Nonulcer

Dyspepsia: A Systematic Review and Economic Analysis. Gastroenterology division :

Canada

Mustawa, Indra, 2012. dkk. Peranan Amitriptilin Dalam Pengobatan Dispepsia Fungsional.

Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Universitas

Sumatera Utara

North of England Dyspepsia Guidelines Development Group. Dyspepsia: Managing

dyspepsia in adults in primary care. New Castle: Centre for Health Services

Research; 2004

40
Modul Praktikum Farmakoterapi II (Penyakit Sistem Pencernaan, Saluran Pernafasan dan

Infeksi). Program Stusi S1 Farmasi Klinis Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada

Bali.

North of England Dyspepsia Guidelines Development Group. Dyspepsia: Managing

dyspepsia in adults in primary care. New Castle: Centre for Health Services Research; 2004.

PGI, 2014. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter

pylori. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.

Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. 2017. Classification for Drug Related

Problem.

Putri Rizky Nanda, Yanti Ernalia dan Eka Bebasari, 2015, Gambaran Sindroma Dispepsia
Fungsional pada Mahasiswa. Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014,
JOM FK Vol. 2 No. 2

Soenaryati, S., Veria, V.A. 2013. Body Mass Index (BMI) Sebagai Salah Satu Faktor yang

Berkontribusi Terhadap Prestasi Belajar Remaja. Jurnal Visikes, Vol. 12 No. 2.

Tarigan C.J., 2001. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia
Organik. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.

Wells, Barbara G., Joseph T. Dipiro, et all. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth

Edition. USA: McGraw-Hill Education.

WWW.Medscape.com, diakses tanggal 10 Oktober 2018 dan 14 Oktober 2018

41

Anda mungkin juga menyukai