KELOMPOK VII
OLEH :
Ni Nyoman Andilia Khisdhina (171200154)
Pande Galang Ayu Lestari (171200155)
Ni Putu Risma Riantini (171200156)
Putu Risma Meliana Ayu Sangging (171200157)
Si Luh Ayu Nyoman Shinta Pradewi (171200158)
Sindy Astika Darmayanti (171200159)
COVER …………………………………………...……………………………. i
BAB IV SOAP……………………………………………………………………… 14
ii
5.1 Studi Kasus………………………………………………………..……..…. 26
5.2 FIR…………………………………………………………………..……… 26
5.4 Assesment…………………………………………….……………………. 29
BAB VI PENUTUP………………………………………………………………… 39
6.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi dispepsia.
2. Mengetahui klasifikasi dispepsia.
3. Mengatahui patofisiologi dispepsia.
4. Mengetahui tatalaksana dispepsia (Farmakologi & Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait dispepsia secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP.
1
BAB II
DASAR TEORI
3
Tabel 2. Obat Yang Menjadi Penyebab Dispepsia
Terdapat faktor lain yang mempunyai peranan penting dalam timbulnya dispepsia,
antara lain: infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), dismotilitas saluran cerna dan sekresi
asam lambung, faktor psikososial seperti kolerasi dengan stress, kolerasi dengan kelainan
psikiatri dan tipe kepribadian. Penderita dispepsia yang terinfeksi H. pylori terjadi
peningkatan kadar GRP (Gastrin Releasing Peptide). Infeksi H. pylori dapat menimbulkan
terjadinya gastritis kronis secara bervariasi, yang ditandai dengan adanya infiltrasi neutrofil
dalam mukosa lambung dan produksi mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator
inflamasi tersebut dapat mempengaruhi sekresi asam lambung, dan mempengaruhi motilitas
lambung. Dismotilitas saluran cerna dapat menyebabkan waktu pengosongan lambung
tertunda/lambat, yang kemungkinan disebabkan terjadinya gangguan pada fundus lambung,
yang menyebabkan timbulnya dispepsia. Pada umumnya penderita dispepsia memiliki tingkat
sekresi asam lambung yang rata-rata normal. Tetapi adanya peningkatan sensitivitas mukosa
terhadap asam lambung menimbulkan rasa tidak nyaman padaabdomen( Krisna Adi Jaya dan
Oka Dwicandra, 2017 ).
4
Suatu kondisi dimana pasien mengalami tanda tanda seperti nyeri pada abdominal
atas, heartburn, refluks asam lambung tanpa mual dan muntah, gejala tersebut bukan
merupakan tanda tanda gejala/kondisi yang berbahaya ( alarm signs ) sehingga tidak
perlu dilakukan endoskopi.
b. Investigated Dyspepsia
Investigated dyspepsia disebabkan oleh 4 faktor penyakit seperti PUD ( kerusakan
yang terjadi pada mukosa lambung/usus halus akibat dari asam lambung ), GERD (
bagian bawah esophagus terpapar pepsin dan asam lambung akibat refluks asam
lambung yang melewati sfingter esophagus ), NUD ( mengalami dyspepsia selama
beberapa minggu tetapi tidak ditemukan abnormalitas organ ), keganasan. Kondisi ini
dimana pasien mengalami tanda tanda gejala/kondisi yang berbahaya ( alarm signs )
sehingga memerlukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui penyebabnya.
Gejala-gejala dispepsia yang meliputi: nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen
bagian atas, seperti heartburn, refluks asam, mual dan muntah, terasa penuh, cepat kenyang,
5
tak suka makan, dan pengeluaran gas yang berlebihan (bersendawa). Walaupun gejala-gejala
tersebut tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab dari dispepsia, akan tetapi gejala
klinis tersebut harus ditindak lanjuti dengan memperhatikan ada atau tidaknya alarm signs
meliputi: pendarahan saluran cerna yang kronis (hematemesis, melena, anemia defisiensi
besi), penurunan beratbadan >10%, kesulitan menelan yang progresif, muntah yang menetap,
abdominal swelling; atau jika pasien berusia ≥55 tahun dengan gejala dispepsia tanpa sebab
yang jelas dan menetap.Selain itu dilakukan review tentang riwayat mengkonsumsi obat-
obatan yang mungkin menjadi penyebab dari dispepsia, misalnya: kalsium antagonis, nitrat,
teofilin, bifosfoalnat, steroid, dan NSAID.
Bila pada clinic assesment tidak ditemukan alarm signs dan pasien berusia <55
tahun, maka pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan. Pada kondisi ini pasien
dikategorikan mengalami uninvestigated dyspepsia.Endoskopi dilakukan hanya bila
muncul tanda alarm signs dan memiliki usia ≥55 tahun dengan gejala dispepsia tanpa sebab
yang jelas dan menetap. Pemeriksaan endoskopi tidak perlu dilakukan pada semua pasien
dengan beberapa alasan yaitu: biaya yang mahal dan adanya rasa tidak nyaman padapasien.
Pasien yang akan diendoskopi harus bebas dari Proton Pump Inhibitor (PPI) ataupun H2
Receptor Antagonist (H2RA) selama 2 minggu sebelum dilakukan endoskopi agar hasil
endoskopinya akurat dan tidak terjadi false negatif dalam memperlihatkan gambaran kondisi
lambung yang sebenarnya. Karena dikhawatirkan setelah diberi PPI atau H2RA maka erosi
atau ulkus yang ada menjadi hilang.
Beberapa metode untuk melakukan pemeriksaan H.pylori antara lain: Uji serologi,
faecal (stool) antigen testing, labelled C-urea breath tests. Uji serologi merupakan tes yang
paling murah dari ketiga tes tersebut, tetapi akurasinya kurang dengan sensitivitas dan
spesifikasi sebesar 80-90%. Faecal (stool) antigen testing lebih akurat dibandingkan dengan
uji serologi karena memiliki sensitivitas dan spesifikasi 90-100%. Labelled C-urea breath
tests juga lebih akurat dibandingkan dengan uji serologi karena memiliki sensitivitas dan
spesifikasi >95%. Jika dilihat dari nilai sensitivitasnya dan spesifikasinya maka Labelled C-
Urea Breath Test memiliki nilai rentang yang paling dekat yaitu 100% sehingga dapat
disimpulkan uji ini yang paling akurat dibandingkan uji lainya( Krisna Adi Jaya dan Oka
Dwicandra, 2017 ).
6
2.6 Farmakologi Obat
i. Antasida
Golongan obat ini bekerja dengan cara menetralkan asam lambung secara lokal.
Obat antasida yang dijual di pasaran biasanya merupakan kombinasi dari Mg(OH) 2
dan Al(OH)3. Mg(OH) mempunyai efek laxative sedangkan Al(OH) mempunyai
efek konstipasi sehingga dikombinasikan. Selain itu, beberapa antasida juga
dikombinasikan dengan Dimethicone atau simetichone sebagai antiflatulen serta
dikombinasikan dengan obat golongan H2RA seperti Famotidin dan Cimetidin
(Lullman H. et al, 2000).
7
iii. H2RA (H2 Receptors Antagonist)
H2RA atau antagonis reseptor H2 memiliki mekanisme kerjanya memblokir
histamin pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel (Tarigan, 2001). Obat-
obatan yang termasuk dalam golongan ini meliputi ranitidine, cimetidine,
famotidine dll.
Blokade H2RA
8
iv. Analog Prostaglandin
Mekanisme kerjanya mengurangi sekresi asam lambung menambah sekresi mukus,
sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.Contoh obat yang termasuk
dalam golongan ini adalah misoprostol, namun obat ini dikontraindikasikan untuk
kehamilan karena dapat menyebabkan aborsi akibat peningkatan kontraktilitas uterus
(Tarigan, 2001).
a. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan Uninvestigated Dyspepsia adalah mengontrol secara efektif gejala
dispepsia, mengidentifikasi dan mengobati H.pylori, menceggah kekambuhan dan komplikasi
( Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017 ).
10
11
b. Non Farmakologi
1) Perubahan life style, termasuk menurunkan berat badan, makan makanan sehat dan
berhentimerokok.
Penelitian mengenai life style untuk mengurangi gejala dispepsia sedikit
dan tidak meyakinkan.
Studi epidemiologi menunjukan hubungan antara obesitas dan GORD,
tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara dispepsia dan faktor-faktor lain
seperti: merokok, alkohol, kopi, dan makanan. Merokok, alkhol, kopi,
coklat memiliki efek relaksasi pada sfingter esofagus bawah. Obesitas
dapat mengacaukan sfingter esofagus bawah dengan mekanisme menekan
diafragma. Merokok meningkatkan pengeluaran asam lambung dan
menunda pengosongan asam lambung. Alkhol secara langsung
menyebabkan luka pada mukosa lambung dan menyebabkan NUD.
Makanan berlemak dapat menunda pengosongan lambung dan juga
mempengaruhi GORD. Walaupun demikian perubahan life style dapat
memberikan efek pada beberapa pasien dan secara umum bermanfaat
sehingga menyebabkan perubahan life style merupakan faktor yang
penting.
2) Terapi fisiologi
Terapi fisiologi meliputi psikoterapi dan terapi perilaku, dapat mengurangi
gejala dispepsia pada beberapa pasien.Pasien dengan NUD pada 3 percobaan
kecil diberikan intervensi, intervensipada percobaan pertama berupa 6 sesi
relaksasi dan sesi analisis situasi dalamwaktu 90 menit selama 12 minggu.
Percobaan kedua lagi berupa 10 sesi terapiindividual kongnitif dalam waktu 45
menit selama 4 bulan dan percobaanketiga menggunakan sesi terapi
psikodinamik selama 3 jam, diikuti oleh 6 sesidalam waktu 50 menit. Secara
psikologi menunjukan penurunan gejaladispepsia dalam waktu 3 bulan dan
berlangsung lama hingga 1 tahun (Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017).
12
BAB III
ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
1. Form soap.
2. Form medication record.
3. Kalkulator scientific.
4. Laptop dan koneksi internet.
3.2 Bahan
1. Text book.
2. Data nilai normal laboratorium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
3.3 Kasus
Kasus 1
Ny. XY, 38 thn, datang ke apotek mengeluhkan rasa sesak, kembung, tidak enak
diperut bagian ulu hati. Pasien mengurangi rasa tidak enak dengan cara beberapa kali
makan dalam sehari. Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 2 minggu
terakhir. Pasien juga tidak mengeluhkan hal yang lain. Pasien memiliki riwayat
penyakit “maag” dan mengobati dirinya dengan obat maaf saja. Ny. XY belum
mengkonsumsi obat lainnya. Apoteker dari apotek ABC memberikan Polysilane ®
kepada Nn. XY. Temukan DRP pada kasus ini ?
Kasus 2
Nn. W, 26 thn, pergi ke dokter umum kembali dengan mengeluhkan rasa nyeri di ulu
hati bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan yang belum hilang.
Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 15 hari terakhir. Sebelumnya pasien
mendapatkan obat ranitidine tablet dan antasida sirup. Akhirnya Nn. W mendapatkan
rujukan untuk melakukan endoskopi di RS. Hasil dari endoskopi adalah gastritis ec
dyspepsia. Pasien kembali ke dokter dengan membawa hasilnya dan mendapatkan
obat berupa sulcrafat sirup, omeprazole tablet, domperidone tablet, dan antasida sirup.
Temukan DRP pada kasus ini
13
BAB IV
SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Ny. XY
Presenting Complaint
Tanda-tanda Vital tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl
Tekanan darah
14
Nadi
Suhu
RR
Medication
LABORATORY TEST
WBC (4000-10000/mm3)
RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000-450000/mm3)
TG (50-200 mg/dl)
15
SGOT (0-35 u/L)
Apakah pasien memiliki Untuk menentukan management terapi Tidak Ada Alergi
1.
riwayat alergi obat ? yang tepat untuk pasien
16
yang dialami pasien
Pengobatan Gagal
guideline
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjective (symptom)
- Objective (signs)
17
Berat Badan Ideal
Pasien terdiagnosa dyspepsia akut karena muncul dalam periode waktu yang cepat (<
4 minggu)
FARMAKOLOGI
2. Golongan PPI memiliki efek sangat besar terhadap produksi asam. Golongan ini
selektif menghambat karbonat anhydrase mukosa lambung yang mungkin turut
berkontribusi terhadap sifat suspense asamnya (Parischa dan Hoorgrweth, 2008)
NON FARMAKOLOGI
18
2. Tidak Stress
Monitoring
Efektivitas
19
FORM SOAP KASUS 2
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Ny. W
Tinggi badan : -
Berat badan :-
Presenting Complaint
Rasa nyeri pada ulu hati atas dan bawah, mual muntah
20
Tanda-tanda Vital tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl tgl
Tekanan darah
Nadi
Suhu
RR
Medication
digunakan (literatur)
Menghambat sekresi
2 Omeprazole - 1 x 1 30 mg kaps
lambung
Menetralkan asam
4 Antasida - 3-4 x sehari 5 ml
lambung
21
LABORATORY TEST
WBC (4000-10000/mm3)
RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000-450000/mm3)
TG (50-200 mg/dl)
Apakah pasien memiliki Untuk menentukan management terapi Tidak Ada Alergi
1.
riwayat alergi obat ? yang tepat untuk pasien
22
mengkonsumsi obat golongan yang dialami pasien , yang
NSAID ? kemungkinan bisa disebabkan oleh
obat golongan NSAID
1. Gastritis M.3.2
P.1.2
P.1.5
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjective (symptom)
Rasa nyeri pada ulu hati bagian atas dan bawah, mual, muntah, penurunan nafsu
makan yang hilang selama 15 hari terakhir.
- Objective (signs)
Pemeriksaan endoskopis
23
Berat Badan Ideal
Pasien terdiagnosa dyspepsia akut karena muncul dalam periode waktu yang cepat (<
4 minggu)
P.2.1 Tidak ada indikasi penggunaan obat atau obat tidak jelas
FARMAKOLOGI
1. Karena pasien termasuk Investigated dyspepsia dan akut dyspepsia, maka diberikan
obat golongan PPI (Pompa Proton Inhibitor) yaitu Omeprazole 1 x sehari 20 mg.
Obat diberikan low dose karena berdasarkan penatalaksanaan terapi untuk pasien
yang digolongkan investigated dyspepsia diberikan low dose untuk dosisi awal
pengobatan.
3. Golongan sucralfat tidak diperlukan dalam pengobatan karena kondisi pasien tidak
mengalami kerusakan.
24
NON FARMAKOLOGI
2. Tidak Stress
Monitoring
Efektivitas
25
BAB V
PEMBAHASAN
5.1.2 Kasus 2
Berdasarkan kasus yang telah ditelaah, pasien yang bernama W dengan jenis
kelamin perempuan, berusia 26 tahun. Datang dengan keluhan rasa nyeri pada ulu hati
bagian atas, dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan. Pasien sebelumnya pernah
menderita penyakit gigi. Pasien juga melakukan pemeriksaan laboratorium endoskopi.
26
Berdasarkan pemaparan pasien, tinggi badannya adalah ideal dengan berat
badan ideal. Sehingga, berdasarkan data dari pasien, dapat ditentukan BMI nya
dengan menggunakan rumus berikut.
Berdasarkan perhitungan berat badan dan tinggi badan pasien yang ideal maka
disimpulkan BMI pasien memasuki nilai normal dari BMI adalah 18.5-24.99.
27
Penggunaan obat-obat sebelumnya terutama golongan NSAIDS patut untuk
ditanyakan untuk mengetahui penyebab lain dari penyakit dyspepsia yang
diderita oleh pasien. Berdasarkan pemaparan yang diberikan oleh pasien,
pasien tidak mengkonsumsi obat golongan. Sehingga, dyspepsia yang diderita
pasien tidak disebabkan karena riwayat penggunaan obat golongan NSAIDS.
7. Aturan Pakai dan Bentuk sediaan Polysilane
Pertanyaan ini patut dipertanyakan guna mengetahui ketepatan terapi sesuai
dengan penyakitnya. Berdasarkan pemaparan pasien dikatakan bahwa pasien
menjapatkan tablet dengan aturan pakai 2 x 1 tablet. Dimana aturan pakai ini
tidak efektif karena menurut mims.com aturan pemakaian tablet dewasa adalah
3- 4 kali dalam sehari.
28
Penggunaan obat-obat sebelumnya terutama golongan NSAIDS patut untuk
ditanyakan untuk mengetahui penyebab lain dari penyakit dyspepsia yang
diderita oleh pasien. Berdasarkan pemaparan yang diberikan oleh pasien,
pasien tidak mengkonsumsi obat golongan. Sehingga, dyspepsia yang diderita
pasien tidak disebabkan karena riwayat penggunaan obat golongan NSAIDS.
5.4 Assessment
5.4.1 Assessment Kasus 1
Assessment dapat ditentukan dari keluhan yang diderita oleh pasien dan tanda
bahaya yang dialami pasien. Keluhan dari pasien adalah sesak, kembung, tidak enak di perut
bagian ulu hati yang terjadi selama 2 minggu terakhir. Tanda-tanda berbahaya pada
dyspepsia adalah pendarahan pada saluran cerna, kesulitan menelan yang progresif,
abmoninal swelling, muntah yang menetap dan jika pasien berada 55 tahun dengan gejala
dengan tanpa sebab yang jelas dan menetap (Jaya, 2013). Pasien tidak mengalami tanda-
tanda berbahaya, jadi tidak perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan endoskopi
hanya dapat dilakukan jika pasien mengalami tanda-tanda berbehaya dari penyakit
29
dyspepsia, pasien berusia 55 tahun dan jika gejalanya tanpa sebab yang jelas dan menetap.
Jika dilihat dari umur pasien, pasien berusia 20 tahun dan pemeriksaan endoskopi hanya
dilakukan pada pasien yang berada 55 tahun, maka dari itu tidak dilakukan pemeriksaan
endoskopi. Jika dilihat dari keluhan pasien, tanda bahaya dan pemeriksaan endoskopi maka
pasien termasuk ke dalam uninvestigated dyspepsia. Pasien dikategorikan ke dalam
uninvestigated dyspepsia karena pasien tidak membutuhkan pemeriksaan endoskopi dan
tidak ada tanda-tanda berbahaya yang dialami oleh pasien (PGI, 2014). Untuk DRP (Drug
Related Problem), P.3.1 Dosis obat terlalu rendah , C.1.1 Obat yang tidak sesuai menurut
guideline, M.1.1 Obat tidak efektif atau pengobatan gagal.
Setelah dilakukan assasement, maka planning yang dapat dilakukan kepada pasien,
yaitu:
1. Lansoprazole 30 mg , 1 kali sehari sebelum makan, untuk mengatasi dispepsia
(maag, sesak, kembung, serta tidak enak pada uluhati)
30
2. Domperidone 10 mg, 3 x sehari, untuk meringankan rasa mual dan muntah
(Antiemetik)
31
adalah: 0,64 (95% CI: 0,58-0,72; Q: p <0,001; ukuran: n / a) meskipun ada
heterogenitas dalam ukuran efeknya. Tingkat rata-rata dalam kelompok H2RA
adalah 64% dan PPI mencapai pengurangan absolut dari 22% (95% CI: 13%
hingga 32%; Q: p = 0,06; ukuran n / a) angka yang diperlukan untuk mengobati
satu tambahan responden 4,5 (95% CI: 3,1-7,7). Rasio risiko yang
dikumpulkan untuk heartburn adalah: 0,46 (95% CI: 0,38-0,60); Q: p = 0,57;
ukuran: n / a). Rata-rata heartburn dalam kelompok H2RA adalah 36% dan
PPI mencapai absolut pengurangan 19% (95% CI: 15% hingga 24%; Q: p =
0,76; ukuran n / a). Untuk rasio risiko pooled untuk nyeri epigastrium adalah:
0,70 (95% CI: 0,59-0,83; Q: p = 0,33; ukuran n / a). Tingkat rata-rata nyeri
epigastrium pada kelompok H2RA adalah 38% dan PPI mencapai pengurangan
absolut sebesar 11% (95% CI: 7% hingga 16%; Q: p = 0,067; ukuran n / a)
3. H2RA dengan Antasida
Antara H2RA dan antasid tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil yang
diamati. Menurut rasio risiko dikumpulkan untuk penilaian global gejala
adalah 0,98 (95% CI: 0,78-1,24). Rasio risiko dikumpulkan untuk heartburt
adalah 0,86 (95% CI: 0,35-2,11). Maka kurang efektif untuk mendeteksi
pengurangan gejala pada heartburn symptoms
(Internal Clinical Guidelines Team. 2014)
32
Gambar 1. Matheson, J.A and Jarvis, B. Lansoprazole An Update of its place in the
Management of AcidRelated Disorders Drug. 2001
Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit dyspepsia yang dialami oleh Ny. XY
yaitu dengan pemberian obat lanzoprasol dengan dosis 30mg 1 kali sehari. Pemberian
obat golongan PPI lebih efektif dibandingkan dengan pemberian obat golongan
antasida, karena obat golongan PPI dapat menyebabkan nyeri episgatrik hanya sebesar
8% sedangkan antasida 46% (NICE, 2014). Lansoprasol yang memiliki efektifitas
sangat kuat dalam menghambat sekresi asam lambung (Srikandi, 2017). Obat golongan
PPI bekerja dengan cara memblokir kerja enzim K+/H+ ATP-ase yang akan memecah
K+/H+ATP. Pemecahan K+/H+ ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli sel pariental kedalam lumen lambung (Tarigan,
33
2001). Dalam pemberian terapi dengan obat lanzoprasol dilakukan monitoring terhadap
efektivitas dari lanzoprasol dalam terapi untuk mengurangi gejala dyspepsia pasien
bahkan sampai hilang serta efek samping yang muncul seperti, Lansoprazol: sakit
kepala (3-7%), diare (1-5%), konstipasi (1-5%), mual (1-3%), sakit perut (1-3%)
(Medscape.com)
Gambar 1. Matheson, J.A and Jarvis, B. Lansoprazole An Update of its place in the
Management of AcidRelated Disorders Drug. 2001
34
Gambar 2. NICE, 2014
35
5.6 Terapi Non Farmakologi
5.6.1 Terapi Non Farmakologi Kasus 1 dan Kasus 2
Terapi non farmakologi juga sebaiknya diberikan kepada pasien untuk dapat
mempercepat tingkat kesembuhan dari pasien. Berdasarkan gaya hidup yang dijalani
oleh pasien, maka dapat ditentukan terapi non farmakologinya adalah sebagai berikut:
1. Tidak melakukan merokok
Tidak merokok merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi
gejala dari dispepsia. Kandungan zat kimia pada asap rokok sangat berbahaya,
di antaranya karbon berhetimida, nitrogen oksida, amonia, hidrogen sianida,
nikotin, dan lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon,
oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut bertanggung jawab pada
berbagai dampak rokok terhadap kesehatan.
Zat beracun yang terdapat dalam rokok mampu mengikis lapisan lambung
dan menyebabkan enzim pencernaan tidak berfungsi dengan baik, sehingga
menyebabkan perokok berat mengalami kesulitan dalam mencerna makanan
yang dikonsumsinya.Merokok juga dapat menambah modifikasi radang yang
terjadi karena bakteri HelicobacterPylori. Oleh karena itu mengurangi atau
bahkan berhenti menggunakan rokok dapat membantu menurunkan resiko
bahaya yang disebabkan oleh bahan kimia dari rokok,sertaresiko terinfeksinya
bakteri H. Pylori. Dengan berhenti merokok juga dapat meningkatkan kualitas
kesehatan.
2. Selalu mengkonsumsi makanan yang sehat untuk menjaga berat badan pasien
agar tetap normal dan untuk mengurangi gejala dyspepsia
Mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat akan membantu
meningkatkan kesehatan seperti meningkatkan kesehatan pada saluran cerna.
Untuk mencegah atau mengurangi gejala dispepsia yaitu dengan mengurangi
mengonsumsi makanan pedas. Makanan pedas secara berlebihan dapat
merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk
berkontraksi. Makananpedas,jugamengandung gas danasam. Suasana yang
sangat asam di dalam lambung dapat membunuh organisme patogen yang
36
tertelan bersama makanan. Namun, bila barier lambung telah rusak, maka
suasana yang sangat asam di lambung akan memperberat iritasi pada dinding
lambung. Oleh karena itu mengurangi konsumsi makanan pedas dapat
mencegah timbulnya gejala yang dapat menyebabkan dispepsia.
3. Mengurangi atau mencegah beban kerja yang padat dengan cara melakukan
terapi fisiologi seperti prikoterapi untuk mencegah terjadinya stress yang
berlebih pada pasien.
Terapi fisiologi menggunakan psikoterapi ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan
organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti
disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan
terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua,
beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala
tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien
mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan
bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan
ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi ini
terbukti efektif pada pasien dengan uninvestigated dyspepsia. Terapi ini
membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah
episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai
ide-idepenyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan
tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004)
5.7 Monitoring
5.7.1 Monitoring Kasus 1
Monitoring yang dilakukan bisa dengan monitoring efektivitas dan memonitoring
efek samping obat, untuk melihat apakah terapi yang diberikan sudah efektif dan untuk
melihat efek samping dari pemberian terapi kepada pasien.
a. Monitoring efektivitas
37
Dengan pemberian terapi Lansoprazole diharapkan dapat mengurangi
gejala dyspepsia yang dialami pasien, sehingga pasien tidak mengalami
kekambuhan gejala dyspepsia.
b. Monitoring efek samping obat
Penggunaan Lanzoprazole dapat menyebabkan sakit kepala, diare,
konstipasi, mual, sakit perut. (Medscape.com)
38
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. Dispepsia merupakan gejala-gejala yang terjadi di saluran cerna bagian atas,
termasuk yang penyebabnya fungsional (belum diketahui dengan jelas
penyebabnya) maupun organik (biasanya ada kelainan pada saluran cerna).
2. Kasus 1 Pasien terdiagnosa mengalami dyspepsia uninvestigated, hal ini
dikarenakan oleh pasien tidak mengalami tanda bahaya (alarm sign) dan umur
pasien 38 th yaitu <55 th sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi.
3. Kasus 2 Pasien terdiagnosa mengalami dyspepsia investigated, hal ini
dikarenakan oleh pasien mengalami tanda bahaya (alarm sign) dan pernah
dilakukan pemeriksaan endoskopi.
4. Untuk terapi farmakologi pada kasus 1 pasien diberikan obat golongan PPI yaitu
Lansoprazole 1 x 30 mg sebelum makan. Menurut guideline NICE golongan
obat PPI (pompa proton inhibitor) dinyatakan lebih efektif daripada antasida
untuk menangani kasus dyspepsia uninvestigated.
5. Untuk terapi farmakologi pada kasus 1 pasien diberikan obat golongan PPI yaitu
Omperazole 1 x 10 mg sebelum makan dan diberikan antiemetic berupa
domperidone 10 mg, 3 kali sehari untuk meredakan mual dan muntah.
6. Untuk terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan tidak melakukan aktivitas
merokok, selalu makan makanan yang bergizi dan mengurangi beban kerja agar
tidak menimbukan stress.
39
DAFTAR PUSTAKA
Simadibrata, M; Setiati, S. (eds.). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid1.
Edisi ke-4. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. 2018. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.
Koda-Kimble, Mary Anne., Lloyd Yee Young, et all. 2009. Applied Therapeutic The
Clinical Use of Drugs Ninth Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Krisna Adi Jaya dan Oka Dwicandra, 2017, Modul Praktikum Farmakoterapi II (Penyakit
Sistem Pencernaan, Saluran pernafasan dan Infeksi), Program S1 Farmasi Klinis,
Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali, Denpasar.
Lullmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger, Color Atlas of Pharmacology, 2 rd, ed,
2000, 266-280
Matheson, J.A and Jarvis, B. Lansoprazole An Update of its place in the Management of
Moayyedi, Paul., et al. 2004. The efficacy of Proton Pump Inhibitors in Nonulcer
Canada
Mustawa, Indra, 2012. dkk. Peranan Amitriptilin Dalam Pengobatan Dispepsia Fungsional.
Sumatera Utara
dyspepsia in adults in primary care. New Castle: Centre for Health Services
Research; 2004
40
Modul Praktikum Farmakoterapi II (Penyakit Sistem Pencernaan, Saluran Pernafasan dan
Infeksi). Program Stusi S1 Farmasi Klinis Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada
Bali.
dyspepsia in adults in primary care. New Castle: Centre for Health Services Research; 2004.
Pharmaceutical Care Network Europe Foundation. 2017. Classification for Drug Related
Problem.
Putri Rizky Nanda, Yanti Ernalia dan Eka Bebasari, 2015, Gambaran Sindroma Dispepsia
Fungsional pada Mahasiswa. Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014,
JOM FK Vol. 2 No. 2
Soenaryati, S., Veria, V.A. 2013. Body Mass Index (BMI) Sebagai Salah Satu Faktor yang
Tarigan C.J., 2001. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia
Organik. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Wells, Barbara G., Joseph T. Dipiro, et all. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth
41