Anda di halaman 1dari 22

DISPEPSIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : Thara Yunita Arsy

NPM : 173110214

MATKUL : Interaksi Obat

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TULANG BAWANG

BANDAR LAMPUNG

2020- 2021
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................... I
DAFTAR ISI ....................................................................................................... II
BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
BAB II Tinjauan Pustaka .............................................................................. 2
A. Definisi .............................................................................................. 2
B. Klasifikasi Dispepsia ........................................................................ 3
C. Pencegahan Dispepsia ....................................................................... 6
D. Pengobatan Dispepsia ....................................................................... 7
E. Terapi Farmakologi Dispepsia .......................................................... 7
1. Definisi ........................................................................................ 12
2. Mekanisme Kerja Interaksi Obat ................................................. 12
a. Interaksi Farmakokinetik ....................................................... 12
b. Interaksi Farmakodinamik ...................................................... 14
F. Interaksi Obat ..................................................................................... 10
1. Definisi .......................................................................................... 10
2. Mekanisme ..................................................................................... 10
3. Tingkat Keparahan Interaksi Obat ................................................ 13
G. Interaksi Obat Dispepsia ..................................................................... 14
1. Kelas Terapi Antasida ................................................................... 14
2. Kelas Terapi Antagonis Reseptor H2 ............................................ 15
3. Kelas Terapi Proton Inhibitor ....................................................... 16
4. Kelas Terapi Sitoproktif ................................................................ 17
5. Kelas Terapi Prokinetik ................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA.

ii
iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah aset yang paling berharga dalam hidup ini. Kekayaan, kekuasaan,
dan popularitas boleh saja dimiliki, tetapi semua itu tidak akan berarti apabila tidak
memikirkan kesehatan. Untuk hidup sehat yang harus diketahui pertama kali yaitu apa
yang menyebabkan timbulnya penyakit. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
kesehatan adalah gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat. Jika hal ini terus menerus
dialami akan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, salah satunya adalah
gangguan lambung.
Gangguan lambung disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (HCl
dan pepsin) dan faktor defensif (pertahanan mukosa lambung). Gangguan lambung yang
mungkin terjadi di masyarakat diantaranya dispepsia dan Gastroesophageal reflux
disease (GERD).
Secara global terdapat sekitar 15-40% penderita dispepsia. Setiap tahun keluhan ini
mengenai 25% populasi dunia. Di Asia prevalensi dispepsia berkisar 8-30%
(Purnamasari, 2017). Di Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien dispepsia yang
datang ke praktik umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia
(Sudoyo, 2009). Penelitian di Amerika Serikat mengenai prevalensi berdasarkan jenis
kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Beberapa
penelitian menunjukkan perbandingan prevalensi penderita dispepsia wanita lebih banyak
dari pada laki-laki yaitu sebesar 4:1 (Abdeljawad dkk, 2017). Di Indonesia, hasil
penelitian didapatkan, penderita dispepsia paling banyak ditemukan pada laki-laki yaitu
sebanyak 55,7% (Hemriyantton dkk, 2017).
Pada saat pengobatan yang diberikan pada pasien gangguan lambung dapat terjadi
beberapa masalah terkait dengan obat yang diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan
terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien. Terapi pada pasien gangguan lambung
sering mendapatkan kombinasi obat. Penggunaan beberapa obat secara bersamaan
memudahkan terjadinya interaksi obat (Setiawati, A. 2007).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dispepsia
Dispepsia merupakan isitilah yang digunakan untuk suatu sindrom (kumpulan gejala
atau keluhan) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati (daerah lambung),
kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut terasa penuh. Keluhan ini
tidak selalu ada pada setiap penderita. Bahkan pada seorang penderita, keluhan tersebut dapat
berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis keluhan maupun kualitas keluhan. Jadi, dispepsia
bukanlah suatu penyakit, melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus
dicari penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013). Menurut Djojoningrat (2014) kata dispepsia
berasal dari bahasa Yunani, “dys” yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti
pencernaan, jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam
mencerna. Semua gejala-gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan masukan makanan
disebut dispepsia, contohnya mual, heartburn, nyeri epigastrum, rasa tidak nyaman, atau
distensi. Dispepsia adalah suatu istilah yang merujuk pada gejala abnormal di perut bagian
atas. Istilah ini biasa pula digunakan untuk menerangkan bebagai keluhan yang dirasakan di
abdomen bagian atas. Diantaranya adalah rasa nyeri ataupun rasa terbakar di daerah
epigastrum (ulu hati), perasaan penuh atau rasa bengkak di perut bagian atas, sering sendawa,
mual, ataupun rasa cepat kenyang. Dispepsia sering juga dipakai sebagai sinonim dari
gangguan pencernaan.
Sebagai suatu gejala ataupun sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit,
baik yang bersifat organik, maupun yang fungsional. Berdasarkan konsensus terakhir (kriteria
Roma) gejala heartburn atau pirosis, yang diduga karena penyakit refluks gastroesofageal, tidak
dimasukkan dalam sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014).

2
B. Klasifikasi Dispepsia
Penyebab dispepsia pada anak-anak adalah memberi makan terlalu banyak atau susu kaleng
yang tidak cocok. Namun kadang-kadang dapat pula timbul karena penyakit, misalnya tukak
lambung. Penyebab timbulnya gejala dispepsia sangat banyak sehingga diklasifikasikan
berdasarkan ada tidaknya penyebab dispepsia yaitu:
1. Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan 8 pada usia muda, tetapi
banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat digolongkan
menjadi:
a) Dispepsia Tukak
Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri ulu hati. Berkurang atau
bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan. Hanya dengan
pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung
atau duodenum.
b) Refluks Gastroesofageal
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada dan
regurgitasi asam terutama setelah makan.
c) Ulkus Peptik
Ulkus peptik dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau pada divertikulum
meckel ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah lambung yang asam terhadap
epitel yang rentan. Penyebab yang tepat masih belum dapat dipastikan. Beberapa
kelainan fisiologis yang timbul pada ulkus duodenum:
1. Jumlah sel parietal dan chief cells bertambah dengan produksi asam yang makin
banyak.
2. Peningkatan kepekaan sel parietal terhadap stimulasi gastrin.
3. Peningkatan respon gastrin terhadap makanan
4. Penurunan hambatan pelepasan gastrin dari mukosa antrum setelah pengasaman isi
lambung.
5. Pengosongan lambung yang lebih cepat dengan berkurangnya hambatan pengosongan
akibat masuknya asam ke duodenum.
Menurunnya resistensi mukosa duodenum terhadap asam lambung dan pepsin dapat
berperan penting. Insiden ulkus peptik meningkat pada kegagalan ginjal kronik. Ulkus
juga dapat berkaitan dengan hiperparatiroidisme, sirosis, penyakit paru dan jantung.

3
Kortikosteroid meningkatkan resiko ulkus peptik dan perdarahan saluran pencernaan.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya ulkus peptik antara lain merokok,
golongan darah O, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik dan pankreatitis kronik.
Gastritis atrofik kronik, refluks empedu dan golongan darah A merupakan predisposisi
untuk ulkus lambung.

d) Penyakit Saluran Empedu


Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri
dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu
kanan.
e) Karsinoma
Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pankreas dan kolon) sering
menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri
perut. Keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.

f) Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa makin tegang dan
kembung.
g) Dispepsia pada sindrom malabsorbsi
Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, sering flatus,
kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir.
h) Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu
hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya obat golongan AINS, teofilin,
digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin dan lain-lain).
i) Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung
yang lambat sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang.
Hipertiroid mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan
hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung.

j) Dispepsia akibat infeksi bakteri Helicobacter pylori


Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam lambung dan berkaitan
dengan keganasan lambung. Hal penting dari Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap
seumur hidup, selalu aktif dan dapat menular bila tidak di eradikasi. Helicobacter ini

4
diyakini merusak mekanisme pertahanan penjamu (keadaan manusia yang sedemikian rupa
sehingga menjadi faktor resiko untuk terjadinya penyakit) dan merusak jaringan.
Helicobacter pylori dapat merangsang kelenjar mukosa lambung untuk lebih aktif
menghasilkan gastrin sehingga terjadi hipergastrinemia.

2. Dispepsia Fungsional
Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah berlangsung
dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan
struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiologi dan
endoskopi. Dalam konsensus Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai dispepsia
yang berlangsung sebagai berikut: sedikitnya terjadi dalam 12 minggu, tidak harus berurutan
dalam rentang waktu 12 minggu terakhir, terus menerus atau kambuh (perasaan sakit atau
ketidaknyamanan) yang berpusat di perut bagian atas dan tidak ditemukan atau bukan
kelainan organik (pada pemeriksaan endoskopi) yang mungkin menerangkan gejala-
gejalanya. Gambaran klinis dari dispepsia fungsional adalah riwayat kronik, gejala yang
berubah-ubah, riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsive dengan obat-obatan
dan dapat juga ditunjukkan letaknya oleh pasien, dimana secara klinis pasien tampak sehat.
Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia fungsional antara lain:
1) Sekresi Asam Lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin dapat dijumpai kadarnya
meninggi, normal atau hiposekresi.
2) Dismotilitas Gastrointestinal
Dismotilitas gastrointestinal adalah perlambatan dari masa pengosongan lambung dan
gangguan motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.
3) Diet dan Faktor Lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional.
Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk
asam lambung yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor
nervus vagus, dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan.
Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung tetapi efek dari antral
gastrin dan rangsangan lain sel parietal.

5
4) Psikologik
Stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada
orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului
keluhan mual setelah stimulus stress sentral.

C. Pencegahan Dispepsia
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia adalah sebagai berikut:
1. Pencegahan Primordial
Merupakan pencegahan pada orang-orang yang belum memilik faktor resiko
dispepsia, dengan cara mengenali dan menghindari keadaan atau kebiasaan yang
dapat mencetuskan serangan dispepsia, dan untuk menghindari infeksi helicobacter
pylori dilakukan dengan cara menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan
gizi, dan dan penyediaan air bersih (Rani, 2011).
2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Berperan dalam mengolah dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia pada
orang yang sudah memiliki faktor resiko dengan cara membatasi atau menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan yang tidak sehat seperti, makan tidak teratur, merokok,
mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda, makanan berlemak, pedas, asam, dan
menimbulkan gas di lambung. Berat badan perlu dikontrol agar tetap ideal, karena
gangguan pada saluran pencernaan, seperti rasa nyeri di lambung, kembung, dan
konstipasi lebih umum terjadi pada orang yang mengalami obesitas. Rajin olahraga dan
manajemen stres juga dapat menurunkan resiko terjadinya dispepsia.
3. Pencegahan Sekunder
a. Diet mempunyai peran yang sangat penting, dasar diet tersebut adalah makan
sedikit berulang kali, makanan harus mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan
asam lambung, dan bisa menetralisir asam HCL.
b. Obat-obatan untuk mengatasi dispepsia adalah antasida, antagonis reseptor H2,
penghambat pompa asam (proton pump inhibitor= PPI), sitoprotektif, prokinetik, dan
kadang dibutuhkan psikoterapi, atau psikofarma (obat anti depresi atau cemas) untuk
penderita yang berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas, dan depresi
(Redaksi, 2009).

6
c. Bagi yang berpuasa untuk mencegah kambuhnya sindrom disepsia, sebaiknya
menggunakan obat anti asam lambung yang bisa diberikan saat sahur dan berbuka
untuk mengontrol asam lambung selama berpuasa. Berbeda dengan dispepsia organik,
bila si penderita berpuasa kondisi asam lambungnya akan semakin parah. Penderita
boleh berpuasa setelah penyebab sakit lambungnya diobati terlebih dahulu (Mansjoer,
2000).

4. Pencegahan Tersier
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita
gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah
yang dihadap
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit
agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat.

D. Pengobatan Dispepsia
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pasien, tindakan dokter adalah jika
mempunyai ulkus, dapat diobati dan akan diberikan antasid atau sejenisnya dan jika
mengalami infeksi terutama oleh Helicobacter Pylori, perlu diberi antibiotika. Obat yang
bisa mengurangi kadar asam di lambung akan sangat membantu. Obat itu juga bisa
membantu jika mengalami penyakit refluks asam. Pemeriksaan Endoskopi bisa dilakukan
jika masih mengalami nyeri pada lambung meskipun telah minum obat dispepsia selama
delapan minggu.

E. Terapi Farmakologi Pasien Dispepsia

No Kelas Terapi Mekanisme Kerja Obat Contoh Obat

1 Antasida Antasida adalah basa lemah yang Antasida tab,


bereaksi dengan asam hidroklorik,
membentuk garam dan air untuk polysilane syp.
mengurangi keasaman lambung. Enzim
pepsin tidak aktif pada pH lebih tinggi
dari empat, maka penggunaan antasida
juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin
(Finkel, 2009). Obat ini juga memiliki
efek pengurangan kolonisasi H. pylori
dan merangsang sintesis prostaglandin
(Mycek, 2001). Ada tiga cara antasida
mengurangi keasaman cairan lambung,
yaitu pertama secara langsung
menetralkan cairan lambung, kedua
dengan berlaku sebagai buffer terhadap

7
hydrochloric acid lambung yang pada
keadaan normal mempunyai pH 1−2 dan
ketiga dengan kombinasi kedua cara
tersebut diatas. Antasida akan
mengurangi rangsangan asam lambung
terhadap saraf sensoris dan melindungi
mukosa lambung terhadap perusakan oleh
pepsin (Anwar, 2000). Zat antasida
sangat bervariasi dalam komposisi kimia,
kemampuan menetralkan asam,
kandungan natrium, rasa dan harganya.
Kemampuan untuk menetralkan asam
suatu antasida tergantung pada
kapasitasnya untuk menetralkan
HCl lambung dan apakah lambung
dalam keadaan penuh atau kosong
(makanan memperlambat
pengosongan lambung,
memungkinkan antasida bekerja
untuk waktu yang lebih lama). Oleh
karena hal tersebut efek antasida
lebih baik jika dikonsumsi setelah
makan (

2 Antagonis Reseptor H2 Meskipun antagonis histamin reseptor Ranitidine, cimetidine,


H2 menghambat histamin pada semua
femotidine dll.
reseptor H2 namun penggunaan klinis
utamanya adalah sebagai penghambat
sekresi asam lambung (Mycek, 2001).
Penggunaan obat antagonis reseptor H2
digunakan untuk menghambat sekresi
asam lambung yang dikatakan efektif
bagi menghambat sekresi asam
nokturnal. Strukturnya homolog dengan
histamin. Mekanisme kerjanya secara
kompetitif memblokir perlekatan histamin
pada reseptornya sehingga sel parietal
tidak dapat dirangsang untuk
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi
bersifat reversibel (Finkel, 2009). Empat
macam obat yang digunakan yaitu
simetidin, ranitidin, famotidin dan
nizatidin. Simetidin dan antagonis H2
lainya diberikan secara per-oral,
didistribusikan secara luas ke seluruh
tubuh dan diekskresikan dalam urin
dengan waktu paruh yang singkat.
Ranitidin memiliki masa kerja yang
panjang lima sampai sepuluh kali lebih
kuat. Efek farmakologi famotidin sama
dengan ranitidin, hanya 20−50 kali lebih
kuat dibandingkan dengan simetidin dan
3−20 kali lebih kuat dibandingkan
ranitidin.

3 Proton inhibitor Proton Pump Inhibitor Omeprazole,


Mekanisme kerja PPI adalah memblokir
kerja enzim K+H +ATPase (pompa

8
proton) yang akan memecah K+H +ATP lansoprazole dll.
menghasilkan energi yang digunakan
untuk mengeluarkan asam HCl dari
kanalikuli sel parietal ke dalam lumen
lambung. PPI mencegah pengeluaran
asam lambung dari sel kanalikuli,
menyebabkan pengurangan rasa sakit
pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor
agresif pepsin dengan pH >4 serta 35
meningkatkan efek eradikasi oleh
regimen triple drugs. Pada dosis standar
baik lansoprazol atau omeprazol
menghambat sekresi asam lambung basal
dan sekresi karena rangsangan lebih dari
90%. Penekanan asam dimulai 1−2 jam
setelah dosis pertama lansoprazol dan
lebih cepat dengan omeprazol. Penelitian
klinis sampai saat ini menunjukkan
bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih
efektif untuk jangka pendek
dibandingkan dengan antagonis H2.
Omeprazol digunakan dengan berhasil
bersama obat-obat anti mikroba untuk
mengeradikasi kuman H. pylori

4. Sitoprotektif Mekanisme kerja obat sitoprotektor Sukralfat syp


dipengaruhi dari properti kimiawi
masing-masing jenis obat.. obat ini
merupakan bentuk garam aluminium dari
sukrosa sulfat yang dapat mengikat asam
empedu serta membentuk kompleks stabil
dengan molekul protein sehingga lebih
resistan terhadap aktivitas pepsin.
Sukralfat mempunyai afinitas yang baik
terhadap mukosa yang meradang berkat
adanya sambungan polivalen antara
senyawa sukralfat bermuatan negatif dan
protein yang bermuatan positif pada
mukosa yang memiliki lesi[7]. Selain itu,
sukralfat juga bersifat sitoprotektif
sebagaimana ditunjukkan oleh peran
sukralfat dalam meningkatkan kadar
faktor pertumbuhan fibroblas dan
memicu kenaikan prostaglandin di
mukosa yang kemudian merangsang
penyembuhan lesi di mukosa[4].

5 Prokinetik Mekanisme kerjanya secara kompetitif Domperidone,


memblokir perlekatan histamin pada
reseptornya sehingga sel parietal tidak ondancetron dll.
dapat dirangsang untuk mengeluarkan
asam lambung.

F. Interaksi Obat
1. Definisi

9
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat Drug-Related
Problems (DRPs) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien. Suatu interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika
atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang
berinteraksi (Piscitelli, 2005). Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh
kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu
dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang
lainnya (Stockley, 2008). Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat
meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya
glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.

2. Mekanisme Keja Interaksi Obat


sepasang interaksi obat terdiri dari obat objek dan obat presipitan. Obat objek
merupakan obat yang dipengaruhi, dan obat presipitan merupakan obat yang
mempengaruhi secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat yaitu interaksi
farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
1. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi
jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (Tatro, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe:

A. Interaksi pada absorbsi obat


1) Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat
terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan
oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah
parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi
asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH
tinggi (Stockley, 2008).

2) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek.

10
Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion
logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk
kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri.

3) Perubahan motilitas gastrointestinal


Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus halus, obat-
obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi.
Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga
meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008).
4) Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Bioavailabelitas beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat
ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin
adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti
rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).
5) Interaksi pada distribusi obat
a. Interaksi ikatan protein
Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya
diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan
protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel,
kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya
molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

b. Induksi dan inhibisi protein transport obat.


Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi
protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat
keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor
transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat
meningkatkan efek samping Central Nervous System (CNS) (Stockley, 2008).

6) Interaksi pada metabolisme obat


a. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah
dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut,
yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan
bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan

11
kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang
detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi
proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma
sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I
(melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar.
Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam
glukuronat, yang dikenal sebagai glukuro nidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif.
Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim cyitokrom P450 (Stockley, 2008).

b. Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan
peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya
bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju
metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).
c. Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat
terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase
I oksidasi oleh isoenzim cytokrom P450. Signifikasi klinis dari banyak interaksi inhibisi
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada
dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).
d. Interaksi isoenzim cytokrom P450 dan obat yang diprediksi

e. Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sehingga


tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin (Stockley, 2008).

b. Interaksi Farmakodinamik

12
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek
farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi
karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama (Tatro, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya
bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah
sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-
lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan (Stockley, 2008).

b. Interaksi antagonis atau berlawanan.

Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan
sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat
(Stockley, 2008).

3. Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan kedalam tiga level:
minor, moderat, atau mayor.
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan,
konsekuensi mungkin mengganggu tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi.
Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).
2. Keparahan moderat
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang tejadi dapat
menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan,
perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit (Tatro,
2009).
3. Keparahan mayor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan mayor jika terdapat probabilitas yang
tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa
pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Tatro, 2009).

G. Interaksi obat Dispepsia

13
1. Kelas Terapi Antasida
Mekanisme kerja obat antasida adalah menetralkan keasaman, meningkatkan PH
atau secara reversible mengurangi atau menghalangi sekresi asam lambung oleh
sel untuk mengurangi keasaman di lambung.
a. Antasida + Antipsikotika ( golongan fenotiazin )
Efek antipsikotika dapat berkurang. Antipsikotika adalah transkuilansia mayor
yang digunakan untuk mengobati gangguan mental berat seperti skizofremia.
Akibatnya kondisi yang di obati mungkin tidak terkendali dengan baik. Semua
antasida berinteraksi kecuali yang mengandung natrium bikarbonat seperti
Alka- Setzer.
b. Antasida + Antikolinergika
Efek Antikolinergika dapat berkurang. Akibatnya kondisi yang diobati dengan
Antikolinergika mungkin tidak terkendali dengan baik.
c. Antasida + Aspirin
Efek aspirin dapat berkurang. Aspirin adalah obat penghilang rasa nyeri yang
diperdagangkan tanpa resep dokter. Akibatnya rasa nyeri tidak berkurang.
d. Antasida + Simetidin
Efek simetidine dapat berkurang. Simetidine digunakan untuk mengobati
tukak lambung dan usus. Akibatnya tukak mungkin tidak dapat diobati dengan
baik.
e. Antasida + Kortikosteroida ( yang mengandung magnesium)
Kombinasi ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan terlalu banyak kalium.
Gejala kekurangan kalium yang dilaporkan adalah lemah otot atau kejang,
pengeluaran air kemih banyak dll.
f. Antasida + Digoksin ( Lanoxin)
Efek digoksin dapat berkurang. Digoksin digunakan untuk mengobati layu
jantung untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tak teratur.
Akibatnya kondisi jantung yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik,
semua antasida berinteraksi kecuali antasida yang mengandung natrium
karbonat seperti Alka- Seltzer.
g. Antasida + Isoniazida ( Yang mengandung aluminium )
Efek isoniazida dapat berkurang. Isoniazida digunakan untuk mengobati
tuberkolosis. Akibatnya tuberkolosis mungkin tidak terobati dengan baik.
h. Antasida + Prokinamid ( Procan, Pronestyl )

14
Efek prokinamid dapat meningkat. Prokinamid adalah antiaritmika yang
digunakan untuk menormalkan kembali denyut jantung yang tak terartur.
Akibatnya dapat terjadi efek samping merugikan yang tidak terkendali.
i. Antasida + Kinin ( Coko-quinine, Quinamm, Quine )
Efek kinin dapat meningkat. Kinin digunakan untuk mengobati penyakit
malaria dan kaki kejang di malam hari. Akibatnya dapat terjadi efek samping
yang merugikan karena kebanyakan kinin.
j. Antasida + antibiotika tetraciklin
Efek tetrasiklin dapat berkurang. Tetrasikilin adalah antibiotika yang
digunakan untuk melawan infeksi. Akibatnya infeksi mungkin tidak berobati
dengan baik.
2. Antagonis reseptor H2
Mekanisme kerja obat Antagonis reseptor H2 bekerja dengan menghambat
senyawa yang disebut histamin 2. Histamin 2 berperan dalam merangsang dan
melepaskan zat asam pada lambung. Dengan dihambatnya histamin 2 kadar asam
lambung bisa diturunkan (ex : Simetidine, Famotidine, Ranitidine dll ).
A. Simetidine
a. Simetidin + Desatinib
Cimetidine akan meningkatkan efek desitinib dengan mempengaruhi
enzim hati / enzim CYP3A4.
b. Simetidin + Lidocaine
Cimetidin akan meningkatkan efek lidokain dengan mempengaruhi
metabolisme enzime CYPIA2.
c. Simetidine + (Fenitoin, teofilin, lidokain, hidroksizin)
Simetidine dapat meningkatkan kadar serum dari obat simetidine.
d. Simetidine + Metoclopramide
Cimetidine dapat menurunkan bioavaibilitas obat.
B. Femotidine
a. Femotidine + (Ketokonazole / Intrakonazole )
Femotidine dapat menurunkan kadar konsentrasi obat Femotidine.
b. Femotidine + Antasida
Dapat menurunkan kadar Femotidine dalam darah.

C. Ranitidine

15
a. Ranitidine + Propantheline Bromide
Dapat menghambat penyerapan dan meningkatkan kadar serum puncak
b. Ranitidine + ( Diazepam, Propanonol )
Ranitidine dapat menghambat metabolisme antikoagulan pada orgen hati.
c. Ranitidine + (Ketokonazole, Midazolam)
Ranitidine dapat mengubah penyerapan obat tergantung PH obat tersebut.
d. Ranitidine + antasida
Ranitidine dapat mengurangi bioavaibilitas dari obat tersebut.
3. Proton Inhibitor
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim yang di produksi dan
melepskan asam lambung. ( ex : Omeprazole, Lansoprazole, Esomeprazole,
Pantoprazole ).
A. Omeprazole
a. Omeprazole + Clopidogrel
Omeprazole menurunkan efektifitas clopidogrel dalam membantu
mencegah serangan jantung.
b. Omeprazole + Erlotinib
Omeprazole dapat menurunkan efektifitas obat erlotinib dalam
mengobati kanker.
c. Omeprazole + Atrovastatin
Omeprazole dapat meningkatkan efek dan kadar obat atrovastatin dalam
darah, sehingga dapat meningkatkan resiko seseorang mengalami
kerusakan liver.
d. Omeprazole + Alprazolam
Omeprazole meningkatkan kadar dan efek obat alprazolam, sehingga
penggunanya beresiko mengalami gangguan pernafasan dan sangat
mengantuk.
B. Lansoprazole
a. Lansoprazole + Obat HIV
Lansoprazole dapat menyebabkan pertumbuhan resiko karena dapat
menurunkan kadar obat Lansoprazole dalam tubuh.
b. Lansoprazole + Antasida + Sukralfat
Lansoprazole dapat menurunkan efektifitas jika digunakan secara
bersamaan.

16
C. Esomeprazole
a. Esomeprazole + Clopidogrel
Dapat menurunkan efektivitas clopidogrel sebagai pengencer darah.
b. Esomeprazole + Obat diuretik
Dapat meningkatkan resiko penurunan kadar magnesium dalam darah.
c. Esomeprazole + Wafarin
Esomeprazole dapat meningkatakan resiko pendarahan.
d. Esomeprazole + Methotrexate
Esomeprazole dapat meningkatkan konsentasi obat dalam darah.
D. Pantoprazole
a. Pantoprazole + Rilpivirine
Pantoprazole dapat menurunkan konsentasi dalam darah dari rilpivirine.
b. Pantoprazole + Digoxin
Pantoprazole dapat meningkatkan kadar/ efek racun dari digoxin.
c. Pantoprazole + Wafarin
Pantoprazole dapat meningkatkan INR (international normalized ratio )
dan waktu pembekuan darah dalam wafarin.
d. Pantoprazole + Obat diuretik
Pantoprazole dapat menaikan resiko terjadi hipomagnesemla.
4. Sitoprotektif
Mekanisme obat ini adalah obat yang digunakan untuk membantu melindungi
mukosa lambung tampa menghambat sekresi asam lambung (ex : sukralfat)
a. Sukralfat + ( Tetrasiklin, ranitidine, ketokonazole, cimetidne dan digoxin )
Sukralfat dapat menurunkan penyerapan obat dalam tubuh
b. Sukralfat + Antasida
Sukralfat dapat meningkatkan kadar alumunium dalam tubuh\

5. Prokinetik

17
Mekanisme kerja obat ini adalah obat yang dapat mempercepat proses
pengosongan lambung ( domperidone, ondancetron dll).
A. Domperidone
a. Domperidone + Morfin
Morfin dapat menghambat efektifitas obat domperidon.
b. Domperidone + Atropin
Atropin dapat menghambat efektifitas obat domperidon.
c. Domperidone + Ketokonazole
Ketokonazole dapat menghambat enzime CYP3A4 yang efeknya akan
meningkatakn resiko terjadinya gangguan irama jantung
B. Ondancetron
a. Ondancetron + Fenitoin, Karbamazepin
Fenitoin, Karbamazepin dapat meningkatkan metabolisme ondancetron.
b. Ondancetron + Tramadol
Ondancetron dapat menurunkan efek dari obat tramadol.
c. Ondancetron + Rifampisin
Ondansetron dapat meningkatkan metabolisme ondancetron.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Analisis Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Diagnosa Gangguan Lambung (Dispepsia
Dan Gastroesophageal Refluks Disease / Gerd) Di Klinik Pratama Sanjaya, Kota
Bandung. FARID KURNIAWAN
UNIVERSITAS AL-GHIFARI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM JURUSAN FARMASI BANDUNG 2019.

2. Profil Kesesuaian Terapi Obat Dispepsia Terhadap Formularium Pada Pasien Rawat
Jalan Rumah Sakit Tk. IV Cijantung Jakarta, Jakarta Timur, Periode Januari – Desember
2016 Lili Musnelina1*, Dewa Gede Agung AR1 Fakultas Farmasi Institut Sains dan
Teknologi Nasional Jakarta.
3. www. Manscape.com
4. interaksi obat. Richard Harkness. Penerbit ITB 1989

19

Anda mungkin juga menyukai