Anda di halaman 1dari 44

REFERAT Oktober, 2017

SINDROMA DISPEPSIA PADA ACUTE DECOMPENSATED HEART


FAILURE (ADHF)

Disusun Oleh:

WIDYA NURUL FATIMAH


N 111 17 030

PEMBIMBING KLINIK
dr. Venice Chairiadi, Sp.JP., FIHA

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Widya Nurul Fatimah


NIM : N 111 17 030
Judul Referat : Sindroma Dispepsia pada Acute Decompensated Heart
Failure (ADHF)

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Palu, Oktober 2017


Pembimbing

dr. Venice Chairiadi, Sp.JP., FIHA

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I – PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindroma Dispepsia .................................................................................. 2
1. Definisi ................................................................................................ 2
2. Epidemiologi ....................................................................................... 2
3. Klasifikasi. .......................................................................................... 2
4. Etiologi. ............................................................................................... 4
5. Patofisiologi ........................................................................................ 4
6. Manifestasi Klinik ............................................................................... 7
7. Diagnosis ............................................................................................. 8
8. Penatalaksanaan .................................................................................. 10
B. Gagal Jantung ............................................................................................ 13
1. Definisi ................................................................................................ 13
2. Epidemiologi ....................................................................................... 14
3. Klasifikasi. .......................................................................................... 14
4. Etiologi. ............................................................................................... 16
5. Diagnosis ............................................................................................. 18
6. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 19
7. Penatalaksanaan .................................................................................. 22
BAB III – TINJAUAN KASUS
A. Identitas ..................................................................................................... 29
B. Anamnesis………………………………………………………………..29
C. Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 30
D. Resume ...................................................................................................... 32
E. Diagnosis Kerja ......................................................................................... 32
F. Diagnosis Banding .................................................................................... 32
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 33
H. Hasil Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 33

iii
I. Diagnosis Akhir ......................................................................................... 34
J. Penatalaksanaan ........................................................................................ 35
K. Prognosis ................................................................................................... 35
BAB IV – PEMBAHASAN .................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Dispepsia sendiri merupakan kumpulan gejala atau sindrom nyeri ulu
hati, mual, kembung , muntah, rasa penuh atau cepat kenyang, sendawa
merupakan masalah yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Dispepsia
berasal dari bahasa Yunani : duis bad dan peptein to digest, yang berarti gangguan
pencernaan. Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an.
Sindroma atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit,
tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang
awam sebagai penyakit maag atau lambung1.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan prevalensi dispepsia
berkisar antara 12-45% dengan estimasi rerata adalah 25%. Insiden dispepsia
pertahun diperkirakan antara 1-11,5%3. Dari data pustaka Negara Barat
didapatkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang
akan mencari pertolongan medis. Prevalensi dispepsia dipengaruhi oleh beberapa
faktor: jenis kelamin, umur, indeks massa tubuh, perokok, konsumsi alkohol dan
psikis. Beragamnya angka prevalensi disebabkan perbedaan persepsi dari definisi
dyspepsia1.
Salah satu penyebab sindroma dispepsia yaitu penyakit sistemik/metabolik,
seperti gagal jantung kongestif, gagal ginjal, diabetes mellitus, dan penyakit
sistemik lainnya. Gagal jantung adalah kumpulan sindroma klinis yang kompleks
yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh
jaringan tubuh secara adekuat akibat adanya gangguan struktural dan fungsional
dari jantung1.
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Oleh karena itu, penegakkan diagnosis gagal jantung menjadi hal yang sangat
penting2.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINDROMA DISPEPSIA
1. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani Dys berarti sulit dan Pepse yang
berarti pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit diperut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan3.
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu
atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada
saluran cerna bagian atas, mual, muntah, dan sendawa4.

2. Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai
dalam praktek sehari- hari. Diperkirakan hampir 30 % kasus pada praktek
umum dan 60% pada praktek gastroenterologist merupakan kasus
dispepsia. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa
15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari
data pustaka negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7-
41%, tapi hanya 10 - 20% yang mencari pertolongan medis. Angka insiden
dispepsia diperkirakan 1-8%. Sementara di Indonesia belum ada data
epidemiologinya1.

3. Klasifikasi
Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu
kandung empedu dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik
yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak
dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau

2
biokimiawi, atau dengan kata lain,kelompok terakhir ini disebut sebagai
dispepsia fungsional1.
Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) dispepsia fungsional
didefinisikan sebagai:
1) Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/epigastric, rasa terbakar di epigastrium.
2) Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan
penyebab keluhan tersebut.
3) Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakan.
Dispepsia berdasarkan gejala klinis menurut Sudoyo (2012) dibagi atas1:
1) Dispepsia akibat gangguan motilitas.
Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling
menonjol adalah perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah
makan, cepat merasa kenyang disertai sendawa.
2) Dispepsia akibat tukak.
Pasien tukak peptik memberikan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu
hati, rasa tidak nyaman (discomfort) disertai muntah. Pada tukak
duodenum rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa
membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setalah makan
dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Rasa
sakit tukak gaster timbul setelah makan, rasa sakit tukak gaster berada
sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodenum berada di sebelah kanan
garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik (pointing sign)
akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini disebabkan penyakit
bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke
organ pancreas.

3
3) Dispepsia akibat refluks.
Pada dispepsia akibat refluks keluhan yang menonjol berupa perasaan
nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar, harus disingkirkan adanya
penyakit kardiologis.
4) Dispepsia tidak spesifik.

4. Etiologi
Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri.
Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum,
striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia
usus kronik, dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional
mengeksklusi semua penyebab organik. Etiologi dari dispepsia dapat
dilihat pada tabel berikut ini1.
Esofago – gastro – Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID,
duodenal keganasan
Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis,
antibiotik
Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,
Disfungsi sfinkter Oddi
Pankreas Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,


kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome


fungsional

5. Patofisiologi
1) Dispepsia Fungsional

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak


dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional
adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori,

4
dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Abdullah dan
Gunawan (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia hingga kini
masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus
dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan
bermakna, seperti di bawah ini5:
a) Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara
volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan
lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih
rendah.
b) Infeksi Helicobacter pylori
c) Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan
cemas dan depresi.
Sekresi asam lambung
Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam
lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin,
yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas
mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut5.
Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada
dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan
angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai
ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada
dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan
pengobatan konservatif baku5.
Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati
vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian

5
proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang5.
Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis
dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone
motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam
beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal5.
Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah
pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan
pada upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi
autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam
sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak
bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia
fungsional5.
2) Dispepsia Organik
OAINS
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui
beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase
mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam
arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensive mukosa
lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak
secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam
dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel
mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat
dan mucus oleh lambung sehingga kemampuan faktor defensif

6
terganggu. Sawar mukosa lambung sangat penting untuk perlindungan
lambung dan duodenum. Pada pengguna aspirin terjadi perubahan
kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya
degradasi mucus oleh pepsin.5.
Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa
esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di
bawah epitel. Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada
setiap bagian saluran cerna baik di jaringan mukosa, sub mukosa hingga
lapisan otot yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus,
lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal juga jejunum. Tukak
terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam,
pepsin atau faktor-faktor lainnya) dengan faktor defensive (mucus,
bikarbonat, aliran darah dan PG), bisa faktor agresif meningkat atau
faktor defensive menurun5.

6. Manifestasi klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala yang
dominan, membagi dipepsia menjadi tiga tipe: 1,6
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan
gejala:
- Nyeri epigastrium terlokalisasi
- Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
- Nyeri saat lapar
- Nyeri episodik
2. Dispepsia degan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia), dengan gejala :
- Mudah kenyang
- Perut cepat terasa penuh saat makan
- Mual
- Muntah

7
- Upper abdominal bloating
- Rasa tidak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas).

7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia diperlukan data anamnesis
yang baik, pemeriksaan fisis yang akurat, disertai pemeriksaan penunjang
untuk mengeksklusi penyakit organik/struktural.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik:
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol
dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau
mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu
diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat
badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung,
muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice
kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan
pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk
mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus,
penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu1.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi yaitu, OMD dengan kontras ganda, serologi
Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia).
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain diagnostik sekaligus
terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikoorganisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

8
Adapun pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis penyebab
dispepsia adalah sebagai berikut1.
a) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, setidak-tidaknya perlu
diperiksa darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan
darah bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
b) Radiologi
Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esophagus
yang menurun terutama dibagian distal, tampak antiperistaltik di antrum
yang meninggi serta sering menutupnya pylorus, sehingga sedikit
barium yang masuk ke intestine. Pada tukak baik di lambung, maupun
di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu
kawah dari tukak yang terisi kontras media.
c) Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan
banyak membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada
tidaknya kelainan di esofagus, lambung, dan duodenum. Di tempat
tersebut perlu diperhatikan warna mukosa , lesi tumor jinak atau ganas.
Kelainan di esofagus yang sering ditemukan dan perlu diperhatikan di
antaranya ialah: esofagitis, tukak esofagus, varises esofagus, tumor
jinak atau ganas yang umumnya lokasinya di bagian distal esofagus.
Bila pada endoskopi ditemukan tukak baik di esofagus , lambung
maupun di duodenum, maka dapat dibuat diagnosis dispepsi tukak.
Sedangkan bila tidak ditemukan tukak tetapi hanya tanda peradangan
maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak.
d) Ultrasonografi
Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada
dugaan kearah kelainan di traktus biliaris, pankreas, kelainan di tiroid,
bahkan juga ada dugaan tumor di esofagus dan lambung.

9
e) Manometri Esofago-gastro-duodenum
Dapat ditemukan kelainan manometrik berupa gangguan fase III
migrating motor complex. Banyak ahli yang berpendapat bahwa saat ini
dispepsia merupakan gangguan pengosongan lambung.
f) Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigrafi atau dengan pellet radioopak.
Pada dispepsia terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.

8. Penatalaksanaan
a. Diet
Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang
dipakai adalah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy
1915 hingga dikenal pula Sippy Diet. Sekarang lebih dikenal dengan
diit lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat Indonesia.
Dasar diet ialah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan
harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan
dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan
berulang kali. Dilarang makan pedas, masam, dan alkohol1.
b. Antasida 20-150ml/hari
Antasida akan menetralisir sekresi asam HCl. Obat ini biasa
digunakan untuk sindroma dispepsia. Antasid biasanya mengandung
Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian
antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simptomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri1.
c. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik
yang dapat menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif1.

10
d. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin1.

e. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)


Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium
akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk
golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol1.

11
f. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian
atas (SCBA) 1.
g. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) 1.

12
B. GAGAL JANTUNG
1. Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat
aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Gagal jantung terjadi ketika jantung tidak mampu memompa darah dalam
waktu yang diperlukan untuk memenuhi permintaan dari jaringan perifer1.
Berdasarkan onset terjadinya, gagal jantung terbagi menjadi gagal
jantung akut dan gagal jantung kronik :
 Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat/onset atau
adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal
jantung yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara
urgen. Gagal jantung akut bisa berupa serangan pertama gagal jantung
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya (acute de novo), atau
perburukan (dekompensasi akut) dari gagal jantung kronik
sebelumnya1.
 Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang
komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik
dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif lainnya
adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat, terjadi sejak lama.
Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan
gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak
terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel1.
Gagal jantung adalah sindrom kompleks yang melibatkan proses akut
dan kronis. Gagal jantung akut memiliki berbagai presentasi. Hal ini dapat
ditandai dengan gejala yang berkembang dengan cepat dari onset baru atau
de novo, atau bisa menjadi perburukan gagal jantung kronis yang berujung
pada gagal jantung dekompensasi akut (ADHF), kadang-kadang disebut
gagal jantung 'akut pada kronis7.
Perburukan atau dekompensasi gagal jantung kronik (GJK), adanya
riwayat perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui

13
dan mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita gagal jantung kronik
dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru1.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel, yang juga didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksi lebih dari 50% 1.

2. Epidemiologi
Angka kejadian gagal jantung semakin meningkat dari tahun ke tahun,
data WHO tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat
menderita gagal jantung dan 700.000 diantaranya memerlukan perawatan
di rumah sakit per tahun. Faktor resiko terjadinya gagal jantung yang
paling sering adalah usia lanjut, 75% pasien yang dirawat dengan gagal
jantung berusia 65-75 tahun. Menurut penelitian angka kejadian angka
kejadian gagal jantung kronik di Amerika Serikat, jumlahnya sekitar 3 juta
orang, lebih dari 400 ribu kasus baru dilaporkan tiap tahun8.

3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi New York Heart Association (NYHA) membagi
gagal jantung ke dalam 4 kelas9.
a. NYHA Kelas I
Pasien dengan penyakit jantung tanpa keterbatasan aktivitas. Aktivitas
biasa tidak menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri angina.
b. NYHA Kelas II
Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan ringan pada aktivitas
fisik. Aktivitas biasa menyebabkan fatigue, dyspnea, atau nyeri angina;
yang hilang dengan istirahat.

14
c. NYHA Kelas III
Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan pada aktivitas fisik.
Sedikit aktivitas menyebabkan fatigue, dyspnea, palpitasi, atau nyeri
angina; yang hilang dengan istirahat.
d. NYHA Kelas IV
Penderita penyakit jantung dengan ketidakmampuan melakukan
aktivitas fisik. Keluhan gagal jantung atau sindroma angina mungkin
masih dirasakan meskipun saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik,
rasa tidak nyaman bertambah.
Klasifikasi berdasarkan American College of Cardiology/American
Heart Association (ACC/AHA)10.
a. Stadium A : Resiko tinggi terhadap gagal jantung tetapi tidak ada
gangguan struktural jantung atu gejala gagal jantung
b. Stadium B : Adanya gangguan struktural jantung tetapi tidak ada
gejala gagal jantung
c. Stadium C : Adanya gangguan struktural jantung dan gejala gagal
jantung
d. Stadium D : Gagal jantung tahap refrakter yang membutuhkan
intervensi khusus.
Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti (Klasifikasi Stevenson)
sebagai berikut11.
a. Kategori forrester 1 (grup A) : Warm and dry. Beresiko tinggi
menderita gagal jantung tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau
tanpa adanya keluhan gagal jantung.
b. Kategori forrester 2 (grup B) : Warm and wet. Adanya penyakit
struktur jantung tanpa keluhan atau tanda gagal jantung.
c. Kategori forrester 3 (grup C) : cold and dry. Adanya penyakit
struktur jantung dengan keluhan atau tanda gagal jantung, hipoperfusi:
cardiac index <2.2.
d. Kategori forrester 4 (grup D) : cold and wet. Gagal jantung
refrakter, kongesti paru dan hipoperfusi.

15
4. Etiologi
Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan
gagal jantung akut. Contoh yang paling sering antara lain (1) peninggian
afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi
pulmonal, (2) peninggian preload karena volume overload atau retensi air,
dan (3) gagal sirkulasi seperti pada keadaan high output states antara lain
pada infeksi, anemia, atau tirotoksikosis1.
Faktor-faktor pencetus timbulnya perburukan/dekompensasi gagal
jantung sebagai berikut12.
- Tidak patuh dalam pengobatan dan diet
- Penyebab jantung
 Iskemia
 Aritmia
 Hipertensi tidak terkontrol
- Penyebab non-jantung
 Infeksi, terutama pneumonia dengan atau tanpa hipoksia
 Penyakit paru obstruktif kronik
 Emboli paru
- Obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID)
- Volume overload

5. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga13.

16
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).
Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal13.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung13.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai
respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic
peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat,
efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal
jantung13.

17
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan
pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia13.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung13.

6. Diagnosis
Kriteria Framingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung
kongestif. Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria
major dan 2 kriteria minor.
a. Kriteria Major
 Paroksismal nocturnal dispnea
 Distensi vena leher
 Ronki paru
 Kardiomegali
 Edema paru akut
 Gallop S3
 Peninggian tekanan vena jugularis
 Refluks hepatojugular
b. Kriteria Minor
 Edema ekstremitas
 Batuk malam hari
 Dispnea d’effort
 Hepatomegaly
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
 Takikardia (>120/menit)

18
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute
Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute
decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut.14
Volume Overload
- Dispneu saat melakukan - Hepatosplenomegali,
kegiatan hepatomegali, atau
- Orthopnea splenomegali
- Paroxysmal nocturnal dyspnea - Distensi vena jugular
(PND) - Reflex hepatojugular
- Ronchi - Asites
- Cepat kenyang - Edema perifer
- Mual dan muntah
Hipoperfusi
- Kelelahan - Hipotensi
- Perubahan status mental - Ekstremitas dingin
- Penyempitan tekanan nadi - Perburukan fungsi ginjal

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat
penting meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem
konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan segmen ST; berupa
ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) atau non STEMI.
Gelombang Q pertanda infark transmural sebelumnya. Adanya
hipertrofi, bundle branch block, disinkroni elektrikal, interval QT
yang memanjang, disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan1.
b. Foto Thorax
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi
pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang

19
menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat
tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik2.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung
adalah darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, trombosit),
elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi
hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai
tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai
sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan
diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor),
ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone2.
d. Peptida Natriuretik (BNP dan NT-pro BNP)
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar
plasma peptida natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan
merawat atau memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien
pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida
natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai
prediktif negatif yang tinggi dan membuat kemungkinan gagal
jantung sebagai penyebab gejala-gejala yang dikeluhkan pasien
menjadi sangat kecil2.
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptida natriuretik
meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel.
Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan
tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar
peptida natriuretik2.

20
e. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung
jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut.
Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering pada gagal
jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada
penderita tanpa iskemia miokard2.
f. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler,
colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi
diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik
dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi
ventrikel kiri (normal > 45 - 50%)2.

21
8. Penatalaksanaan
a) Non Farmakologis
 Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi
dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas
fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen
perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan
yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari
perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung2.
 Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi2.
 Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika
terdapat kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikan dosis diuretik atas pertimbangan dokter2.
 Asupan Cairan
Restriksi cairan 1,5-2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi
cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang
tidak memberikan keuntungan klinis2.
 Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)
dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah
perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan
kualitas hidup2.

22
 Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal
jantung berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan
prediktor penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6
bulan terakhir berat badan >6 % dari berat badan stabil sebelumnya
tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.
Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati2.
 Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal
jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang
sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah2.
b) Farmakologis
 ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS
(ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤
40 %. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI
hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan
kadar kalium normal2.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL

23
Stenosis aorta berat
 PENYEKAT β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada
semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup2.
Indikasi pemberian penyekat β
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA)
ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah
diberikan
Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis
diuretik,tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda
retensi cairan berat).
Kontraindikasi pemberian penyekat β
Asma
Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus
sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <
50x/menit)
 ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontra indikasi, penambahan obat antagonis
aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien
dengan fraksi ejeksi ≤ 35% dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional III-IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup2.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)

24
Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak
ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron
Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen
kalium
Kombinasi ACEI dan ARB
 ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap
simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis
optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien
intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular2.
Indikasi pemberian ARB
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.
Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan
sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA) yang intoleran
ACEI.
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI,
tetapi ARB tidak menyebabkan batuk.
Kontraindikasi pemberian ARB
Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron
bersamaan.

25
Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB
digunakan bersama ACEI.
 HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien
intoleran terhadap ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti B)2.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat
ditoleransi.
Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi.
Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan
ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron.
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN
Hipotensi simtomatik
Sindroma lupus
Gagal ginjal berat
 DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin
dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat,
walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih diutamakan. Pada
pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B)2.
 DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
tanda klinis atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan
bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai

26
status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuaikebutuhan pasien, untuk
menghindari dehidrasi atau resistensi2.
Dosis diuretik
Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan
gejala dan tanda kongesti
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan
kering (tanpa retensi cairan), untuk mencegah risiko gangguan
ginjal dan dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan
berat badan kering dengan dosis diuretik minimal.
Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat
mengatur dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan
pengukuran berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari
retensi cairan2.
Tabel Dosis obat yang umum dipakai pada Gagal Jantung2.
Dosis Awal (mg) Dosis Target (mg)
ACEI
Captopril 6,25 (3x/hari) 50-100 (3x/hari)
Enalapril 2,5 (2x/hari) 10-20 (2x/hari)
Lisinopril 2,5-5 (1x/hari) 20-40 (1x/hari)
Ramipril 2,5 (1x/hari) 5 (2x/hari)
Perindopril 2 (1x/hari) 8 (1x/hari)
ARB
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)

Antagonis Aldosteron
Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)
Spironolakton 25 (1x/hari) 25-50 (1x/hari)

Penyekat β
Bisoprolol 1,25 (1x/hari) 10 (1x/hari)
Carvedilol 3,125 (2x/hari) 25-50 (2x/hari)
Metoprolol 1,25/25 (1x/hari) 200 (1x/hari)

27
Diuretik
Diuretik Loop
Furosemid 20-40 40-240
Bumetanide 0,5-1,0 1-5
Torasemide 5-10 10-20
Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12,5-100
Metolazone 2,5 2,5-10
Indapamide 2,5 2,5-5
Diuretic hemat kalium
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12,5-25 (+ACEI/ARB)50
(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB)100-200

Algoritma pengobatan ADHF.

28
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Identitas
a. Nama : Tn. R
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Umur : 66 tahun
d. Alamat : Jl. Tururuka
e. Tanggal Pemeriksaan : 05 Agustus 2017
f. Ruangan : Kenanga

B. Anamnesis
a. Keluhan utama : nyeri ulu hati
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri ulu hati 1 hari
sebelum masuk rumah sakit yang disertai dengan mual dan muntah
sebanyak 2 kali berisi air dan makanan yang sebelumnya sudah dimakan.
Pasien merasa lemah, ada perasaan penuh di perut dan tidak nafsu makan
karena semakin mual jika makan. Pasien mengatakan bahwa sebelum
timbul nyeri ulu hati pasien memang terlambat makan. Dalam waktu
bersamaan timbulnya nyeri ulu hati, pasien juga mengeluhkan sesak
nafas yang disertai dengan nyeri dada. Nyeri dada yang dirasakan seperti
ditekan atau ditindih tembus ke belakang dan menjalar ke lengan. Pasien
mengaku sesak nafas sering timbul saat beraktivitas ringan seperti
berjalan ke kamar mandi. Pasien mengaku mengalami demam (+) dan
menggigil (+) pada malam hari sebelum masuk rumah sakit, batuk (+)
terutama pada malam hari yang terkadang disertai dengan sesak, mudah
lelah (+), sakit kepala (-), nafsu makan menurun (+), penurunan berat
badan (-), buang air kecil lancar, dan buang air besar biasa.

29
c. Riwayat penyakit dahulu :
 Riwayat tindakan pembedahan Bypass Arteri Jantung (Coronary
Artery Bypass Grafting, CABG) beberapa tahun yang lalu.
 Riwayat penyakit jantung (+)
 Riwayat DM (+)
 Riwayat HT (+)
 Riwayat Stroke (-)
 Riwayat penyakit hepatitis (-)
 Riwayat OAT (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat jantung (+)

C. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum :
 Sakit Sedang
 Composmentis
 Gizi Baik
b. Tanda vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 64x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 36,6oC
c. Kepala
Wajah : Pucat (-), Sianosis (-), Edema (-), Jejas (-), Butterfly
rash (-)
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephal
Mata : - Konjungtiva : anemis +/+
- Sclera : icterus -/-
- Pupil : isokor +/+

30
Mulut : Hiperemis (-) Lidah kotor (-)
d. Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Tiroid : Tidak ada pembesaran
JVP : peningkatan (+) 5+3 H20
Massa lain : Tidak ada
e. Dada
Paru-Paru
- Inspeksi : Simetris bilateral
- Palpasi : vocal fremitus kanan sama dengan kiri
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi +/+, wheezing -/-
f. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi :
Batas Atas : SIC II linea parasternal sinistra
Batas kanan : SIC IV linea parasternal dextra
Batas kiri : SIC V linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : BJ I/II regular
g. Perut
- Inspeksi : Cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+)
- Perkusi : timphany (+)
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), splenohepatomegaly (-)
h. Anggota gerak
- Atas : Akral hangat (+/+)
Edema (-/-)
- Bawah : Akral hangat (+/+)
Edema (+/+) minimal

31
D. Resume
Pasien laki-laki berusia 66 tahun masuk rumah sakit dengan dengan
keluhan nyeri ulu hati 1 hari sebelum masuk rumah sakit yang disertai dengan
mual dan muntah sebanyak 2 kali berisi air dan makanan yang sebelumnya
sudah dimakan. Pasien merasa lemah, ada perasaan penuh di perut dan tidak
nafsu makan karena semakin mual jika makan. Pasien mengatakan bahwa
sebelum timbul nyeri ulu hati pasien memang terlambat makan. Dalam waktu
bersamaan timbulnya nyeri ulu hati, pasien juga mengeluhkan sesak nafas
yang disertai dengan nyeri dada. Nyeri dada yang dirasakan seperti ditekan
atau ditindih tembus ke belakang dan menjalar ke lengan. Pasien mengaku
sesak nafas sering timbul saat beraktivitas ringan seperti berjalan ke kamar
mandi. Pasien mengaku mengalami demam (+) dan menggigil (+) pada
malam hari sebelum masuk rumah sakit, batuk (+) terutama pada malam hari
yang terkadang disertai dengan sesak, mudah lelah (+), nafsu makan menurun
(+), buang air kecil lancar, dan buang air besar biasa.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan pernah mendapat tindakan
pembedahan Bypass Arteri Jantung 3 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki
riwayat penyakit diabetes mellitus tipe 2. Dalam keluarga, 2 orang saudara
pasien mempunyai riwayat penyakit jantung.
Tanda vital : TD: 100/60 mmHg, N: 64x/menit; R: 24x/menit; Suhu:
36,6oC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+),
peningkatan JVP 5+2 H2O, pernafasan vesikular (+/+) disertai rhonki (+/+),
bunyi jantung reguler (+), abdomen kesan cembung, nyeri tekan (+) pada
epigastrium, suara perkusi abdomen timpani (+), dan edema ekstremitas
bawah (+/+) minimal.

E. Diagnosis Kerja
Sindroma Dispepsia + Dispneu ec Acute Decompensative Heart Failure

F. Diagnosis Banding
- GERD

32
G. Usulan Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan kimia darah, meliputi ureum, kreatinin, GDS, profil lipid,
elektrolit darah
- EKG
- Foto Thorax
- Echocardiography
- Endoskopi

H. Hasil Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
DARAH LENGKAP NILAI RUJUKAN
WBC 8,9.103/mm3 4,0-10,0.103
RBC 2,80.106/mm3 4,5-6,5
PLT 253.103/mm3 150-500
HCT 25,7% 40-54
HGB 8,5 g/dL 13,0-17,0
MCV 92 µm3 80-100
MCH 30,4 pg 27,0-32,0

KIMIA DARAH HASIL NILAI RUJUKAN


Glukosa sewaktu 97 mg/dl 74-100 mg/dl
Kolesterol 112,3 mg/dl <200 mg/dl
Faal Ginjal
Ureum 31,1 mg/dl 18,0-55,0
Creatinin 2,75 mg/dl 0,70-1,30
Elektrolit Darah
Natrium 118 135-145 mmol/L
Kalium 3,9 3,5-5,5 mmol/L
Klorida 84 94-106 mmol/L

33
EKG

Deskripsi:
Irama sinus, frekuensi 60x/menit reguler
Sumbu jantung deviasi ke kiri
Gambaran Q patologis pada lead III dan avF
ST elevasi pada lead II, III dan avF
ST depresi pada lead I, avL, V6
Kesan : Bradikardi, infark miokard inferior, iskemia miokard lateral

I. Diagnosis Akhir
Sindroma Dsipepsia + Acute Decompensative Heart Failure ec coronary
artery disease + Anemia

34
J. Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
a. Menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi
b. Taat minum obat
Medikamentosa :
- IVFD RL 1 kolf/24 jam
- Transfusi PRC 2 bag
- Ranitidin 150 mg 2x1
- Furosemide 1 ampul/12 jam
- Aspilet 80 mg 0-0-1
- Clopidogrel 75 mg 1-0-0
- Atorvastatin 20 mg 0-0-1
- Ramipril 5 mg 0-0-1
- Beta one 2,5 mg 1-0-0

K. Prognosis
Dubia ad bonam

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sindroma dispepsia dan Acute
Decompensated Heart Failure (ADHF) ec coronary artery disease yang disertai
dengan dan anemia yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Pada kasus ini, pasien Tn. R 66 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
nyeri ulu hati 1 hari sebelum masuk rumah sakit yang disertai dengan mual dan
muntah sebanyak 2 kali berisi air dan makanan yang sebelumnya sudah dimakan.
Pasien merasa lemah, ada perasaan penuh di perut dan tidak nafsu makan karena
semakin mual jika makan. Pasien mulai mengeluhkan gejala tersebut setelah
pasien terlambat makan. Keluhan-keluhan tersebut menunjukkan gejala dari
dispepsia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada epigastrium. Nyeri
epigastrium merupakan salah satu tanda dari dispepsia. Dispepsia merupakan rasa
tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman
tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri
epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
Dalam waktu bersamaan timbulnya nyeri ulu hati, pasien juga mengeluhkan
sesak nafas yang disertai dengan nyeri dada. Nyeri dada yang dirasakan seperti
ditekan atau ditindih tembus ke belakang dan menjalar ke lengan. Pasien mengaku
sesak nafas sering timbul saat beraktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi.
Pasien juga sering batuk terutama pada malam hari yang terkadang disertai
dengan sesak, mudah lelah, dan nafsu makan menurun. Gejala yang dikeluhkan
pasien tersebut dicurigai mengarah ke gagal jantung yang mengalami perburukan
dikarenakan pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan pernah dilakukan
pembedahan ByPass arteri koroner 4 tahun yang lalu.

36
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan mengarah pada diagnosis gagal
jantung yaitu ditemukan peningkatan vena jugularis, terdengar suara rhonki pada
kedua paru, dan edema pada kedua kaki yang kesannya minimal.
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan kriteria
Franingham. Pada pasien ini didapatkan 3 kriteria mayor meliputi peningkatan
tekanan vena jugularis, paroksismal noktunal dispneu, dan rhonki pada kedua
paru. Didapatkan pula kriteria minor berupa edema pada ekstremitas bawah yang
minimal, batuk pada malam hari, dan dispneu d’ effort. Berdasarkan tanda dan
gejala yang didapatkan telah memenuhi kriteria Franingham mayor dan minor
sehingga dapat didiagnosis pada pasien ini mengalami gagal jantung.
Pada pasien ini didagnosis sebagai dekompensasi akut gagal jantung kronik
(ADHF) karena pasien mempunyai riwayat gagal jantung sebelumnya dan timbul
lagi secara mendadak atau mengalami perburukan akibat adanya faktor pencetus.
Acute decompensated heart failure merupakan gagal jantung akut yang
didefinisikan sebagai serangan yang cepat dari gejala-gejala atau tanda-tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. ADHF dapat merupakan serangan baru
tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari
gagal jantung kronik yang telah dialami sebelumnya.
Hasil rekam jantung (EKG) didapatkan gambaran infark miokard inferior.
Adanya faktor-faktor presipitasi yang menyebabkan gagal jantung, seperti adanya
penyakit jantung koroner dan infark miokard menyebabkan penurunan
kontraktilitas ventrikel yang akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan volume darah arteri yang efektif.
Hal ini akan merangsang kompensasi neurohumoral yang menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri.
Pada pasien ini mengalami demam sebelum masuk rumah sakit dan
mengalami anemia yang ditandai dengan konjungtiva anemis dan nilai eritrosit
2,80.106/mm3, hemoglobin 8,5 g/dL, hematokrit 25,7%. Hal tersebut
menyebabkan jantung berkompensasi memenuhi kebutuhan jaringan. Bila terjadi
terus menerus, pada akhirnya jantung akan gagal berkompensasi sehingga
mengakibatkan penurunan curah jantung.

37
Penurunan cardiac output salah satunya dapat menyebabkan peningkatan
tekanan vena pulmonalis sehingga cairan mengalir dari kapiler ke alveoli dan
terjadilah edema paru. Edema paru mengganggu pertukaran gas di alveoli
sehingga timbul dispnoe dan ortopnoe. Keluhan sesak pada pasien ini dapat terjadi
sebagai akibat perburukan dari gagal jantung yang diderita akibat terjadinya
edema paru kardiogenik yang disebabkan oleh penurunan cardiac output.
Keadaan ini membuat tubuh memerlukan energy yang tinggi untuk bernafas
sehingga menyebabkan pasien mudah lelah.
Berdasarkan teori, sindrom dispepsia dapat disebabkan oleh adanya penyakit
sistemik, seperti penyakit jantung koroner/iskemik, diabetes mellitus, gagal ginjal,
dan penyakit tiroid. Pada pasien ini menderita penyakit jantung sehingga sindrom
dispepsia yang timbul kemungkinan dapat terjadi karena adanya hipertrofi
ventrikel sebagai kompensasi jantung terhadap penurunan kontraktilitas
miokardium sebagai usaha untuk meningkatkan daya kontraksi dan pengosongan
ventrikel. Adanya hipertrofi ventrikel jantung dapat memungkinkan terjadinya
penekanan pada traktus gastrointestinal maupun gaster sehingga menimbulkan
gejala sindroma dispepsia seperti nyeri ulu hati, rasa penuh di perut, mual, hingga
muntah. Terkadang pula, mual bahkan muntah diakibatkan karena nyeri hebat dan
refleks vasosegal yang disalurkan dari area kerusakan miokard ke traktus
gastrointestinal. Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan
biasanya lebih sering pada infark miokard inferior.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.


2012.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perki. 2015
3. Tack, J. Nicholas J. Talley, Camilleri M, et al. Functional Gastroduodenal
Disorder. Gastroenterology. 130:1466-1479. 2006.
4. Simadibrata, M.K., Dadang, M., Abdullah, M., et al. KONSENSUS
NASIONAL: Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Helicobacter pylori.
Perkumpulan Gastoenterologi Indonesia. 2014.
5. Abdulah, M. dan Gunawan, J. Dispepsia. Jakarta : Divisi Gastroenterologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 39
(9) : 647-651. 2012
6. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati., et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV.
Jakarta : Media Aesculapius. Hal: 591-595. 2014.
7. Givertz, M. M., et al. Acute Decompensated Heart Failure: Update on New
and Emerging Evidence and Directions for Future Research. Journal of
Cardiac Failure, Vol. 16. No.6. 2013
8. Djausal, A. & Oktafany. Gagal Jantung Kongestif. J Medula Unila Vol. 5 No.
1. 2016.
9. Fauci, A. S., Braunwald, E., Kasper, D. L., Hause, S. L., Longo, D. L.,
Jameson, J. L., Loscalzo, J. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition, Volume II, McGraw-Hill Medical: New York. 2008.
10. Dumitru, I. Heart Failure, dalam Medscape. 2013.
11. Alwi, I. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik
Klinis. Jakarta: Interna Publishing. 2016.
12. Neuenchwander, J.F. & Bagia, R.R. Acute Decompensated Heart Failure.
Elsevier Saunders. Crit Care Clin 23 : 737-758. 2007.
13. Jackson, Gibbs, Davies. ABC of heart failure Pathophysiology. BMJ, Vol.
320. 2000.

39
14. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines
in the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the
internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006

40

Anda mungkin juga menyukai