Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SISTEM DIGESTIVE DENGAN DIAGNOSIS MEDIS DYSPEPSIA


DI RUANG PERAWATAN INTERNA LT.4
RSUD SYEKH YUSUF GOWA

RAHMAT RASYID SIAGIAN


Nim. 70900122017

PERSEPTOR INSTITUSI PERSEPTOR LAHAN

(........................................ ....) (...............................................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XXI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikumWarahmatullahiwabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan kepada kami kesehatan dan kesempatan sehingga Laporan
Pendahuluan ini dapat terselesaikan. Serta terima kasih atas bimbingan dari
preseptor lahan dan institusi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
saya dalam menyelesaikan laporan ini
Dalam pembuatan tugas ini tidak menutup kemungkinan adanya
kekurangan. Oleh karena itu, kritikan dan saran penyempurnaan yang dapat
membangun sangat penulis harapkan. Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita
semua,Amin.
Wassalamu‘Alaikum Wr. Wb.
Makassar, 24 Oktober 2022

Penyusun

2
BAB I
KONSEP DASAR MEDIS
A. Defenisi
Dispepsia adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan nyeri
atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau ulu hati. Dispepsia
juga merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat sering ditemui
dalam kehidupan sehari-hari keluhan kesehatan yang berhubungan
dengan makan atau keluhan yang berhubungan dengan gangguan saluran
cerna (Sumarni & Andriani, 2019).
Di dalam kehidupan masyarakat umum, penyakit dispepsia sering
disamakan dengan penyakit maag, dikarenakan terdapat kesamaan
gejala antara keduanya. asumsi ini sebenarnya kurang tepat, karena kata
maag berasal dari bahasa Belanda, yang berarti lambung, sedangkan
kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata
yaitu “dys” yang berarti buruk dan “peptei“ yang berarti pencernaan,
Jadi dispepsia berarti pencernaan yang buruk (Fithriyana, 2018) .
Dispepsia merupakan rasa nyeri atau tidak nyaman di bagian ulu hati.
Kondisi ini dianggap gangguan di dalam tubuh yang diakibatkan reaksi tubuh
terhadap lingkungan sekeliling. Reaksi ini menimbulkan gangguan
ketidakseimbangan metabolisme dan seringkali menyerang individu usia
produktif, yakni usia 30-50 tahun (Mardalena, 2017). Dispepsia adalah
penyakit yang tidak menular saluran pencernaan namun banyak terjadi di
kalangan masyarakat di dunia. Sindrom dispepsia berupa kumpulan gejala
atau sindrom rasa dari nyeri atau rasa tidak nyaman di lambung, mual,
muntah, kembung, mudah kenyang, rasa perut penuh, sendawa berulang
atau kronis. Keluhan yang timbul biasanya berbeda pada tiap individu
penderita (Zakiyah et al., 2021).
B. Etiologi
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat
organik (struktual) dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain
karena terjadinya gangguan disaluran cerna atau disekitar saluran cerna, seperti
pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat

3
fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap
obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Muti, 2019).
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang bersifat
organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain karena
terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna, seperti
pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang bersifat
fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran terhadap
obat-obatan dan jenis makanan tertentu. Faktor-faktor yang menyebabkan
dispepsia dalam (Muti, 2019) adalah :
1. Bakteri Helicobacter pylori. Bakteri tersebut hidup di bawah lapisan
selaput lendir, fungsinya yaitu untuk melindungi kerusakan dinding
lambung akibat produksi asam lambung. Infeksi yang diakibatkan bakteri
helicobacter menyebakan peradangan pada dinding lambung.
2. Merokok akan merusak lapisan pelindung lambung. Oleh karena itu orang
yang merokok lebih sensitif terhadap dispepsia maupun ulser.
3. Stres bisa menyebabkan terjadi perubahan hormonal di dalam tubuh.
Perubahan itu akan merangsang sel-sel dalam lambung yang kemudian
memproduksi asam secara berlebihan. Asam yang berlebihan ini membuat
lambung terasa nyeri, perih dan kembung.
4. Efek samping mngkonsusmsi obat-obatan tertentu penghilang rasa nyeri
seperti obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) misalnya aspirin,
ibuproven yang terlalu sering dapat menyebabkan penyakit gastritis, baik
itu gastritis akut maupun kronis.
5. Mengkonsumsi alkohol dapat mengiritasi dan mengikis permukaan
lambung.
6. Mengkonsumsi makanan terlalu pedas, asam dan minum-minuman yang
mengandung cafein seperti kopi dapat meningkatkan produksi asam
lambung berlebihan hingga akhirnya terjadi iritasi dan menurunkan
kemampuan fungsi dinding lambung.

4
C. Klasifikasi
Dalam (Zakiyah et al., 2021) dispepsia terbagi menjadi dua
golongan, antara lain:
1. Dispepsia organik atau yang sering disebut dengan dispepsia structural
Dispepsia organik terjadi karena adanya kelainan organik. Pada dispepsia
organik terlihat kelainan yang nyata terlihat pada endoskopi terhadap
organ saluran pencernaan seperti ulkus peptik atau yang dikenal
dengan tukak peptik, gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux
disease (GERD), hiperasiditas.
2. Dispepsia non organik atau yang sering disebut dengan dispepsia
fungsional Dispepsia non organik tidak ditemukan adanya kelainan saat
dilakukan pemeriksaan fisik dan endoskopi, hanya ditandai dengan
nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau berulang.
Awalnya dispepsia fungsional dibedakan menjadi 3 golongan yaitu
‘ulcer-like’,‘reflux-like’, dan ‘dysmotility like’. Namun karena lebih
banyak gejala dipicu oleh konsumsi makanan (±80%) maka
penggolongan dispepsia fungsional saat ini dibagi menjadi dua
yaitu Sindrom Nyeri Epigastrium (nyeri epigastrium atau rasa
terbakar) dan Sindrom Distress Postprandial (rasa penuh pasca makan
dan cepat kenyang).
D. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres,
pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong,
kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan
antara dinding-dinding lambung. Kondisi demikian dapat mengakibatkan
peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam
pada lambung, sehingga rangsangan di medullaoblongata membawa impuls
muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan (Riyanti,
2017).

5
E. Manifestasi Klinis
Menurut (Arsyad & Sulfemi, 2018) ada beberapa gejala penyakit
dispepsia yaitu :
1. Nyeri epigastrik
2. Rasa penuh pada bagian epigastrik
3. Rasa cepat kenyang
4. Mual dan muntah
F. Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi (Gede Hyugiswara & Suatama, 2021)
a. Antihipersasiditas (Antasida, NaHCO3, Kombinasi Bismuth dan
Kalsium, dan Sukralfat
b. Antikolinergik (pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor
muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung
sekitar 28% sampai 43%)
c. Antagonis Reseptor H2 (simetidin, nizatidin, roksatidin, dan
famotidine)
d. Proton pump inhibitor (PPI), Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeprazol, esomeprazol lansoprazol, dan pantoprazole)
e. Sitoprotektif, Obat yang termasuk golongan prostaglandin sinetik
seperti misoprosti
f. Golongan prokinetik, obat yang termasuk golongan dalam golongan
ini adalah cisapride, domperidon, dan metoclopramide
g. Golongan anti depresi, obat pada (Zakiyah et al., 2021) yang termasuk
yaitu:
- Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs), contohnya
escitalopram (Lexapro), fluoxetine (Lovan atau Prozac),
paroxetine (Arovax) dan citalopram (Cipramil)
- Serotonin and Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs),
contohnya venlafaxine (Effexor XR), desvenlafaxine (Pristiq),
duloxetine (Cymbalta), dan reboxetine (Endronax)
- Trisiklik, contohnya amitriptyline (Endep), clomipramine
(Anafranil), dosulepin (depran) dan imipramine (tofranil)

6
- Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs), contohnya
tranylcypromine (parnate), phenelzine (nardil) dan isocarboxazid
(marplan)
h. Antibiotik terapi dyspepsia, terapi dyspepsia fungsional perlu
dibedakan untuk subtype nyeri atau distress postprandial. Pada tipe
nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan asam
lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distress postprandial, lini
pertama dengan prokintik, seperti metoklopramid/domperidone
(antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor asetikolinesterase),
cisapride (antagonisserotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod (agonis
5HT4). Bila lini pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe
distress postprandial dan prokinetic untuk tipe nyeri (Purnamasari,
2017)
2. Terapi Non Farmakologi (Gede Hyugiswara & Suatama, 2021)
a. Mengurangi stress, stress berlebihan dapat menyebabkan produksi
asam lambungnya meningkatkan, sehingga memicu dyspepsia.
Istirahat yang cukup dan melakukan kegiatan yang dapat
meminimalisir stress
b. Mengatur pola hidup sehat-sehat
Pola hidup yang sehat dapat dilakukan dengan olahraga secara
teratur, menjaga berat badan agar tidak obsesitas, menghindari
berbaring setelah makan, akan banyak terutama pada malam
harimerokok, menghindari makanan yang berlemak tinggi dan
pedas serta menghindari minuman yang asam, bersoda,
mengandung alkohol dan kafein.
c. Terapi kompres hangat
Terapi kompres terapi kompres hangat Warm Water Zack (WWZ)
dilakukan dengan menggunakan botol karet yang berisi air
hangat kemudian diletakan pada bagian perut yang nyeri.
d. Terapi Komplementer
Terapi komplemeter berguna untuk mengurangi nyeri yang terjadi
pada lambung. Terapi ini dapat dilakukan dengan terapi

7
aromaterapi, mendengar musik, menonton televisi, memberikan
sentuhan terapeutik, dan teknik relaksasi nafas dalam
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Mardalena, 2017) Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkapdan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan
leukosit dosis berarti tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir ata
ubanyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dyspepsia ulkus
sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumormarker (dugaan karsinoma kolon),dan
(dugaan karsinoma pankreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orangyang mengalami
kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami
nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi bias digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan
lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi
Helicobacterpylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostic sekaligus terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi
H.pylori,urea breath test,dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.
H. Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang berat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, pendarahan
lambung, kanker lambung, muntah darah dan terjadinya ulkus peptikum (Muti,
2019).

8
I. Penyimpangan KDM
DISPEPSIA

Dispepsia Organik Dispepsia Fungsional

Stress Kopi & alkohol

Perangsangan saraf Respon mukosa lambung


Simpatis NV (Nervus Vagus)

Vaso dilatasi mukosa gaster Eksfeliasi


Produksi HCL dilambung (Pengelupasan)

Mual HCL kontak dengan


mukosa gaster
Muntah
Nyeri
Kekurangan volume cairan
b.d kehilangan cairan aktif Nyeri epigastrium b.d iritasi
pada mukosa lambung

9
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang
dilakukan yaitu: mengumpulkan data, mengelompokan data dan menganalisa
data. Data fokus yang berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri
perut, rasa pedih di ulu hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan
berkurang, rasa lekas kenyang, perut kembung, rasa panas didada dan perut,
regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba) . Adapun proses
pengkajian gawat darurat yaitu pengkajian primer (primary assessment).
Primary Assessment dengan data subjektif yang didapatkan yaitu keluhan
utama: nyeri pada perut dan mengeluh mual muntah. Keluhan penyakit saat
ini: mekanisme terjadinya. Riwayat penyakit terdahulu: adanya penyakit saraf
atau riwayat cedera sebelumnya, kebiasaan minum alkohol, konsumsi
medikasi anticoagulant atau agen antiplatelet, adanya alergi, dan status
imunisasi (Mardalena, 2017).
Data objektif: airway adanya perubahan pola napas (apnea yang
diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi stridor, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).Breathing dilakukan Auskultasi dada
terdengar stridor/ronki/mengi, RR>24x/menit.Circulation adanya perubahan
tekanan darah atau normal (hipotensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi disritmia). Disability
adanya lemah/letargi, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan kasadaran
bisa sampai koma. Pengkajian sekunder terdiri dari keluhan utama yaitu,
adanya mual muntah-curigai apendisitis atau obstruksi usus, nyeri
epigastrium yang kolik, curigai gastritis atau gastroenteritis, anoreksia dengan
diare. Riwayat sosial dan medis yaitu, riwayat pengunaan dan penyalagunaan
alkohol. Curigai penyakit hati, penyalah gunaan obat intra vena, gejala putus
obat, pembedahan abdomen sebelumnya, curigai adanya obstruksi usus,
penyakit hati atau gastritis. Alasan mencari pengobatan yaitu, identifikasi
kontak dengan pemberi perawatan kesehatan lainnya untuk penyakit ini.
Pengobatan sebelum masuk di ruangan interna yaitu mengidentifikasi

10
pengunaan obat-obatan buatan rumah, perubahan pada diet, pengunaan obat
yang dijual bebas. Nyeri yaitu catat riwayat dan durasi nyeri dan gunakan
metode pengkajian nyeri yaitu Provocate,: Quality, Region, Severe, dan
Time.PQRST (Muti, 2019).
Setelah melakukan pengkajian primer dan sekuder selanjutnya
melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan ini meliputi: pertama,
pemeriksaan tekanan darah yang menjadi indicator dari rasanya nyeri. Tetapi
yang lebih penting memberikan pengertian selama proses pasien dalam
keadaan hipotensi, hipertensi, takikardi, takipnea, dan adanya penurunan
saturasi oksigen. Kedua, asesmen respirasi dan kardiovaskuler dimana
pengkajian ini harus menjadi perhatian, pada pasien dengan nyeri abdomen
bagian atas, dapat dinyatakan adanya pneumonia atau iskemia jantung.Ketiga,
asesmen abdomen kenyamanan posisi dan gerakan tubuh selama pemeriksaan
sebagai isyarat lokasi, intensitas dan kemungkinan dari etiologi nyeri.
Auskultasi abdomen dikempat kuardan meliputi frekuensi, dan karakteristik
bising usus.perkusi pembesaran hati dam limpa, kaji suara timpani normal
untuk organ solid/padat. Palpasi adanya kekakuan abdomen, nyeri, massa dan
hernia (Muti, 2019).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama
yang dapat muncul pada kasus dispepsia, antara lain :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi
(inflamasi).(D.0077)
2. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif
(muntah). (D.0034)
3. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)
4. Risiko defisit nutrisi ditandai dengan faktor psikologis keenganan untuk
makan (D.0032)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (D.0056)

11
6. Gangguan Pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
(D.0055)
C. Intervensi Keperawatan
Menurut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) intervensi keperawatan, pada
pasien dengan apendisitis antara lain:
1. Nyeri Akut
Manajemen nyeri
Observasi:
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan
intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri nonverbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas nyeri
h. Monitor keberhasilaan terapi komplomenter yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
a. Berikan terapi nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( mis. suhu ruangan,
pencahayaan, dan kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu

12
2. Resiko Hipovolemia
Manajemen Hipovolemia
Observasi
a. Periksa tanda dan gejala hipovolemia
b. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
a. Hitung kebutuhan cairan
b. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
a. Anjurkan memperbanyak aasupan cairan oral
Kolaborasi
b. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis
c. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis
d. Kolaborasi pemberian cairan koloid
e. Kolaborasi pemberian produk darah
3. Ansietas
Terapi Relaksasi
Observasi
a. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
b. Periksa ketegangan otot, dan tanda-tanda vital
Terapeutik
a. Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman,jika memungkinkan
b. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
c. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
a. Jelaskan tujuan, manfaat,batasan dan jenis relaksasi
b. Anjurkan mengambil posisi yang nyaman’anjurkan rileks dan
merasakan sensasi relaksasi

13
4. Resiko Defisit Nutrisi
Manajemen Nutrisi
Observasi
a. Identifikasi status Nutrisi
b. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
c. identifikasi makanan yang disukai
d. identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
e. identifikasi perlunya penggunaan selang nasogatrik
f. monitor asupan makanan
g. monitor berat badan
h. monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
a. lakukan oral hygine sebelum makan
b. fasilitasi menentukan pedoman diet
c. sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
d. berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
e. berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. berikan suplemen makanan
g. hentikan pemberian makan melalui selang nasogatrik jika asupan
dapat ditoleransi
Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk
b. ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan’kolaborasi dengan
ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan

14
5. Intoleransi aktivitas
Manajemen Energi
Observasi
a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
b. monitor kelelahan fisik dan emosional
c. monitor pola dan jam tidur
d. monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
a. sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
b. lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif
c. berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
d. fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
a. anjurkan tirah baring
b. anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
c. anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
d. ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
a. kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan
6. Gangguan Pola Tidur
Dukungan Tidur
Observasi
a. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
b. identifikasi faktor pengganggu tidur
c. identifikasi makananatau minuman yang mengganggu tidur
d. identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik
a. modifikasi lingkungan
b. batasi waktu tidur siang

15
c. fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur
d. tetapkan jadwal tidur rutin
e. lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan
f. sesuaikan jadwal pemberian obat atau tindakan untuk menunjang
siklus tidur
Edukasi
a. jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
b. anjurkan menepati jadwal waktu tidur
c. anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur
d. anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor
terhadap tidur REM
e. Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola
tidur
f. ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara nonfarmakologis lainnya
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan’kolaborasi dengan
ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang
dibutuhkan

16
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A., & Sulfemi, W. B. (2018). Metode Role Playing Berbantu Media
Audio Visual Pendidikan Dalam Meningkatkan Belajar Ips. Jurnal Pipsi
(Jurnal Pendidikan Ips Indonesia), 3(2), 41–46.
Fithriyana. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dispepsia
Pada Pasien di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkinang Kota. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, Vol 2(2), 43–53.
Gede Hyugiswara, S. A. M. Y., & Suatama, I. B. (2021). Penanganan Dispepsia
Dengan Prana (Studi Kasus di RSUP Sanglah). E-Jurnal Widiya Kesehatan3,
3(2).
Mardalena, I. (2017). Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pencernaan. Pustaka Baru Press.
Muti, A. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Ny. R dengan Dispepsia Di Ruangan
Cempaka RS Polri Titus Uly Kupang. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Kupang.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia:Definisi dan Tindakan Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Purnamasari, L. (2017). Faktor Resiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom
Dispepsia. Continuing Medical Education, 44(12), 870–873.
Riyanti, A. A. A. D. I. (2017). Dyspepsia. Politeknik Kesehatan Denpasar.
Sumarni, S., & Andriani, D. (2019). Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian
Dispepsia. Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (Jkf), 2(1), 61–66.
https://doi.org/10.35451/jkf.v2i1.282
Zakiyah, W., Eka Agustin, A., Fauziah, A., Sa’diyyah, N., & Ibnu Mukti, G.
(2021). Definisi, Penyebab, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom Dispepsia.
Jurnal Health Sains, 2(7), 978–985. https://doi.org/10.46799/jhs.v2i7.230

17

Anda mungkin juga menyukai