Anda di halaman 1dari 23

KONSEP DASAR TEORI

1. Konsep Batu Ureter


1.1 Definisi

Batu ureter adalah proses terbentuknya kristal-kristal batu pada saluran


perkemihan (Mulyanti, 2019).

Batu ureter merupakan suatu keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di saluran


kemih. Kondisi adanya batu pada saluran kemih memberikan gangguan pada
sistem perkemihan dan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien
(Harmilah, 2020).

Batu ureter merupakan suatu keadaan terjadinya terjadinya penumpukan


oksalat, kalkuli (batu ginjal) pada ureter, kandung kemih, atau pada daerah
ginjal. Batu ureter merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih yang
terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Silalahi,
2020).
1.2 Etiologi

Menurut Zamzami (2018) terdapat beberapa faktor yang mendorong


pembentukan batu ureter yaitu:
a. Peningkatan kadar kristaloid pembentuk batu dalam urine

b. pH urine abnormal rendah atau tinggi

c. Berkurangnya zat-zat pelindung dalam urin

d. Sumbatan saluran kencing dengan stasis urine.

Disamping itu, terdapat pula tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan
untuk terjadinya batu ureter yaitu: Retensi partikel urin, supersaturasi urine, dan
kekurangan inhibitor kristalisasi urin. Kelebihan salah satu faktor ini
menyebabkan batu saluran kemih.
Sedangkan menurut Harmilah (2020) pembentukan batu disaluran kemih
dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor
1
endogen adalah faktor genetik seperti hipersistinuria, hiperkalsiuria primer,
hiperoksaluria primer, sedangkan faktor eksogen meliputi lingkungan,
makanan, infeksi, dan kejenuhan mineral didalam air minum.

1.3 Klasifikasi

Menurut Mulyanti (2019), berdasarkan lokasi tertahannya batu (stone), batu


saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi beberapa nama yaitu:
a. Nefrolithiasis (batu di ginjal)

Nefrolithiasis adalah salah satu penyakit ginjal, dimana terdapat batu


didalam pelvis atau kaliks dari ginjal yang mengandung komponen kristal
dan matriks organik (Fauzi & Putra, 2016).
b. Ureterolithiasis (batu ureter)

Ureterolithiasis adalah pembentukan batu pada saluran kemih yang


disebabkan oleh banyak faktor seperti, gangguan aliran urine, gangguan
metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lainnya
(idiopatik) (Prihadi, Johannes Cansius, Daniel Ardian Soeselo,
Christopher Kusumajaya, 2020).
c. Vesikolithiasis (batu kandung kemih).

Vesikolithiasis merupakan dimana terdapat endapan mineral pada


kandung kemih. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang
tidak baik sehinggal urine mengendap dikandung kemih (Prihadi,
Johannes Cansius, Daniel Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya,
2020).
1.4 Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urine dan


menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urine dan menurunnya
volume urine akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urine adalah
gejala abnormal yang umum terjadi (Colella, J, Kochis E, Galli B, 2005), selain
itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu yang
beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Pada
2
umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang disebut faktor resiko.
Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat
mengubah faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah
seperti, jenis kelamin, pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-
laki 70-81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya
adalah adanya peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar
hormon estrogen pada laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013).
Umur, urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua,
namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering

terjadi. Riwayat keluarga, pasien yang memiliki riwayat keluarga


kemih pada pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya
produksi jumlah mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang dapat
membentuk kristal dan membentuk menjadi batu atau calculi (Colella, et al.,
2005). Kebiasaan diet dan obesitas intake makanan yang tinggi sodium, oksalat
yang dapat ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei,
jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam dapat menjadi

urolithiasis ada kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu saluran


penyebab terjadinya batu (Suddarth, 2015).

Faktor lingkungan, faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti

letak geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian


urolithiasis lebih tinggi daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Pekerjaan, yang
menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu tinggi serta intake cairan
yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan banyak cairan dan
merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu karena adanya

penurunan jumlah volume urin (Colella, et al., 2005). Cairan, asupan cairan
3
dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya intake cairan inilah yang
menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya nefrolithiasis karena
hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume urin (Domingos &
Serra, 2011)

4
Pathway

Faktor endogen (genetik)


Faktor eksogen (lingkungan, makanan, infeksi, kejenuhan mineral dalam air minum.

Penurunan cairan ke ginjal

Urine menjadi pekat

Terjadi pengendapan mineral menjadi kristal

Endapan kristal membentuk nukleus dan menjadi batu

Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelviokalise dan turun ke ureter

Batu ureter

Obstruksi saluran kemih Tindakan operasi dengan spinal anast


Terbentuknya batu pada saluran kemih
Obstruksi

Hambatan aliran urine Hambatan aliran urine


Batu tidak keluar/mengendap disaluran Kesemutan
kemih dan kaku pada ektrem

5
Peningkatan tekanan hidrostatik Hidronefrosis
Gangguan pada masalah pergerak
Pasien mengeluh

Peristaltik otot polos ureter  Distensi saluran kemih nyeri pada perut

Gangguan mobilitas fisik

Gangguan eliminasi urine Harus dilakukan pembedahan

Tekanan intra luminal 

Pasien takut
Penegangan syaraf

Ansietas
Nyeri kolik

Nyeri akut

Gambar 2.1 Skema WOC Batu Ureter


(Mulyanti, 2019; Harmilah, 2020; Nuari, 2017; Noegroho et al., 2018)

6
1.5 Manifestasi Klinis

a. Nyeri/kolik

Nyeri hebat atau kolik pada sekitar pinggang merupakan penanda


penting dan paling sering ditemukan. Nyeri biasanya muncul jika
pasien kekurangan cairan tubuh entah itu karena faktor masukan cairan
yang kurang atau pengeluaran yang berlebihan. Nyeri yang dirasakan
rata-rata mencapai skala 9 atau 10 diikuti keluhan mual, wajah pucat,
dan keringat dingin. Kondisi terjadi akibat batu mengiritasi saluran
kemih atau obstruksi batu yang menimbulkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi pelvis ginjal serta ureter proksimal yang
menyebabkan kolik.
b. Gangguan pola berkemih

Pasien merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urine yang keluar,
dan biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu (Harmilah,
2020). Disuria, hematuria, dan pancaran urine yang menurun
merupakan gejala yang sering mengikuti nyeri. Terkadang urine yang
keluar tampak keruh dan berbau.
c. Demam

Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat


aliran kemih, bakteri akan terperangkap didalam air kemih yang
terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi (Harmilah,
2020). Sumbatan adalah batu yang menutup aliran urine akan
menimbulkan gejala infeksi saluran kemih yang ditandai dengan
demam dan menggigil.
d. Gejala gastrointestinal

Respon dari rasa nyeri biasanya didapatkan keluhan gastrointestinal,


meliputi keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang memberikan
manifestasi penurunan asupan nutrisi umum. Gejala gastrointestinal ini
akibat refleks retrointestinal dan proksimitas anatomis ureter ke
lambung, pankreas, dan usus besar (Harmilah, 2020). Meliputi mual,
7
muntah, diare, dan perasaan tidak mual diperut berhubungan dengan
refluks reointestinal dan penyebaran saraf (ganglion coeliac) antara
ureter dan intestinal.

1.6 Komplikasi

a. Obstruksi aliran urine yang menimbulkan penimbunan urine pada ureter


(Mulyanti, 2019) dan refluks kebagian ginjal sehingga menyebabkan
gagal ginjal (Harmilah, 2020).
b. Penurunan sampai kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama
sebelum pengobatan dan pengangkatan batu ginjal (Harmilah, 2020).
Gangguan fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin
darah, gangguan tersebut bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya
sindroma uremia dan gagal ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut
bahkan bisa mengakibatkan kematian (Haryadi, 2020).
c. Infeksi akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
(Harmilah, 2020).
d. Bakteriuria asimptomatik, ISK, serta sepsis (Ruckle, Maulana, &
Ghinowara, 2020).
1.7 Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan teori Harmilah (2020), pemeriksaan penunjang gangguan


urolithiasis antara lain:
a. Urinalisis: warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum
menunjukkan adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kristal (sistin,
asam urat, kalsium oksalat), serta serpihan, mineral, bakteri, pH urine
asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin meningkatkan
magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat.
b. Urine (24 jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
meningkat.
c. Kulture urine: menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus
aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).
d. Survei biokimia: peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat,
Fosfat, protein dan elektrolit.
8
e. BUN/kreatinin serum dan urine: abnormal (tinggi pada serum/ rendah
pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal
menyebabkan iskemia/nekrosis.
f. Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan
penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus
ginjal.
g. Hitung darah lengkap: sel darah putih mungkin meningkat, menunjukkan
infeksi/septikemia.
h. Sel darah merah: biasanya normal

i. Hb, Ht: abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi
(mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi
ginjal)
j. Hormon paratiroid: meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang
rabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium
urine).
k. Foto rontgen: menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomis pada
area ginjal dan sepanjang ureter
l. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul. Menunjukkan abdomen pada struktur anatomis
(distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli.
m. Sistoureteroskopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat
menunjukkan batu dan efek obstruksi.
n. CT Scan: mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain,
ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih.
o. USG Ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

1.8 Penatalaksanaan

Tata Laksana Spesifik Batu Ureter

a. Konservatif

Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara


spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat
9
keluar spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm.
Observasi juga dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki
komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, kelainan
anatomi saluran ureter).

b. Tindakan Uretroskopi
Ureteroskopi adalah pilihan prosedur pengobatan untuk batu ginjal
(kencing batu) dengan melibatkan alat bernama uretereskop (ureteroscope)
melalui ureter dan kandung kemih. Ureter yaitu saluran penghubung ginjal
dan kandung kemih.
Alat berbentuk tabung panjang dan tipis itu kemudian akan naik
dinaikkan ke ureter, tepatnya ke lokasi batu ginjal. Prosedur ini biasanya
digunakan untuk batu ginjal yang berukuran kurang dari 1,5 cm dan
berlangsung selama 1 – 3 jam.

Prosedur Uretroskopi
Ureteroskopi dilakukan dengan alat ureteroskop, yaitu tabung
panjang dan tipis yang diengkapi lensa pada ujungnya. Secara umum ada
dua cara untuk melakukan ureteroskopi yakni di bawah ini.
 Jika batuan kecil, ureteroskop dilengkapi dengan keranjang untuk
mengumpulkan batuan dan membawanya keluar dari ureter.
 Jika batuan cukup besar, ureteroskop akan dilengkapi dengan sinar
laser, yaitu laser jenis holmium yang dapat memecah batu sehingga lebih
mudah dikeluarkan dari ureter.
Awalnya pasien akan diberi obat bius untuk mematikan saraf
sementara sehingga tidak menimbulkan rasa nyeri. Kemudian, dokter
urologi akan memasukkan ureteroskop melalui saluran kencing uretra
menuju ureter.
Setelah alat mencapai kandung kemih, dokter akan melakukan
sterilisasi melalui ujung ureteroskop dan mencapai area ureter.
Proses tersebut biasanya memakan waktu hingga 30 menit. Kemudian
untuk mengangkat atau memecahkan batu ginjal diperlukan waktu lebih
lama, yaitu sekitar 90 menit.
10
Setelah batu ginjal diangkat atau dipecahkan, ureteroskop dikeluarkan
dan cairan pada kandung kemih akan dikosongkan. Anda akan pulih
kembali setelah efek obat bius hilang dalam waktu 1 – 4 jam. Pada kondisi
tertentu, stent (tabung kecil yang dipasang dari ginjal ke kantung kemih)
akan tetap terpasang.
Dua jam setelah kembali sadar, dokter akan meminta Anda minum air
sebanyak 0,5 liter dalam satu jam. Setelahnya, Anda akan merasakan sakit
saat buang air kecil.
Dalam 24 jam ke depan, urine yang Anda keluarkan akan disertai
darah. Untuk mengurangi kondisi tersebut, obat antinyeri akan diberikan.
Pemberian antibiotik akan dilakukan jika infeksi terjadi. Biasanya
kondisi ini ditandai dengan demam menggigil dan rasa nyeri yang tidak
juga hilang.

c. Terapi Farmakologi

Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu


diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan.
Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu
dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan
terapi. Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter,
penurunan fungsi ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu
ditunda. Penggunaan α-blocker sebagai terapi ekspulsi dapat
menyebabkan efek samping seperti ejakulasi retrograd dan hipotensi.
Pasien yang diberikan α- blocker, penghambat kanal kalsium (nifedipin),
dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk
keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak
diberikan terapi. Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau
kortikosteroid dengan α-blocker tidak direkomendasikan. Obat α-blocker
menunjukkan secara keseluruhan lebih superior dibandingkan nifedipin
untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi medikamentosa memiliki efikasi
untuk tata laksana pasien dengan batu ureter, khususnya batu ureter distal
≥ 5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi pemberian terapi obat-
11
obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk
interval lama pemberiannya.

12
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.Pengkajian

a. Identitas

Secara otomatis, faktor jenis kelamin dan usia sangat signifikan dalam proses
pembentukan batu. Namun, angka kejadian batu ureter dilapangan sering kali
terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini karena pola hidup,
aktivitas, dan geografis.
b. Keluhan utama

Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit skunder yang


menyertai. Keluhan utama biasanya yang sering muncul pada pasien dengan
batu ureter adalah nyeri pada perut yang menjalar sampai ke pinggang dan
nyeri saat berkemih.
c. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan yang sering terjadi pada pasien batu ureter ialah nyeri pada saluran
kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya
batu, dapat terjadi nyeri/kolik renal. Pasien juga mengalami gangguan
gastrointestinal.
d. Riwayat penyakit dahulu

Kemungkinan adanya riwayat gangguan pola berkemih.

e. Riwayat penyakit keluarga

Batu ureter bukan merupakan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berpengaruh pada penyakit ini.
f. Riwayat psikososial

Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika pasien memiliki koping adaptif.
Namun biasanya, hambatan dalam interaksi interaksi sosial dikarenakan adanya
ketidaknyamanan (nyeri hebat) pada pasien, sehingga fokus perhatiannya hanya
pada sakitnya.

13
g. Pemeriksaan fisik

1) Kondisi umum dan tanda-tanda vital

Kondisi klien batu ureter dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai tanda-
tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang ditimbulkan.
Pada tanda-tanda vital biasanya tidak ada perubahan yang mencolok, hanya saja
takikardi terjadi akibat nyeri yang hebat.
2) Pemeriksaan Fisik

a) Wajah

Inspeksi : warna kulit, jaringan parut, lesi, dan vaskularisasi. Amati adanya
pruritus, dan abnormalitas lainnya.
Palpasi : palpasi kulit untuk mengetahui suhu, turgor, tekstur, edema, dan massa.
b) Kepala

Inpeksi : kesimetrisan dan kelainan. Tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)


Palpasi : dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari kebawah dari tengah-
tengah garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk kepala
pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.
c) Mata

Inspeksi : kelopak mata, perhatikan kesimetrisannya. Amati daerah orbital ada


tidaknya edema, kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang orbital, amati
konjungtiva dan sklera (untuk mengetahui adanya anemis atau tidak) dengan
menarik/membuka kelopak mata. Perhatikan warna, edema, dan lesi. Inspeksi
kornea (kejernihan dan tekstur kornea) dengan berdiri disamping klien dengan
menggunakan sinar cahaya tidak langsung. Inspeksi pupil, iris.
Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada orbital dan kelenjar lakrimal.
d) Hidung

14
Inspeksi : kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan yang keluar.
Palpasi : bentuk dan jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa, penyimpangan
bentuk.
e) Telinga

Inspeksi : amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi
Palpasi : kartilago telinga untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling ada nyeri
atau tidak.
f) Mulut dan faring

Inspeksi : warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital, kebersihan mulut,
faring.
g) Leher

Inspeksi : bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan, jaringan


parut atau massa.
Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid.

h) Thorak dan tulang belakang

Inspeksi : kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada wanita
(inspeksi payudara: bentuk dan ukuran)
Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi payudara: massa)
i) Paru posterior, lateral, inferior

Inspeksi : kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi.

Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka misal 7777. Bandingkan


paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan kedua ibu jari
tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas panjang.
Perkusi : dari puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak sampai
dengan torakal 10), catat suara perkusi: sonor/hipersonor/redup.

15
Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi (vesikuler, bronchovesikuler,
bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi, krekels).
j) Jantung dan pembuluh darah

Inspeksi : titik impuls maksimal, denyutan apikal

Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan pindah jari-jari ke intercostae 3,
dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5 kiri. Kemudian
pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri.
Perkusi : untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri). Auskultasi :
bunyi jantung I dan II untuk mengetahui adanya bunyi jantung tambahan
k) Abdomen

Inspeksi : ada tidaknya pembesaran, datar, cekung/cembung, kebersihan


umbilikus.
Palpasi : epigastrium, lien, hepar, ginjal

Perkusi : 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)

Auskultasi : 4 kuadaran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit, bising usus)


l) Genitalia

Inspeksi : inspeksi (kebersihan, lesi, massa, perdarahan, dan peradangan) serta


adanya kelainan.
Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan dan benjolan.

m)Ekstremitas :

Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa.

Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji sirkulasi : akral hangat/dingin, warna,
Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan pergerakan sendi. Kaji reflek
fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis : reflek plantar.

2. Diagnosa Keperawatan

16
a. Nyeri akut b/d penegangan saraf

b. Gangguan eliminasi urine b/d distensi saluran kemih

c. Gangguan mobilitas fisik b/d tindakan anastesi

d. Ansietas b/d pembedahan

3. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Nyeri akut b/d Setelah dilakukan asuhan 1. Lakukan pengkajian nyeri
penegangan saraf keperawatan diharapkan secara konferhensif
nyeri pasien berkurang termasuk lokasi,
dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi,
1. Melaporkan Nyeri frekuensi, kualitas dan factor
berkurang. presipitasi.
2. TTV dalam batas 2. Observasi reaksi nonverbal
normal dari ketidaknyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi
terapiutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4. Kaji kultur yang
mempengaruhi respon nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri
pada masa lampau
6. Evaluasi bersama pasien dan
tim kesehatan lain tentang
ketidak efektipan cobtrol
nyeri masa lampai
7. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan

17
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
9. Kurangi factor presifitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyari
(farmakalogi, non
farmakaologi dan
interpersonal)
11. Kaji tipe dan sumbernyeri
untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengatasi nyeri
2 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kebiasaan pola eliminasi
Gangguan eliminasi
keperawatan selama proses urine klien.
urine b/d distensi
keperawatan diharapkan 2. Kaji terhadap tanda dan
saluran kemih
gangguan eliminasi teratasi gejala retensi urine: jumlah
dengan Kriteria Hasil: dan frekuensi urine, distensi
1. Pasien dapat berkemih supra pubis, keluhan tentang
2.Tidak adanya hematuria dorongan untuk berkemih
dan ketidak nyamanan.
3. Lakukan kateterisasi pada
pasien untuk menunjukan
jumlah urine residu.
4. Awasi pemasukan,
pengeluaran dan

18
karakteristik urine.
5. Kolaborasi ambil urine untuk
kultur urine dan sensitivitas.

3 Setelah dilakukan asuhan 1. Monitoring vital sign


Gangguan mobilitas
keperawatan selama….x… sebelum atau sesudah latihan
fisik b/d tindakan
jam diharapakan gangguan dan lihat respon pasien saat
anastesi
mobilias fisik teratasi dengan latihan.
Kriteria Hasil: 2. Konsultasikan dengan terapi
1. Klien meningkat fisik tentang rencana
dalam aktivitas fisik. ambulasi sesuai dengan
2. Mengerti tujuan dari kenutuhan.
peningkatan 3. Bantu klien untuk
mobilitas. mengunakan tongkat saat
3. Memverbalisasikan berjalan dan cegah terhadap
perasaan dalam cedera.
meningkatkan 4. Ajarkan pasein atau tenaga
kekuatan dan kesehatan lain tentang tehnik
kemampuam ambulasi.
berpindah 5. Kaji kemampuan pasien
4. Memperagakan dalam ambulasi
penggunaan alat 6. Latih pasien dalam
bantu untuk pemenuhan kebutuhan ADL
mobilisasi (walker) secara mandiri sesuai
kemampuan.
7. Dampingin dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADL
pasien.
8. Berikan alat bantu jika klien
memerlukan.

19
9. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.
4 Ansietas b/d Setelah dilakukan asuhan Penurunan kecemasan:
pembedahan keperawatan selama….x… 1. Tenangkan klien
jam diharapakan cemas 2. Jelaskan seluruh prosedur
teratasi dengan Kriteria tindakan kepada klien dan
Hasil: perasaan yang mungkin
Control cemas : muncul pada saat tindakan
1. Monitor intensitas 3. Berusaha memahami
kecemasan keadaan klien
2. Menyingkirkan tanda 4. Berikan informasi tentang
kecemasan diagnose, prognosis dan
3. Menurunkan tindakan
stimulasi lingkungan 5. Kaji tingkat kecemasan dan
ketika cmas reaksi fisik pada tingkat
4. Mencari informasi kecemasan
ketika cemas (takikardi,takipnea,ekspresi
5. Merencanakan cemas non verbal)
mekanisme koping 6. Gunakan pendekatan dan
6. Menggunakan strategi sentuhan (permisi)
koping efekctive verbalisasi untuk
7. Menggunakan teknik menyakinkan pasien tidak
relaksasi untuk sendiri dan menunjukan
menurunkan pertanyaan
kecemasan 7. Temani pasien untuk
8. Melaporkan mendukung keamanan
penurunan durasi dan keamanan menurunkan rasa
episode kecemasan akut
9. Melaporkan 8. Sediakan aktifitas untuk
peningkatan rentang menurunkan ketegangan

20
waktu antara episode 9. Bantu pasien untuk
cemas mengidentifikasi situasi yang
10. Mempertahankan menciptakan cemas
penampilan peran 10. Dukung penggunaan
11. Mempertahankan mekanisme defensive
hubungan sosial dengan cara yang tepat
12. Mempertahankan 11. Tentukan kemampuan klien
konsentrasi untuk mengambilkeputusan
13. Melaporkan tidak 12. Instruksikan pasein untuk
adanya gangguan menggunakan teknik
sensori persepsi relaksasi
14. Melaporkan 13. Berikan pengobatan untuk
penurunan kebutuhan menurunkan cemas dengan
tidak adekuat cara yang tepat.
15. Melaporkan 14. Peningkatan koping:
penurunan kebutuhan 15. Hargai pemahaman pasien
tidur adekuat tentang pemahaman
16. Tidak ada menifestasi 16. Hargai dan diskusikan
prilaku kecemasan alternative respon terhadap
Koping situasi
1. Menunjukan 17. Gunakan pendekatan yang
fleksibilitas peran tenang dan memberikan
2. Keluarga menunjukan jaminan
fleksibilitasperan 18. Sediakan informasi actual
keluarganya tentang diagnose,
3. Pertentangan masalah penanganan dan prognosis
4. Nilai keluarga dapat 19. Sediakan pilihan yang
mengatur masalah- realitas tentang aspek
masalah perawatan saat ini
5. Memanaj masalah 20. Dukung penggunaan
6. Melibatkan anggota mekanisme defensive yang

21
keluarga dalam tepat
membuat keputusan 21. Dukung keterlibatan
7. Mengekpresikan keluarga dengan cara yang
permasalahan dan tepat
kebebasan emosional 22. Bantu pasien untuk
8. Menunjukan strategi mengidentifikasi strategi
penurunan stress positive
9. Peduli terhadap
kebutuhan anggota
keluarga
10. Menentukan priotitas
11. Menentukan jadwal
untuk rutinitas dan
aktivitas keluarga
12. Mempunyai
perencanaan pada
kondisi keperawatan
13. Memelihara
kestabilan finalsial
14. Mencari bantuan
ketika di butuhkan
15. Menggunakan
support social

4. Implementasi

Dilakukan sesuai intervensi

5. Evaluasi
a. Klien mengatakan nyeri berkurang
b. Klien mengatkan tidak ada masalah dengan BAK
c. Klien mamou untuk melakukan mobilisasi
d. Klien mengatakan cemas berkurang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Mulyanti, D. dan S. (2019). Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Urologi. Yogyakarta:


Andi.
Silalahi, M. K. (2020). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Batu
Saluran Kemih Pada di Poli Urologi RSAU dr . Esnawan Antariksa. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 12(2),
205–212.
Harmilah. (2020). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: PT. Pustaka Baru.
Prihadi, Johannes Cansius, Daniel Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya, dan D. (2020).
Kegawatdaruratan Urologi-Jilid 2. Jakarta: Universitas Atma Jaya.
Suddarth, B. &. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12 volume 1. Jakarta:
EGC.
Vijaya, T., Sathish Kumar, M., Ramarao, N. V, Naredra Babu, A., & Ramarao, N. (2013).
Urolithiasis and Its Causes-Short Review. The Journal of Phytopharmacology, 2(3), 1–6. Retrieved
from http://www.phytopharmajournal.com/V2issue3010.pdf
Colella, J, Kochis E, Galli B, M. R. (2005). Urolithiasis/Nephrolithiasis: What’s It All
About. 25(26), 1–23.

23

Anda mungkin juga menyukai