Anda di halaman 1dari 20

PENYAKIT BEDAH DALAM SISTEM PENCERNAAN PADA APENDIKSITIS DAN

HEMOROID

Dosen Pengampu: Lely Cintari, SST., MPH

Oleh Kelompok 1 :

1. Ni Komang Kristina Candra Dewi (P07124221001)


2. Putu Manik Wulandari (P07124221018)
3. Luh Gede Julia Tri Kartika Putri (P07124221029)
4. Putu Gioni Bintang Putri (P07124221048)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpah rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul,”Penyakit Bedah
Dalam Sistem Pencernaa Pada Apendiksitis dan Hemeroid” ini dengan baik dan tepat
waktu.
Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Lely Cintari, SST., MPH
selaku dosen penanggung jawab mata kuliah yang telah membantu serta menuntun kami
dalam menyusun laporan ini.

Ibaratkan tak ada gading yang tak retak, kami menyadari keterbatasan dari
kemampuan kami dalam penyusunan laporan ini. Kami sadar akan kekurangan pada
laporan, baik materi maupun cara penyajian tulisannya yang masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kami harapkan kritik dan juga saran yang membangun untuk
pengembangan dan kesempurnaan laporan ini. Akhir kata semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, Juli 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3. Tujuan...............................................................................................................................2
1.4. Manfaat.............................................................................................................................2
BAB II..............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
1.1. Sistem pencernaan.............................................................................................................3
1.2. Penyakit Bedah dalam sistem pencernaan pada Apendiksitis..........................................3
1.3. Penyakit Bedah dalam Sistem Pencernaan pada Hemoroid.............................................7
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................15
Kesimpulan................................................................................................................................15
Saran...........................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

ii
1.1. Latar Belakang BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan pada sistem pencernaan dapat disebabkan oleh pola makan yang salah, infeksi
bakteri, dan kelainan alat pencernaan yang memberikan gejala seperti gastroenteritis, konstipasi,
obstipasi maupun ulkus. Gangguan pencernaan ini banyak disebabkan oleh sebagian besar
Enterobacteriaceae, namun tidak semua Enterobacteriaceae dapat menyebabkan gangguan
pencernaan, seperti Proteus mirabilis yang merupakan flora normal usus manusia dapat menjadi
patogen bila berada di luar usus manusia dan mengenai saluran kemih

Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010). Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum.
Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di saluran pencernaan. Namun,
pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas (syamsyuhidayat,
2005).Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun,
dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian
(Santacroce,2009).

Hemoroid merupakan pelebaran pembuluh darah vena (pembuluh darah balik) di dalam
pleksus hemoroidalis yang terletak di daerah anus. Hemoroid dibedakan menjadi 2 berdasarkan
letak pleksus hemoroidalis yang terkena, yaitu hemoroid interna dan hemoroid eksterna.
Hemoroid bisa ditegakkan melalui anamnesis keluhan klinis dari hemoroid berdasarkan
klasifikasi hemoroid. Keluhan klinis yang tampak pada pasien hemoroid adalah darah di anus,
prolaps di kanalis anal, pruritus, nyeri, serta gatal di sekitar anus.Keadaan ini tidak mengancam
jiwa, tetapi dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari system pencernaan?


2. Penyakit bedah dalam sistem pernafasan pada Apendiksitis
a. Apa definisi dari Apendiksitis ?
b. Apa Etiologi dari Apendiksitis?
c. Bagaimana tatalaksana Apendiksitis ini?
d. Apakah ada pengaruhnya Apendiksitis ini pada kehamilan, persalinan, dan nifas?
3. Penyakit bedah dalam sistem pernafasan pada Hemoroid
1
a. Apa definisi dari Hemoroid?

2
b. Apa Etiologi dari Hemoroid?
c. Bagaimana tatalaksana Hemoroid ini?
d. Apakah ada pengaruhnya Hemoroid ini pada kehamilan, persalinan, dan nifas?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa definisi dari system pencernaan
2. Untuk mengetahui apa definisi dari Apendiksitis dan Hemoroid.
3. Untuk mengetahui apa etilogi dari Apendiksitis dan Hemoroid.
4. Untuk mengetahui bagaimana tatalaksana Apendiksitis dan Hemoroid.
5. Untuk mengetahui pengaruh Apendiksitis dan Hemoroid. pada kehamilan, persalinan,
dan nifas.

1.4. Manfaat
1. Dapat mengetahui apa definisi dari system pencernaan
2. Dapat mengetahui apa definisi dari Apendiksitis dan Hemoroid.
6. Dapat mengetahui apa etilogi dari Apendiksitis dan Hemoroid.
7. Dapat mengetahui bagaimana tatalaksana Apendiksitis dan Hemoroid.
8. Dapat mengetahui pengaruh Apendiksitis dan Hemoroid pada kehamilan, persalinan, dan
nifas.

3
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Sistem pencernaan

Sistem pencernaan ialah sistem yang berfungsi untuk melakukan penyederhanaan dan
pemilihan bahan makanan menjadi zat makanan yangdapat di serap oleh tubuh kita. Sehingga
zat makanan tersebut dapatdigunakan oleh sel-sel tubuh secara fisik maupun kimia.

1.2. Penyakit Bedah dalam sistem pencernaan pada Apendiksitis


a. Definisi Apendiksitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000).

Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum


inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab
paling umum untuk bedah abdomen darurat. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan
merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
a. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental
setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
b. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di
tutupi pendinginan oleh omentum.
c. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan
diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
d. Apendisitis rekuren

4
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan
parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
e. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

b. Etiologi Apendiksitis
Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Terdapat
beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya apendisitis yaitu adanya penyumbatan
pada lumen apendiks. Penyumbatan tersebut disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor apendiks dan cacing ascaris. Faktor lain yang juga dapat menyebabkan
apendisitis yaitu erosi mukosa apendiks akibat adanya parasit E. histolytica.
Menurut (Rajgopal & Nileshwar, 2014) terdapat beberapa hal yang menjadi faktor
penyebab terjadinya radang apendisitis, yaitu :
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi yang diikuti oleh infeksi merupakan faktor yang paling
dominan penyebab terjadinya apendisitis dengan tingkat persentase 90%.
Hiperplasia jaringan limfoid submukosa merupakan salah satu penyebab
obstruksi dengan persentase 60%. Sekitar 35% disebabkan oleh statis fekal,
4% disebabkan oleh benda asing dan 1% lainnya disebabkan adanya sumbatan
yang disebabkan parasit dan cacing.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen adalah pencetus utama penyebab terjadinya apendisitis
akut. Dijumpainya fekalit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi akan
memperburuk dan memperberat infeksi. Hasil kultur yang dijumpai paling
umum adalah kombinasi antara Bacteroides fragilis dan E. coli, dan juga
dijumpai Splanchnicus, Lacto-bacillus, Pseudomonas, Bacteroides splanicus.
Maka didapati penyebab perforasi paling banyak adalah bakteri anaerob
sebanyak 96% dan kurang dari 10% adalah aerob.
3. Faktor Ras dan diet

5
Faktor ras berpengaruh terhadap sistem pola makan sehari-hari. Orang
dengan kulit putih yang sebelumnya memiliki kebiasaan mengkonsumsi
makanan rendah serat lebih berisiko untuk terkena apendisitis. Namun dengan
seiring berjalannya waktu orang tersebut telah mengubah pola makannya
dengan mengkonsumsi makanan tinggi serat.
3. Kerentanan familial.
Kerentanan familial berhubungan dengan pemilik apendiks retrosekal
yang panjang dimana pada kasus ini suplai darahnya menurun pada bagian
distal yang mungkin memicu untuk timbulnya apendisitis.
c. Tatalaksana Apendiksitis

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.


Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik
sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka
ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.
Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi
diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau
tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Menurut Arief Mansjoer (2000), tata laksana apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a.Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak
terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat.
Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila
diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik
jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak
karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah
putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan

6
thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari
tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar
operasi dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas
yang berat dan demam yang tinggi .

2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah
terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya.
Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini
baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi
akibat yang tertunda.

3. Terapi pasca operasi


Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung
bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien
dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan.
Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi
atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian
berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30
menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan
dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

c. Pengaruh Apendiksitis pada Kehamilan, Persalinan, dan Nifas


Apendisitis akut dikonfirmasi pada 1/800 sampai 1/1500 kehamilan. 3-6 Wanita
hamil cenderung tidak mengalami radang usus buntu dibandingkan wanita hamil yang
tidak sesuai dengan usia. Apendisitis paling sering terjadi pada trimester kedua

7
kehamilan.operasi perut selama kehamilan, terutama usus buntu, bisa meningkatkan
risiko hasil yang tidak menguntungkan. Diagnosis sangat sulit selama kehamilan, karena
prevalensi perut yang relatif tinggi ketidaknyamanan dan keluhan gastrointestinal,

Wanita hamil cenderung tidak memiliki presentasi apendisitis klasik, namun


gejala apendisitis yang paling umum, yaitu nyeri di kuadran kanan bawah, terjadi di
dekat titik McBurney pada kebanyakan wanita hamil, terlepas dari tahap kehamilannya.
Sebagai lokasi dari usus buntu bermigrasi beberapa sentimeter ke arah kepala dengan
peningkatan volume rahim, pada trimester ketiga, rasa sakit mungkin terletak di panggul
atau di sebelah kanan kuadran atas. tanda mcburney digambarkan sebagai rasa sakit saat
palpasi sekitar 1,5 sampai 2,0 sentimeter dari superior anterior tulang belakang iliac
dalam garis lurus dari titik itu ke pusar. Kepekaan ini mungkin kurang menonjol selama
kehamilan karena rahim hamil mengangkat dan meregangkan dinding perut anterior,
meningkatkan jarak ke usus buntu yang meradang. Sejak kontak langsung antar area
peradangan dan perarioneum parietal dicegah, ada sedikit kepekaan, rasa sakit saat
dekompresi atau perawatan perut. rahim yang hamil

1.3. Penyakit Bedah dalam Sistem Pencernaan pada Hemoroid


a. Definisi Hemoroid
Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di anus dari
pleksus hemoroidalis. Hemoroid terdiri atas 2 jenis, yaitu hemoroid eksterna dan
hemoroid interna.
 Hemorhoid Eksterna
Hemorhoid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemorhoidalis
inferior, terdapat di sebelah distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel
anus atau sebelah distal dari linea dentata yang ditutupi oleh anoderm. Karena anoderm
merupakan jaringan yang kaya dengan innervasi saraf maka trombosis pada hemorhoid
eksterna dapat menyebabkan nyeri yang signifikan.

Hemorhoid eksterna diklasifikasikan menjadi bentuk akut dan kronik yaitu :

1) Hemorhoid eksterna akut.Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruan


pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan hematoma.
2) Hemorhoid eksterna kronik. Disebut juga skin tags, berupa satu atau lebih
lipatan kulit yang terdiri dari jaringan penyambung sedikit pembuluh
darah. Sering merupakan kelanjutan dari hemorhoid eksterna yang
mengalami trombosis.

8
 Hemorhoid interna
Hemorhoid interna adalah kondisi dimana pleksus vena hemorhoidalis superior di
atas garis mukokutan atau sebelah proksimal dari linea dentata dan ditutupi oleh mukosa.
Hemorhoid interna merupakan bantalan vaskuler di dalam jaringan submukosa pada
rektum sebelah bawah. Hemorhoid interna terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan
depan (jam 11), kanan belakang (jam 7), dan lateral kiri (jam 3), yang oleh Miles disebut
sebagai 3Three Primary Haemorrhoidal Areas¥ Hemorhoid yang lebih kecil terdapat
diantara ketiga letak primer tersebut dan kadang sirkuler.4

b. Etiologi Hemoroid
Penyebab hemorhoid secara pasti tidak diketahui, konstipasi kronis dan mengejan
saat defekasi dapat berperan penting. Mengejan secara terus-menerus dan BAB yang
keras menyebabkan pembesaran dan prolaps sekunder bantalan pembuluh darah
hemorhoidalis. Jika mengejan terus- menerus, pembuluh darah menjadi berdilatasi
secara progresif dan jaringan submukosa kehilangan perlekatan normalnya dengan
sfingter interna di bawahnya, yang menyebabkan prolaps hemorhoid yang klasik dan
berdarah. Faktor penyebab hemorhoid lainnya, yaitu : kehamilan, obesitas, diet rendah
serat, dan kongesti vena yang disebabkan oleh gangguan aliran balik dari vena
hemorhoidalis.
d. Tatalaksana Hemoroid
Hemorhoid yang tidak menimbulkan keluhan tidak memerlukan pengobatan
khusus, kecuali tindakan preventif tersebut di atas. Setelah melahirkan, hemorhoid yang
tanpa komplikasi berat akan mengecil dengan sendirinya. Tatalaksana hemorhoid
terdiri dari terapi non bedah dan terapi bedah.
1) Terapi Non Bedah
a. Terapi konservatif dan obat-obatan (medikamentosa)
Pengobatan konservatif terdiri dari mengubah kebiasaan defekasi dan manipulasi diet.
Terapi konservatif ini ditujukan untuk pasien yang memiliki kebiasaan diet atau higiene
yang tidak normal. Kebanyakan pasien dengan hemorhoid (derajat I dan II) dapat diobati
dengan tindakan lokal dan anjuran diet. Untuk menghilangkan faktor penyebab, misalnya
obstipasi dapat dengan cara banyak makan makanan berserat seperti buah dan sayur,
banyak minum dan mengurangi konsumsi daging serta makanan yang merangsang.
Hemorhoid interna yang mengalami prolaps karena edema umumnya dapat dimasukkan
kembali secara perlahan disusul dengan tirah baring dan kompres lokal untuk mengurangi
pembengkakan. Rendam duduk dengan air hangat selama 10 sampai 15 menit (sitz bath)
juga dapat meringankan nyeri.

9
Pengobatan topikal bisa dilakukan dengan cara memberikan salep dan atau suposituria
seperti lidokain, hidrosmin dan flukortolon yang dapat mengurangi keluhan subjektif
meski tidak dapat menyembuhkan. Bila ada infeksi diberikan antibiotika per oral. Untuk
melancarkan defekasi dan mengurangi mengejan saat buang air besar dapat diberikan
pencahar, seperti cairan parafin atau larutan magnesium sulfat 10 %. Obat-obatan yang
biasa digunakan, antara lain:
 Pencahar
Tujuannya untuk mengatasi konstipasi dan menghindari mengejan saat buang air besar.
Pencahar yang menjadi pilihan pertama adalah pencahar pembentuk massa. Obat
golongan ini berasal dari alam, yaitu agar-agar dan psillium dan berasal semisintetik,
yaitu metilselulosa dan natrium karboksi metil selulosa.

 Anestesi topikal
Yang biasa digunakan adalah krim lidokain 5%, dimana akan menurunkan permeabilitas
ion sodium pada membran syaraf, menghambat depolarisasi, menghambat transmisi
impuls syaraf. Termasuk obat golongan B untuk wanita hamil dan digunakan secara
topikal.

 Analgesik
Seperti asetaminofen yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Termasuk golongan B
untuk wanita hamil. Obat ini diberikan jika hemorhoid terasa sangat nyeri.

 Terapi alternative
lain yang masih dalam penelitian, antara lain flavonoid. Campuran flavonoid yang
berasal dari sitrus telah lama dikenal sebagai pengobatan hemorhoid pada kehamilan.
b. Rubber band ligation
Hemorhoid yang besar atau mengalami prolaps dapat ditangani dengan gelang karet
menurut Barron yang dipopulerkan pada tahun 1962. Gelang dipasang pada mukosa di
atas massa hemorhoid yang sedikit inervasinya dibantu dengan proktoskopi atau
anoskopi kecil. Cara kerja metode ini adalah akan mangobliterasi lokal vena
hemorrhoidalis sampai terjadi ulserasi (7-10 hari) yang diikuti dengan terjadinya jaringan
parut (3-4 minggu) dan hemorhoid tersebut akan terlepas dengan sendirinya. Prosedur ini
dilakukan pada hemorhoid derajat 3. Prosedurnya tidak menyakitkan dan sekaligus dapat
dilakukan beberapa ikatan

c. Sclerotherapy (injection therapy)


Dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Metode ini menggunakan zat sklerosan yang
disuntikkkan para vassal. Setelah itu sklerosan merangsang pembentukan jaringan parut
sehingga menghambataliran darah ke vena-vena hemorhoidalis, akibatnya perdarahan
berhenti. Sklerosan yang dipakai adalah 5% phenol in almond oil dan 1% polidocanol.
Sebanyak 1 cc hingga 2 cc zat sklerosing disuntikkan submukosa ke dalam jaringan

1
longgar diatas hemorhoid interna, pada kuadran yang terkena dengan harapan timbul
inflamasi, fibrosis, dan jaringan parut lalu hemorhoid mengecil. Injeksi ini dilakukan
dengan jarum hemorhoid panjang melalui anoskop, dan injeksi harus dilakukan diatas
mucocutaneus junction. Terapi ini sesuai untuk hemorhoid derajat 1 dengan gejala
perdarahan minimal. Tetapi untuk hemorhoid derajat 2 dan 3 manfaatnya tidak banyak.
Hemorhoid derajat 2 sebaiknya diberikan kombinasi terapi injeksi dengan ligasi. Metode
ini mudah dilakukan, aman, dan memberikan hasil yang baik, hanya akan terjadi sedikit
nyeri bila injeksi dilakukan pada tempat yang tepat
d. Cryosurgery
Metode ini bertujuan merusak sel dengan suhu sekitar±20 derajat Celcius.
Pembengkakan terjadi dalam 24 jam dan terjadi drainase yang membutuhkan
penggantian pembalut setiap 3 jam perhari. Penggunaan suhu ekstrim (sangat dingin)
untuk memusnahkan jaringan yang sakit. Hemorhoid dapat dibuat nekrosis dengan cara
membekukannya dengan CO2 atau N2O.
e. Hemorroidal Arteri Ligation (HAL)
Pada terapi ini, arteri hemorhoidalis diikat sehingga jaringan hemorhoid tidak mendapat
aliran darah yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan hemorhoid mengempis dan
akhirnya nekrosis.
f. Infra Red Coagulation (IRC)
Prinsipnya adalah denaturasi protein melalui efek panas dari infra merah, yang
selanjutnya mengakibatkan jaringan terkoagulasi. Untuk mencegah efek samping dari
infra merah berupa jaringan sekitar yang sehat, maka jangka waktu paparan dan
kedalamannya perlu diukur akurat. Metode ini digunakan pada hemorhoid derajat I- II.
g. Generator Galvanis
Jaringan hemorhoid dirusak dengan arus listrik searah yang berasal dari bateri kimia.
Cara ini paling efektif digunakan pada hemorhoid interna.
h. Bipolar Coagulation
Prinsipnya sama dengan terapi hemorhoid lain, yaitu menimbulkan nekrosis jaringan
dan akhirnya fibrosis. Namun yang digunakan sebagai penghancur jaringan, yaitu radiasi
elektromagnetik berfrekuensi tinggi. Pada terapi dengan diatermi bipolar, selaput
mukosa sekitar hemorhoid dipanasi dengan radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi
sampai akhirnya timbul kerusakan jaringan. Cara ini efektif untuk hemorhoid interna
yang mengalami perdarahan.
2) Terapi bedah
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan pada
penderita hemorhoid derajat III dan IV. Metode ini mirip dengan infra merah. Hanya saja
memiliki kelebihan dalam kemampuan memotong. Prinsip utama hemorhoidektomi
adalah eksisi hanya pada jaringan dan harus digabung dengan rekonstruksi tunika
mukosa karena telah terjadi deformitas kanalis analis akibat prolapsus mukosa. Ada tiga
tindakan bedah yang tersedia saat ini, yaitu bedah konvensional (menggunakan pisau
atau gunting), bedah laser (sinar laser sebagai alat pemotong), dan bedah stapler
(menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler).

1
Saat ini ada tiga teknik yang biasa digunakan, yaitu :

a. Teknik Milligan ± Morgan


Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemorhoid di tiga tempat utama. Teknik ini
dikembangkan di Inggris pada tahun 1973. Basis massa hemorhoid tepat diatas linea
mukokutan dicengkram dengan hemostat dan diretraksi dari rektum. Kemudian di pasang
transfiksi catgut proksimal terhadap pleksus hemorhoidalis. Penting untuk mencegah
pemasangan jahitan melalui otot sfingter internus. Hemostat kedua ditempatkan distal
terhadap hemorhoid eksterna. Suatu insisi elips dibuat dengan skalpel melalui kulit dan
tunika mukosa sekitar pleksus hemorhoidalis internus dan eksternus yang dibebaskan dari
jaringan yang mendasarinya. Hemorhoid di eksisi secara keseluruhan. Bila diseksi
mencapai jahitan transfiksi catgut maka hemorhoid eksterna dibawah kulit di eksisi.
Setelah mengamankan hemostasis, maka mukosa dan kulit anus ditutup secara
longitudinal dengan jahitan jelujur sederhana. Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok
hemorhoid yang dibuang pada satu waktu. Striktura rektum dapat merupakan komplikasi
dari eksisi tunika mukosa rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih baik mengambil
terlalu sedikit daripada mengambil terlalu banyak jaringan.

b. Teknik Whitehead
Teknik operasi Whitehead dilakukan pada hemorhoid yang sirkuler dengan mengupas
seluruh hemorhoidalis interna, membebaskan mukosa dari submukosa dan melakukan
reseksi sirkuler terhadap mukosa di daerah tersebut. Lalu mengusahakan kontinuitas
mukosa kembali.

c. Teknik Langenbeck
Pada teknik operasi Langenbeck, vena hemorhoidalis interna dijepit radier dengan
klem. Dilakukan penjahitan jelujur dibawah klem dengan chromic catgut no 2/0,
kemudian eksisi jaringan diatas klem, setelah itu, klem dilepas dan jepitan jelujur
dibawah klem diikat. Teknik ini lebih sering digunakan karena caranya mudah dan tidak
mengandung risiko pembentukan parut sekunder yang bisa menimbulkan stenosis. Dalam
melakukan operasi diperlukan narkose yang dalam karena sfingter ani harus benar-benar
lumpuh.

d. Bedah Laser
Pada prinsipnya pembedahan ini sama dengan pembedahan konvensional, hanya alat
pemotongnya menggunakan laser CO2. Saat laser memotong, pembuluh jaringan terpatri
sehingga tidak banyak mengeluarkan darah, tidak banyak luka, dan nyeri yang minimal.
Pada bedah dengan laser, nyeri berkurang karena saraf rasa nyeri ikut terpatri. Di anus
terdapat banyak saraf. Pada bedah konvensional, saat post operasi akan terasa nyeri sekali
karena pada saat memotong jaringan, serabut saraf terbuka akibat serabut saraf tidak

1
mengerut, sedangkan selubungnya mengerut. Sedangkan pada bedah laser, serabut
saraf dan selubung saraf menempel jadi satu, seperti terpatri sehingga serabut saraf
tidak terbuka. Untuk hemorhoidektomi, dibutuhkan daya laser 12-14 watt. Setelah
jaringan diangkat, luka bekas operasi direndam cairan antiseptik. Dalam waktu 4-6
minggu luka akan mengering. Prosedur ini bisa dilakukan hanya dengan rawat jalan.

e. Bedah Stapler
Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse Hemorrhoids (PPH) atau
Hemorhoid Circular Stapler (HCS). Teknik ini mulai diperkenalkan pada tahun 1993 oleh
dokter berkebangsaan Italia yang bernama Longo, sehingga teknik ini juga sering disebut
teknik Longo. Di Indonesia sendiri alat ini diperkenalkan pada tahun 1999. Alat yang
digunakan sesuai dengan prinsip kerja stapler. Bentuk alat ini seperti senter, terdiri dari
lingkaran di depan dan pendorong di belakangnya.

Teknik PPH ini mengurangi prolaps jaringan hemorhoid dengan mendorongnya ke atas
garis mukokutan dan mengembalikan jaringan hemorhoid ini ke posisi anatominya
semula karena jaringan hemorhoid ini masih diperlukan sebagai bantalan saat BAB,
sehingga tidak perlu dibuang semua. Mula-mula jaringan hemorhoid yang prolaps
didorong ke atas dengan alat yang dinamakan dilator, kemudian dijahitkan ke tunika
mukosa dinding anus. Kemudian alat stapler dimasukkan ke dalam dilator. Dari stapler
dikeluarkan sebuah gelang dari titanium, diselipkan dalam jahitan dan ditanamkan
dibagian atas saluran anus untuk mengokohkan posisi jaringan hemorhoid tersebut.
Bagian jaringan hemorhoid yang berlebih masuk kedalam stapler. Dengan memutar
sekrup yang terdapat pada ujung alat, maka alat akan memotong jaringan yang berlebih
secara otomatis. Dengan terpotongnya jaringan hemorhoid maka suplai darah ke jaringan
tersebut terhenti sehingga jaringan hemorhoid mengempis dengan sendirinya.
Keuntungan teknik ini yaitu mengembalikan ke posisi anatomis, tidak mengganggu
fungsi anus, tidak ada anal discharge, nyeri minimal karena tindakan dilakukan diluar
daerah yang sensitif, tindakan berlangsung cepat sekitar 20-45 menit, pasien pulih lebih
cepat sehingga rawat inap di rumah sakit semakin singkat.

c. Pengaruh Hemoroid pada Kehamilan, Persalinan, dan Nifas


Hemorhoid tidak terlalu membahayakan, baik bagi ibu maupun janinnya. Meskipun
sering keluar darah dari duburnya namun tidak akan menularkan penyakit pada janin
karena hemorhoid sama sekali tidak berhubungan langsung dengan janin yang keluar dari
vagina. Ibu akan mengalami ketidaknyamanan sehingga aktivitas sehari- hari menjadi
terganggu dan tidak menjalani kehamilannya dengan nyaman akibat perih yang dia
rasakan. Bahaya hemorhoid pada wanita hamil adalah timbulnya perdarahan yang bisa
mengakibatkan anemia. Tetapi hemorhoid bukan penghalang bagi ibu hamil yang ingin
melahirkan normal meskipun yang diderita pada derajat tiga. Pada kebanyakan wanita,

1
hemorhoid yang disebabkan oleh kehamilan merupakan hemorhoid temporer, yang
berarti akan hilang beberapa saat setelah melahirkan.

Hemorhoid pada wanita hamil biasanya cukup diatasi dengan laksatif, pelunak feses,
dan sitz baths. Hemorhoid yang mengalami trombosis dapat diatasi dengan cara eksisi.
Namun, pada beberapa kasus, hemorhoid dalam kehamilan membutuhkan tindakan
operatif apabila hemorhoid tersebut menimbulkan komplikasi. Saleeby, dkk melakukan
hemorrhoidektomi pada 25 dari 12.455 wanita hamil (0,2%). Tiga diantaranya dilakukan
pada trimester tiga. Tindakan bedah tersebut berupa closed type hemorrhoidectomy yang
hanya membutuhkan anestesi lokal.

1
BAB III PENUTUP
Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000).
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
3. Apendisitis perforata
4. Apendisitis rekuren
5. Apendisitis kronis
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya
apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya
penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga
merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.
Hemorhoid pada wanita hamil merupakan keadaan fisiologis yang menyertai
kehamilan. Hemorhoid yang disebabkan oleh kehamilan merupakan hemorhoid temporer,
yang berarti akan hilang beberapa saat setelah melahirkan. Bahaya hemorhoid pada wanita
hamil adalah timbulnya perdarahan yang bisa mengakibatkan anemia. Karena hemorhoid pada
wanita hamil bukan merupakan suatu keadaan yang patologik, maka terapi yang dilakukan
ditujukan untuk menghilangkan keluhan, yaitu dengan tindakan preventif dan konservatif.
Tindakan pembedahan baru dilakukan apabila perawatan secara konservatif tidak berhasil.

1
Saran
Diharapkan melalui Makalah ini, pengenalan dini akan manifestasi klinis yang timbul
akibat perubahan terjadi dapat lebih diperhatikan dalam menegakkan diagnosis dini dari suatu
Apendiskitis dan Hemoroid ,yang tidak hanya berdampak bagi penatalaksanaan tetapi juga pada
penurunan morbiditas maupun mortalitasnya.

1
DAFTAR PUSTAKA
Narouw N, Hariadi R, Hemorhoid pada kehamilan, 2004. Dalam : Ilmu Kedokteran
Fetomaternal, Ed. 1, Surabaya, Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia. Hal: 635-642.

Malangoni Ma. Gastrointestinal surgery and pregnacy. Gastro Clin North Am 2003;32:181-200.

Anonim, 2004, dapat di unduh di http://www..hemorjoid.net/hemorhoid galery.html. Last update


Desember 2009.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hemorhoid, 2004 Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2, Jakarta,
Penerbit buku Kedokteran EGC. Hal: 672-675.

Silvia A.P, Lorraine M.W, Hemorhoid, 2005. Dalam : Konsep-konsep Klinis Proses Penyakit,
Edisi VI, Patofisiologi vol.1. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai