Oleh Kelompok :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
““Appendisitis dan Kanker Kolorektal”. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik di masa kini
ataupun masa yang akan datang bagi pembaca umumnya dan tenaga kesehatan
khususnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker kolorektal adalah kanker usus besar (kolon) dan usus pembuangan akhir
(rektum). Kebanyakan kanker kolorektal berawal dari pertumbuhan sel yang tidak
ganas (disebut adenoma) dimana pada stadium awal membentuk sebuah polip (Harold
Shryock, 1982:310). Kanker kolorektal (colo-rectal carcinoma) atau disebut juga
kanker usus besar merupakan suatu tumor ganas yang ditemukan di colon atau rectum.
Colon atau rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut
juga traktus gastrointestinal yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi tubuh dan
membuang zat-zat yang tidak berguna.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud appendicitis dan kanker kolorektal?
2. Bagaimana patofisiologi appendicitis dan kanker kolorektal?
3. Apa saja kah klasifikasi Appendisitis?
4. Apa saja Gejala Klinis appendicitis dan kanker kolorektal?
1
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian appendicitis dan kanker kolorektal
2. Untuk mengetahui patofisiologi appendicitis dan kanker kolorektal
3. Untuk mengetahui klasifikasi appendicitis
4. Untuk mengetahui gejala klinis appendicitis dan kanker kolorektal
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Apendisitis
2.1.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-
30 tahun (Mansjoer, 2010). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut
pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat (Smeltzer, 2005). Apendisitis adalah peradangan apendiks yang
mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Price, 2005).
2.1.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita (Sandy,
2010)
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu
3
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney.
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
a. Apendisitis Akut Sederhana Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub
mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu
aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise dan demam ringan (Rukmono, 2011).
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen
yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena
pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini
memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di
usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti
nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada
gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).
c. Apendisitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah,
aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain
didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah
kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).
d. Apendisitis Infiltrat Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
4
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat
satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).
e. Apendisitis Abses Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk
berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum,
retrosekal, subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).
f. Apendisitis Perforasi Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang
sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding 11 apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya
sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat
(Rukmono, 2011).
a. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual
dan seringkali muntah.
b. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina
anterior dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari
bagian bawah otot rektus kanan.
c. Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri
tekan, spasm otot, dan konstipasi atau diare kambuhan.
5
d. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah,
yang menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).
e. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar; terjadi
distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
Sedangkan menurut Grace dan Borley (2007), manifestasi klinis apendisitis meliputi :
2.1.5 Patofisiologi
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
6
dinding 12 apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).
2.1.6 Pathway
(terlampir)
2.1.7 Etiologi
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori
Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor
pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin,
ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi
bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang
baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari
pelayan keshatan yang diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun
non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah
serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).
7
2.1.8 Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran
cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan
viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan.
Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak
terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi
perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010).
2.2. Ca Kolorektal
2.2.1. Definisi
Kolon adalah bagian terbesar dari usus besar. Panjangnya hampir 5 kaki.
Kolonmemiliki empat bagian yaitu kolon ascending, transverse, descending,
dan sigmoid.Dindingnya memiliki empat lapisan utama mukosa, submukosa,
muskularis propia, danserosa atau adventitia. Kanker adalah penyakit yang ditandai
dengan pertumbuhan selyang abnormal, bila hal ini terjadi di usus besar atau rectum
maka disebut kankerkolorektal (American Cancer Society, 2017). American
Cancer Society (ACA) tahun 2016, menjelaskan bahwa kanker kolorektaladalah
kanker yang dimulai di usus besar atau rektum. Kanker ini juga bisa disebutkanker usus
besar atau kanker rektum, tergantung tempat bermulanya.
Kanker usus besar dan kanker rektum sering dikelompokkan bersama karena
memiliki banyak kesamaan.Hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma.
8
Adenokarsinoma adalah kanker sel yang melapisi kelenjar dan, dalam kasus kanker
usus besar, memmproduksilendir (National Comprehensive Cancer Network, 2016)
Awalnya kanker kolorektaldapat muncul sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi
ganas, menginvasi danmenghancurkan jaringan normal, dan meluas ke struktur
sekitarnya (Smeltzer, 2015).
Sebagian besar kanker kolon dimulai dari polip pada lapisan dalam usus besar
ataurektum Beberapa jenis polip dapat berubah menjadi kanker selama beberapa
tahun,namun tidak semua polip menjadi kanker. Kemungkinan berubah menjadi
kankertergantung pada jenis polip. 2 jenis polip utama adalah:
9
( polip kolorektal yang berukuran 1sentimeter atau lebih besar atau memiliki
sel yang terlihat abnormal di bawahmikroskop).
4. Riwayat menderita kolitis ulserativa kronis atau penyakit Crohn selama 8 tahun
ataulebih. Penyakit Crohn juga sering disebut colitis granulomatosis atau
colitistransmural, merupakan peradangan di seluruh dinding granulomatois,
sedangkancolitis ulseratif secara primer adalah inflamasi yang terbatas di
selaput lendir kolon.Risiko terjadinya kanker kolon pada Crohn;s lebih besar.
5. Mengonsumsi alcohol
Konsumsi alcohol sedang dan berat (<12,5 gram perhari, sekitar satu
minuman),dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolon. Dibandingkan
dengan seseorangyang tidak minum alcohol dan hanya mengonsumsi sesekali,
seseorang yang rata-rata mengonsumsi 2 sampai 3 minuman beralkohol per hari
memiliki risiko kanker20% lebih tinggi, dan yang mengonsumsi lebih dari 3
minuman per hari memilikisekitar 40% peningkatan risiko.
6. Merokok
Badan Penelitian Kanker Internasional pada November 2009 melaporkan
bahwamerokok dapat menyebabkan kanker kolorektal. Kaitan terhadap rectum
lebih besardibandingkan dengan kolon.
7. Gaya hidup (obesitas)
Obesitas dapat meningkatkan risiko kanker kolon yang lebih tinggi pada
priadibandingkan wanita. Secara khusus seseorang dengan berat badan normal,
priaobesitas memiliki 50% risiko kanker kolon lebih tinggi dan kanker rectal
20%,sedangkan wanita obesitas memiliki sekitar 20% peningkatan risiko
kanker kolondan risiko kanker rectal 10%. Obesitas dapat berdampak
negative pada kesehatanmetabolic yang merupakan fungsi utama dari semua
proses biokimia didalam tubuh.Studi terbaru menunjukkan bahwa kesehatan
metabolic yang buruk memiliki kaitandengan kejadian kanker kolorektal.
10
2.2.2. Manifestasi Klinis
1. Anemia
2. Perdarahan pada rectum
3. Nyeri abdomen
4. Perubahan kebiasaan defekasi
5. Obstruksi usus atau perforasi.
11
2.2.3. Komplikasi
2.2.4. Patofisiologi
Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap lanjut
karena pola pertumbuhan lamban, 5 sampai15 tahun sebelum muncul gejala (Way,
1994). Manifestasi tergantung pada lokasi, tipe dan perluasan serta komplikasi.
Perdarahan sering sebagai manifestasi yang membawa pasien datang berobat. Gejala
awal yang lain sering terjadi perubahan kebiasaan buang air besar, diare atau
konstipasi. Karekterstik lanjut adalah nyeri, anoreksiadan kehilangan berat badan.
Mungkin dapat teraba massa di abdomen atau rektum. Biasanya pasien tampak
anemis akibat dari perdarahan.
12
Prognosis kanker kolorektal tergantung pada stadium penyakit saatterdeteksi
dan penanganannya. Sebanyak 75 % pasien kanker kolorektal mampu bertahan hidup
selama 5 tahun. Daya tahan hidup buruk / lebih rendah pada usia dewasatua (Hazzard
et al., 1994). Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal : (1) obstruksi
usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi; (2) perforasi dari dinding usus oleh
tumor, diikuti kontaminasi dari rongga peritoneal oleh isi usus; (3) perluasan
langsung tumorke organ-organ yang berdekatan.
Gejala klinis kankerpada kolon kiri berbeda dengan kolonkanan. Kanker kolon
kiri sering bersifat skirotik sehinggalebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi,
terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada kanker kolon kanan jarang terjadi
stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Gejala dan tanda dini
kanker kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit yaitu
gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran. Kanker kolon kiri
dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi seperti konstipasi. Makin ke distal
letak tumor feses makin menipisatau seperti kotoran kambing, atau lebih cair disertai
darah atau lendir. Perdarahan akut jarang dialami, demikian juga nyeri didaerah
panggul berupa tanda penyakit lanjut. Pada obstruksi penderita merasa lega saat flatus
(De Jong,2005).
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker kolorektal antara lain ialah:
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu
darah segar maupun yang berwarna hitam.
2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong
saat BAB
3. Feses yang lebih kecil dari biasanya.
4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa
penuh pada perut atau nyeri
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
13
6. Mual dan muntah
7. Rasa letih dan lesu.
8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri
pada daerah gluteus.
2.2.6. Pathway
(Terlampir)
2.2.7. Diagnosis
14
4. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsiumdan kreatinin.
5. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada
tidaknya dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium
dimasukkan kedalam usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa
mengisi lumen usus, konstriksiatau gangguan pengisian. Dinding usus
terfiksir oleh tumor dan pola mukosa normal hilang. Meskipun
pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata dalam
mendeteksi rektum (Way,1994).
6. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru.
7. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance
imaging(MRI)atau pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk
mengkaji apakah sudah mengenai organ lain melalui perluasan langsung
atau dari metastase tumor.
8. Endoskopi (sigmoidoskopiatau kolonoskopi) adalah test diagnostik
utama digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor.Sekalian
dilakukan biopsy jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi
50-65% dari kanker kolorektal. Pemeriksaan endoskopi dan kolonoskopi
direkomendasikan untuk mengetahui lokasi danbiopsilesi pada pasien
dengan perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukandan visualisasi
sekum, barium enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumordapat tampak
membesar, merah, ulseratif sentral, seperti penyakit divertikel, ulseratif
colitis dan penyakit Crohn’s(Harahap, 2004).
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kanker kolorektal adalah penyakit yang menyerang bagian kolon dan rectum
.Resiko terkena kedua penyakit tersebut dapat diturunkan dengan menjaga gaya hidup
individu tersebut.
16
Lampiran 1:
Pathway Appendisitis
Apendiksitis
Inflamasi
Edema
(berisi Pus)
Infeksi
Abses
konstipasi Rangsang
sekunder
syaraf
reseptor
Diafragma
Pelvis Hati
Nyeri
jumlah
lekosit
Hiperthermy
17
Lampiran 2:
Genetik Epithelium
Lingkungan Submukosa
Instabilitas
Sindrom Pola makan
mikrosatelit
poliposis Polip kolon
konsumsi
Diit tinggi Diit rendah
Instabilitas Mutasi alkohol
lemak sisa
kromosom noktah
penanganan
tanpa
Iritasi
penanganan
Kerusakan Perubahan mukosa
Lokus pasangan basa kolon
Pengontrol DNA
proliferasi
kanker kolon
Kegagalan
proliferasi
Kegagalan deteksi
normal Kurang
Perubahan kerusakan &
kromosom kolostomi pengetahuan:
perbaikan dna
prosedur
Kolonosit
Delesi ketidakseimbangan
Translokasi
nutrisi:kurang
adenomatosa
Amplifikas
i resiko kurang
vol cairan
18
DAFTAR PUSTAKA
Mangku, G., & Senapathi, T. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta
Brunner & Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
: Indeks.
19