KELUAR CACING
SISTEM GASTROENTEROHEPATOLOGI
Disusun oleh:
Kelompok 4
TAHUN 2020
I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat,
nikmat, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan Problem Based
Learning (PBL) modul “Keluar Cacing”. Salawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan kita sebagai penerus hingga
akhir zaman.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu untuk
menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari bahwa laporan ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki laporan ini.
Kami ucapkan terima kasih dan berharapkan laporan PBL ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Kelompok 4
II
DAFTAR ISI
A. Skenario.............................................................................................................. 1
D. Problem Tree...................................................................................................... 2
E. Learning Outcome.............................................................................................. 3
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
B. Kata Kunci
1. Anak 5 tahun
2. Keluar cacing ketika BAB
3. BAB encer sejak 3 hari yang lalu
4. BAB tanpa encer
5. Frekuensi BAB 5-10x
6. Nyeri perut
7. Lesu dan lemas
8. Nafsu makan menurun
C. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kecacingan dan BAB encer?
2. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi terkait skenario?
3. Bagaimana epidemiologi kecacingan?
4. Apa etiologi dan faktor risiko dari kecacingan dan BAB encer?
5. Bagaimana patomekanisme dari setiap gejala?
6. Bagaimana hubungan gejala utama dengan gejala penyerta?
7. Bagaimana langkah-langkah penegakkan diagnosis?
8. Apa saja diagnosis yang sesuai dengan skenario?
1
9. Bagaimana cara pencegahan kecacingan?
10. Apa integrasi keislaman yang sesuai dengan skenario?
D. Problem Tree
2
E. Learning Outcome
1. Mahasiswa mampu mengetahui definisi kecacingan dan BAB encer.
2. Mahasiswa mampu mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi terkait
skenario.
3. Mahasiswa mampu mengetahui epidemiologi kecacingan.
4. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dan faktor risiko dari kecacingan
dan BAB encer.
5. Mahasiswa mampu mengetahui patomekanisme dari setiap gejala.
6. Mahasiswa mampu mengetahui hubungan gejala utama dengan gejala
penyerta.
7. Mahasiswa mampu mengetahui langkah-langkah penegakkan diagnosis.
8. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosis yang sesuai dengan skenario.
9. Mahasiswa mampu mengetahui cara pencegahan kecacingan.
10. Mahasiswa mampu mengetahui integrasi keislaman yang sesuai dengan
skenario.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang
menyatakan diare yang berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan
dari diare akut. Diare infektif adalah bila penyebabnya infeksi sedangkan diare
non infektif bila tidak ditemukan infeksi sebagai penyebab pada kasus tersebut.
Diare organik adalah bila ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik,
hormonal atau toksikologik. Diare fungsional bila tidak dapat ditemukan
penyebab organik (Setiati & dkk, 2015).
5
enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim) yang memecah protein dan
menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara
sadar dan berlanjut secara otomatis (Paulsen & J, 2010).
b. Faring
6
c. Esofagus (Kerongkongan)
7
d. Gaster (Lambung)
8
e. Intestinum Tenue (Usus Kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan
yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya
akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati
melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir yang melumasi
isi usus dan air yang membantu melarutkan pecahan-pecahan
makanan yang dicerna. Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil
enzim yang mencerna protein, gula dan lemak (Paulsen & J, 2010).
Lapisan usus halus yaitu, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan
otot melingkar (M. sirkuler), lapisan otot memanjang (M.
Longitidinal), dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian
yaitu:
1. Duodenum (Usus Duabelas Jari)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus
halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke
usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan
bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale
dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan
organretroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh
selaput peritoneum, pH usus dua belas jari yang normal berkisar
pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua
muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung
melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
9
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk
ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang
bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan
makanan (Paulsen & J, 2010).
2. Jejenum (Usus Kosong)
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus
halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus
penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus
halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong.
Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh
dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa
membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus (Paulsen & J, 2010).
3. Ileum (Usus Penyerapan)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus
halus. Pada sistem pencernaan manusia, memiliki panjang sekitar
2-4 m dan terletak setelah duodenum danjejunum, dan dilanjutkan
oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau
sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-
garam empedu (Paulsen & J, 2010).
f. Intestinum Crassum (Usus Besar)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara
usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air
dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon
transversum, kolon desendens (kiri), dan kolon sigmoid (berhubungan
dengan rektum). Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar
berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zatzat
gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat
penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal
dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan
10
gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi
iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare (Paulsen & J, 2010).
g. Caecum (Usus Buntu)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin:caecus, "buta") dalam
istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus
penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini
ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian
besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora
eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya
digantikan oleh umbai cacing (Paulsen & J, 2010).
h. Appendix (Umbai Cacing)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus
buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai
cacing. Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa
Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah ujung
buntu tabung yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing
terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa,
Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2
sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung
umbai cacing bisa berbeda, diretrocaecal atau di pinggang (pelvis)
yang jelas tetap terletak di peritoneum (Paulsen & J, 2010).
i. Rektum dan Anus
Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat
yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk
buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena
penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem sarafyang
menimbulkan keinginan untuk melakukandefekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana
11
penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan
terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan
keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda
BAB (Paulsen & J, 2010).
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana
bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan
dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari
tubuh melalui proses defekasi (buang air besar), yang merupakan
fungsi utama anus (Paulsen & J, 2010).
2. Histologi
a. Cavum Oris (Rongga Mulut)
Rongga Mulut Dalam rongga mulut daerah ini dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk sebagai pelindung yang juga
melapisi permukaan dalam bibir atau labia. Bibir dilapisi oleh kulit
yang sangat tipis yang ditutupi oleh epitel berlapis gepeng bertanduk.
Pembuluh darah terletak dekat dengan permukaan bibir sehingga bibir
berwarna merah. Permukaan luar bibir mengandung folikel rambut,
kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat. Bibir juga mengandung otot
rangka yang disebut Musculus orbikularis oris. Di sebelah dalam batas
bebas bibir lapisan luar beruba menjadi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk yang lebih tebal. Di bawah epitel mulut terdapat
kelenjar lanialis penghasil mucus (Paulsen & J, 2010).
Lidah adalah organ berotor di rongga mulut. Bagian tengah lidah
terdiri atas jaringan ikat dan berkas serat otoo rangka. Penyebaran dan
orientasi masing-masing serat otot rangka lidah yang acak
memungkinkan lidah bergerak bebas selama mengunyah, menelan
dan berbicara. Epitel permukaan dorsal lidah sangat tidak teratur
12
(epitel squamosa kompleks) dan ditutupi tonjolan (papilla) yang
berindentasi pada jaringan ikat lamina propia (mengandung jaringan
limfoid difus). Terdiri papilla filiformis, fungiformis, sirkumvalata,
dan foliata. Papilla lidah ditutupi epitel squamosa kompleks yang
sebagian bertanduk. bagian pusat lidah terdiri atas berkas-berkas otot
rangka, pembuluh darah dan saraf (Paulsen & J, 2010).
b. Esofagus (Kerongkongan)
Esophagus panjang ±10 inci dan meluas dari faring sampai
lambung dibelakang trakea, sebagian besar dl rongga thoraks dan
menembus diafragma masuk rongga abdomen. Esophagus terdiri dari
beberapa lapisan yaitu:
1) Tunika Mukosa Epitel squamosa kompleks non keratin, lamina
propia, muskularis mukosa.
2) Tunika Submukosa Jaringan ikat longgar mengandung sel lemak,
pembuluh darah, dan kelenjar esophageal propia.
3) Tunika Muskularis Terdiri atas otot sirkular (bagian dalam) dan
otot longitudinal (bagian luar). Diantara otot tersebut sedikit
dipisah jaringan ikat. Pada ⅓ bagian atas esophagus terdiri otot
rangka, ⅓ bagian tengah terdiri otot polos dan otot rangka, ⅓
bagian bawah dibentuk otot polos.
4) Adventisia Terdapat pembuluh darah, saraf, jaringan lemak
(Paulsen & J, 2010).
c. Gaster (Lambung)
1) Tunika Mukosa Merupakan epitel kolumner simpleks, tidak
terdapat vili intestinalis dan sel goblet. Terdapat foveola
gastrika/pit gaster yang dibentuk epitel, lamina propia dan
muskularis mukosa. Seluruh gaster terdapat rugae (lipatan mukosa
dan submukosa) yang bersifat sementara dan menghilang saat
gaster distensi oleh cairan dan material padat. Foveola tersebut
terdapat sel mukosa yang menyekresi mucus terutama terdiri dari
sel neck, sel parietal, dan sel chief.
13
2) Tunika submukosa jaringan ikat longgar banyak mengandung
pembuluh darah dan saraf pleksus meissner
3) Tunika muskularis yang terdiri atas otot oblik (dekat lumen),otot
sirkular (bagian tengah) dan otot longitudinal (bagian luar).
Diantara otot sirkuler dan longitudinal tersebut sedikit dipisah
pleksus saraf mienterikus auerbach.
4) Tunika Serosa Peritoneum visceral dengan epitel squamosa
simpleks yang diisi pembuluh darah dan sel-sel lemak (Paulsen &
J, 2010).
d. Intestinum Tenue (Usus Kecil)
Panjang ±5 m. Ciri khas terdapat plika sirkularis kerkringi, vili
intestinalis, dan mikrovili. Plika sirkularis kerkringi merupakan
lipatan mukosa dengan inti submukosa permanen. Mikrovili
merupakan juluran sitoplasma (striated brush border). Pada lamina
propia terdapat kelenjar intestinal lieberkuhn, didasarnya terdapat sel
paneth (penghasil lisozimenzim antibakteri pencerna dinding bakteri
tertentu dan mengendalikan mikroba usus halus) dan sel
enteroendokrin (penghasil hormone-gastric inhibitory peptide,
sekretin dan kolesistokinin / pankreozimin) (Paulsen & J, 2010).
1) Duodenum
a) Tunika Mukosa
Epitel kolumner simpleks dengan mikrovili, terdapat vili
intestinalis dan sel goblet. Pada lamina propia terdapat
kelenjar intestinal lieberkuhn.
b) Tunika Submukosa
Jaringan ikat longgar, terdapat kelenjar duodenal Brunner
(ciri utama pada duodenum yang menghasilkan mucus dan
ion bikarbonat). Terdapat plak payeri (nodulus lymphaticus
agregatia/ gundukan sel limfosit).
14
c) Tunika Muskularis
Terdiri atas otot sirkular (bagian dalam) dan otot longitudinal
(bagian luar). Diantaranya dipisah oleh pleksus mienterikus
auerbach.
d) Tunika Serosa
Merupakan peritoneum visceral dengan epitel squamosa
simpleks, yang diisi pembuluh darah dan sel-sel lemak.
(Paulsen & J, 2010)
2) Jejunum dan Ileum
Secara histologis sama dengan duodenum, perkecualiannya tidak
ada kelenjar duodenal brunner. (Paulsen & J, 2010)
e. Intestinum Crassum (Usus Besar)
1) Tunika Mukosa
Terdiri epitel kolumner simpleks mempunyai sel goblet lebih
banyak dibanding usus halus tapi tidak mempunyai plika
sirkularis maupun vili intestinalis. Pada lamina propia terdapat
kelenjar intestinal lieberkuhn yang lebih banyak dan nodulus
limpatikus. Tidak terdapat sel paneth tapi terdapat sel
enteroendokrin. Dibawah lamina terdapat muskularis mukosa.
2) Tunika Submukosa
Jaringan ikat longgar banyak mengandung pembuluh darah, sel
lemak dan saraf pleksus meissner.
3) Tunika Muskularis
Terdiri atas otot sirkular bagian dalam dan otot longitudinal
bagian luar. Otot sirkular berbentuk utuh tapi otot longitudinal
terbagi tiga untaian besar. Diantaranya dipisah oleh pleksus
mienterikus auerbach.
4) Tunika Serosa/Adventisia
Merupakan peritoneum visceral dengan epitel squamosa
simpleks, yang diisi pembuluh darah dan sel-sel lemak. Kolon
tranversum dan sigmoid melekat ke dinding tubuh melalui
15
mesenterium, sehingga tunika serosa menjadi lapisan terluar
bagian kolon ini. Sedangkan adventisia membungkus kolon
ascendens dan descendens Karena ketaknya peritoneal. (Robbins
& Judge, 2013)
f. Appendix (Umbai Cacing), memiliki dtruktur seperti kolon. (Robbins
& Judge, 2013)
g. Rektum
1) Tunika Mukosa terdiri epitel kolumner simpleks, mempunyai sel
goblet dan mikrovili, tapi tidak mempunyai plika sirkularis
maupun vili intestinalis. Pada lamina propia terdapat kelenjar
intestinal lieberkuhn, sel lemak, dan nodulus limpatikus.
Dibawah lamina terdapat muskularis mukosa.
2) Tunika Submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar banyak
mengandung pembuluh darah, sel lemak dan saraf pleksus
meissner.
3) Tunika Muskularis terdiri atas otot sirkular (bagian dalam) dan
otot longitudinal (bagian luar). Otot sirkular berbentuk utuh tapi
otot longitudinal terbagi tiga untaian besar (taenia koli).
Diantaranya dipisah oleh pleksus mienterikus auerbach.
4) Adventisia merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi
rectum, sisanya ditutupi serosa. (Robbins & Judge, 2013)
h. Anus
1) Tunika Mukosa terdiri epitel squamosa non keratin, lamina propia
tapi tidak ada terdapat muskularis mukosa.
2) Tunika Submukosa menyatu dengan lamina propia. Jaringan ikat
longgar banyak mengandung pembuluh darah, saraf pleksus
hemorroidalis dan glandula sirkum analis.
3) Tunika Muskularis bertambah tebal. Terdiri atas sfingter ani
interna (otot polos, perubahan otot sirkuler), sfingter ani eksterna
(otot rangka) lalu diluarnya m. levator ani. Otot sirkular
berbentuk utuh tapi otot longitudinal terbagi tiga untaian besar
16
(taenia koli). Diantaranya dipisah oleh pleksus mienterikus
auerbach.
4) Adventisia Terdiri jaringan ikat longgar. (Robbins & Judge,
2013)
C. Epidemiologi Kecacingan
Prevalensi cacingan di indonesia pada umumnya masih sangat tinggi,
terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu, dengan sanitasi yang
buruk. Prevalensi cacingan bervariasi antara 2,5-62% (Kemenkes, 2017).
Menurut Departemen Kesehatan, prevalensi angka kecacingan di Indonesia
adalah 28% (Depkes, 2013). Prevalensi Ascaris yang lebih tinggi dari 70%
ditemukan antara lain di bebarapa desa di Sumatra (78%), Kalimantan (79%),
Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%) dan Jawa Barat (90%). Di desa
tersebut prevalensi Trichuris juga tinggi yaitu untuk masing-masing daerah
83%, 83%, 84% dan 91% (FKUI, 2008).
17
lamblia, Cryptosporidium sp., Isospora belli, Sarcocystis sp., Entamoeba
histolytica, Nonpathogenic Amoeba, Balantidium coli), cacing (Strongyloides
stercoralis, Capillaria philippinensis, Trichinella spiralis, Trichostrongylus
orientalis, Trematoda, Trichuris trichiura), dan jamur (Candida sp., Aspergillus
sp., Zygomycosis sp) (Herbowo, 2003). Infeksi cacing yang menimbulkan
diare dapat disebabkan oleh beberapa jenis cacing kelas Nematoda Usus
khususnya yang penularannya melalui tanah, diantaranya cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Pujianti, 2018).
Faktor risiko yang dapat menyebabkan kecacingan dan diare, yaitu
higienitas diri yang buruk, sanitasi buruk, daerah di mana feses manusia
dijadikan pupuk, dstribusi geografik; daerah iklim tropis dan subtropis dengan
tingkat kebersihan yang buruk, defekasi di tanah sekitar rumah, tidak mencuci
tangan sebelum makan bermain di tanah tanpa menggunakan alas kaki,
kebiasaan memakan tanah (geofagifi), tingkat sosial-ekonomi rendah (Dora-
Laskey & dll, 2016)
E. Patomekanisme Gejala
1. Keluar Cacing
Pada beberapa infeksi cacing, cacing akan keluar bersama feses ketika
seorang penderita defekasi (BAB). Cacing yang terbuahi jatuh ketanah
yang lembab dan optimal sehingga telur berkembang menjadi telur yang
infektif yang mengandung larva. Ketika masuk ke saluran pencernaan
manusia dan hinggap di usus halus. maka cacing akan bermigrasi hingga
ke faring dan mengakibatkan reflex batuk. Kemudian tertelan dan hinggap
di usus halus dan berkembang menjadi cacing dewasa. Lalu keluar
Bersama feses ataupun cacing betina akan bermigrasi ke daerah anus
(perianal) untuk bertelur (Elfred & Suwarno, 2016).
18
2. BAB Encer
a) Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga
usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkanya
sehingga timbul diare.
b) Gangguan sekresi
Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus
dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isirongga
usus.
c) Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengkkpuakibatkan berkurangnya kesempatan
usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya timbul diare pula (Ngastiyah, 2014)
3. Nyeri Perut
19
hiperparistaltik sehingga menimbulkan diare, rasa tidak nyaman di perut,
kolik akut pada daerah epigastrium dan gangguan selera makan (Fadhila,
2015).
20
F. Hubungan Gejala Utama dengan Gejala Penyerta
1. Siklus Hidup Cacing
Cacing keluar bersama dengan tinja penderita → telur cacing yang dibuahi
jatuh di tanah → bila tertelan manusia akan menetas → menjadi larva di
usus halus → dinding telur akan pecah → larva keluar → menembus usus
halus dan memasuki vena porta hati → dengan aliran darah vens → larva
beredar menuju dinding paru → menembus dinding kapiler → menembus
masuk ke alveoli → masuk ke rongga alveolus → naik ke trakea melalui
brochiolus dan bronchus → menuju ke faring → menimbulkan refleks
batuk → tertelan masuk ke dalam eosofagus → menuju ke usus halus →
tumbuh menjadi cacing dewasa (Elfred & Suwarno, 2016).
2. BAB Encer
Cacing keluar bersama dengan tinja penderita → telur cacing yang dibuahi
jatuh di tanah bila tertelan manusia akan menetas → menjadi larva di usus
halus → dinding telur akan pecah → larva keluar → menembus usus halus
→ merusak mukosa usus halus karena proses inflamasi → produksi mukus
meningkat → eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen → gangguan
absorbsi air-elektrolit → feses menjadi encer (Elfred & Suwarno, 2016).
3. Lemas dan Lesu
Mukosa usus halus dirusak → pelepasan mediator radang → IL-1, IL-6,
IL-8, dan TNF-alpha → eksitasi derah peka glukosa (hyphothalamus)
→ penurunan nafsu makan intake nutrisi berkurang → lesu (Elfred &
Suwarno, 2016).
4. Nyeri Perut
5. Nyeri Perut
Infeksi langsung terjadi ketika pejamu menelan telur dari cacing ini
melalui makanan atau tangan yang terkontaminasi. Telur masuk dan
masuk kedalam usus halus, berkembang menjadi larva. Ketika dewasa,
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon terutama pada
sekum. Dalam usus, parasit/ cacing akan merekatkan kepalanya pada
21
mukosa usus sehingga menyebabkan peradangan dan memberikan gejala
klinis yaitu nyeri perut (Herbowo, 2003).
6. Nafsu Makan Menurun
Pusat pencernaan diatur oleh nervus vagus, dimana saraf aferennya itu
sensitif terhadap berbagai mediator, namun tidak hanya oleh mediator tapi
juga beberapa sitokin dan faktor lain. Saraf aferen dari nervus vagus ini
akan menerima informasi disaluran pencernaan yang akan diteruskan ke
hipotalamus kemudian ke NVH (pusat kenyang) dan NLH (pusat lapar).
NVH yg menerima impuls akan menyebabkan leptin mengaktifkan sel
saraf anorectic sehingga akan melepaskan neuropeptide yang akan
menekan nafsu makan/apetite sehingga terjadilah penurunan nafsu makan
(Kristeen, 2017).
22
5) Kegiatan apa yang dilakukan setelah selesai bekerja?
6) Adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga penderita?
2. Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisis yang berarti yang dapat dijadikan acuan
untuk menegakkan diagnosis, namun ada beberapa hal yang dapat
dilakukan (Smith & dkk, 2017).
a. Inspeksi: apakah ada tanda-tanda anemis? Apakah ada lesi-lesi pada
kulit abdomen atau lainnya?
b. Palpasi: apakah ada ketegangan dinding perut dan bila ada di regio
mana, adakah nyeri tekan, apakah ada pembesaran organ?
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan darah lengkap (untuk melihat
eosinophilia), pemeriksaan feses (untuk melihan adanya telur cacing)
(Smith & dkk, 2017).
b. Pemeriksaan feses dapat dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai
warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau dan adatidaknya mukus. Pada
pemeriksaan ini juga dinilai ada tidaknya gumpalan darah yang
tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih dan gula.
Pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa parasit dan telur
cacing. Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari dua pemeriksaan yaitu
pemeriksaan kualitatif dan kuantiatif. Pemeriksaan kualitatif dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan secara natif
(direct slide), pemeriksaan dengan metode apung, modifikasi
merthiolat iodine formaldehyde, metode selotip, metode konsentrasi,
teknik sediaan tebal dan metode sedimentasi formol ether (ritchie).
Pemeriksaan kuantitatif dikenal dengan dua metode yaitu metode stoll
dan metode katokatz (Rahmadhini, 2015).
c. Pemeriksaan antibodi, deteksi antigen dan diagnosis molekular
dengan menggunakn Polymerase Chain Reaction (PCR).
Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam
23
mendiagnosis infeksi STH. Kekurangan pemeriksaan ini adalah
bersifat invasif (seperti dengan pengambilan spesimen darah),
antibodi tetap terdeteksi setelah penatalakasanaan dan terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan nematoda lainnya
(Rahmadhini, 2015)
d. Kolonoskopi (guna mendeteksi adanya ketidaknormalan pada usus
besar dan rektum, seperti jaringan usus yang bengkak, iritasi, luka,
polip, atau kanker) (Smith & dkk, 2017)
b. Epidemiologi
Infeksi cacing A. lumbricoides atau yang disebut Askariasis
merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di dunia dengan
prevalensi sebesar 807 juta jiwa dan populasi yang beresiko sekitar
4,2 milyar jiwa. Jumlah kasus infeksi Askariasis pada SubSahara
Afrika sebesar 173 juta kasus dengan prevalensi tertinggi di Ethiopia,
Nigeria, Kongo dan Afrika Selatan. Di negara Amerika Latin sebesar
84 juta kasus, prevalensi tertinggi berada di Brazil, Mexico,
Guatemala dan Argentina. Peringkat tertinggi jumlah kasus Askariasis
sebesar 313 juta kasus terdapat di Asia, prevalensi tertinggi di
Indonesia, Cina, Philipina dan Myanmar (Rohani & Semiarti, 2017).
24
c. Etiologi
Infeksi Cacing Ascaris lumbricoides (Rohani & Semiarti, 2017).
d. Manifestasi Klinis
Sakit perut yang parah, diare, demam, dehidrasi, dan muntah (Putra,
2010)
e. Patogenesis
Cacing ini keluar bersama dengan tinja penderita. Jika telur
cacing dibuahi jatuh di tanah yang lembab dan suhunya optimal, telur
akan berkembang menjadi telur yang infektif yang mengandung larva
cacing. Untuk menjadi infektif diperlukan pematangan di tanah yang
lembab dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30°C.
Bentuk ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus
halus, khusunya pada bagian usus halus bagian atas. Dinding telur
akan pecah kemudian larva keluar, menembus dinding usus halus dan
memasuki vena porta hati. Dengan aliran darah vena, larva beredar
menuju dinding paru, lalu menembus dinding kapiler menembus
masuk dalam alveoli, migrasi larva berlangsung selama 15 hari.
Setelah melalui dinding alveoli masuk ke rongga alveolus, lalu naik
ke trachea melalui bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva
menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk,
kemudian tertelan masuk dalam eosofagus menuju ke usus halus,
tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu
kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa.
Migrasi larva cacing dalam darah mencapai organ paru disebut “lung
migration”. Dua bulan sejak masuknya telur infektif melalui mulut
cacing betina mulai mampu bertelur dengan jumlah produksi telurnya
encapai 300.000 butir perhari. (Putra, 2010)
25
f. Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan tinja
b) Pemeriksaan sputum
c) USG (Rohani & Semiarti, 2017)
g. Tata Laksana
a) Mebendazol, obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan
toleransi hospes yang baik. Diberikan satu tablet (100 mg) dua
kali sehari selama tiga hari, talpa melihat umur, dengao
menggunakan obat ini sudah dilaporkan beberapa kasus terjadi
migrasi ektopik.
b) Pirantel Pamoat, dosis tunggal sebesar 10 mg/kg berat badan
adalah efektif untuk menyernbuhkan kasus lebih dari 90 %. Gqala
sampingan, bila ada adalah rirgan dan obat ini biasanya dapat
diterima. Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif
terhadap cacing kremi dan cacing tambang. Obat berspektmm
luas ini berguna di daerah edemik dimana infeksi multipel
berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa.
c) Lwamisol Hidroklorida merupakan obat anti-askaris yang paling
efektif yang msnyebabkan ketunpuhan cacing dengan oepat. Obat
ini diberikan dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk orang
dewasa da.r 50 mg untuk orang dengao berat badan.
d) Garam Piperazin, obat ini dipakai secam luas, karena mwah dan
efektif, juga untuk Enterobius verrnicularis, tetapi tidak terhadap
oacing tambang. Piperazin sitrat diberikan dalarn dosis tunggal
sebesar 30 ml (5 ml adalah ekuivalen dengan 750 mg piperazin).
Reaksi sampingan lebih sering daripada pirantel pamoat dan
mebendazol. (Putra, 2010)
26
h. Edukasi
2. Enterobiasis
a. Definisi
Enterobiasis adalah infeksi usus pada manusia yang
disebabkan oleh parasit cacing Enterobius vermicularis. Enterobiasis
merupakan infeksi cacing terbesar dan sangat luas dibandingkan
dengan infeksi cacing lainnya (Hayati & dkk, 2019). Enterobiasis
atau oxyuriasisadalah penyakit akibat infeksi cacing Enterobiosis
vermicularis atau Oxyuris vermicularis yang terutama menyerang
anak-anak, dimana cacing Enterobiosis vermicularistumbuh dan
berkembang di dalam usus (Anjarsari, 2018).
b. Epidemiologi
Hasil survei Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan &
PPM Kementerian Kesehatan, saat ini anak Indonesia yang
menderita penyakit kecacingan angkanya rata-rata berada di
kisaran 30% (Hayati & dkk, 2019). Penyakit ini ditemukan
kosmopolit dan tersebar luas di seluruh dunia baik di negara maju
maupun negara berkembang dan Indonesia merupakan negara
berkembang yang terdapat kejadian enterobiasis menjadi salah satu
penyebab kecacingan yang paling sering menyerang pada
27
anak–anak. Prevalensi enterobiasis cenderung lebih tinggi pada anak
usia 6-8 tahun dan masih menjadi masalah kesehatan yang penting
pada anak-anak usia sekolah dasar (Anjarsari, 2018).
c. Etiologi
Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Hayati & dkk, 2019).
d. Manifestasi Klinis
Gejala utama enterobiasisadalah iritasi di sekitar perianal yang
menyebabkan penderita sering menggaruk (anus/vagina)
sehingga terjadi luka, gangguan tidur berupa mimpi buruk,
enuresis, gigi menggertak, penurunan nafsu makan, cepat
tersinggung dan marah, terjadi insomnia, gelisah dan berakhir
dengan melakukan masturbasi, infeksi berat pada wanita dapat
menyebabkan keluarnya cairan mukoid dari vagina, uterus dan tuba
fallopi (Anjarsari, 2018).
e. Patogenesis
28
dikeluarkan bersama tinja. Cacing betina yanggravid umumnya pada
malam hari akan turun ke bagianbawah kolon dan keluar melalui
anus. Telur akandiletakkan di perianal dan di kulit perineum,
kadang-kadang cacing betina dapat bermigrasi ke vagina.
Diperkirakan setelah meletakkan telur, cacing betinakembali ke
dalam usus (Mayasari & dkk, 2016).
Telur tidak berembrio yang dihasilkan cacing dewasa akan
bergerak ke arah kaudal sampai daerah perianal dan telur menetap di
sana. Bila lingkungan kondusif, maka telur akan segera menjadi matur
(berembrio) dalam waktu 6 jam. Telur yang infeksius ini bisa terbawa
debu, menempel pada benda-benda yang bersentuhan dengannya, atau
menetap di perianal sampai menetas. Bila telur menetas di daerah
perianal, larva akan masuk lagi ke dalam tubuh melalui anus terus naik
lagi sampai caecum dan tumbuh menjadi dewasa (retrofeksi). Bila
tertelan di dalam duodenum, telur menetas menjadi larva, tanpa
melalui siklus paru, larva menuju usus kecil, tumbuh di vili dan kripta
usus untuk sementara waktu, kemudian tumbuh menjadi dewasa di
dalam mukosa caecum (Makalah, 2016).
f. Penegakkan Diagnosis
Enterobius vermicularis tidak seperti nematoda ususlainnya,
telur cacing jarang ditemukan di feses danhanya dapat mendeteksi
telur berkisar 10%-15%pasien yang terinfeksi pada pemeriksaan
feses rutin. Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjuk-
kan rasa gatal di sekitar anus pada malam hari. Diagnosis pasti
dapat ditegakkan dengan melihat anussi anak pada malam hari dan
menemukan cacingdewasa yang sedang keluar untuk bertelur. Anal
swabmerupakan metode terbaik dalam mendiagnosisenterobiasis.
Telur cacing diambil dengan metodeanal swab atau cellophane
swab yang ditempelkan disekitar anus pada pagi hari sebelum
anak buang airbesar. Infeksi cacing E. vermicularis sering
29
terjadipada beberapa anggota keluarga, maka sebaiknyaseluruh
anggota keluarga juga turut diperiksa (Mayasari & dkk, 2016).
Anal swab adalah prosedur pengambilan spesimen dengan
mempergunakan alat dari batang gelas atauspatel lidah yang pada
ujungnya diletakkan cellophane tape transparan dengan panjang ± 6
cm. Cellophanetape ditempelkan di daerah sekitar anus, maka telur
cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian cellophane
tape diratakan pada bahan kaca dan dibubuhi sedikit toluol lalu
diperiksa di bawah mikroskop, untuk mencari telur cacing E.
vermicularis. Pemeriksaan ulangan dapat meningkatkan deteksi
telur, satu kali pemeriksaan dapat mendeteksi 50%infeksi, tiga
kali pemeriksaan 90%, dan lima kalipemeriksaan 99%. Hasil
pemeriksaan anal swab yang negatif sebanyak enam kali berturut-
turut pada hariyang berbeda dapat menyingkirkan diagnosis
(Mayasari & dkk, 2016)
g. Tata Laksana
Enterobius vermicularis rentan terhadap sejumlah obat cacing,
dengan keberhasilan pengobatan >90%. Pirantel pamoate,
mebendazole,dan albendazole memiliki efektivitas tinggi dalam
mengobati infeksi cacing E. vermicularis. Albendazole diberikan
dengan dosis 400 mg per oral, tunggal padaanak >2 tahun. Anak yang
berumur <2 tahun diberikan100 mg. Sedangkan dari mebendazole 100
mg per oraldosis tunggal dan pirantel pamoate dosis 10 mg/kgBB.
Keseluruhan obat jika diperlukan dapat diulangi 2-4minggu
kemudian (Mayasari & dkk, 2016)
Pirantel pamoate merupakan terapi pilihan selain albendazole
dan mebendazole, bekerja dengan caramenghambat depolarisasi
neuromuskular, menghambat kolinesterase, dan menyebabkan
paralisisspastik pada cacing. Untuk kasus enterobiasis sebaiknya
pengobatan diulang setelah interval waktu 2 minggu. Namun, pirantel
30
pamoate yang diberikan dalam dosis tunggal tidak efektif terhadap
stadium muda cacing (Mayasari & dkk, 2016)
h. Edukasi
Penyuluhan mengenai kebersihan pribadi sangat menunjang
keberhasilan pengobatan. Anak yang terinfeksi sebaiknya tidur
memakai celana panjangsupaya alas kasur tidak terkontaminasi
dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Makanan
hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung
parasit. Pakaian dan alas kasurhendaknya dicuci bersih setiap hari.
Hal ini merupakan cara yang bermanfaat untuk
membatasipenularan telur (Mayasari & dkk, 2016)
3. Ankilostomiasis
a. Definisi
Penyakit cacing tambang manusia adalah infeksi cacing biasa
yang sebagian besar disebabkan oleh parasit nematoda Necator
americanus danAncylostoma duodenale; organisme yang memainkan
peran lebih rendah termasuk Ancylostoma ceylonicum, Ancylostoma
braziliense, dan Ancylostoma caninum. Kedua spesies (Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale) termasuk dalam ordo
Panagrolaimida dan superfamili Strongyloidea (jangan dirancukan
dengan Strongyloidoidea) dan keluarga Ancylostomatidae.
Anggotanya disebut “bursa nematoda” karenaadanya aparatussistem
reproduksijantan yang memiliki bursacopulatrix (Rizqiani, 2019).
b. Epidemiologi
Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun
2002-2006 secara berturut-turut adalah sebesar 33,3%; 33,0%; 46,8%;
28,4% dan 32,6%, sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang
31
secara berturutan pada tahun 2002 –2006 sebesar 2,4%; 0,6%; 5,1%;
1,6% dan 1,0%. (Norra & dkk, 2016).
Insidens tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia, terutama di
daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja
perkebunan. Sering kali pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva ialah tanah gembru dengan suhu optimum untuk
N. americanus 28-320C, sedangkan untuk A.duodenale lebih rendah
dari 25-250 C. pada umumnya A.duodenale lebih kuat.
Untukmenghindari infeksi, antara lain dengan memakai sandal atau
sepatu.Bentuk infektif dari cacing tersebut adalah larva filarifom.
Setelah cacing tersebut menetas dari telurnya, muncullah larva
rhabditiform yang kemudian akan berkembang menjadi
larvafilariform.Adapun infkesi ini terjadi bila larvafilariform
menembus kulit dan dapat hidurp 7-8 minggu di tanah. Hasil survey
dibeberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60-90% pada
petani usia lanjut didaerah perkebunan yang jauh dari perkotaan
terinfeksi larva filariform (Yunita, 2019).
c. Etiologi
Penyakit cacing tambang yang di sebabkan oleh Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale mempengaruhi sekitar 700
juta orang, dengan N.americanus menjadi spesies dominan
penyebabnya (Norra & dkk, 2016).
d. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit cacing tambang adalah variabel dan
terutama tergantung pada tingkat keparahan infeksi dan diet individu.
Gejala umum adalah kelemahan, kelelahan, dyspneapada ekskresi,
32
palpitasijantung, pucat, ketidaknyamanan epigastriumdan infeksi
berat durasi panjang, keterbelakangan mental dan fisik. Anak-anak
menyimpan parasit inidalam jumlahbesar sering pot-bellied. Suatu
penyimpangan nafsu makan seperti keinginan untuk makan tanah
(geophagy), kayu, arang atau zat abnormal lainnya, yang tidak biasa.
Kasus-kasus lanjutan dengan anemia berat dan hypoproteinemiadapat
menyajikan edemaluas dan kerusakan jantung (Norra & dkk, 2016)
e. Patogenesis
33
dari kaki atau tangan. Beberapa hari setelah penetrasi lokal dermatitis,
yang dikenal sebagai tanah atau embun gatal, berkembang. Kulit
berwarna merah, gatal, dan edema.Dengan infeksi berulang kulit
dapat melepuh. Infeksi piogenik sekunder dapat berkembang di situs-
situs tersebut.Infeksi paru dimulai sekitar 2 minggu kemudian ketika
larva mencapai paru-paru. Pasien batuk dan eosinofilia periferakan
lebih parah dan persisten dengan A.duodenaledari N.americanus.
Larva menembus ke dalam memproduksi perdarahan alveolidengan
mononuklearmenyusup infeksi berat (Norra & dkk, 2016)
Gejala usus dimulai ketika larva mencapai usus kecil. Cacing
tambang menempel pada mukosa usus dan merumput dari situs ke
situs, deta semendan reattachmentdapat menyebabkan perdarahan.
Individu dengan infeksi ringan mengalami sedikit atau tanpa gejala
tetapi individu terinfeksi berat sering mencatat ketidaknyamanan
epigastrium,yang lega dengan pengobatan obat cacing tertentu.
Sembelit atau diare dan keinginan yang kuat untuk makan tanah
(pica)telah dicatat. Anak-anak yang terinfeksi berat sering berperut
buncit.Cacing tambang dewasa adalah mengeluarkan antikoagulan,
seperti faktor Xa inhibitorampuh, yang memungkinkan cacing
tambang untuk menelan darah. Konsekuensi paling serius dari infeksi
berat adalah anemia kekurangan zat besi, yang dapat memperparah
pasien yang tidak diobati. Anemia berat dapat di tandai dengan
kelesuan.Pada penyakit lanjut, kadar hemoglobindarah bisa turun
sampai 1 g/100 ml. Infeksi besar dapat menyebabkan kelelahan,
koma, dan kematian, terutama pada bayi.Infeksi berat kronis
menyebabkan kekurangan gizi, hypoproteinemia, dan anemia. (Norra
& dkk, 2016)
Siklus hidup dua spesies ini pada dasarnya identik oleh karena itu
mereka akan dipertimbangkan bersama-sama. Cacing tambang
dewasa hidup menempel pada mukosa dari usus kecil.
Betinamembebaskan telur ke dalam lumen yang dieliminasi dengan
34
tinja pada dua sampai delapan tahap bersel belahan dada.Telur
Necatorbiasanya agak lebih lama dibandingkan Ancylostoma.Telur
yang tetap dalam kotoran murni berkembang secara perlahan. Dalam
kondisi optimum pengenceran, kelembaban dan suhu, namun, mereka
menetas dalam waktu 24 hingga 48 jam, masing-masing
membebaskan larva rhabditiform. (Norra & dkk, 2016)
f. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis di tegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
segar. Dalam tinja yang lama mungkin di temukan larva. Untuk
membedakan spesies N.americansdan A.duodenaledapat di lakukan
biakan tinja misalnya dengan cara Harada-mori.Penyakit cacing
tambang klinis harus dibedakan dari beri-beri, nefritiskronis, malaria,
dan anemia karena penyebab lain. Diagnosis biasanya dibuat dengan
menemukan telur yang khas dalam tinja. Telur dari A.duodenaledan
N.americanustidak bisa dibedakan. Merekamempunyai ukuran besar
(35-47μmsampai 55-75 μm),oval, dengan kulit tipis halus, dan
biasanya dalam tahap empat atau delapan sel.Pada individu sembelit,
larva tahap pertama dapat berkembang dalam telur saat masih dalam
lumen usus inang. Jika sampel tinja disimpan pada suhu kamar selama
24 jamatau lebih sebelum pemeriksaan, tahap pertamarhabditoidlarva
dapat menetas, yang harus dibedakan dari Strongyloidesdan
Trichostrongylus. Cacing tambang rhabditoidlarva ukuran 250-300
μm x15-20 μmdan memiliki kapsul bukal,ujung posteriorlebih tajam,
dan primordium genital jauh lebih kecil daripada S.stercoralis. Larva
Rhabditoidspesies Trichostrongylusmemiliki kapsul bukalpanjang,
ujung ekor bulat, dan menit primordial genital. Larva filariformcacing
tambang adalah jauh lebih besar (35-850 μm) dibandingkan larva
rhabditoid. (Norra & dkk, 2016)
35
g. Tata Laksana
Obat antelminthic (obat yang membersihkan tubuh dari cacing
parasit), seperti albendazole dan mebendazole, adalah obat pilihan
untuk pengobatan infeksi cacing tambang. Sebagian besar kasus
penyakit cacing tambang klasik dapat ditangani secara rawat jalan
dengan terapi anthelmintik dan zat besi, dilengkapi dengan diet yang
tepat. Infeksi pada umumnya dirawat selama 1-3 hari. Obat yang
direkomendasikan efektif dan tampaknya memiliki sedikit efek
samping. Untuk pasien dengan larva migrans kulit yang memiliki
gejala minimal, pengobatan anthelmintik tertentu mungkin tidak
diperlukan. (Rizqiani, 2019)
h. Edukasi
Di daerah endemis cacing tambang sering mengalami
reinfeksi.Infeksi baru maupun reinfeksi dapat dicegah dengan
memberikan obat cacing kepada penderita dan sebaiknya juga
dilakukan pengobatan masal pada seluruh penduduk didaerah
endemis.Pendidikan kesehatan diberikan pada penduduk di daerah
endemis. Pendidikan kesehatan diberikan pada penduduk untuk
membuat jamban pembuangan tinja (WC) yang baik untuk mencegah
pencemaran tanah, dan jika berjalan di tanah selalu menggunakan alas
kaki untuk mencegah terjadinya infeksi pada kulit oleh larva
filariformcacing tambang (Sumiati & dkk, 2018).
36
No. Gejala Cacing Cacing kremi Cacing
gelang tambang
1 Anak berusia 5 tahun ++ ++ +
(lebih banyak (usia 5-9 (lebih banyak
terjadi pada tahun) pada anak usia
anak usia 5-9 praskolah dan
tahun) sekolah)
2 Keluar cacing + + -
(ditemukan (ditemukan (hanya
cacing pada cacing pada ditemukan
feses) feses) larva dan telur
feses)
3 Frekuensi BAB 5-10 + + +
kali (Diare) (Diare) (Diare)
4 BAB encer sejak 3 hari + + +
yang lalu (Diare) (Diare) (Diare)
5 Keluhan disertai nyeri + + +
perut
6 Anak tampak lesu dan + + +
lemas
7 Nafsu makan menurun + + +
I. Pencegahan Kecacingan
1. Upaya pencegahan primer
Pencegahan cacing Soil Transmitted Helminths (STH) ini dapat
dilakukan dengan memutuskan rantai daur hidup dengan cara berdefikasi
di kakus, menjaga kebersihan, cukup air di kakus, mandi dan cuci tangan
secara teratur. Melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat
mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan personal higiene serta cara
menghindari infeksi cacing seperti tidak membuang tinja di tanah, tidak
37
menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman, membiasakan mencuci tangan
sebelum makan, membiasakan menggunting kuku secara teratur,
membiasakan diri buang air besar di jamban, membiasakan diri mencuci
tangan dengan sabun sehabis buang air besar, membiasakan diri memakai
alas kaki bila keluar rumah, membiasakan diri mencuci semua makanan
lalapan mentah dengan air yang bersih (Suriani & dkk, 2019)
2. Upaya pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder cacing Soil Transmitted Helminths (STH) ini
dapat dilakukan dengan memeriksakan feses secara teratur ke Puskesmas,
Rumah Sakit serta menganjurkan makan obat cacing 6 bulan sekali
khususnya masyarakat yang rentan terinfeksi cacing (Suriani & dkk,
2020).
38
thayyib. Jika kata pertama halal berhubungan dengan hokum syar’I maka kata
kedua thayyib berhubungan dengan medis (medicine). Kedua kata tersebut
memiliki timbangan masing-masing, namun saling terkait satu sama lain dalam
implementsinya. (Nuraini, 2018)
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seruan kehalalan makanan dan
minuman pada ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia apakah ia beriman
kepada Allah atau tidak, namun demikian, tidak semua makanan dan minuman
yang halal otomatis baik karena yang halal terdiri dari empat macam yaitu:
wajib, Sunnah, Mubah dan Makruh. Selanjutnya, tidak semua yang halal sesuai
dengan kondisi masing-masing. Ada halal yang baik untuk si A yang memiliki
kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walau
baik buat yang lain. Ada makanan yang baik tetapi tidak bergizi, dan ketika itu
menjadi kurang baik. Karena itu, M. Quraish Shihab yang dianjurkan adalah
makanan dan minuman yang halal lagi baik (Nuraini, 2018)
Dari penafsiran mufassir di atas dapat dipahami bahwa anjuran itu tentang
makanan dan minuman yang halal lagi baik pada ayat 168-171 surah al-
Baqarah ini mengandung ajaran kepada seluruh ummat manusia di bumi ini tak
terkecuali non muslim, makanan yang halal adalah seluruh makanan yang tidak
diharamkan Allah sedangkan yang baik adalah makanan dan minuman yang
mengandung gizi yang baik itu untuk seseorang. (Nuraini, 2018)
39
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Infeksi cacing usus merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuknya
cacing usus ke dalam tubuh manusia. Infeksi ini disebabkan oleh Soil
Transmitted Helminths (STH) spesies Ascaris lumbricoides, Ancylostoma
duodenale, Necator americanus, dan Trichuris trichiura. Diare adalah buang
air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandung air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau
200 ml/24 jam. Menurut Departemen Kesehatan, prevalensi angka kecacingan
di Indonesia adalah 28%. Gejala salah satu dari cacingan yaitu diare dan
keluarnya cacing dari feses. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengna
menjaga kebersihan.
B. Saran
Sebaiknya mahasiswa lebih aktif lagi dalam ruang PBL, dan paham
dengan yang dibahas. Materi yang didapatkan harus dari sumber yang
terpercaya.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bisara, D., & M, M. (2014). Kasus Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di
Kecamatan Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan Tahun
2010. Indonesian Journal of Health Ecology, 1(3), 255-264.
Elfred, H. a., & Suwarno. (2016). Gambaran Basofil, TNF-α dan IL-9 Pada Petani
Terinfeksi STH di Kabupaten Kediri. Jurnal Biosains Pascasarjana
Universitas Airlangga, 18, 220-243.
Hayati, & dkk. (2019). Gambaran Tingkat Pengetahuan Orang Tua Siswa Slb
Darma Praja Banjarmasin Tentang Gejala dan Penularan Infeksi Cacing
Kremi (Enterobius Vermicularis). Jurnal Berkala Kesehatan.
Herbowo, A. F. (2003). Diare Akibat Infeksi Parasit Diare Akibat Infeksi Parasit.
Parasit. Sari Pediatri, 4(4), 198-203.
Juffrie, M., & dkk. (2018). Saluran Cerna yang Sehat : Anatomi dan Fisiologi.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
41
Kartini, S., & dkk. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecacingan
pada Anak Usia 1-5 Tahun. Pekanbaru: ResearchGate. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/324121972_Faktor-
Faktor_Yang_berhubungan_dengan_Kejadian_Kecacingan_Pada_Anak_U
sia_1-5_Tahu
Mayasari, S., & dkk. (2016). Enterobiasis pada anak. Sari Pediatri, 314-318.
Norra, W. H., & dkk. (2016). Faktor Risiko Kejadian Infeksi Cacing Tambang pada
Petani Pembibitan Albasia di Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 1(1), 15-24.
Paulsen, F., & J, W. (2010). Sobotta Atlas Anatomi Manusia (23 ed.). Jakarta: EGC.
42
Rizqiani, K. (2019). 1. Kusumasari rizqiani.2019 “Infeksi cacing tambang atau
Hookworm (Cutaneous Larva Migran). Ilmu Parasitologi Kedokteran
Universitas Gajah Mada .
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2013). Organizational Behaviour (15 ed.). New
Jersey: Pearson Education.
Rohani, A., & Semiarti, R. (2017). Hubungan Infeksis Askariasis dengan Status
Sosial Ekonomi pada Murid Sekolah Dasar Negeri 29 Purus. Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(1), 158-163.
Setiati, S., & dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (VI ed.). Jakarta: Internet
Publishing.
Smith, H. M., & dkk. (2017). Prevalence and Intensity of Infection of Ascaris
Lumbricoides and Trichuris Trichiura and Associated Socio-Demographic
Variables in Four Rural Honduran Communities. Mem inst Oswaldo, 96.
Sumiati, & dkk. (2018). Infeksi Kecacingan Pada Anak Usia 8-14 Tahundi Rw 007
Tanjung Lengkong Kelurahan Bidaracina,Jatinegara, Jakarta Timur. Jurnal
Ilmiah Kesehatan, 10(1).
Suriani, & dkk. (2019). Analisis Faktor Penyebab Kejadian Kecacingan pada Anak
Sekolah Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun
2017. Jurnal Kesehatan Andalans.
Suriani, E., & dkk. (2020). Analisis Faktor Penyebab Kejadian Kecacingan pada
Anak Sekolah Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang
Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(4).
Utami, N., & N, L. (2016). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada
Anak. Jurnal Majority, 5(4), 101-106.
43
Yunita, P. (2019). Pemeriksaan Spesies Cacing Tambang (Hookworm)
Denganmetode Pembiakkan Pada Tinja Peladang Kopi Usia 40-60tahun Di
Desa Tiga Runggu Kecamatan Purbakabupaten Simalungun. Jurnal Analis
Laboratorium Medik, 4(1).
44