Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN AWAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

PRAKTIKUM IV : PENYAKIT EPILEPSI

Hari,Tanggal Praktikum : Senin,14 Juni 2021

Oleh
KELOMPOK II / A3D FARMASI KLINIS

Dewa Gede Agung Yogastha M.Y (18021113)


Ni Made Swariyani (18021114)
Ni Putu Intan Sarasmitha Dewi (18021115)
Alma Lystia Savitri Mahayasa (18021116)
Made Floreta Asri Sanjiwati (18021117)
Ni Kadek Indira Indrayani (18021118)
Putu Sanitha Jayanti (18021119)

Dosen Pengampu: Putu Prayascittadevi Empuadji , S.Farm., M.Sc., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
PRAKTIKUM IV
PENYAKIT EPILEPSI

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi epilepsi
2. Mengetahui klasifikasi epilepsi.
3. Mengetahui patofisiologi epilepsi.
4. Mengetahui tatalaksana epilepsi (Farmakologi dan Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait epilepsi secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih
dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi,
tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma otak
(Soetomenggolo, 1999; Panayiotopoulos, 2005).
Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukan gejala-gejala
berupa serangan yang berulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja
sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel otak (WHO, 2006).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-berulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel syaraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi.
Serangan ialah sutau gejala timbulnya tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba
(Mansjoer, 2000).
Menurut Harsono (2007), istilah epilepsi tidak dapat digunakan untuk
bangkitan yang hanya terjadi sekali saja, bangkitan yang terjadi selama penyakit
akut berlangsung dan occasional provoked seizures misalnya bangkitan yang
terjadi pada hipoglikemia. Pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal, banyak faktor
yang dapat mencederai sel-sel syaraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak.

2.2 Klasifikasi Epilepsi


Klasifikasi epilepsy dibagi menjadi berdasarkan serangan kejangnya,
yaitu:
1. Partial Seizures (focal) yang terdiri atas:
- Simple partial seizures (pasien tidak mengalami penurunan kesadaran)
pada tipe ini ditandai dengan adanya gejala motoric, gejala sensorik, atau
somatosensorik, gejala otonom, dan gejala psikis.
- Complex partial seizure (pasien dengan penurunan kesadaran) pada tipe
ini terdapat dua jenis yaitu pasien yang mengalami penurunan kesadaran
selama proses penanganan dan pasien yang mengalami penurunan
kesadaran dari awal.
- Partial seizure syang berkembang menjadi generalizedseizurespada tipe
ini pasien mengalami epilepsy tipe simple partial seizures/complex partial
seizures yang diikuti dengan terjadnya generalizedseizures
2. Generalized Seizures (convulsive/nonconvulsive)
Tipe ini diklasifikasin menjadi:
- Absence/lena, terdiri dari tipikal lena dan atipikal lena
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada
mata, dagu dan bibir.
- Myoclonic
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas,
atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
- Tonic
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala
ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi
pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata
terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi.
- Clonic
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot.
- Tonic-clonic
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian
diikuti oleh gerakan klonik.
- Atonic
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala
jatuh kedepan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga
pasien terjatuh.
3. Unclassified Epileptic Seizures
Pada tipe ini didapatkan adanya gejala prodromal epilepsi, dimana
terjadi perubahan mood dan lekas marah beberapa jam sampai hari sebelum
terjadinya kejang. Namun, data penunjang dari tipe ini tidak lengkap sehingga
tidak dapat dikelompokkan sesuai dengan kategori yang ada.
(Gurnett dan Dodson, 2009; Camfield dan Camfield, 2012).

2.3 Tanda dan Gejala Epilepsi


Tanda dan gejala epilepsi tergantung dari klasifikasi yang diderita. Gejala-
gejala yang sering dijumpai pada penderita epilepsi dengan serangan sederhana,
antara lain:
1. Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
2. Bersifat stereopatik (sama)
3. Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)
4. Kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut)
5. Berkeringat dingin
6. Denyut jantung (nafas) cepat
7. Terjadi pada usia 11-13 tahun
8. Berlangsung sekitar 31-60 detik
Sedangkan pada serangan parsial kompleks terjadi penurunan
kesadaran. Serangan epilepsy umum dimulai dari hilangnya kesadaran,
kemudian diikuti dengan gejala lainnya yang bervariasi yang dibedakan oleh
ada atau tidaknya motoric yang khas (Repindo, 2017).

2.4 Faktor Resiko


Kejang terjadi karena sekelompok neuron kortikal keluar secara abnormal
dalam sinkron. Ada ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan epilepsi, dari
mutasi genetik hingga cedera otak traumatis. Suatu predisposisi genetik terhadap
kejang telah diamati dalam banyak bentuk epilepsi umum primer. Pasien dengan
retardasi mental, cerebral palsy, cedera kepala, atau stroke berisiko lebih tinggi
untuk kejang dan epilepsi. Semakin dalam tingkat keterbelakangan mental yang
diukur oleh intelligence quotient (IQ), semakin besar insiden epilepsi. Pada orang
tua, kejang terutama dari onset parsial yang terkait dengan cedera saraf fokal yang
disebabkan oleh stroke, gangguan neurodegeneratif (misalnya, penyakit
Alzheimer), dan kondisi lainnya. Dalam beberapa kasus, jika etiologi kejang dapat
ditemukan dan diperbaiki, pasien mungkin tidak memerlukan pengobatan
antiepilepsi kronis (AED) (Dipiro, 2009).
Etiologi epilepsi dapat dibagi atas dua kelompok (Dipiro, 2009):
a. Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang faktor penyebabnya tidak diketahui.
Kurang lebih 65% dari seluruh kasus epilepsi merupakan epilepsi idiopatik
dan terjadi pada 50% kasus epilepsi pada anak, awitan biasanya pada usia
lebih dari 3 tahun.
b. Epilepsi simtomatik, penyebabnya sangat bervariasi bergantung pada usia
awitan. Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia:
1) Kelompok usia 0-6 bulan
a) Kelainan intra-uterin, dapat disebabkan oleh gangguan migrasi dan
diferensiasi sel neuron.
b) Kelainan selama persalinan, berhubungan dengan asfiksia dan
perdarahan intrakranial, biasanya disebabkan oleh kelainan
maternal.
c) Kelainan kongenital, dapat disebabkan oleh kromosom abnormal,
radiasi, obat-obat teratogenik, infeksi intrapartum oleh toksoplasma,
sitomegalovirus, rubella dan treponema.
d) Gangguan metabolik, misalnya hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia, dan defisiensi piridoksin.
e) Infeksi susunan saraf pusat, misalnya meningitis, ensefalitis, atau
timbul kemudian sebagai akibat dari pembentukan jaringan parut
dan hidrosefalus pasca infeksi.

2) Kelompok usia 6 bulan-3 tahun


Selain penyebab yang sama dengan kelompok usia 0-6 bulan, pada
usia ini dapat juga disebabkan oleh kejang demam yang biasanya
dimulai pada usia 6 bulan, terutama pada golongan kejang demam
komplikasi. Cedera kepala merupakan faktor penyebab lainnya, dan
walaupun kejadiannya lebih ringan kemungkinan terjadi epilepsi lebih
tinggi dari orang dewasa. Gangguan metabolism sama dengan
kelompok usia sebelumnya. Keracunan timah hitam dan logam berat
lainnya misalnya thalium, arsen dan air raksa dapat menimbulkan
epilepsi.
3) Kelompok anak-anak sampai remaja
Pada kelompok ini disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit
dan abses otak yang frekuensinya sampai 32% yang meningkat setelah
operasi.
4) Kelompok usia muda
Cedera kepala merupakan penyebab tersering, disusul oleh tumor
otak dan infeksi.
5) Kelompok usia lanjut
Gangguan pembuluh darah otak merupakan penyebab tersering
pada usia 50 tahun mencapai 50% diikuti trauma, tumor dan degenerasi
serebral
(Nesbitt, 2012).
2.5 Data Laboratorium
a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis, penentuan
jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan perlu/ tidaknya
pemberian OAE. Elektroensefalografi (EEG) melengkapi bukti diagnostik
dalam proporsi substansial dari pasien epilepsy dan membantu dalam
mengklasifikasikan tipe kejang. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Kadang-kadang rekaman EEG dapat menentukan focus serta jenis epilepsi,
apakah fokal, multifocal, kortikal, subkortikal, misalnya “Petit Mall”.
Spasme infantile mempunyai gambaran hipsaritmia. Akan tetapi 8-12%
penderita epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal. Gambaran
normal EEG pada neonatus biasanya menunjukan gelombang bervoltase
lebih rendah dengan frekuensi 3-5 cps, kurang teratur dan sinkron. Pada
epilepsi EEG dapat membantu kita menegakan diagnosis serta menentukan
jenis serta fokusnya, dengan demikian dapat membantu kita memilh obat
yang cocok (misal hipsaritmia dengan kortikosteroid, petit mal dengan
dilantin, luminal) (L. Wong. Dona, 2003).
b. Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara non-invasif,
seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT),
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dan Computed Tomography (CT) Scanning. Pemeriksaan CT scan
digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebro
vascular abnormal, dan perubahan degenerative serebral. Pemindaian CT
digunakan mendeksi perbedaan kerapatan jaringan yang sering terjadi pada
klien dengan epilepsy (Chen, 2005).
c). Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan labolatorium meliputi: Pemeriksaan darah tepi rutin, kadar
gula darah dan elektrolit sesuai indikasi, pemeriksaan cairan serebrospinal.
Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada anak dilakukan untuk mendeteksi
adanya infeksi yang merupakan salah satu penyebab dari epilepsi. Hitung
darah lengkap dilakukan pada klien dengan trauma kepala karena dapat
terjadi peningkatan atau penurunan yang mencolok pada jumlah hematokrit
dan trombosit. Elektrolit seperti Ca total, dan magnesium serum sering kali
diperiksa pada saat pertama kali terjadi serangan kejang karena akan terdapat
perubahan pada jumlah elektrolit tersebut., uji glukosa biasa dilakukan pada
bayi dan anak kecil yang mengalami epilepsi untuk mendeteksi adanya
hipoglikemia yang biasanya terjadi (Chen, 2005).
(1). Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu
acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE, 2
bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE,
rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
(2). Pemeriksaan kadar OAE
Dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
(L. Wong. Dona, 2003)
2.6 Patofisiologi Epilepsi
Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat
tertinggi otak. Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan
listrik dan kimiawi. Terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan
eksitasi dan inhibisi dari aktivitas listrik (Sankar dkk., 2005; Rho dan Stafstron,
2012 ). Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya
eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian terjadi
lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron
dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas muatan listrik
pada sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam sekelompok neuron
serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena ketidakseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan neural (Christensen
dkk., 2007; Kleigman, 2005).
Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh
karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi
berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Luaran
sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem
neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang
berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, akan tetapi tidak
cukup untuk mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga timbul kejang
(Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja, 2004).
Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan
molekul-molekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya
saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory
Postsynaptic Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya
permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya menyebabkan
hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi
dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti pada Tabel. Tabel 1 Keseimbangan
antar eksitasi dan inhibisi (Sumber: Dikutip dari Kumpulam Makalah
Epilepsi Pertemuan Nasional-1).

Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromodulator,


akan tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan paling banyak diselidiki
untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada
susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua
struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan
fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang (Rho dan Stafstron, 2012;
Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005).
Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B, dan GABA-C. Secara
tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi potensi postsinaptik
(IPSPs) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A. Pengikatan GABA pada
reseptor GABA-A membuka saluran klorida. Masuknya ion klorida
mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan selanjutnya mengadakan hambatan
dengan cara menurunkan hambatan (resistensi) membran. Sedangkan reseptor
GABA-B menghasilkan hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama,
dinamakan IPSP lambat atau potensial hiperpolarisasi lambat. Pada tahap
inhibisi ini adalah potensial non sinaptik dinamakan calcium-activated
potassium. Arus yang mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium
ke dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium ke luar.
Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B berguna untuk strategi
menghambat bangkitan yang berlangsung lama (Sankar dkk., 2006; Rho dan
Stafstron, 2012).

2.7 Tatalaksana Terapi Parkinson


Tujuan akhir pengobatan epilepsi adalah untuk mengurangi kejang dan
meminimalkan efek samping terapi dengan ditandai kualitas hidup yang optimal.
Kualitas hidup yang baik dikaitkan dengan keadaan bebas dari kejang. Seringkali,
keseimbangan antara efikasi dan efek samping harus dicapai karena dengan AED
yang lebih lama digunakan sebagai monoterapi, kurang dari 50% pasien menjadi
bebas kejang. Penting juga untuk mengenali bahwa pasien dengan epilepsi dapat
memiliki komorbid neuropsikiatri yang lainseperti depresi, kecemasan, dan
gangguan tidur yang membutuhkan perawatan. Depresi sangat penting untuk
diawasi karena terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup
pada pasien dengan epilepsi yang resistan terhadap pengobatan (Dipiro, 2009).
a. Terapi Farmakologi
Pemilihan obat farmakoterapi yang efektif adalah mendasarkan
keputusan pada jenis kejang. Pedoman membuat rekomendasi untuk obat-
obatan tertentu untuk digunakan dalam jenis kejang tertentu, rekomendasi
konsensus hanya menggunakan data berkualitas tinggi yang tersedia dari
literatur medis. Dalam banyak kasus, rekomendasi tidak dibuat karena
kurangnya data yang memadai untuk keputusan berbasis bukti. Oleh karena
itu, obat mungkin tidak muncul dalam pedoman karena data yang tersedia
tidak mencukupi pada saat pedoman dikembangkan.
Terapi obat antiepilepsi biasanya harus dimulai dengan hati-hati
menggunakan jadwal titrasi untuk meminimalkan efek samping. Dosis target
moderat dipilih sampai respons pasien dapat dievaluasi lebih lanjut di klinik.
Jika kejang berlanjut, dosis ditingkatkan secara bertahap sampai pasien
menjadi bebas kejang atau efek buruk muncul. Pengobatan kejang refrakter
(yaitu, tidak responsif terhadap setidaknya dua AED lini pertama) agak
berbeda. Kombinasi obat-obatan mungkin berguna pada pasien dengan
kejang yang sulit dikendalikan (Burns, M.A., et al., 2016).

Gambar 1. Algoritma Pengobatan Kejang (Burns, M.A., et al., 2016)


Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi
Jenis OAE sangat tergantung pada sifat serangan epilepsi, termasuk
jenis epilepsi fokal atau umum. Obat anti epilepsi telah diklasifikasikan
kedalam 5 kelompok kimiawi yaitu barbiturat, hidantoin, oksazolidindion,
suksinimid danasetilurea (Ganiswara et al. 2002; Oktaviana dan Fitri, 2008;
Levy et al. 1995)
a) Golongan hidantoin
Pada golongan ini terdapat 3 senyawa yaitu Fenitoin, mefentoin dan
etotoin, dari ketiga jenis itu yang sering digunakan adalah Fenitoin dan
digunakan untuk semua jenis bangkitan kecuali bangkitan Lena.
b) Golongan barbiturat
Golongan obat ini sebagai hipnotik-sedatif dan efektif sebagai
antikonvulsi yang sering digunakan adalah barbiturat kerja lama (Long
Acting Barbiturates). Jenis obat golongan ini antara lain fenobarbital dan
primidon, kedua obat ini dapat menekan letupan di fokus epilepsi.
c) Golongan oksazolidindion
Salah satu jenis obatnya adalah trimetadion yang mempunyai efek
memperkuat depresi pasca transmisi sehingga transmisi impuls berurutan
dihambat.
d) Golongan suksinimida
Obat yang sering digunakan di klinik adalah jenis etosuksimid,
metsuksimid dan fensuksimid yang mempunyai efek sama dengan
trimetadion. Etosuksimid merupakan obat pilihan untuk bangkitan lena.
e) Golongan karbamazepin
Obat ini efektif terhadap bangkitan parsial komplek dan bangkitan
tonik klonik dan merupakan obat pilihan pertama di Amerika Serikat untuk
mengatasi semua bangkitan kecuali lena.
f) Golongan benzodiazepine
Salah satu jenisnya adalah diazepam, disamping sebagai anti konvulsi
juga mempunyai efek antiansietas dan merupakan obat pilihan untuk status
epileptikus.

g) Obat - obat generasi kedua


Vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, felbamat, tiagabin, topiramat dan
zonisamida.

Obat Anti-epilepsi (OAE) yang digunakan untuk mengontrol kejang


mungkin tidak perlu diberikan seumur hidup. Polifarmasi dapat dikurangi, dan
beberapa pasien dapat menghentikan OAEsama sekali. Dalam mengurangi
polifarmasi, obat yang dianggap kurang tepat untuk jenis kejang (atau agen
yang dianggap paling bertanggung jawab atas efek buruk) harus dihentikan
terlebih dahulu. Dalam beberapa kasus, mengurangi jumlah OAE yang diterima
pasien dapat menurunkan efek samping dan meningkatkan kemampuan
kognitif. Peningkatan kognisi ini mungkin kecil, terutama jika pasien
menggunakan obat yang mempengaruhi kecepatan psikomotorik dengan efek
yang lebih kecil pada fungsi kognitif tingkat tinggi.
Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain:
1. Secara klinis: bebas bangkitan selama 2 tahun
2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu sampai dengan 6 bulan)
3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan
kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol
bangkitan.
(Dipiro, 2009).
b. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan oleh keluarga pasien adalah
mengamati faktor pemicu, kemudian menghindari faktor pemicu misalnya
stress, diet ketogenik, mengkonsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal
tidur, terlambat makan, dan lain-lain. Pasien epilepsi anak-anak sebaiknya
disarankan untuk banyak melakukan kegiatan fisik yang sesuai dengan
umur mereka, tidur yang cukup, hindari kekurangan tidur (Shih, 2007).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan koneksi internet
3.2 Bahan
1. Text Book
2. Data nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Riview, Meta Analysis)

IV. KASUS
Nama Pasien : Tn. AR
Umur : 24 Tahun
MRS : 25 September 2017
KRS : 08 Oktober 2017

Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15
menit sekitar jam12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan
terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata
terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh
pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan kepala sisi kanan membentur batu,
bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit,
selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol

Tanda-Tanda Vital : TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T:


38°C

DIAGNOSA SEMENTARA : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial

TERAPI SAAT MRS : IVFD D5% + fenitoin 3 ampul/8jam Ceftriaxone 2x1 ampul
(iv) Paracetamol drip 3x1 Fl. (bila panas)

DIAGNOSA AKHIR : Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik


DAFTAR PUSTAKA

Burns, M.A., et al., 2016. Pharmacotherapy Principle and Practices : Forth Edition.
McGraw-Hill Education

Chen DK, So YT, Fisher RS. 2005. Use of serum prolactin in diagnosing epileptic
seizures: report of the Therapeutics and Technology Assessment
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. Vol.
65:668–75.

Dipiro.JT. 2009. Pharmacoterapy Handbook 7th edition. New York: Mc Graw Hill.

Gurnett, C.A. dan Dodson, W.E., 2009, Definitions and Classification of Epilepsy
dalam Shorvon, S., Perucca, E. dan Engel, J., (Eds.), The Treatment of
Epilepsy, 3th Edition, 3, Wiley-Blackwell, United States of America.

Harsono. 2007. Epilepsi edisi I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

L. Wong. Dona. 2003. Pedoman Medis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

Mansjoer. 2000. Kapita Selekta jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.

Panayiotopoulos, CP. 2005. The Epilepsies Seizure. Syndrome and Management.


London: Blondom Medical Publishing. Pp 1-26.

Repindo, A., Z. Zanariah, dan Oktafany. 2017. Epilepsi Simptomatik Akibat Cidera
Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun. Medula.Vol 7. No. 4. Lampung: Fakultas
Kedokteran

Roth 2018. Status Epilepticus Treatment & Management. Neurologist, Epilepsy and
General Neurology, Comprehensive Epilepsy Program. Available at
https://emedicine.medscape.com/. “Diakses Pada tanggal 17 April 2018”

Shih, T., 2007, Epilepsy and Seizures, dalam Brust, John C., (Ed.), Lange Medical
Book: Current Diagnosis and Treatment in Neurology, 35-62, McGrawHill
Companies, Inc., Amerika.

WHO. 2006. Implementing The New Recoendation on the Clinical Management of


Diarrhea: guidelines for policy maker and forumen. Geneva.
WORKSHEET DISKUSI KASUS EPILEPSI

NAMA KELOMPOK :
1. Dewa Gede Agung Yogastha M.Y (18021113)
2. Ni Made Swariyani (18021114)
3. Ni Putu Intan Sarasmitha Dewi (18021115)
4. Alma Lystia Savitri Mahayasa (18021116)
5. Made Floreta Asri Sanjiwati (18021117)
6. Ni Kadek Indira Indrayani (18021118)
7. Putu Sanitha Jayanti (18021119)

Pertanyaan yang harus didiskusikan dan dijawab.


1. Adakah tambahan informasi (FIR) yang kalian perlukan untuk rencana terapi
pasien?
Jawaban :
1. Apakah kulit penderita berwarna biru saat terjadi kejang? (Untuk
menentukan epilepsi apa yang dimiliki pasien benar tonik klonik)
2. Apakah pasien mendadak terjatuh kemudian kaku dan terjadi kejang berupa
kelonjatan aggota gerak tubuh ? ( Untuk menentukan epilepsi apa yang dimiliki
pasien benar tonik klonik)
3. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit neurologi lain ?
4. Apakah pasien memiliki cidera pada kepala ?
5. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan CT-Scan ? apa pada saat CT-
Scan ditemukan kelainan/lesi structural pada otak ?
6. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan MRI ?
7. Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan EGG?
8. Apakah pasien memiliki gangguan neurologi yang berhubungan dengan
epilepsy maupun tanda-tanda defesit lainnya?
9. Apakah pasien memiliki riwayat penggunaan obat sebelum masuk rumah
sakit?
10. Bagaimana life style pasien (merokok/alkohol/kopi/istirahat tidak teratur?
2. Apakah tujuan terapi dari kasus dibawah ini?
Jawaban :
Untuk mengurangi kejang dan meminimalkan efek samping terapi dengan
ditandai kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup yang baik dikaitkan
dengan keadaan bebas dari kejang.
3. Apakah rencana terapi yang sudah diberikan oleh dokter sudah tepat?
Jawaban :
Kurang tepat, karena dilihat dari efektivitasnya fenitoin memiliki efek obat tidak
optimal, sehingga perlu dilakukan penggantian obat, untuk epilepsi pada tahap
pertama yaitu stabilisasi, standar pertolongan pertama untuk kejang harus
dimulai pada tahap terapi awal, benzodiazepin (khusus midazolam IM,
lorazepam IV, atau diazepam IV) dianjurkan sebagai terapi awal. Untuk lebih
lengkapnya dapat dilihat pada SOAP bagian Planning.
4. Adakah rekomendasi terapi obat pulang untuk kasus Tn.AR? Bila ada, sebutkan
dan berikan alasannya!
Jawaban :
Terapi antiepilepsi yang disarankan untuk dibawa pulang pasien adalah
monoterapi. Monoterapi direkomendasikan untuk pasien dengan epilepsi yang
baru didiagnosis karena 60% pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi akan
bebas bangkitan dengan pemberian OAE tunggal dengan dosis sedang. Terapi yang
disarankan setelah pasien keluar dari RS adalah:
• Fenitoin 300-600 mg/hari per oral.
Alasan memilih OAE adalah dengan menyesuaikan toksisitas atau tonik-klonik
efek samping yang dapat ditoleransi dibandingkan dengan pilihan OAE lainnya
untuk bangkitan tonik-klonik. Pemilihan OAE sangat penting diperhatikan, pasien
sudah mendapatkan terapi fenitoin 3 ampul/8 jam untuk epilepsinya.
5. Bagaimana tatalaksana terapi pada Tn.AR (gunakan metode SOAP)!
Jawaban : Terlampir
6. Hal apa saja yang perlu dimonitoring dari kasus pasien dibawah ini?
Jawaban :
Monitoring Efektivitas obat
1. IVFD D5%
2. Lorazepam bekerja cukup cepat untuk menghentikan kejang dengan cepat.
Ini juga memiliki efek antikonvulsan yang lebih lama. (Beberapa dokter
menganggapnya memenuhi persyaratan untuk gangguan akut SE dan
perlindungan berkepanjangan terhadap kekambuhan). Tidak memiliki
metabolit aktif yang mengganggu
3. Asam valproate sangat efektif untuk kejang abence. Valproate lebih
cenderung digunakan jika pasien kejang absence kemudian menderita
serangan umum tonik-klonik. Valproate menghambat kerja metabolism
beberapa obat seperti fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin sehingga
dapat menyebabkan konsetrasi dalam obat-obat tersebut dalam keadaan
stabil meningkat.
4. Paracetamol merupakan analgesik yang efektif dalam penatalaksanaan
nyeri. Paracetamol memiliki efek analgesik yang tidak berbeda dengan
OAINS maupun opioid serta lebih aman dari efek samping, sehingga
paracetamol menjadi analgesik first line dalam tata laksana nyeri, termasuk
nyeri muskuloskeletal akut.
Monitoring Efek Samping Obat
1. IVFD D5% adalah nyeri dan iritasi pada area suntikan.
2. Efek samping yang umum terjadi pada lorazepam adalah koordinasi yang
buruk, perubahan perilaku, ketidakstabilan, kantuk, kelelahan, kantuk,
penglihatan kabur atau ganda, dan pusing.
3. Efek samping asam valproate bergantung pada dosis dari valproate, yang
umum terjadi biasanya mual, muntah dan keluhan pencernaan lain seperti
nyeri perut dan rasa terbakar di ulu hati. Obat sebaiknya dimulai dengan cara
bertahap agar tidak menjumpai efek samping tersebut.
4. Paracetamol jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi
hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia,
leukopenia, neutropenia), hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING:
Penggunaan jangka panjang dan dosis berlebihan atau overdosis dapat
menyebabkan kerusakan hati, lihat pengobatan pada keadaan darurat karena
keracunan.

KASUS
Nama Pasien : Tn. AR
Umur : 24 Tahun
MRS : 25 September 2017
KRS : 08 Oktober 2017

Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15
menit sekitar jam12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan
terguncang naik turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata
terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh
pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan kepala sisi kanan membentur batu,
bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit,
selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol

Tanda-Tanda Vital : TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T:


38°C

DIAGNOSA SEMENTARA : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial

TERAPI SAAT MRS : IVFD D5% + fenitoin 3 ampul/8jam Ceftriaxone 2x1 ampul
(iv) Paracetamol drip 3x1 Fl. (bila panas)

DIAGNOSA AKHIR : Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik


SOAP
PM Subjektif Objektif Terapi FIR DRP
(Problem
Medik)
Epilepsi Kejang,tangan Jenis kelamin : Fenitoin 1. Apakah kulit penderita M1.2 Efek Obat Tidak Optimal
3ampul/8jam
pasien mengepal laki-laki berwarna biru saat terjadi kejang? P1.1 Pemilihan obat tidak tepat
dan terguncang Usia : 24 tahun (Untuk menentukan epilepsi apa EBM
naik turun, kaki TKD : 110/70 yang dimiliki pasien benar tonik A comparison of four treatments for
juga terguncang mmHg klonik) generalized convulsive status
naik turun, mata Nadi : 80 x/menit 2. Apakah pasien mendadak epilepticus. Veterans Affairs Status
terbelakak,mulut Suhu : 30oC terjatuh kemudian kaku dan Epilepticus Cooperative Study Group
tidak RR : 20 terjadi kejang berupa kelonjatan P : Tiga ratus delapan puluh empat
berbusa,lidah x/menit aggota gerak tubuh ? ( Untuk pasien memiliki diagnosis
tidak tergigit menentukan epilepsi apa yang terverifikasi status epileptikus kejang
saat kejang, saat dimiliki pasien benar tonik klonik) umum yang jelas
kejang terjadi 3. Apakah pasien memiliki riwayat I : Lorazepam (0,1 mg per kilogram)
pasien terjatuh penyakit neurologi lain ? C : Diazepam (0,15 mg per kilogram
pada sisi tubuh 4. Apakah pasien memiliki cidera berat badan) diikuti oleh fenitoin (18
sebelah kanan pada kepala ? mg per kilogram), lorazepam (0,1 mg
dengan bibir 5. Apakah pasien sudah per kilogram), fenobarbital (15) mg
dan kepala sisi melakukan pemeriksaan CT-Scan per kilogram), dan fenitoin (18 mg per
kanan ? apa pada saat CT-Scan kilogram).
membentur ditemukan kelainan/lesi structural O : Lorazepam secara signifikan lebih
batu, bibir luka pada otak ? unggul dari fenitoin dalam
sebesar 1 cm, 6. Apakah pasien sudah perbandingan berpasangan (P = 0,002)
Kejang terjadi melakukan pemeriksaan MRI ? sebagai pengobatan intravena awal
3x sekitar 15 7. Apakah pasien sudah untuk status epileptikus kejang umum
menit, selama melakukan pemeriksaan EGG?
masa kejang 8. Apakah pasien memiliki
pasien tidak gangguan neurologi yang
sadarkan diri. berhubungan dengan epilepsy Tidak ada DRP
maupun tanda-tanda defesit
IV FD D5%
lainnya? M1.4 Ada indikasi yang tidak diterapi
9. Apakah pasien memiliki riwayat P1.5 Ada indikasi tetapi obat tidak
penggunaan obat sebelum masuk diresepkan
rumah sakit? EBM
10. Bagaimana life style pasien Valproic Acid versus Lamotrigine as
(merokok/alkohol/kopi/istirahat First-line Monotherapy in Newly
tidak teratur? Diagnosed Idiopathic Generalized
Tonic –Clonic Seizures in Adults – A
Randomized Controlled Trial
P : 60 pasien menderita idiopatik
GTCS.
I : Tiga puluh pasien menerima asam
valproat
C : 30 pasien menerima lamotrigin.
Epilepsi -
O : Setelah 12 bulan masa tindak
Bangkitan
Umum Type lanjut, 76,67% pasien memakai
Tonic-klonic
asam valproat dan 56,67% pasien yang
memakai lamotrigin adalah
bebas kejang. Asam valproat lebih
efektif daripada lamotrigin
obat lini pertama dalam pengobatan
orang dewasa dengan yang baru
didiagnosis kejang umum tonik-klonik
idiopatik.

M3.2 Obat tidak diperlukan


P1.2 Tidak ada indikasi penggunaan
Infeksi Ceftriaxone 2x1 obat atau indikasi obat tidak jelas
Intrakranial ampul (iv)
EBM
Pada kasus ini pasien diberikan terapi
dengan ceftriaxone untuk infeksi
intrakranial yang terjadi, sedangkan
infeksi intrakranial merupakan suatu
diagnosa banding/ diagnosa
differential. Menurut Prof. Dr.dr.
Daldiyono diagnosa sementara dan
diagnosa banding digunakan untuk
memperkirakan penyakit yang dialami
oleh pasien. Pemberian terapi
berdasarkan diagnosa banding dan
diagnosa sementara sekaligus tidak
dibenarkan karena tentunya akan
menimbulkan polifarmasi, selain itu
diagnosa akhir pada kasus ini juga
sudah ditentukan.

Tidak ada DRP


Randomized, controlled, multicentre
clinical trial of the antipyretic effect of
Demam Parasetamol drip
3x1 F1 (bila panas) intravenous paracetamol in patients
admitted to hospital with infection
P : Delapan puluh pasien dengan onset
suhu tubuh ≥38,5 ° C dalam 24 jam
sebelumnya karena infeksi
I : 1 g parasetamol (n = 41)
C : Pemberian plasebo (n = 39)
O : Selama 6 jam pertama,
defervesensi dicapai pada 15 (38,5%)
pasien yang diobati dengan plasebo
dibandingkan dengan 33 (80,5%)
pasien diobati dengan parasetamol 1 g
(P <0,0001). Parasetamol 1 g memiliki
efek antipiretik yang cepat dan
berkelanjutan pada demam akibat
infeksi.
EBM :
Thomas et al. 2017. Randomized, controlled, multicentre clinical trial of the antipyretic effect of intravenous paracetamol in patients admitted to hospital
with infection. British Journal of Clinical Pharmacology
Treiman et al. 1998. A comparison of four treatments for generalized convulsive status epilepticus. Veterans Affairs Status Epilepticus Cooperative Study
Group. The New England Journal of Medicine.
Vishal Prakash Giri et al. 2016. Valproic Acid versus Lamotrigine as First-line Monotherapy in Newly Diagnosed Idiopathic Generalized Tonic –Clonic Seizures in
Adults – A Randomized Controlled Trial. Journal of Clinical and Diagnostic Research Vol-10(7): FC01-FC04

ASSESMENT :
1. Pasien menderita penyakit Epilepsi Bangkitan Umum Tipe Tonik-Klonik
2. Pemberian fenitoin dihentikan, dan diganti dengan obat lain
3. Pemberian IVFD D5% dilanjutkan
4. Pemberian ceftriaxone dihentikan
5. Pemberian Paracetamol dilanjutkan
PLANNING :
Terapi Farmakologi
1. IVFD D5% Dilanjutkan
Terapi tetap dilanjutkan. Berdasarkan literatur, “Epilepsy: a Review of Reports, guidelines, Recommendations and models for the provision of care for
patients with epilepsy” menjelaskan pada manajemen awal kejang, jika pasien mengalami kejang maka pasien dicurigai mengalami hipoglikemik dimana
pada kasus demam biasanya terjadi kenaikan suhu 1ºC yang akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa. Pemberian glukosa harus diberikan
segera (Rebecca LM et al., 2008). Pemilihan dextrose infuse didasarkan pada penelitian tentang penanganan hipoglikemi pada keadaan emergency yaitu
“A review of the efficacy of 10% dextrose as an alternative to high concentration glucose in the treatment of out-of-hospital hypoglycaemia” yang
menyatakan bahwa pada penelitian kemanjuran dextrose 10% intravena dalam pengelolaan hipoglikemia pencarian menghasilkan 3.651 artikel potensial
dengan 24 memenuhi kriteria inklusi atau pengecualian. Dextrose 10% telah menunjukkan waktu yang sama untuk pemulihan keadaan sadar pada dosis
yang lebih kecil dengan pengurangan kadar gula darah pasca perawatan daripada konsentrasi 50% yang lebih tinggi. Risiko cedera ekstravasasi dan
konsekuensi klinis potensial pada pediatri adalah alasan kuat untuk mempertimbangkan pergeseran dari konsentrasi glukosa yang lebih tinggi. Titrasi
10% dextrose keadaan pasien sadar telah digunakan oleh penyedia perawatan pra-rumah sakit lain dalam penggantian dosis bolus persiapan 50%.

2. Pemberian Fenitoin Dihentikan, dan direkomendasikan Lorazepam 0,1 mg/kg


Berdasarkan jurnal A comparison of four treatments for generalized convulsive status epilepticus. Veterans Affairs Status Epilepticus Cooperative Study
Group, Lorazepam secara signifikan lebih unggul dari fenitoin dalam perbandingan berpasangan (P = 0,002) sebagai pengobatan intravena awal untuk
status epileptikus kejang umum
3. Pemberian Ceftriaxone Dihentikan
Obat tidak diperlukan sehingga pengobatan dengan Ceftriaxone 2x1 ampul (iv) dihentikan. Pada kasus ini pasien diberikan terapi dengan ceftriaxone
untuk infeksi intrakranial yang terjadi, sedangkan infeksi intrakranial merupakan suatu diagnosa banding/ diagnosa differential. Menurut Prof. Dr.dr.
Daldiyono diagnosa sementara dan diagnosa banding digunakan untuk memperkirakan penyakit yang dialami oleh pasien. Pemberian terapi berdasarkan
diagnosa banding dan diagnosa sementara sekaligus tidak dibenarkan karena tentunya akan menimbulkan polifarmasi, selain itu diagnosa akhir pada
kasus ini juga sudah ditentukan.
4. Pemberian Terapi Asam valproate untuk Epilepsi Bangkitan Umum Tipe Tonik-Klonik dosis 212 mg/kg
Berdasarkan jurnal Valproic Acid versus Lamotrigine as First-line Monotherapy in Newly Diagnosed Idiopathic Generalized Tonic –Clonic Seizures in
Adults – A Randomized Controlled Trial. Setelah 12 bulan masa tindak lanjut, 76,67% pasien memakai asam valproat dan 56,67% pasien yang memakai
lamotrigin adalah bebas kejang. Asam valproat lebih efektif daripada lamotrigine obat lini pertama dalam pengobatan orang dewasa dengan yang baru
didiagnosis kejang umum tonik-klonik idiopatik.
5. Pemberian PCT dilanjutkan dengan dosis 3x1 bila perlu
Randomized, controlled, multicentre clinical trial of the antipyretic effect of intravenous paracetamol in patients admitted to hospital with infection.
Selama 6 jam pertama, defervesensi dicapai pada 15 (38,5%) pasien yang diobati dengan plasebo dibandingkan dengan 33 (80,5%) pasien diobati dengan
parasetamol 1 g (P <0,0001). Parasetamol 1 g memiliki efek antipiretik yang cepat dan berkelanjutan pada demam akibat infeksi.

Terapi Non Farmaologi


a. Melakukan Diet ketogenik yang merupakan diet dengan kandungan tinggi lemak dan rendah karbohidrat maupun protein sehingga memicu keadaan
ketosis. Diet ini mengandung 2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram karbohidrat dan protein. Diet ketogenik biasanya digunakan sebagai
terapi dari epilepsi. Melalui diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam otak sehingga menjadi tinggi kadarnya
(ketosis).
b. Istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi.
c. Belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi

MONITORING
Monitoring efektivitas obat :
1. IVFD D5%
2. Lorazepam bekerja cukup cepat untuk menghentikan kejang dengan cepat. Ini juga memiliki efek antikonvulsan yang lebih lama. (Beberapa
dokter menganggapnya memenuhi persyaratan untuk gangguan akut SE dan perlindungan berkepanjangan terhadap kekambuhan). Tidak
memiliki metabolit aktif yang mengganggu
3. Asam valproate sangat efektif untuk kejang abence. Valproate lebih cenderung digunakan jika pasien kejang absence kemudian menderita
serangan umum tonik-klonik. Valproate menghambat kerja metabolism beberapa obat seperti fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin
sehingga dapat menyebabkan konsetrasi dalam obat-obat tersebut dalam keadaan stabil meningkat.
4. Paracetamol merupakan analgesik yang efektif dalam penatalaksanaan nyeri. Paracetamol memiliki efek analgesik yang tidak berbeda
dengan OAINS maupun opioid serta lebih aman dari efek samping, sehingga paracetamol menjadi analgesik first line dalam tata laksana
nyeri, termasuk nyeri muskuloskeletal akut.

Monitoring efek samping obat :


1. IVFD D5% adalah nyeri dan iritasi pada area suntikan.
2. Efek samping yang umum terjadi pada lorazepam adalah koordinasi yang buruk, perubahan perilaku, ketidakstabilan, kantuk, kelelahan, kantuk,
penglihatan kabur atau ganda, dan pusing.
3. Efek samping asam valproate bergantung pada dosis dari valproate, yang umum terjadi biasanya mual, muntah dan keluhan pencernaan lain
seperti nyeri perut dan rasa terbakar di ulu hati. Obat sebaiknya dimulai dengan cara bertahap agar tidak menjumpai efek samping tersebut.
4. Paracetamol jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia,
leukopenia, neutropenia), hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan dosis berlebihan atau overdosis
dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat pengobatan pada keadaan darurat karena keracunan.

Anda mungkin juga menyukai