Anda di halaman 1dari 40

RENCANA TUGAS MAHASISWA (RTM)

INTERAKSI OBAT
INTERAKSI OBAT ANTINEOPLASTIK DENGAN OBAT LAINNYA

Oleh:
Kelompok X (A4B)

1. Ngakan Made Gede Dwi Suputra (19021037)


2. Ni Kadek Anggita Putri (19021038)
3. Ni Kadek Ani Susilawati (19021039)
4. Ni Kadek Anita (19021040)
5. Ni Kadek Arinda Jayanthi (19021041)

Dosen Pengampu: apt. Ni Made Maharianingsih., S.Farm., M.Farm.


apt. Dewa Ayu Putu Satrya Dewi, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini sesuai dengan yang diharapkan
yaitu tepat waktu.
Tulisan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dan salah satu syarat mata kuliah
Interaksi Obat yang diampu oleh ibu apt. Ni Made Maharianingsih., S.Farm., M.Farm. dan apt.
Dewa Ayu Putu Satrya Dewi, S.Farm., M.Sc. Tulisan ini berjudul: “ Interaksi Obat
Antineoplastik dengan Obat lainnya”.
Tulisan yang amat sederhana ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bimbingan dan
bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Terkait hal itu, penulis mengucapkan rasa terima
kasih yang setulus tulusnya kepada:
1. Ibu apt. Ni Made Maharianingsih., S.Farm., M.Farm. dan apt. Dewa Ayu Putu Satrya Dewi,
S.Farm., M.Sc., selaku dosen pengampu mata kuliah Interaksi Obat pada Program Studi S1
Farmasi Klinis Universitas Bali Internasional.
2. Semua pihak terkait yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa adanya tulisan ini masih sangat sederhana dan jauh dari yang
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga
dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan tulisan selanjutnya. Akhir kata yang dapat
penulis sampaikan yaitu semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 4
2.1 Definisi dan Jenis-Jenis Interaksi Obat ............................................................................ 4
2.2 Definisi dan Klasifikasi Obat Antineoplastik ................................................................... 9
2.3 Contoh Kasus Interaksi Obat Antineoplastik dengan Obat Lain .................................... 13
BAB III. INTERAKSI OBAT .................................................................................................... 16
3.1 Mekanisme Interaksi Obat Antineoplastik dengan Obat Lain........................................ 16
BAB IV. PENUTUP..................................................................................................................... 26
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 26
4.2 Saran ............................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat merupakan suatu bahan dan produk biologi yang dapat digunakan dalam
menyelidiki terkait adanya suatu keadaan patologi atau sistem fisiologi tubuh untuk
menentukan diagnosis, proses penyembuhan, peningkatan kesehatan, dan terkait juga dengan
tindakan pencegahan untuk manusia. Penggunaan obat-obatan saat ini semakin meningkat
sehingga diperlukan adanya perhatian khusus untuk mengatasi masalah-masalah dalam
penggunaan obat (Ayu dkk, 2014).
Menurut Yasin, et al. (2009) Drug Related Problem (DRP) adalah terjadinya
kejadian/insiden yang tidak diharapkan, dimana diduga sebagai dampak dari terapi obat yang
bersifat potensial sehingga dapat menyebabkan terganggunya keberhasilan proses dalam
terapi obat itu sendiri. Salah satu kejadian dari DRP yang mungkin dapat terjadi yaitu adanya
interaksi obat. Interaksi obat merupakan suatu interaksi yang dapat terjadi ketika efek dari
suatu obat diubah oleh adanya kehadiranatau kemunculan obat lain, obat herbal, makanan
atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya.
Definisi interaksi obat yang lebih bermakna ketika menginformasikan kepada pasien
yaitu saat suatu obat berlawanan/bersaing satu dengan yang lainnya atau kejadian apa yang
terjadi ketika suatu obat diminum bersamaan dengan satu obat atau makanan yang lainnya
(Baxter, 2008). Menurut Aslam, dkk. (2003) dijelaskan bahwa mekanisme interaksi obat
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu interaksi secara farmakokinetika, dimana interaksi
ini biasanya terjadi pada tahapan proses ADME absorbsi, distribusi, metabolisme atau
ekskresi atau yang disingkat (ADME), dan yang kedua yaitu interaksi obat secara
farmakodinamika, dimana interaksi ini biasanya terjadi ketika efek obat dapat diubah oleh
suatu obat lain di tempat aksi (Aslam dkk, 2003).
Mengumpulkan data dari Data Global Cancer Observatory tahun 2018 yang
menyatakan bahwa angka kejadian/insiden terkait adanya penyakit kanker di Indonesia yaitu
sejumlah (136,2/100.000 penduduk), dimana angka ini berada pada urutan kedelapan di Asia
Tenggara, sedangkan di Asia beaada pada urutan ke 23. Prevalensi tumor/kanker di Indonesia
mengalami adanya peningkatan dari 1,4 per 1.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 1,79

1
per 1.000 penduduk pada tahun 2018. Dengan adanya peningkatan ini, penggunaan obat-
obatan antineoplastik menjadi meningkat, dimana pada pasien kanker tentu saja tidak hanya
mengkonsumsi obat-obat antineoplastik saja melainkan ada beberapa pasien yang mungkin
menderita penyakit lain yang menyertainya, maka pasien tersebut harus mengkonsumsi obat
antineoplastik bersamaan dengan obat-obatan lain yang diperlukan untuk terapi riwayat
penyakit lain yang diderita pasien tersebut. Adanya hal tersebut mungkin saja dapat
menyebabkan adanya DRP yaitu interaksi obat.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai interaksi obat
antineoplastik dengan obat-obat lain beserta kasus-kasusnya, dimana obat anineoplastik atau
dikenal juga dalam istilah lain seperti obat antikanker, obat sitostatik atau obat sitotoksik
yang secara luas digunakan dalam pengobatan kanker. Adanya interaksi obat antara obat
antineoplastik dengan obat-obat lain, maka akan dapat menyebabkan terjadinya penurunan
efek obat dari salah satu obat itu sendiri sehingga akan memperoleh hasil terapi yang tidak
maksimal atau efek yang tidak diharapkan.
Masalah atau kasus-kasus mengenai interaksi obat ini seharusnya menjadi perhatian
lebih bagi tenaga kesehatan terutama bagi seorang farmasis/apoteker. Oleh karena itu, melalui
tulisan ini akan dilakukan identifikasi interaksi obat antineoplastik dengan obat-obat lain
dengan tujuan dapat mencegah timbulnya risiko morbiditas dan mortalitas dalam masa terapi
obat pada pasien, dimna nantinya hal ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu dapat
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran seorang farmasis/apoteker untuk melakukan
monitoring terkait adanya interaksi obat, sehingga dapat meningkatkan taraf/kualitas hidup
pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, perumusan masalahnya
yaitu sebagai berikut.
1. Apa definisi dan jenis-jenis nteraksi obat?
2. Apa definisi dan klasifikasi obat antineoplastik?
3. Apa saja contoh kasus interaksi obat antineoplastik dengan obat lain?

2
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan tulisan ini yaitu sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui definisi dan jenis-jenis interaksi obat.
2. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi obat antineoplastik.
3. Untuk mengetahui contoh kasus interaksi obat antineoplastik dengan obat lain.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Jenis-Jenis Interaksi Obat


Interaksi obat merupakan suatu efek yang dapat ditimbulkan dari obat yang
disebabkan ketika adanya dua atau lebih obat yang berinteraksi, sehingga dapat
mempengaruhi respon tubuh pada saat dilakukannya terapi pengobatan. Hal ini dapat
mengakibatkan peningkatan atau penurunan efek dari obat itu sendiri yang dapat
mempengaruhi hasil dari terapi pengobatan pada pasien (Yasin et al., 2005).
Interaksi obat merupakan suatu interaksi yang dapat terjadi ketika efek dari suatu obat
diubah oleh adanya kehadiranatau kemunculan obat lain, obat herbal, makanan atau agen
kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi interaksi obat yang lebih bermakna ketika
menginformasikan kepada pasien yaitu saat suatu obat berlawanan/bersaing satu dengan yang
lainnya atau kejadian apa yang terjadi ketika suatu obat diminum bersamaan dengan satu obat
atau makanan yang lainnya (Baxter, 2008).
Mekanisme interaksi obat dapat dibedakan menjadi tiga yaitu secara farmasetika,
farmakokinetik dan farmakodinamik :
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi farmasetika atau inkompatibilitas adalah suatu interaksi yang
tidak dapat bercampur (incompatible) antar obat yang terjadi secara in vitro
(sebelum pemberian). Adanya kejadian pencampuran obat yang demikian dapat
menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik ataupun kimiawi, yang
hasilnya mungkin akan terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna,
dan lain–lain. Interaksi ini biasanya menyebabkan inaktivasi obat (Sinaga, 2010).
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik merupakan suatu interaksi yang dapat terjadi
dalam beberapa tahapan proses, seperti: absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi. Ketika suatu obat mempengaruhi tahap absorpsi, distribusi, metabolisme,
atau ekskresi obat kedua, maka akan menyebabkan kadar plasma obat kedua akan
meningkat atau menurun. Akibatnya, toksisitas obat meningkat atau efektivitasnya
menurun (Sinaga, 2010).

4
a. Absorbsi
Suatu Proses penyerapan obat oral biasanya diserap dari saluran
pencernaan lalu ke dalam sistem peredaran darah. Selama obat melewati
saluran cerna maka akan banyak kemungkinan interaksi yang terjadi (Nuryati,
2017). Absorbsi merupakan proses/tahapan berupa transfer obat dari tempat
pemberian obat ke dalam darah (Harvey dan Champe, 2014). Penyerapan obat
ini dapat terjadi melalui adanya transpor pasif atau aktif, Sebagian besar obat
diserap secara pasif. Difusi obat terjadi dari daerah di mana konsentrasi obat
tinggi ke daerah di mana konsentrasi obat rendah. Dalam transpor aktif, obat
bergerak melawan gradien konsentrasi (seperti ion dan molekul yang larut
dalam air), dan proses ini membutuhkan energi. Obat yang diangkut secara
aktif diserap lebih cepat daripada yang diangkut secara pasif. Bentuk obat non-
ionik larut dalam lemak dan mudah berdifusi melintasi membran sel,
sedangkan obat bentuk ionik tidak larut dalam lemak dan tidak dapat berdifusi.
Ketika laju absorpsi berubah, interaksi obat lebih mungkin terjadi, terutama
ketika obat dengan waktu paruh pendek atau perlu cepat mencapai kadar
plasma puncak agar dapat bekerja (Nuryati, 2017).
Kecepatan dan efisiensi absorpsi tergantung pada rute pemberian. Pada
pemberian secara intravena, dimana proses absorpsi selesai, hal ini terjadi
karena dosis total obat akan segera mencapai sirkulasi sistemik. Sedangkan
administrasi absorbs melalui rute lain hanya dapat menyebabkan penyerapan
parsial, sehingga akan mengurangi bioavailabilitas. Bioavailabilitas itu sendiri
adalah bagian obat yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah pemberian
obat tanpa disertai adanya perubahan kimia (Harvey dan Champe, 2014).
b. Distribusi
Pada fase ini tahapan proses setelah obat diserap ke dalam sirkulasi
sistemik, maka obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah (Sinaga, 2010). Proses transfer obat ini terjadi secara reversibel yaitu
dari sirkulasi darah ke interstitium (cairan ekstraseluler) dan/atau sel jaringan
yang disebut distribusi obat. Setelah obat diserap atau diinjeksikan ke dalam
darah, maka obat tersebut akan didistribusikan ke berbagai macam jaringan

5
tubuh. Interaksi obat dapat terjadi selama fase dispensing. Proses distribusi
obat berbeda-beda, tergantung pada faktor-faktor seperti kelarutan lemak dan
aliran darah di jaringan tertentu. Organ-organ yang menerima aliran darah
tinggi seperti: hati, jantung, dan ginjal, menerima lebih banyak obat, dan
jaringan perifer lebih cepat daripada organ dengan aliran darah rendah, seperti:
otot dan lemak. Adapun faktor yang mempengaruhi distribusi obat itu sendiri
yaiu berdasarkan sejauh mana obat tersebut berikatan dengan protein plasma
dan jaringan (Scott et al., 2013).
Ada dua macam bentuk obat di dalam tubuh, yaitu obat yang bentuk
bebasnya bebas atau tidak trikat dengan apapun dan obat bentuk yang terikat
dengan protein. Obat bentuk bebas ini memmiliki aktivitas farmakologis dan
dapat berdifusi keluar dari sirkulasi sistemik dengan cara pendistribusian yang
lebih luas, sedangkan obat yang terikat dengan protein plasma tidak
mempunyai aktivitas farmakologis dan tidak dapat berdifusi keluar dari
sirkulasi sistemik, sehingga mengakibatkan sebagian besar berada dalam
sirkulasi dengan pendistribusian yang terbatas. Satu obat dapat berinteraksi
dengan obat lainnya selama proses pengeluaran untuk menempati situs
pengikatan pada protein plasma. Pembentukan kompleks obat-protein disebut
pengikatan protein, yang merupakan proses reversibel atau ireversibel. Ikatan
obat-protein yang ireversibel karena menyebabkan toksisitas. Umumnya, obat
mengikat protein atau membentuk adanya kompleks melalui proses reversibel.
Pengikatan obat-protein secara bergantian yang berarti bahwa obat tersebut
mengikat protein dengan ikatan kimia yang lemah, seperti ikatan ionik dan
ikatan hidrogen (Sinaga, 2010).
c. Metabolisme
Ketika penyerapan dan distribusi obat masih berlangsung, obat memulai
proses metabolismenya. Eliminasi obat yang paling umum adalah melalui
biotransformasi atau ekskresi ke dalam urin atau empedu. Pada Proses
metabolisme ini mengubah obat lipofilik menjadi produk yang lebih polar dan
lebih mudah diekskresikan. Tempat utama metabolisme obat adalah hati, tetapi
pada beberapa obat, proses metabolisme ini dapat dibiotransformasi di

6
jaringan lain, seperti ginjal dan usus (Harvey dan Champe, 2014).
Penghambatan atau induksi enzim selama metabolisme obat sangat cocok
untuk obat atau zat yang merupakan substrat enzim mikrosomal hati sitokrom
P450 (CYP). Beberapa isoenzim CYP penting dalam metabolisme obat,
termasuk CYP2D6, yang juga disebut isobutadiena hidroksilase, dan
merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui.Aktivitasnya dipengaruhi
oleh quinidine, paroxetine, Penghambatan terbinafine dan obat lain. Obat
CYP3A yang banyak digunakan yang memetabolisme lebih dari 50% terdapat
di usus kecil dan ginjal selain hati, dan dihambat oleh ketoconazole,
itraconazole, dan erythromycin. CYP1A2 adalah enzim metabolik penting dari
teofilin, kafein, clozapine dan R-warfarin di hati, yang dihambat oleh obat-
obatan seperti ciprofloxacin dan fluvoxamine. Interaksi inhibitor CYP dengan
substratnya menyebabkan peningkatan kadar plasma atau peningkatan
bioavailabilitas, sehingga meningkatkan aktivitas substrat sampai terjadi efek
samping yang tidak diinginkan. Interaksi CYP dengan substratnya
menyebabkan peningkatan laju metabolisme obat (substrat), sehingga
mengurangi levelnya, dan efektivitas obat akan menurun, dan sebaliknya.
pembentukan metabolit reaktif memungkinkan risiko toksisitas (Gitawati,
2008).
d. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai cara, yang terpenting
diekskresikan dalam bentuk urin melalui ginjal. Ketika terjadinya proses
ekskresi melalui ginjal, dimana akan melibatkan tiga proses, yaitu proses
filtrasi glomerulus, proses sekresi aktif tubulus proksimal, dan proses
reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus ginjal. Filtrasi glomerulus
menghasilkan ultrafiltrat, yaitu protein minus plasma, sehingga semua obat
bebas akan dikeluarkan dari ultrafiltrat, sedangkan obat yang terikat protein
tetap berada di dalam darah. Melalui protein transpor membran P-glikoprotein
(P-gp) dan MRP (multidrug protein) yang ada pada membran sel epitel,
keduanya disekresikan secara aktif dari darah ke lumen tubulus proksimal
ginjal dengan selektivitas yang berbeda. Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang

7
tubulus ginjal, sehingga membentuk ion zat aktif lipofilik.Karena pengasaman
dan alkalisasi paksa (4,5-7,5), obat yang relatif kuat asam (pKa 2) dan obat
yang relatif kuat basa (pKa 12) benar-benar terionisasi pada pH urin yang
ekstrim. Obat yang sangat asam lemah (pKa> 8, seperti fenitoin) dan obat
yang sangat basa lemah (pKa 6, seperti propoksifen) tidak akan terionisasi
pada semua nilai pH urin. Hanya obat asam dengan nilai pKa 3,0-7,5 dan obat
basa dengan nilai pKa 6-12 yang dipengaruhi oleh pH urin (Gunawan, 2007).
1. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik memiliki perbedaan dengan interaksi farmakokinetik,
yaitu dimana interaksi farmakodinamik ini terjadi ketika antara obat yang satu
dengan obat yang lain, diberikan bersamaan maka salah satu obat yang bekerja
pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama, sehingga akan
mengakibatkan terjadi efek yang aditif, ada juga efek sinergis atau antagonis.
Interaksi farmakodinamik tidak mengakibatkan perubahan kadar obat dalam
plasma, atau sering kali interaksi obat ini terjadi untuk obat yang secara langsung
bersaing dengan reseptor (Sa’adah, et al., 2016).
a. Interaksi sinergis
Interaksi sinergis dapat terjadi apabila dua obat yang mempunyai efek
farmakologis yang sama, saat pemberian obat secara bersamaan ini, maka akan
dapat menyebabkan efek aditif, dimana interaksi sinergis ini dapat terjadi saat
pemberian beberapa macam jenis obat yang walaupun bekerja pada reseptor
yang berbeda, tetapi memiliki efek yang sama sehingga akan menyebabkan
saling memperlambat efek satu sama lain. Mekanisme ini sering berkontribusi
terhadap adanya interaksi obat yang merugikan, contoh interaksi yang
merugikan ini yaitu ketika penggunaan obat bersamaan dengan efek depresi
CNS, antidepresan, hipnotik, obat antiepilepsi, antihistamin, dll dapat
menyebabkan kantuk yang berlebihan (Nidhi, 2012).
b. Interaksi antagonis
Interaksi antagonis merupakan interaksi obat yang dapat menimbulkan
efek aksi antagonis, dimana hal ini terjadi pada tipe reseptor tertentu yang akan
berinteraksi dengan antagonis pada reseptor (Nidhi, 2012). Interaksi antagonis

8
atau sering disebut dengan interaksi yang berlawanan yaitu berbeda dengan
interaksi aditif, dimana pada interaksi ini ada beberapa pasang obat dengan
kegiatan/cara kerja obat yang bertentangan satu sama lainnya (Sa’adah et al.,
2016).

2.2 Definisi dan Klasifikasi Obat Antineoplastik


Obat antineoplastik (juga disebut sitotoksik atau kadang-kadang sitostatika)
digunakan dalam pengobatan penyakit ganas, sendiri atau bersama dengan radioterapi,
pembedahan, atau imunosupresan. Mereka juga menemukan aplikasi di pengobatan sejumlah
gangguan autoimun seperti rheumatoid ar thritis dan psoriasis, dan beberapa digunakan
dengan obat imunosupresan lainnya (siklosporin, kortikosteroid) untuk mencegah penolakan
transplantasi (Baxter, 2010).
Kemoterapi antineoplastik adalah salah satu pengobatan sistemik untuk kanker yang
bertujuan untuk mengobati neoplasma ganas dan terdiri dari penggunaan zat kimia sendiri
atau dalam kombinasi, menonjol sebagai pengobatan preferensial baik untuk sistem
hematopoietik dan tumor padat, yang mungkin menunjukkan regional atau jauh. metastasis.
Obat antineoplastik atau kemoterapi mengganggu mekanisme kelangsungan hidup sel,
proliferasi, dan migrasi, namun, mereka bertindak dengan cara yang tidak spesifik, dapat
membahayakan sel ganas dan jinak. Kemoterapi, serta modalitas pengobatan kanker lainnya,
dapat menimbulkan efek samping bagi pasien, dan ototoksisitas menonjol (Silva, 2007).
Obat antineoplastik adalah obat-obatan yang biasa digunakan untuk mengobati kanker
(dan beberapa penyakit non neoplastik), yang umumnya disebut sebagai 'kemoterapi'.
Antineoplastik obat mendapatkan namanya dari fakta bahwa mereka mengganggu atau
mencegah pertumbuhan dan perkembangan sel-sel ganas dan neoplasma. Mereka juga dapat
disebut sitotoksik atau sitostatik karena memiliki kemampuan untuk mencegah pertumbuhan
dan proliferasi sel. Sekitar 60 obat antineoplastik yang berbeda saat ini tersedia secara
komersial, dan dapat dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerjanya menjadi: alkilasi,
anti-metabolit, inhibitor mitosis, dan antibiotik (Fransman, 2006).
Agen ntineoplastik banyak digunakan dalam terapi kanker karena dapat menghambat
pertumbuhan dengan mengganggu pembelahan sel dan membunuh sel yang sedang tumbuh

9
secara aktif. Agen ini juga dapat menyebabkan efek kesehatan di antara petugas kesehatan
yang bekerja dengan mereka (Departemen Of Health and Human Services, 2004)
Daftar berikut berisi agen antineoplastik yang umum digunakan dan beberapa kanker
yang diobati dengan agen ini (McFarland dkk., 2001):
a. Agen alkilasi
Agen alkilasi adalah golongan obat anti tumor yang bekerja dengan menghambat
transkripsi DNA menjadi RNA, sehingga menghambat proses sintesis protein.
Gugus alkil dari agen alkilasi ini menggantikan atom hidrogen DNA,
menyebabkan ikatan silang dengan untai DNA, menghasilkan efek sitotoksik dan
mutagenik. Hasilnya mungkin kegagalan membaca kode DNA (salah membaca),
menghambat sintesis protein dan memicu apoptosis sel. Agen alkilasi bekerja pada
sel yang membelah dengan cepat dan tidak memiliki waktu untuk memperbaiki
(termasuk sel kanker). contoh obat yang termasuk dalam golongan ini:
• Klorambusil (Leukeran®)— kanker payudara, paru-paru, ovarium, dan testis;
penyakit Hodgkin
• Siklofosfamid (Sitoksana)®) —mieloma multipel; kanker payudara, paru-
paru, dan ovarium
• Carmustine (BiCNU®)—melanoma ganas, tumor otak
b. Antimetabolit
Antimetabolit mempunyai mekanisme kerja dengan cara menginduksi
sitotoksisitas dengan cara berlaku sebagai substrat palsu dalam jalur biokimia,
sehingga mengganggu proses vital dalam sel. Obat golongan ini mempunyai sifat
aktif-siklus-sel dan merupakan obat yang spesifik terutama pada fase-S. Banyak
antimetabolit adalah analog nukleosida yang berintegrasi ke dalam DNA atau
RNA dan dengan demikian menghambat sintesis asam nukleat. Obat lain di kelas
ini terlibat dalam biosintesis nukleosida. Adapun yang termasuk ke dalam
golongan ini:
• Metotreksat (Meksat®)—leukemia, kanker payudara, dan paru-paru
• Fluorourasil (Adrucil®)—kanker kandung kemih, hati, pankreas, paru-paru,
dan payudara
• Mercaptopurine (Purinethol®)—leukimia akut
10
c. Antibiotik
Golongan anti tumor antibiotik ini umumnya merupakan obat yang dihasilkan
oleh suatu mikroorganisme, yang umumnya bersifat sel non spesifik, terutama
berguna untuk tumor yang tumbuh dengan lambat. Mekanisme kerja utamanya
yaitu dengan cara menghambat sintesa DNA dan RNA. Adapun yang termasuk ke
dalam golongan ini:
• Aktinomisin D (Cosmegen®)—Sarkoma Kaposi, rhabdomyosarcoma
• Doksorubisin (Adriamycin)®)—leukimia akut, kanker payudara
• Bleomisin (Bleo®)— Limfoma Hodgkins/non-Hodgkins, kanker testi
d. Produk alami (agen antimitotik)
Adapun mekanisme kerja dari golongan ini yaitu dengan cara memblokir
mitosis dan menghasilkan penangkapan metafase. Adapun yang termasuk ke
dalam golongan ini:
• Vinblastin (Velban®)—limfoma non-Hodgkin, kanker payudara dan testis
• Vincristine (Oncovin®)—kanker paru-paru sel kecil, limfoma non-Hodgkin
• Paclitaxel (Taxol®)—kanker ovarium dan payudara
e. Agen lain-lain
Adapun yang termasuk golongan ini:
• Hidroksiurea (Hidrea®)—bertindak sebagai antimetabolit dalam fase S;
melanoma maligna, kanker ovarium metastatik
• Estrogen—mengganggu reseptor hormon dan protein di semua fase siklus sel;
kanker prostat, kanker payudara stadium lanjut pascamenopause
Beberapa agen antineoplastik ini juga digunakan untuk tujuan lain seperti pengobatan
penyakit tidak ganas. Contohnya termasuk penggunaan metotreksat untuk rheumatoid
arthritis, siklofosfamid 2 untuk multiple sclerosis, dan 5- fluorouracil untuk psoriasis
(Fransman, 2006).

11
Gambar 1. Tabel Golongan Obat-Obat Antineoplastik

12
2.3 Contoh Interaksi Obat Antineoplastik dengan Obat Lain
Berikut adalah contoh interaksi obat antineoplastik dengan obat lain berdasarkan
Stokley’s Drug Interactions (2010).
1. Interaksi Obat Antineoplastik dengan Vaksin

Gambar 2. Interaksi Obat Methotrexate dengan Vaksin Berdasarkan Stockley’s Drug


Interactions Pocket Companion 2015.
Respon imun tubuh ditekan oleh antineoplastik sitotoksik. Sebab itu
efektivitas vaksin mungkin menjadi buruk dan infeksi umum dapat terjadi pada
pasien diimunisasi dengan vaksin hidup. Dalam satu studi respon antibodi
terhadap pneumokokus vaksinasi berkurang 60% pada pasien yang menerima
antineoplastik, dan suboptimal tanggapan terhadap vaksin influenza dan campak
telah dilaporkan.
2. Interaksi Obat Antineoplastik dengan Obat Antikoagulan

Gambar 3. Interaksi Obat Etoposide dengan Warfarin dan Antikoagulan Oral


Berdasarkan Stockley’s Drug Interactions Pocket Companion 2015.

13
Sejumlah laporan kasus menggambarkan peningkatan efek warfarin,
disertai dengan perdarahan dalam beberapa kasus, yang disebabkan oleh: rejimen
antineoplastik termasuk carboplatin, chlormethine, cyclophosphamide,
doxorubicin, etoposide, ifosfamide dengan mesna, metotreksat, paclitaxel,
procarbazine, vincristine atau vindesine, dan gemcitabine saja. Sebaliknya,
penurunan efek warfarin telah terlihat pada kasus individu dengan cyclophospha
mide saja dan mitotane saja, dan tidak ada perubahan efek warfarin telah terlihat
pada satu pasien saat menerima busulfan, cyclophosphamide, cytarabine, dan
melphalan masing-masing diberikan sendiri.
3. Interaksi Obat Antineoplastik (Cyclophosphamide) dengan Digoxin

Gambar 4. Interaksi Obat Cyclophosphamide dengan Digoxin Berdasarkan Stockley’s


Drug Interactions Pocket Companion 2015.
Pengobatan dengan siklofosfamid (sebagai bagian dari rejimen
antineoplastik) tampaknya merusak lapisan usus sehingga digoxin kurang mudah
diserap ketika diberikan dalam bentuk tablet.
4. Interaksi Obat Antineoplastik (Cyclophosphamide) dengan Prasugrel

Gambar 5. Interaksi Obat Cyclophosphamide dengan Prasugrel Berdasarkan


Stockley’s Drug Interactions Pocket Companion 2015.

14
Prasugrel mungkin sedikit menghambat metabolisme bupropion oleh
CYP2B6 dan menurunkan kadar metabolitnya sebesar 23%. Oleh karena itu
produsen menyarankan bahwa metabolisme substrat lain CYP2B6, seperti
siklofosfamid, mungkin juga terpengaruh.

15
BAB III
INTERAKSI OBAT

3.1 Mekanisme Interaksi Obat Antieoplastik dengan Obat Lain


1. Interaksi Obat Antineoplastik dengan Obat Antikoagulan
A. Case Report
Sejumlah laporan kasus menggambarkan peningkatan efek warfarin, disertai
dengan perdarahan dalam beberapa kasus, yang disebabkan oleh: rejimen
antineoplastik termasuk carboplatin, chlormethine, cy clophosphamide, doxorubicin,
etoposide, ifosfamide dengan mesna, metotreksat, paclitaxel, procarbazine, vincristine
atau vindesine, dan gemcitabine saja. Sebaliknya, penurunan efek warfarin telah
terlihat pada kasus individu dengan cyclophospha mide saja dan mitotane saja, dan
tidak ada perubahan efek warfarin telah terlihat pada satu pasien saat menerima
busulfan, cyclophosphamide, cytarabine, dan melphalan masing-masing diberikan
sendiri.

Gambar 6. Interaksi Obat Atineoplastik dengan Antikoagulan Berdasarkan Stokley’s


Drug Interactions (2010).

16
Gambar 7. Interaksi Obat Etoposide dengan Warfarin (Antikoagulan Oral)
Berdasarkan Stockley’s Drug Interactions Pocket Companion 2015.
B. Pembahasan Case Report
Pembahasan case report dapat dianalisis dengan menggunakan 5 role interaksi
obat.
1. Apakah interaksi itu terjalin atau tidak?
Jawab: Ya, terjadi interaksi secara farmakokinetik
2. Bagaimana insidensinya?
Jawab : Antineoplastik yang digunakan adalah cyclophosphamide,
cytarabine, daunorubicin, doxorubicin, mitoxantrone dan vincristine.
Seorang wanita yang memakai warfarin mengalami peningkatan yang
nyata dalam waktu protrombinnya ketika pengobatannya dengan
cyclophosphamide dihentikan, menyarankan bahwa cyclophosphamide
mengurangi respons antikoagulan. Pasien lain mengalami peningkatan efek
antikoagulan warfarin saat mengambil rejimen kombinasi yang
mengandung cyclophosphamide.
Pada pasien pria tua lain yang menggunakan warfarin memiliki
peningkatan waktu protrombin yang nyata (perpanjangan 8 hingga 15
detik) pada dua kesempatan ketika dia menggunakan etoposide 500 mg
dan vindesine 5 mg. Pasien lain mengalami peningkatan efek antikoagulan
warfarin sementara mengambil rejimen kombinasi yang mengandung
cyclophosphamide.
Kontrol koagulasi dapat diubah oleh banyak faktor pada pasien kanker
yang sakit parah termasuk perubahan pola makan karena kurangnya nafsu
17
makan, dan mual dan muntah yang disebabkan oleh antineoplastik.
Antineoplastik yang menyebabkan toksisitas gastrointestinal juga dapat
mengubah penyerapan war farin. Penulis laporan kasus interaksi dengan
paclitaxel menyarankan bahwa kemungkinan mekanisme aksi adalah
perpindahan warfarin dari situs pengikatan protein oleh paclitaxel. Namun,
ikatan protein yang berubah memiliki tidak jelas terbukti menjadi
mekanisme penting dalam interaksi warfarin, karena efek apa pun biasanya
bersifat sementara.
3. Seberapa penting itu?
Jawab: Interaksi ini tergolong minor. Karena pada kasus di stockley
ditandai dengan tanda tanya (?). Untuk interaksi ini di mana ada beberapa
keraguan tentang hasil dari penggunaan bersamaan, dan oleh karena itu
mungkin perlu untuk memberi pasien beberapa panduan tentang
kemungkinan efek samping dan/atau mempertimbangkan beberapa
pemantauan.
4. Bagaimana cara mengelolanya?
Jawab: Ini adalah kasus yang terisolasi, dan tidak ada interaksi obat
spesifik yang ditetapkan untuk salah satu antineoplastik sitotoksik yang
dibahas di sini. Namun demikian, faktor lain karena penyakit atau pasien
mungkin mengubah respons terhadap antikoagulan. Oleh karena itu, dosis
antikoagulan mungkin perlu disesuaikan. Perhatikan bahwa, dari perspektif
penyakit, ketika mengobati penyakit tromboemboli vena di pasien dengan
kanker, warfarin umumnya memiliki risiko lebih tinggi dari perdarahan
dan trombosis berulang. Sehingga perlu dilakukan pemantauan atau
monitoring.
5. Jika tidak ada alternatif lain, tetapi kedua obat tersebut harus digunakan,
apa yang perlu dilakukan?
Jawab: Penggunaan obat warfarin dapat diganti menjadi heparin dengan
berat molekul rendah.

18
2. Interaksi Obat Antineoplastic dengan Vaksin
A. Case Report
Respon imun tubuh ditekan oleh antineoplastik sitotoksik. Sebab itu efektivitas
vaksin mungkin menjadi buruk dan infeksi umum dapat terjadi pada pasien
diimunisasi dengan vaksin hidup. Dalam satu studi respon antibodi terhadap
pneumokokus vaksinasi berkurang 60% pada pasien yang menerima antineoplastik,
dan suboptimal tanggapan terhadap vaksin influenza dan campak telah dilaporkan.

Gambar 8. Interaksi Obat Antineoplastik dengan Vaksin Berdasarkan Stokley’s Drug


Interactions (2010).

Gambar 9. Interaksi Obat Methotrexate dengan Vaksin Berdasarkan Stockley’s Drug


Interactions Pocket Companion 2015.

19
Gambar 10. Interaksi Obat Cyclophosphamide dengan Vaksin Berdasarkan Stockley’s
Drug Interactions Pocket Companion 2015.
B. Pembahasan Case Report
Pembahasan case report dapat dianalisis dengan menggunakan 5 role interaksi
obat.
1. Apakah interaksi itu terjalin atau tidak?
Jawab: Ya, terjadi interaksi secara farmakodinamik
2. Bagaimana insidensinya?
Jawab : Karena antineoplastik sitotoksik adalah imunosupresan, mereka
mengurangi respons tubuh terhadap imunisasi. Sebuah studi pada 53
pasien dengan penyakit Limfoma Hodgkin menemukan bahwa kemoterapi
mengurangi respons antibodi terhadap vaksin pneumokokus sebesar 60%
bila diukur 3 minggu setelah imunisasi. Para pasien menggunakan
chlormethine (mechlorethamine), vincris tine, prednison dan procarbazine.
Beberapa dari mereka juga telah diberikan bleomisin, vinblastin atau
siklofosfamid. Radioterapi subtotal mengurangi respons sebesar 15% lebih
lanjut.
Respon terhadap imunisasi influenza pada anak dengan berbagai
keganasan juga sangat ditekan oleh kemoterapi. Regimen termasuk
prednison dan obat sitotoksik mercaptopurine, met otreksat, dan
vincristine. Beberapa dari mereka juga diberikan dactinomycin dan
siklofosfamid. 2 Dalam penelitian lain hanya 9 dari 17 anak-anak dengan
leukemia atau penyakit ganas lainnya dan penggunaan methotrexate,
cyclophosphamide, mercaptopurine dan prednison mengembangkan
20
signifikan respon terhadap imunisasi dengan vaksin campak yang tidak
aktif
Selanjutnya, imunisasi dengan vaksin hidup dapat mengakibatkan infeksi
yang berpotensi mengancam jiwa. Pada kasus lain, seorang wanita yang
menggunakan metotreksat 15 mg sebulan sekali untuk psoriasis
berkembang menjadi infeksi vaksin umum setelah vaksinasi cacar. 4 Studi
pada hewan yang diberi vaksin cacar menegaskan bahwa mereka lebih
rentan terhadap infeksi jika mereka: telah diberikan metotreksat,
merkaptopurin atau cyclophosphamide.
3. Seberapa penting itu?
Jawab: Interaksi ini tergolong major. Karena interaksi ini memiliki hasil
yang mengancam jiwa, atau di mana penggunaan bersamaan
dikontraindikasikan oleh produsen dan pada kasus di stockley ditandai
dengan tanda silang (X).
4. Bagaimana cara mengelolanya?
Jawab: Departemen Inggris Kesehatan menyatakan bahwa vaksin hidup
tidak boleh diberikan selama atau dalam waktu setidaknya 6 bulan
pengobatan dengan kemoterapi imunosupresif atau radioterapi untuk
penyakit ganas. Vaksin yang dilemahkan juga tidak mungkin untuk
digunakan selama kemoterapi sitotoksik, tetapi perlu diingat bahwa jika
tetap diberikan bersamaan mungkin telah mengurangi kemanjuran jika
harus diberikan.
5. Jika tidak ada alternatif lain, tetapi kedua obat tersebut harus digunakan,
apa yang perlu dilakukan?
Jawab: -
3. Interaksi Interaksi Obat Antineoplastic (Fluorouracil) dengan Phenytoin
A. Case Report
Seorang pria berkulit putih 66 tahun dengan riwayat skizofrenia kronis,
epilepsi, dan arthritis menjalani operasi (hemikolektomi kiri) pada 13 Maret 2000,
untuk karsinoma ulserasi pada fleksura limpa. Histologi menunjukkan
adenokarsinoma berdiferensiasi sedang, yang diklasifikasikan sebagai kanker usus

21
besar stadium III. Pasien memulai kemoterapi ajuvan dengan fluorouracil 750 mg
(425 mg/m2) dan kalsium leucovorin 35 mg (20 mg/m2) pada tanggal 4 April.
Regimen ini diberikan setiap minggu melalui suntikan intravena bolus selama 26
minggu. Metoclopramide diberikan sebagai antiemetik sebelum pengobatan dan bila
diperlukan. Obat lainnya adalah doxepin oral 50 mg/hari, haloperidol 7,5 mg/hari,
ranitidine 300 mg/hari, fenitoin natrium 300 mg/hari, dan fluphenazine decanoate
intramuskular 25 mg yang diberikan setiap bulan. Obat dan dosis ini tetap stabil
selama lebih dari empat tahun. Dia mengonsumsi acetaminophen, dioctyl dan senna,
dan metoclopramide sesuai kebutuhan dan MaxEPA, kapsul minyak ikan untuk
arthritis (Gilbar and Brodribb, 2001).
Pada tanggal 29 Juni, saudara laki-laki pasien melaporkan kepada staf unit
onkologi bahwa kakinya tidak stabil dan telah jatuh beberapa kali, di panti jompo
tempat dia tinggal, hal ini terjadi selama seminggu terakhir. Tidak ada gejala yang
dicatat oleh staf unit kemoterapi pada kunjungan sebelumnya. Penyelidikan
mengungkapkan patah tulang di pangkal ibu jari kiri. Kemoterapi dihentikan dan
konsentrasi fenitoin serum diperoleh, yaitu 36 g/mL (normal 10-20). Konsentrasi
terakhir yang tercatat (28 Januari 2000) adalah 10,6 g/mL. Dia tidak mengalami
kejang atau tanda-tanda keracunan selama periode intervensi. Karena ataksia, dosis
fenitoin diturunkan menjadi 200 mg/hari, doxepin dibagi dua menjadi 25 mg/hari, dan
haloperidol dikurangi menjadi 3 mg/hari dalam situasi yang tidak memungkinkan
dapat terjadi kantuk atau gejala ekstrapiramidal mungkin menjadi faktor penyebabnya.
Computed tomography of head menunjukkan atrofi serebral dan serebelum, tetapi
tidak ada bukti penyakit metastasis (Gilbar and Brodribb, 2001).
Pada 12 Juli, konsentrasi fenitoin telah turun menjadi 13 g/mL, tetapi gaya
berjalan pasien masih lambat dan jelas- jelas ataksia. Kemoterapi dimulai kembali dan
gejalanya mereda dalam beberapa minggu kemudian. Konsentrasi fenitoin dipantau
dan dosis diubah sesuai (gambar 1). Dosis haloperidol ditingkatkan menjadi 6
mg/hari. Kemoterapi selesai pada tanggal 26 Oktober, saat konsentrasi fenitoin adalah
15 mg/L dan dengan dosis 160 mg/hari. Dosis tidak diubah, dan pada 22 Desember
konsentrasi fenitoin telah menurun menjadi <1 mg/L. Konsentrasi kembali ke kisaran
terapeutik (11 mg/L) setelah dosis dinaikkan secara bertahap menjadi 300 mg/hari.

22
Pasien mentoleransi kemoterapi dengan baik, dengan toksisitas minimal kecuali iritasi
mata. Berat badannya (75 kg), elektrolit, kreatinin, ureum, tes fungsi hati (Gilbar and
Brodribb, 2001).

Gambar 11. Interaksi Obat Antineoplastik (Fluorouracil) dengan Phenytoin


(Gilbar and Brodribb, 2001).

23
Gambar 12. Pemantauan Dosis Phenytoin (Gilbar and Brodribb, 2001).
B. Pembahasan Case Report
Pembahasan case report dapat dianalisis dengan menggunakan 5 role interaksi
obat.
1. Apakah interaksi itu terjalin atau tidak?
Jawab: Ya, terjadi interaksi farmkokinetik
2. Bagaimana insidensinya?
Jawab : Penambahan pengobatan dengan fluorouracil ke dalam dosis
fenitoin yang stabil dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi serum
fenitoin dan toksisitasnya. Selain interaksi ini, sejumlah faktor lain
mungkin dapat berkontribusi dalam peningkatan konsentrasi serum
fenitoin ini, termasuk perubahan dalam pengikatan protein plasma,
gangguan ginjal atau hati, perubahan berat badan, waktu pengambilan
sampel, ketidakpatuhan, variasi dalam penyerapan obat, dan interaksi obat-
obat lainnya, tetapi ini bukan sebagai masalah potensial.
3. Seberapa penting itu?
Jawab: Pada Medscape interaksi termasuk ke dalam monitoring closely,
dimana ini perlu adanya pemantauan dengan ketat. Karena interaksi ini
belum pernah dilaporkan sebelumnya pada literatur lain, dan pada jurnal
ini toksisitas akibat interaksi ini tidak terdeteksi selama 11 minggu.
24
Gambar 13. Golongan Tingkat Keparahan Interaksi Berdasarkan Medscape
4. Bagaimana cara mengelolanya?
Jawab: Jika harus diberikan bersamaan, hal yang dapat dilakukan yaitu
harus dipantau konsentrasi serum fenitoin sebelum dan sesudah obat apa
pun yang mungkin berinteraksi dengan fenitoin (fluorouracil). Karena
fenitoin dan fluorourasil adalah obat yang umum diberikan, interaksi ini
mungkin terjadi, tetapi, seperti pada pasien kami, tidak dikenali.
5. Jika tidak ada alternatif lain, tetapi kedua obat tersebut harus digunakan,
apa yang perlu dilakukan?
Jawab: Sifat dan luas interaksinya harus dijelaskan dengan investigasi in
vitro dan studi prospektif, dengan mempertimbangkan berbagai metode
pemberian fluorourasil (misalnya, injeksi bolus, infus kontinu). Sampai
studi tersebut selesai, dokter harus menyadari kemungkinan interaksi ini
dan harus secara teratur memantau konsentrasi serum fenitoin pada pasien
yang menerima kombinasi ini.

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil paparan tulisan di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai
berikut.
1. Interaksi obat merupakan suatu efek yang dapat ditimbulkan dari obat yang
disebabkan ketika adanya dua atau lebih obat yang berinteraksi, sehingga dapat
mempengaruhi respon tubuh pada saat dilakukannya terapi pengobatan. Hal ini
dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan efek dari obat itu sendiri yang
dapat mempengaruhi hasil dari terapi pengobatan pada pasien. Interaksi obat
dapat dibedakan menjadi tiga yaitu secara farmasetika, farmakokinetik dan
farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik, dimana interaksi ini dapat terjadi
pada beberapa proses ADME, sedangkan interaksi farmakodinamik dapat terjadi
interaksi secara sinergis atau antagonis.
2. Obat antineoplastik (juga disebut sitotoksik atau kadang-kadang sitostatika)
digunakan untuk mengobati kanker (dan beberapa penyakit non neoplastik), yang
umumnya disebut sebagai 'kemoterapi'. Obat antineoplastik dapat mengganggu
atau mencegah pertumbuhan dan perkembangan sel-sel ganas dan neoplasma.
Adapun agen antineoplastik yang umum digunakan yaitu agen alkilasi
contohnya: klorambusil; siklofosfamid; carmustine, agen antimetabolit contoh
obatnya: metotreksat; fluorourasil; mercaptopurine, agen antibiotik contoh
obatnya: aktinomisin D; doksorubisin; bleomisin, agen produk alami (agen
antimitotik) contoh obatnya: vinblastin, vincristine, da paclitaxel, dan ada agen
lain-lain contohnya: hidroksiurea dan estrogen.
3. Contoh kasus interaksi obat antineoplastik dengan obat lain yaitu terjadi Interaksi
obat antineoplastik (methotrexate) dengan vaksin, contoh kasus kedua adanya
interaksi obat antineoplastik dengan obat antikoagulan, ketiga yaitu interaksi obat
antineoplastik (cyclophosphamide) dengan digoxin, kasus keempat adanya
interaksi obat antineoplastik (cyclophosphamide) dengan prasugrel.

26
4. Pembahasan interaksi obat yaitu penulis membahas interaksi antara obat
antineoplastik dengan obat antikoagulan, dimana terdapat sejumlah laporan kasus
menggambarkan peningkatan efek warfarin, disertai dengan perdarahan dalam
beberapa kasus, yang disebabkan oleh: rejimen antineoplastik termasuk
carboplatin, chlormethine, cyclophosphamide, doxorubicin, etoposide,
ifosfamide dengan mesna, metotreksat, paclitaxel, procarbazine, vincristine atau
vindesine, dan gemcitabine saja. Sebaliknya, penurunan efek warfarin telah
terlihat pada kasus individu dengan cyclophospha mide saja dan mitotane saja,
dan tidak ada perubahan efek warfarin telah terlihat pada satu pasien saat
menerima busulfan, cyclophosphamide, cytarabine, dan melphalan masing-
masing diberikan sendiri. Interaksi ini merupakan interaksi secara farmakokinetik
dan tergolong ke dalam interaksi minor dengan tanda (?) yaitu menandakan
beberapa keraguan tentang hasil dari penggunaan bersamaan, dan oleh karena itu
mungkin perlu untuk memberi pasien beberapa panduan tentang kemungkinan
efek samping dan/atau mempertimbangkan beberapa pemantauan. Kedua penulis
membahasa mengenai interaksi obat antineoplastic dengan vaksin, dimana
terjadinya respon imun tubuh ditekan oleh antineoplastik sitotoksik. Sebab itu
efektivitas vaksin mungkin menjadi buruk dan infeksi umum dapat terjadi pada
pasien diimunisasi dengan vaksin hidup. Dalam satu studi respon antibodi
terhadap pneumokokus vaksinasi berkurang 60% pada pasien yang menerima
antineoplastik, dan suboptimal tanggapan terhadap vaksin influenza dan campak
telah dilaporkan. Interaksi ini merupakan interaksi secara farmakodinamik dan
Interaksi ini tergolong major karena interaksi ini dapat menghasilkan efek yang
mengancam jiwa, atau dimana penggunaan bersamaan dikontraindikasikan oleh
produsen dan pada kasus di stockley ditandai dengan tanda silang (X). Kasus
ketiga yaitu interaksi obat antineoplastic (fluorouracil) dengan phenytoin dimana
ketika adanya penambahan pengobatan dengan fluorouracil ke dalam dosis
fenitoin yang stabil dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi serum fenitoin
dan toksisitasnya. Interaksi ini merupakan interaksi secara farmakokinetik, pada
Medscpae Interaksi ini tergolong perlu adanya pemantauan dengan ketat
(monitoring closely), karena interaksi ini belum pernah dilaporkan sebelumnya

27
pada literatur lain, dan pada jurnal ini toksisitas akibat interaksi ini tidak
terdeteksi selama 11 minggu.

4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis melalui tulisan ini yaitu sebaiknya
para pembaca tulisan ini agar tidak merasa cepat puas akan adanya tulisan ini dan disarankan
untuk membaca atau mencari referensi lain mengenai interaksi obat antineoplastik dengan
obat lain agar memperoleh wawasan yang lebih luas dan dapat memberikan manfaat
nantinya khususnya pada bidang farmasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ariza-Heredia, E.J.; Chemaly, R.F. 2015. Practical review of immunizations in adult patients
with cancer. [CrossRef] [PubMed] : Hum. Vaccin Immunother., 11. P : 2606–2614.

Aslam, M., Tan, C dan Prayitno, A. 2003. Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy) Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : PT. elex Media
Komputindo.

Ayu, C., Umi, A., Mufarrihah dan Yunita, N. 2014. Drug Therapy Problems Pada Pasien Yang
Menerima Resep Polifarmasi (Studi di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya). Jurnal
Farmasi Komunitas. Vol 1(1). P : 18-23.

Baxter, K. 2008. Stockley’s Drug Interaction. 8th Ed. London : Pharmaceutical Press.

Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interaction, 9 th Ed. London : Pharmaceutical Press.

Chamilos, G.; Lionakis, M.S.; Kontoyiannis, D.P. 2021. Are All Patients with Cancer at
Heightened Risk for Severe Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)? Clin. [CrossRef] :
Infect. Dis. 2021, 72. P : 351–356.

Departemen Of Health and Human Services. 2004. Antineoplastic Agents Occupational Hazard
in Hospitals. Columbia Parkway : NIOSH.

Fransman, Wouter. 2006. Antineoplastic Drug Occupational Exposure and Health Risk.
Nederland: Thesis Ultrecht University.

Gilbar Peter J., and Brodribb T Robert. 2001. Phenytoin and Fluorouracil Interaction. The
Annals of Pharmacotherapy; 35. P : 1367-1370.

Gitawati, R. 2008. Interaksi obat dan beberapa implikasinya. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 18(4 Des) Media Litbang Kesehatan; 18(4). P : 177-178.

Gunawan, S. G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. 2012. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5
(Cetak Ulang Dengan Tambahan). Jakarta : Departemen Farmakologi Dan Terapeutik,
Fakultas Kedokteran–Universitas Indonesia. P : 11-12.

Harvey, R.A& Champe, P.C. 2009. Farmakologi Ulasan Bergambar (Lippincott’s Illustrated
Reviews: Pharmacology), Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, ECG. P : 5-20.

McFarland HM, Almuete V, Brisby J, dkk. 2001. Guide for the administration and use of cancer
chemothera- peutic agents. Oncology special edition; 4. P : 96–105.

Nidhi, S. 2012. Concept of Drug Interaction, International research journal of pharmacy; 3(7). P :
121.
Nuryati. 2017. Buku Ajar Farmakologi, Edisi 2017. P : 106.

Polack, F.P.; Thomas, S.J.; Kitchin, N.; Absalon, J.; Gurtman, A.; Lockhart, S.; Perez, J.L.; Pérez
Marc, G.; Moreira, E.D.; Zerbini, C.; et al. 2020. Safety and Efficacy of the BNT162b2
mRNA Covid-19 Vaccine. [CrossRef] : N. Engl. J. Med. 2020, 383. P : 2603–2615.

Preston, Claire L. 2014. Stockley’s Drug Interactions Pocket Companion 2015. London :
Pharmaceutical Press.

Rubin LG, Levin MJ, Ljungman P et al. 2013. IDSA clinical practice guideline for vaccination
of the immunocompromised host. Clin Infect Dis 2014; 58 (3). P : 309-318.

Sa’adah, F.Z., Lestari, F., Yuniarni. 2016. Kajian Probabilitas Interaksi Obat Antidiabetes
Golongan Sulfonilurea di Satu Rumah Sakit Umum Swasta Kota Bandung;. 2(2). P : 328.

Scott, A., Scott,G. N. 2013. Mechanisms of Drug Interactions; 18(3). P : 11-12.

Silva. 2007. Modelling the Kinetics of Peroxidase Inactivation, Colour and Texture Changes of
Pumpkin (Cucurbita maxima L.) During Blanching. Journal of Food Engineering; 81. P :
693-701.

Sugiarto. 2006. Teknik Pemasangan Terapi Intravena. Jakarta : Erlangga.

Tjay, H. T., dan Rahardja, K. 2002. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan dan Efek -Efek
Sampingnya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Gramedia. P : 419- 423.

Yasin, Nanang., J. Sunowo dan E. Supriyanti. 2009. Drug Related Problems (DRP) dalam
Pengobatan Dengue Hemoraggic Fever (DHF) pada Pasien Pediatri. Majalah Farmasi
Indonesia. 20(1). P : 27 – 34.
LAMPIRAN

A. Jurnal
B. Form Diskusi dan Notulensi
Pertanyaan Identitas Identitas yang Jawab Pertanyaan
No. Penanya
1. Ibu Satrya Ni Kadek Ani Susilawati Apa interaksi yang terjadi antara
(19021039) antineoplatik dengan vaksin
covid-19 yang beredar di
Indonesia?
2. Ibu Satrya Ni Kadek Ani Susilawati Jelaskan terkait interaksi obat di
(19021039) dalam jurnal, apakah efek
ektrapiramidal itu muncul
ketika digunakan dengan obat
lainnya atau karena memang
dosisnya terlalu tinggi dari
awal?
3. Ibu Satrya Ngakan Made Gede Dwi Apa keuntungan dan kerugian
Suputra (19021037) injeksi bolus atau infuse
kontinyu pada case pasien rawat
inap yang mengalami interaksi
obat?
4. Ibu Satrya Ni Kadek Anggita Putri Apa saja kategori interaksi obat
(19021038) via stokley’s?

C. Hasil Diskusi
1. Saat ini, tidak ada bukti bahwa vaksin COVID-19 berdampak pada kemanjuran kemoterapi,
inhibitor pos pemeriksaan imun, inhibitor tirosin kinase, atau antibodi secara signifikan
secara klinis. Penggunaan vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin vektor kompeten
replikasi biasanya harus dihindari. Faktanya, tidak seperti vaksin yang tidak aktif, atau
vaksin asam nukleat, vaksin hidup yang dilemahkan dapat menimbulkan risiko replikasi
virus setelah pemberian, sementara vaksin hidup sebenarnya dapat menyebabkan infeksi
pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan, menyiratkan evaluasi yang cermat dari
profil risiko-manfaat vaksin. Pelajaran dari vaksinasi lain (misalnya, influenza,
pneumokokus, hepatitis B) menunjukkan bahwa imunisasi pada pasien dengan kanker
secara signifikan mengurangi risiko infeksi yang dapat dicegah dengan vaksin dan
mengurangi jumlah pasien rentan yang dapat menyebarkan patogen (Ariza dan Chemaly,
2015). Beberapa guideline telah segera diterapkan untuk memasukkan indikasi vaksinasi
COVID-19 pada pasien kanker. Saat ini, pasien dengan kanker aktif dan mereka yang
menerima pengobatan anti-kanker, telah diprioritaskan untuk imunisasi dengan salah satu
dari dua vaksin berbasis mRNA yang tersedia (yaitu, Pfizer/BioNTech [vaksin mRNA
BNT162b2], dan Moderna [mRNA-1273] Vaksin SARS-CoV-2]). Faktanya, dari sudut
pandang keamanan, hasil uji coba vaksin mRNA utama belum menunjukkan efek samping
serius terkait vaksin, dan telah memberikan tingkat perlindungan tertinggi (Polack, et al.,
2020). Namun, mungkin ada perbedaan signifikan untuk COVID-19 parah di antara pasien
kanker terkait tumor yang mendasari (yaitu, lokasi tumor primer, stadium penyakit), dan
jenis pengobatan sistemik (yaitu, kemoterapi, imunoterapi, terapi bertarget). Faktor klinis
spesifik (misalnya, usia, keganasan hematologi, kemoterapi baru-baru ini), dan terapi anti-
kanker (misalnya, R-CHOP, platinum yang dikombinasikan dengan etoposide, dan
penghambat DNA methyltransferase) telah dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk di
antara pasien dengan kanker dan COVID-19 (Chamilos, et al., 2021). Bila memungkinkan,
pemberian vaksin harus dilakukan idealnya sebelum memulai kemoterapi dan/atau terapi
anti-kanker lainnya. Pada pasien yang telah memulai terapi, data yang ada tidak
mendukung waktu pemberian yang spesifik sehubungan dengan untuk kemoterapi atau
terapi lainnya, termasuk inhibitor pos pemeriksaan imun atau terapi bertarget (Rubin, et al.,
2014). Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 berdampak signifikan
terhadap kemanjuran atau profil keamanan terapi anti-kanker, termasuk kemoterapi
sitotoksik, inhibitor pos pemeriksaan imun, atau terapi bertarget; oleh karena itu, vaksinasi
COVID-19 sangat dianjurkan. Jika terapi antikanker sangat dibutuhkan untuk pengendalian
penyakit, dianjurkan untuk menerapkan terapi yang tepat, diikuti dengan vaksinasi COVID-
19 sesegera mungkin ketika pasien secara klinis stabil dan gejala utama relatif terkontrol.
Penyedia dapat mempertimbangkan untuk memberikan terapi anti-kanker dan vaksin
COVID-19 pada hari yang berbeda untuk menghindari kesalahan atribusi dari potensi
reaksi/efek samping jangka pendek. Jadi berdasarkan literatur-literatur di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa belum ditemukan interaksi yang jelas tentang interaksi obat
antineoplastik dengan vaksin covid-19, oleh karena itu perlu dilakukan adanya penelitian-
penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut.
2. Mekanisme kerja obat antipsikotik haloperidol adalah memblokade dopamin pada reseptor
pasca sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal
(Dopamin D2 reseptor antagonists). Dengan adanya mekanis kerja tersebut maka
penggunaan haloperidol mempunyai potensi yang besar untuk menimbulkan efek samping
diantaranya berupa gejala ekstrapiramidal (Maslim, 2003). Gejala ekstrapiramidal ini dapat
berupa parkinsonisme (hipokinesia, kekakuan anggota tubuh, tremor tangan dan keluar air
liur berlebihan, gejala ’rabbit syndrome’), akathisia, dystonia akut, dyskinesia tardive,
sindroma neuroleptik a maligne (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala ekstrapiramidal yang
muncul pada case report di jurnal bisa terjadi karena dosis yang diberikan di awal terlalu
tinggi, dimana akan mengakibatkan efek samping dari obat haloperidol yaitu berupa gejala
ekstrapiramidal, selain itu pada jurnal tersebut dijelaskan bahwa konsentrasi haloperidol
dapat dipengaruhi oleh phenytoin, maka pada jurnal dosis haloperidol dari 7,5 mg/hari
diturunkan menjadi 3 mg/hari.
3. Keuntungan terapi intravena bolus dan infuse kontinyu mempunyai keuntungan sebagai
berikut:
1) Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target
berlangsung cepat, sehingga dapat menghindari interaksi obat dengan phenytoin
2) Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan.
3) Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat dipertahankan
maupun dimodifikasi.
4) Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan dapat
dihindari.
5) Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena molekul yang
besar, iritasi atau ketidak stabilan dalam traktus gastrointestinalis.
Sedangkan kerugian injeksi bolus atau infuse kontinyu pada case pasien rawat inap yang
mengalami interaksi obat adalah sebagai berikut:
1) Tidak bisa dilakukan “drug recall" dan rnengubah aksi obat tersebut sehingga resiko
toksisitas dan sensitivitas tinggi.
2) Kontrol pemberian yang tidak baik bisa rnenyebabkan “speed shock".
3) Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu kontaminasi mikroba melalui titik akses ke
sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vaskular seperti flebitis mekanik dan kimia,
inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.
4) Cara pemberian bolus adalah lajak takar (overdosis) sering terjadi terutama pada obat-
obat dengan indeks terapeutik sempit. Setelah pemberian intravena, dosis tidak dapat
dikurangi.
(Sugiarto, 2006).
4. Kategori interaksi obat berdasarkan Stockley’s Drug Interactions Pocket Companion (2015)
adalah sebagai berikut:
(❌) Untuk interaksi yang memiliki hasil yang mengancam jiwa, atau di mana penggunaan
bersamaan dikontraindikasikan oleh produsen.
(❗) Untuk interaksi di mana penggunaan bersamaan dapat mengakibatkan bahaya yang
signifikan bagi pasien sehingga penyesuaian dosis atau pemantauan ketat diperlukan.
(❓)Untuk interaksi di mana ada beberapa keraguan tentang hasil dari penggunaan
bersamaan, dan oleh karena itu mungkin perlu untuk memberi pasien beberapa
panduan tentang kemungkinan efek samping dan/atau mempertimbangkan beberapa
pemantauan.
(✓) Untuk interaksi yang tidak dianggap signifikan secara klinis atau di mana tidak terjadi
interaksi.

Anda mungkin juga menyukai