Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI 1

ASMA

Disusun Oleh :

Linda Nur Azizah ( 180105059 )

Marfuah Kunthi Nugraheni ( 180105061 )

Meliyana ( 180105063 )

Nina Dwi Stiyani ( 180105070 )

Rizky Natasya Aurellia ( 180105090 )

Saida Rahmawati ( 180105091 )

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

PURWOKERTO

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-
Nya kami dapat mengerjakan tugas kelompok makalah farmakoterapi dengan penuh kemudahan.
Tanpa pertolongannya mungkin kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,
meskipun kami juga menyadari segala kekurangan yang ada di dalam makalah ini.
Makalah ini kami susun berdasarkan beberapa sumber buku yang kami peroleh. Kami
berusaha menyajikan makalah ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Selain
kami memperoleh sumber dari beberapa buku pilihan, kami juga memperoleh informasi
tambahan dari internet.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai “FARMAKOTERAPI ASMA”. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran untuk memperbaiki kesalahan yang ada.

Purwokerto, 06 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR.................................................................................................... 2

DAFTAR ISI................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................................... 4

B. Etiologi ..............................................................................................................5

C. Patofisiologi ....................................................................................................... 8

D. Manifestasi Klinik ........................................................................................... 10

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................12

BAB III KASUS

1. Subjektif...........................................................................................................14

2. Objektif............................................................................................................15

3. Assesment........................................................................................................19

4. Plan..................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................25

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak menular. Penyakit asma
telah mempengaruhi lebih dari 5% penduduk dunia, dan beberapa indicator telah
menunjukkan bahwa prevalensinya terus menerus meningkat, khususnya pada anak-anak.
Masalah epidemiologi mortalitas dan morbiditas penyakit asma masih cenderung tinggi,
menurut world health organization (WHO) yang bekerja sama dengan organisasi asma di
dunia yaitu Global Astma Network (GAN) memprediksikan saat ini jumlah pasien asma
di dunia mencapai 334 juta orang, diperkirakan angka ini akan terus mengalami
peningkatan sebanyak 400 juta orang pada tahun 2025 dan terdapat 250 ribu kematian
akibat asma termasuk anak-anak (GAN, 2014)
Asma merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius dan umum
terjadi pada masyarakat. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyakit yang banyak
terjadi di kota industri. Banyak fakta yang menyebutkan bahwa prevalensi dan morbiditas
asma kini semakin meningkat (Sears et al., 2004). Prevalensi asma, tingkat keparahan
asma dan rawat inap karena asma meningkat selama 4 dekade terakhir, meskipun
tampaknya tidak terjadi peningkatan jumlah yang bermakna tetapi hal tersebut dianggap
mempunyai prevalensi sangat tinggi dan penyebabnya masih belum diketahui (Lucas et
al., 2005). Berdasarkan WHS (World Health Survey) yang dilakukan oleh WHO (World
Health Organization) dengan data yang dikumpulkan pada tahun 2002 dan 2003 di 6
benua yang diwakili oleh beberapa negara diperoleh bahwa 5 negara yang mempunyai
beban asma tertinggi adalah Australia (21,1%), Swedia (20,2%), Inggris (18,2%),
Belanda (15,3%) dan Brasil (13,03%). Asma juga menyumbang sekitar 1 dalam setiap
250 kematian di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, jumlah penderita asma meningkat
2,9% setiap tahun dari 20,3 juta orang pada tahun 2001 menjadi 25,7 juta orang pada
tahun 2010. Dari 25,7 juta orang tersebut terdiri dari 7 juta pasien anak-anak, 18,7 juta
pasien dewasa dan 3,1 juta pasien usia 65 tahun keatas. Berdasarkan ras, dibedakan
menjadi 19,1 juta pasien ras kulit putih dan 34,7 juta pasien dengan ras kulit hitam, dan

4
1,9 juta pasien termasuk di ras lain (Follenweider et al., 2013). Occupational Asthma
(OA) merupakan salah satu resiko penyakit pernafasan pada lingkungan kota industri
meskipun sebagian besar penelitian menyebutkan prevalensi WRA (Work Related
Asthma) adalah diantara 5% dan 25%. Selain itu, prevalensi WEA (Work Exacerbated
Asthma) pada orang dewasa diperkirakan sebesar 21%. WRA mempengaruhi sekitar 5%
dan 10% orang dewasa di Eropa, sehingga menjadi masalah kesehatan publik yang serius
dengan melibatkan secara berarti mengenai sosioekonomi (Rigat et al., 2015). Di
Indonesia, prevalensi asma juga meningkat dari 3,5% pada tahun 2007 menjadi 4,5%
pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi saluran
nafas kronik. Gejala yang terjadi adalah gejala-gejala pernafasan diantaranya wheezing,
nafas pendek, dada terasa berat dan batuk yang intensitasnya bervariasi pada setiap waktu
bersamaan dengan keterbatasan aliran ekspirasi udara pernafasan (Global Initiative for
Asthma, 2015). Asma mempunyai beberapa karakteristik yaitu dapat dilihat dari tingkat
keparahan obstruksi saluran pernafasan (bronkospasme, udem dan hipersekresi), BHR
(Bronchial Hyperresponsiveness), dan inflamasi saluran pernafasan. Penyakit ini belum
diketahui bagaimana penyembuhan atau pencegahan utamanya. Pada seseorang yang
sensitif, inflamasi yang terjadi dapat menyebabkan kekambuhan yang ditandai dengan
wheezing, sesak nafas, dada sesak dan batuk terutama terjadi pada malam hari atau dini
hari (Kelly et al., 2008).

B. Etiologi
Studi epidemiologi sangat mendukung konsep predisposisi genetik ditambah
interaksi lingkungan dengan perkembangan asma, namun gambarannya tetap kompleks
dan tidak lengkap. Faktor genetik menyumbang 60% sampai 80% dari kerentanan. Asma
merupakan kelainan genetik yang kompleks di mana fenotipe asma kemungkinan besar
merupakan hasil dari pewarisan poligenik atau kombinasi gen yang berbeda. Pencarian
awal difokuskan pada pembentukan hubungan antara atopi (keadaan hipersensitivitas
yang ditentukan secara genetik terhadap alergen lingkungan) dan asma, tetapi pencarian
seluruh genom juga menemukan hubungan dengan gen untuk metaloproteinase yang
terlibat dalam proses renovasi saluran napas (misalnya, ADAM33) dan yang terkait

5
dengan asma perkembangan dan kerusakan penyakit (CHI3L1). Meskipun predisposisi
genetik untuk atopi merupakan faktor risiko yang signifikan untuk mengembangkan
asma, tidak semua individu atopik mengembangkan asma, juga tidak semua pasien
dengan asma menunjukkan atopi. Fenotipe asma yang berbeda (progresif atau direnovasi
vs non-progresif) kemungkinan ditentukan secara genetik (Dipiro, 2017).
Faktor risiko lingkungan untuk berkembangnya asma meliputi status sosial
ekonomi, ukuran keluarga, paparan asap rokok bekas pada masa bayi dan dalam
kandungan, paparan alergen, polusi udara ambien, urbanisasi, infeksi saluran pernafasan
termasuk virus pernafasan syncytial (RSV) dan rhinovirus, dan penurunan paparan agen
infeksius masa kanak-kanak yang umum. "Hipotesis kebersihan" mengusulkan bahwa
individu yang rentan secara genetik mengembangkan alergi dan asma dengan
membiarkan sistem imunologi alergi (sel T-helper tipe 2 [Th2] limfosit) untuk
berkembang alih-alih sistem untuk melawan infeksi (T-helper tipe 1 [Th1] limfosit) dan
mungkin menjelaskan peningkatan asma di negara maju. 2 tahun pertama kehidupan
tampaknya paling penting untuk eksposur untuk menghasilkan perubahan dalam sistem
respons imun. Hipotesis kebersihan didukung oleh penelitian yang menunjukkan risiko
asma yang lebih rendah pada anak-anak yang terpapar bakteri tingkat tinggi atau
endotoksin, pada mereka yang memiliki saudara kandung dalam jumlah besar, pada
mereka dengan pendaftaran awal ke penitipan anak, pada mereka yang terpapar kucing,
anjing, dan hewan ternak di awal kehidupan, atau pada mereka yang terpapar lebih
sedikit antibiotik. Faktor risiko mengi berulang dini (kurang dari 3 tahun) yang terkait
dengan infeksi virus termasuk berat badan lahir rendah, jenis kelamin laki-laki, dan orang
tua yang merokok. Namun, pola awal ini disebabkan oleh saluran udara yang lebih kecil,
dan faktor risiko ini belum tentu merupakan faktor risiko asma di kemudian hari. Atopi
adalah faktor risiko utama bagi anak-anak untuk melanjutkan asma. Asma bisa dimulai
pada orang dewasa di kemudian hari. Asma akibat kerja pada individu yang sebelumnya
sehat menekankan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan asma. Heterogenitas
fenotipe asma tampak paling jelas saat membuat daftar pemicu beragam bronkospasme.
Berbagai pemicu memiliki tingkat kepentingan relatif dari pasien ke pasien. Paparan
lingkungan adalah pencetus terpenting dari eksaserbasi asma yang parah. Epidemi asma
parah di kota-kota mengikuti paparan aeroallergen konsentrasi tinggi. Infeksi saluran

6
pernapasan akibat virus tetap menjadi pemicu paling signifikan dari asma berat pada
anak-anak dan juga merupakan pemicu penting pada orang dewasa. (Dipiro, 2017).
Etiologi dari penyakit ini adalah karena keturunan atau genetik. Pada penyakit
asma menunjukkan adanya kelainan gen, oleh karena itu gen dengan fenotip asma
mungkin ditimbulkan dari pewarisan gen atau kombinasi dua gen. Kelainan dari gen
fenotip asma terlihat jelas ketika terpapar oleh beberapa benda atau keadaan pencetus
terjadinya bronkospasme pada penderita asma. Beberapa contoh pencetus asma yaitu
polusi udara, sinusitis, pengawet makanan dan beberapa obat. Selain itu, dapat juga
disebabkan oleh keadaan lingkungan misalnya status sosioekonomi, jumlah keluarga,
paparan dari asap rokok, paparan alergen, urbanisasi dan meningkatnya paparan yang
menginfeksi pada anak-anak. Paparan dari lingkungan juga merupakan penyebab yang
sangat mempengaruhi eksaserbasi asma. Faktor resiko yang menyebabkan kekambuhan
wheezing pada asma dihubungkan dengan infeksi virus pada saluran nafas, kelahiran
prematur, jenis kelamin laki-laki dan lingkungan perokok. Atopi juga merupakan faktor
resiko asma yang berkelanjutan pada anak-anak (Kelly et al., 2008).
Sebagai pemicu timbulnya serangan serangan dapat berupa infeksi (infeksi virus
RSV), iklim (perubahan mendadak suhu, tekanan udara), inhalan (debu, tungau, sisa-sisa
serangga mati, bulu binatang, serbuk sari, bau asap, uap cat), makanan (putih telur, susu
sapi, kacang tanah, coklat, biji bijian, tomat) obat (aspirin) kegiatan fisik (olah raga berat,
tertawa terbahak-bahak), dan emosi (Nurarif, 2015).
Menurut Andra & Yessi (2013) etiologi asma di bagi menjadi 3 yaitu :
1. Asma ekstrinsik/alergi
Asma yang di sebabkan oleh alergen yang di ketahui masanya sudah terdapat
semenjak anak-anak seperti alergi terhadap protein, serbuk sari, bulu halus, binatang
dan debu.
2. Asma intrinsik/idopatik
Asma yang tidak di temukan factor pencetus yang jelas, tetapi adanya factor-
faktor non spesifik seperti : flu, latihan fisik atau emosi yang sering memicu serangan
asma. Asma ini sering muncul atau timbul sesudah usia 40 tahun setelah menderita
infeksi sinus/cabang traceobronkial.

7
3. Asma campuran
Asma yang terjadi atau timbul karena adanya komponen ekstrinsik dan intrinsik.

C. Patofisiologi
Karakteristik utama asma adalah mengenai tingkat keparahan obstruksi saluran
nafas (bronkospasme, udem, hipersekresi), BHR (Bronchial Hyperresponsiveness) serta
inflamasi saluran nafas. Pada asma respon imun dari immunoglobulin (Ig)E sangat
berperan. Inflamasi yang terjadi ada dua macam yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronik
(Kelly et al., 2008)

(Kemenkes, 2008)
Mekanisme terjadinya inflamasi akut adalah ketika adanya paparan alergen yang
menyebabkan reaksi alergi fase awal dan pada beberapa kasus dapat diikuti reaksi alergi
fase akhir. Aktivasi dari sel yang mempengaruhi alergen spesifik IgE mengawali
terjadinya reaksi alergi fase awal dengan aktivasi sel mast dari saluran nafas dan
makrofag secara cepat. Kemudian sel yang sudah aktif tersebut akan melepaskan
mediator inflamasi yaitu, histamin, eikosanoid, dan spesies oksigen reaktif yang dapat
menimbulkan kontraksi otot polos pada saluran nafas, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Mediator inflamasi menginduksi terjadinya kebocoran mikrovaskular dengan eksudasi
plasma pada saluran nafas. Plasma protein yang bocor menyebabakan penebalan dan
udem pada dinding saluran nafas sehingga terjadi penyempitan lumen saluran nafas.
Eksudasi plasma juga dapat mempengaruhi integritas dari epitel dan menurunkan klirens
mukus. Reaksi fase akhir terjadi setalah 6-9 jam terjadinya paparan dan meperlihatkan
aktivasi eosinofil, sel T CD4+, basofil, neutrofil dan makrofag. Aktivasi sel T
menyebabkan pelepasan sitokin TH2 yang menjadi kunci terjadinya reaksi fase akhir.

8
Peningkatan dari nonspesifik BHR biasanya terlihat setelah terjadinya reaksi fase akhir
tetapi tidak terjadi setelah reaksi fase awal karena alergen (Kelly et al., 2008).
Pada penyakit asma semua sel akan teraktivasi termasuk eosinofil, sel T, sel mast,
makrofag, sel epitel, fibrolas dan sel otot polos bronkus. Sel-sel tersebut juga mengatur
terjadinya inflamasi dan mengawali proses remodelling oleh karena adanya sitokin dan
faktor pertumbuhan. Sel epitel teraktivasi melalui mekanisme reaksi IgE virus, polutan
atau histamin. Kemudian sel epitel melepaskan eikosanoid, peptida, matriks protein,
sitokin dan nitrit oksid yang berperan dalam proses inflamasi. Sel epitel juga sangat
berperan dalam pengaturan remodelling saluran nafas dan fibrosis. Pada asma, eosinofil
juga memberikan kontribusinya dengan melepaskan mediator proinflamasi. Mediator
sitotoksik dan sitokin pada proses aktivasi juga akan melepaskan mediator inflamasi
serperti leukotrien dan granula protein yang dapat melukai jaringan saluran pernafasan.
Biopsi mukosa pada pasien asma mengandung dua tipe limfosit yaitu TH1 dan TH2 yang
menjadi marker adanya inflamasi namun, TH1 bekerja menghambat aktivitas TH2 yang
melepaskan sitokin sebgai mediator inflamasi. Jadi asma dapat disebabkan
ketidaksetimbangan jenis limfosit TH1 dan TH2. Degranulasi sel mast mempunyai
respon yang cepat dalam mengawali terjadinya reaksi alergi akibat paparan alergen yang
terjadi. Sel mastditemukan lebih banyak pada jalur nafas pada pasien asma akibat alergi.
Alergen berikatan dengan IgE dan kemudian terjadi pelepasan histamin, eosinofil dan
faktor kemotaktik neutrofil. Sensitifitas sel mast juga dapat diaktivasi oleh stimuli yang
menyebabkan bronkospasme akibat dari aktivitas yang berat. Makrofag alveolus berperan
penting dalam memakan dan mencerna bakteri serta benda asing lainnya pada saluran
nafas. Makrofag alveolus dapat menghasilkan faktor kemotaktik neutrofil dan faktor
kemotaktik eosinofil dimana hal tersebut dapat meningkatakan proses inflamasi
sedangkan neutrofil mempunyai peranan dalam meningkatkan BHR dan menyebabkan
inflamasi dengan pelepasan faktor pengaktifan platelet, prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien. Fibroblas juga dapat menyebabkan inflamasi dengan mangaktivasi
(Interleukin) IL-4 dan IL-13 yang kemudian melepaskan mediator inflamasi seperti
sitokin dan remodelling jaringan. Molekul adesi memiliki peranan penting dalam
terjadinya proses inflamasi yaitu adesi dari beberapa sel dan matriks jaringan yang
memfasilitasi migrasi dan infiltrasi sel tersebut pada tempat inflamasi. Beberapa molekul

9
adesi yang berperan adalah integrins cadherins, immunoglobulin supergene family,
selectins, vascular adressinsdan ligan karbohidrat (Kelly et al., 2008).
Menurut Kemenkes RI (2008) Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan berikut :

D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada pasien asma menurut Halim Danokusumo
(2000) dalam Padila (2015) diantaranya ialah:
1. Stadium Dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
a. Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
b. Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul
c. Wheezing belum ada
d. Belum ada kelainan bentuk thorak
e. Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
f. BGA belum patologis

Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan:

a. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum


b. Wheezing
c. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
d. Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
a. Batuk, ronchi

10
b. Sesak napas berat dan dada seolah-olah tertekan
c. Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
d. Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
e. Thorak eperti barel chest
f. Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
g. Sianosis
h. BGA Pa O2 kurang dari 80%
i. Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan pada
Rongen paru
j. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.

11
BAB II
PEMBAHASAN

Ny. SA 34tahun mengidap asma sejak usia 5tahun. Datang ke dokter dengan
keluhan sesak napas disertai bunyi mengi. Sesak napas timbul hilang, pasien merasakan
sesak napas tiap hari dan terasa lebih berat dini hari sehingga mengganggu aktivitas dan
tidur. Sesak napas timbul saat cuaca dingin dan hujan serta saat pasien banyak
melakukan aktivitas. Sesak napas timbul tiga kali dalam seminggu. Pasien didiagnosa
asma. Hasil lab leukosit 13.600, eosinophil 4%,. Tekanan darah 130/80, RR 32x/menit,
HR 16x/menit.Riwayat ayah pasien memiliki asma, dan anak perempuan alergi debu.
Dirumahnya juga memiliki hewan peliharaan kucing dan kelinci.

Obat yang diterima:

1. Salbutamol 3 dd 1
2. Methylprednisolon 3 dd 1
3. Beklometason MDI 400mcg 2 dd 1
4. Amoksisilin 500mg 3 dd1

Berikut merupakan hasil pemantauan terapi farmakologis pada pasien Ny. SA :

1. Pemberian Salbutamol 3 kali dalam Sehari


Berdasarkan kasus pasien diberikan terapi salbutamol bentuk tablet. Salbutamol
yang merupakan bronkodilator golongan beta-2 agonis aksi cepat (short acting beta-2
agonist), adalah pilihan lini pertama untuk mengatasi eksaserbasi asma. Reseptor
agonis beta-2, bagian dari golongan Gprotein-coupled reseptor (GPCR), banyak
diekspresikan pada sel-sel otot polos bronkus, dan secara khusus mengikat dan
diaktifkan oleh kelas ligan dikenal sebagai katekolamin, khususnya epinefrin. Aktivasi
reseptor beta-2 agonis mengakibatkan perluasan saluran udara kecil sehingga reseptor
beta-2 agonis digunakan dalam terapi bronkodilator lini pertama pada asma. Menurut
kelompok kami, pemberian salbutamol dalam bentuk tablet oral belum sesuai atau
kurang efektif untuk tindakan pengobatan asma. Sehingga kelompok kami
menyarankan bahwa penggunaan salbutamol tablet oral diganti dengan salbutamol
nebulizer yang lebih efektif untuk mengobati asma. Karena cara kerja nebulizer adalah
dengan mengubah obat asma dalam bentuk cairan ataupun serbuk menjadi uap, dan
mengirimkan obat tersebut ke dalam saluran pernapasan secara langsung dengan cara

12
dihirup melalui mulut. Dan salbutamol dalam bentuk nebulizer memiliki efek
samping sistemik yang lebih ringan (Cates, 2013).
2. Pemberian Methylprednisolon 3 Kali Dalam 1 Hari
Karena pasien Ny . SA mengalami Inflamasi yang ditandai dengan tingginya
kadar Leukosit dalam tubuh yakni sebesar 13.600/mm3, sedangkan kadar normal
leukosit berada pada rentang 4.500-11.000/mm3 (Oliphant, 2008). Sehingga pasien
diberikan obat Methylprednisolon 3 Kali Dalam 1 Hari. Prednisolon digunakan
sebagai imunosupresan melalui beberapa mekanisme, diantaranya yakni dapat
mencegah respon imun dengan menurunkan kativitas dan volume sistem limfa dan
menyebabkan limfositopenia. Namun efeknya yang luas pada tubuh menimbulkan
mekanisme aksi lain, yakni diantaranya, prdnisolon dapat menyebabkan neutrofilia
dan eosinopenia (AHSF, 2011). Tindakan tersebut menurut kelompok kami telah tepat
sesuai dengan literatur yang di dapatkan yakni Mekanisme kerjanya sebagai anti
radang berhubungan dengan kemampuannya untuk merangsang biosintesis protein
lipomodulin yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A2 sehingga
mencegah pelepasan mediator proses keradangan yaitu asam arakhidonat dan
metabolitnya seperti prostaglandin (PG), Leukotrien (LT), tromboksan, dan
prostasiklin. Metil prednisolon digunakan secara oral dengan dosis awal yang
diberikan untuk orang dewasa berkisar pada 2-60 mg. Per hari namun bergantung pada
penyakit yang akan diterapi serta kondisi pasien dan biasanya dibagi dalam 4 dosis
sehari (AHFS 2008, AHFS 2011). Namun interfal pemberian Methylprednisolon perlu
di kurangi 2x1 hari karena sesuai literatur dosis yang harus diberikan adalah 2x1 hari
(AHSF, 2011).
Studi klinis kortikosteroid secara konsisten menunjukkan mereka efektif dalam
meningkatkan semua indeks pengendalian asma: keparahan gejala, tes kaliber saluran
napas dan reaktivitas bronkial, frekuensi eksaserbasi, dan kualitas hidup. Karena efek
samping yang parah bila diberikan secara kronis, kortikosteroid oral dan parenteral
disediakan untuk pasien yang memerlukan perawatan segera, yaitu mereka yang belum
membaik dengan bronkodilator atau yang mengalami gejala yang memburuk
meskipun terapi pemeliharaan. Terapi reguler atau "pengontrol" dipertahankan dengan
ICS pada semua orang kecuali pada individu yang terkena dampak paling parah.
Pengobatan mendesak sering dimulai dengan dosis oral 30-60 mg prednison per
hari atau dosis intravena 1 mg / kg metilprednisolon setiap 6-12 jam; dosis diturunkan
setelah obstruksi jalan nafas membaik. Pada kebanyakan pasien, terapi kortikosteroid
sistemik dapat dihentikan dalam 5-10 hari, tetapi pada pasien lain gejala dapat
memburuk karena dosis diturunkan ke tingkat yang lebih rendah.
Perawatan inhalasi adalah cara paling efektif untuk menghindari efek samping
sistemik dari terapi kortikosteroid. Pengenalan ICS seperti beclomethasone,
budesonide, ciclesonide, flunisolide, fluticasone, mometasone, dan triamcinolone telah
memungkinkan pengiriman kortikosteroid ke saluran udara dengan penyerapan

13
sistemik minimal. Dosis harian rata-rata 800 mcg beclomethasone inhalasi setara
dengan sekitar 10-15 mg / hari prednison oral untuk pengendalian asma, dengan efek
sistemik yang jauh lebih sedikit. Memang, salah satu peringatan dalam mengalihkan
pasien dari terapi oral ke ICS adalah terapi oral taper perlahan untuk menghindari
pengendapan insufisiensi adrenal. Pada pasien yang membutuhkan pengobatan
prednison lanjutan meskipun dosis standar kortikosteroid inhalasi, dosis inhalasi yang
lebih tinggi seringkali efektif dan memungkinkan pengurangan dan penghentian
pengobatan prednison. Meski dosisnya tinggi dihirup steroid dapat menyebabkan
penekanan adrenal, risiko toksisitas sistemik dari penggunaan kronisnya dapat
diabaikan dibandingkan dengan terapi kortikosteroid oral yang mereka gantikan.
Masalah khusus yang disebabkan oleh kortikosteroid topikal hirup adalah
terjadinya kandidiasis orofaringeal. Hal ini mudah diobati dengan kotrimazol topikal,
dan risiko komplikasi ini dapat dikurangi dengan meminta pasien berkumur air dan
mengeluarkan cairan setelah setiap pengobatan yang dihirup. Ciclesonide, ICS yang
paling baru disetujui, adalah prodrug yang diaktifkan oleh esterase bronkial, dan
meskipun tidak lebih efektif dalam pengobatan asma, telah dikaitkan dengan
kandidiasis yang lebih jarang. Suara serak juga dapat dihasilkan dari efek lokal
langsung ICS pita suara. Meskipun sebagian besar dosis hirup disimpan di orofaring
dan ditelan, kortikosteroid hirup tunduk pada metabolisme lintasan pertama di hati dan
dengan demikian sangat bebas dari komplikasi jangka pendek lainnya pada orang
dewasa. Meskipun demikian, penggunaan kronis dapat meningkatkan risiko
osteoporosis dan katarak. Pada anak-anak, terapi ICS telah terbukti memperlambat laju
pertumbuhan sekitar 1 cm selama tahun pertama pengobatan, tetapi tidak pada laju
pertumbuhan setelahnya, sehingga pengaruhnya terhadap tinggi badan orang dewasa
minimal.
Karena kemanjuran dan keamanan kortikosteroid inhalasi, pedoman nasional dan
internasional untuk manajemen asma merekomendasikan resep mereka untuk pasien
yang membutuhkan lebih dari inhalasi sesekali. dari agonis β untuk menghilangkan
gejala. Terapi ini dilanjutkan selama 10-12 minggu dan kemudian dihentikan untuk
menentukan apakah diperlukan terapi yang lebih lama. Kortikosteroid inhalasi tidak
bersifat kuratif. Pada kebanyakan pasien, manifestasi asma kembali dalam beberapa
minggu setelah menghentikan terapi bahkan jika telah dikonsumsi dalam dosis tinggi
selama 2 tahun atau lebih. Sebuah studi prospektif terkontrol plasebo tentang
penggunaan kortikosteroid inhalasi awal dan berkelanjutan pada anak-anak dengan
asma menunjukkan perbaikan yang lebih besar secara signifikan pada gejala asma,
fungsi paru, dan frekuensi eksaserbasi asma selama 2 tahun pengobatan, tetapi tidak
ada perbedaan pada asma secara keseluruhan. kontrol 3 bulan setelah akhir masa
percobaan. Jadi, kortikosteroid yang dihirup diberi label dengan benar sebagai
"pengontrol". Mereka efektif hanya selama diambil.
Pendekatan lain untuk mengurangi risiko penggunaan ICS dua kali sehari dalam
jangka panjang adalah dengan mengaturnya hanya sebentar-sebentar, ketika gejala
14
asma kambuh. Mengambil satu kali inhalasi ICS dengan masing-masing menghirup
pereda β-agonis kerja pendek (misalnya, menghirup beclomethasone untuk setiap
inhalasi albuterol) atau mengambil kursus 5 hingga 10 hari dari budesonide dosis
tinggi dua kali sehari atau beclomethasone ketika gejala asma memburuk telah terbukti
sama efektifnya dengan terapi harian biasa pada orang dewasa dan anak-anak dengan
asma ringan sampai sedang, meskipun pendekatan pengobatan ini tidak didukung oleh
pedoman untuk manajemen asma atau disetujui oleh FDA ( Katzung, 2014)
3. Pemberian Amoxicillin 500 mg, 3 kali sehari 1 tablet
Dari penelitian yang ada, tidak disarankan pemberian antibiotik pada asma
eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tandatanda infeksi. Adanya infeksi
pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui dari adanya demam, sputum purulen
dan adanya infiltrat pada foto toraks akibat adanya pneumonia. Terapi
kortikosteroid agresif harus diberikan sebelum mempertimbangkan pemberian
antibiotik (Global initiative for asthma, 2016)

BAB III

KASUS

FORMULIR PEMANTAUAN TERAPI OBAT

PTO – 1. SUBJEKTIF
A. IDENTITAS PASIEN

15
TANGGAL MRS : TGL LAHIR / UMUR : 34 Tahun
NAMA : Ny. SA BB/TB/LPT : / /
NO. RM : JENIS KELAMIN : (Laki-laki / Perempuan)
R. RAWAT : ALERGI OBAT :
NAMA DPJP : TANGGAL KRS :
KONDISI KHUSUS :
a. Hamil/Menyusui b. Gangguan Ginjal c. Gangguan Hati
d. -

KELUHAN UTAMA : Sesak nafas disertai bunyi mengicr

DIAGNOSIS DOKTER: Asma

II. RIWAYAT PASIEN


Riwayat Penyakit Asma
Riwayat -
Pengobatan
Riwayat Keluarga Ayah mengidap asma

PTO – 2. OBJEKTIF
A. DATA PEMERIKSAAN KLINIK (TTV)
Tanggal
Pemeriksaan Nilai Normal
Suhu 37°C ±0,5°C -
RR 12-20x/ menit 32x/ menit
HR 70-80/ menit 16x/ menit
Tekanan Darah < 130/80 130/80

16
INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN KLINIK :
1. Ny. SA memiliki Respiratory rate (RR) 32x/menit yang dapat diartikan bahwa pasien
memiliki RR diatas normalnya ( 12-20x/ menit ) ( Royal College of Physicians (RCP),
2017).
2. Pasien memiliki denyut nadi lemah ( 16x/ menit) dari normalnya yaitu 70-80x/ menit
( Tortora et al, 2009).
3. Pasien memiliki tekanan darah yang normal yakni 130/80

B. DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Pemeriksaa Nilai Tanggal
n normal
Hemoglobin
Leukosit 4500- 13.600/
11.000/mm3 mm3
Hematokrit
Trombosit
Ureum
Kreatinin
Eosinophil 1,0-3,0 % 4%

17
INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN LAB :

1. Ny. SA memiliki jumlah leukosit tinggi yakni 13.600/mm 3 sedangkan jumlah leukosit
normalnya berada pada 4.500-11.000/ mm3 ( Oliphant, 2008).
2. Pasien memiliki kadar eusinophil 4% yang artinya pasien mengalami inflamasi. Eusinophil
terdapat dalam darah dalam jumlah sedikit yaitu 1-3% dari keseluruhan populasi leukosit
( Rahayu, 2018).

C. DATA PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENDUKUNG SPESIFIK


(CT-SCAN, FOTO THORAX, DAN LAIN SEBAGAINYA)

18
19
PTO – 3. ASSESSMENT
A. PROFIL PENGGUNAAN OBAT
JENIS OBAT Tanggal Pemberian Obat (Mulai MRS)
Rut
No Nama Dagang/ Regimen Dosis
e
Generik
1. Salbutamol

2. Methylprednison

3. Beklometason MDI 400 mg


400mcg

4. Amoksisilin 500mg 500mg

5.

6.

7.

8.

9.

10
.

11
.

12
.

20
B. MASALAH KLINIK & DRUG RELATED PROBLEM
1. UNTREATED INDICATION, IMPROPER DRUG SELECTION & MEDICATION USE WITHOUT INDICATION
Indikasi pada Pasien dan Pemilihan Obat
Masalah klinik Drug-related Problems (DRPs) Resep dokter Kesesuaian Rekomendasi dan Alasan Monitoring
pada Pasien & Reference Study Obat (Literature Study)
(DRPs)
Asma Pasien mengalami mengi Salbutamol Sesuai Obat yang diberikan sudah Respiratory Rate
sesuai namun sediaan obat
dari resep dokter sebaiknya
diganti dengan salbutamol
nebulizer. Salbutamol yang
merupakan bronkodilator
golongan beta-2 agonis aksi
cepat (short acting beta-2
agonist), adalah pilihan lini
pertama untuk mengatasi
eksaserbasi asma (GINA,
2014). Reseptor agonis beta-2,
bagian dari golongan G
protein-coupled reseptor
(GPCR), banyak
diekspresikan pada sel-sel otot
polos bronkus, dan secara
khusus mengikat dan
diaktifkan oleh kelas ligan
dikenal sebagai katekolamin,
khususnya epinefrin. Aktivasi
reseptor beta-2 agonis
mengakibatkan perluasan
saluran udara kecil sehingga

21
reseptor beta-2 agonis
digunakan dalam terapi
bronkodilator lini pertama
pada asma (Lee, 2011).
Antibiotik Pasien tidak memiliki tanda amoxicillin Tidak sesuai Dari penelitian yang ada,
infeksi tidak disarankan pemberian
antibiotik pada asma
eksaserbasi akut bila tidak ada
bukti adanya tandatanda
infeksi. Adanya infeksi pada
asma eksaserbasi akut dapat
diketahui dari adanya demam,
sputum purulen dan adanya
infiltrat pada foto toraks
akibat adanya pneumonia.
Terapi kortikosteroid agresif
harus diberikan sebelum
mempertimbangkan
pemberian antibiotik (Global
initiative for asthma, 2016)
Pasien memiliki jumlah leukosit Kortikosteroid Sesuai Prednison digunakan sebagai Leukosit dan
Inflamasi diatas normal yakni 13.600/mm3. (Methylprednison imunosupresan melalui eusinophil
Dan pasien memiliki jumlah dan beberapa mekanisme,
eosinofil yang tinggi yakni 4%. Beclamethason) diantaranya yakni dapat
mencegah respon imun
dengan menurunkan aktivitas
dan volume sistem limfa dan
menyebabkan limfositopenia.
Namun efeknya yang luas
pada tubuh menimbulkan
mekanisme aksi lain yakni
diantaranya prednisolon dapat

22
menyebabkan netrofilia dan
eosinopenia (AHSF, 2011)
Pengobatan mendesak sering
dimulai dengan dosis oral
metilprednisolon setiap 6-12
jam; dosis diturunkan setelah
obstruksi jalan nafas
membaik. Pada kebanyakan
pasien, terapi kortikosteroid
sistemik dapat dihentikan
dalam 5-10 hari, tetapi pada
pasien lain gejala dapat
memburuk karena dosis
diturunkan ke tingkat yang
lebih rendah. Perawatan
inhalasi adalah cara paling
efektif untuk menghindari
efek samping sistemik dari
terapi kortikosteroid.
Pengenalan ICS seperti
beclomethasone Dosis harian
rata-rata 800 mcg
beclomethasone inhalasi
untuk pengendalian asma,
dengan efek sistemik yang
jauh lebih sedikit (Katzung,
2014).

2. SUBTHERAPEUTIC DOSAGE & OVERDOSAGE

23
Analisis Kesesuaian Dosis
Nama Obat Dosis dari literature Dosis pemberian Kesesuaian Dosis Rekomendasi/Saran
Salbutamol Dosis oral : 2-4 mg 3-4 kali sehari 3x1 Tidak Sesuai Diganti dengan salbutamol nebulizer.
( Depkes RI, 2007) Nebulisasi (nebula) yang berisi 2,5
ml dengan 1 atau 2 mg/ml
salbutamol dan diberikan setiap 4
atau 8 jam sesuai kebutuhan
(Cathomas et al., 2006; Lacy et al.,
2009).
Beklometason 40-160 mcg/ hari ( Direktorat Bina 400 mcg 2x1 Sesuai -
MDI Farma, 2007 & medscape )
Methylprednisolo 40-80 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis 3x1 Tidak Sesuai Pemberian obat dengan interval
n terbagi ( Barbaru, 2012) pemberian 2x1
Amoxicillin 500 mg tiap 8 jam (AHFS, 2011) 500 mg 3x1 Sesuai -

3. FAILURE TO RECEIVE MEDICATION


Obat Yang Gagal Diterima Pasien
Nama Obat Dosis Indikasi Rekomendasi/Saran
- - - -

4. ADVERSE DRUG REACTIONS


Nama Obat Efek Samping Potensial Efek Samping Yang Timbul Rekomendasi/Saran
Salbutamol Peningkatan kadar leukosit Leukosit 13.600/ mm3 Pemberian methylprednisolon sudah tepat namun
(Newman, 2012) interval pemberian 2x1 hari

24
5. DRUG INTERACTIONS

OBAT A OBAT B EFEK MEKANISME INTERAKSI MANAJEMEN


INTERAKSI FARMAKOKINETIK FARMAKODINAMIK INTERAKSI
- - - - - -

PTO – 4. PLAN
1. MONITORING HASIL TERAPI OBAT
Indikasi pada Parameter Monitoring Evaluasi Hasil yang
Nama Obat Dosis
Pasien (Data Lab, Data Klinik) diperoleh
- - - - -

2. TERAPI NON FARMAKOLOGI

25
Terapi non farmakologi asma terdiri dari edukasi mengenai manajemen asma secara mandiri dan fisioterapi pernafasan termasuk body
excercise training ( ET), inspiratory muscle training ( IMT) dan pelatihan kembali tehnik pernpasan ( Bruurs et al, 2013)
IMT dan ET bisa dilakukan salah satu saja ataupun kombinasi dari keduanya ( Santus et al, 2015).

26
3. DAFTAR PUSTAKA

Andra, S. W., & Yessie, M. P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

McEvoy & Gerald. 2008. AHFS Drugs Information. USA: American Society of health
system pharmacists

Cathomas, R., Hartmann, K., Havryk, A., Joerger, M., Kuhn, M., Paterson, J.W.,
Robinson, T.D., and Seale, J.P., 2005. In: Aronson, J.K. Meyler’s Side Effect of
Drugs: The International Encyclopedia of Adverse Drug Reaction an Interaction,
Ed. 15th, Oxford: Elsevier., pp. 1344, 1443, 3093, 3099.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Dipiro, J.T et al. 2017. Pharmacoteraphy A pathophisiologyc Approach, 11th ed. United
States : McGraw-Hill Education.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan., 2007. “Pharmaceutical Care untuk pasien
Penyakit Arthritis Rematik”. Jakarta

Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC

Follenweider, L.M., and Lambertino, A., 2013. Epidemiology of asthma in the United
States. Nurs Clin N Am., 48, pp. 1-10

Global Initiative for Asthma. 2015. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Global Initiative for Asthma

Halim Danukusantoso.2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit


Hipokrates.

Kelly, H.W., and Sorkness, C.A., 2008. Asthma. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matske G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M. Pharmacotherapy A

27
Pathophysiologic Approach, Ed. 7th, New York: The McGrawHill Companies,
Inc., pp. 463-493.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes
RI

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008


Tentang Pedoman Pengendalian Asma

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2009. Drug Information
Handbook: A Comprehensive Resource for all Clinicians and Healthcare
Professionals, 17th Ed, Ohio: Lexi-Comp, Inc.

Lee MY, Cheng SN, Chen SJ, et al. Polymorphisms of the β2-adrenergic receptor
correlated to nocturnal asthma and the response of terbutaline nebulizer.
Pediatric Neonatol. 2011;52(1):18–23. doi: 10.1016/j.pedneo.2010.12.011

Lucas, S.R., and Platts-Mills, T.A.E., 2005. Physical activity and exercise in asthma:
Relevance to etiology and treatment. J Allergy Clin Immunol, Vol. 115 No. 5, pp.
928-933.

McEvoy, G.K. Eds. 2011. AHFS Drug Information Essentials. Bethesda, USA :
American Society of Health System Pharmacists

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma.2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC JILID 1.Yogyakarta :
MediAction.

Padila. 2015. Asuhan Keperawatan Maternitas II. Yogyakarta : Nuha. Medika.

Rigat, R.V., Valls, R.P., Huet, E.H., Maristany J.S., Prat, X.B., Ortiz, L.M., Monserrat,
P.T., and Santacana, V.R., 2015. Prevalence of work- related asthma and its
impact in primary health care. Archivos De Bronconeumologia, 51(9), pp. 449-
455.

Royal College of Physicians. National Early Warning Score (NEWS) 2: Standardising


the assessment of acute-illness severity in the NHS. Updated report of a working
party. Executive summary and recommendations. 2017.
http://tinyurl.com/ycodbu85 (accessed 6 November 2020)

28
Sears, M.R., and Lotvall, J., 2005. Past, present and future-β2-adrenoceptor agonist in
asthma management. Respiratory Medicine, 99, pp.152-170

The Global Initiative for Asthma (GINA). Update of the GINA Report. Global strategy
for asthma management and prevention; 2014 [diunduh 28 November 2015].
Tersedia dari: http://www. ginasthma.com/

Abbe, O. O. (2008). Modeling the Relationship among Occupational Stress,


Psychological/Physical Symptoms and Injuries in the Industry. Thesis. The
Department of Construction Management and Industrial Engineering, B. S.,
Berea College.

Cates C dan Cates N, 2013. Regular treatment with salmeterol for chronic asthma:
serious adverse events. Cochrane Database Syst Rev, 3

Bertram Katzung, Anthony Trevor - Basic and Clinical Pharmacology-McGraw-Hill


Education _ Medical (2014)

29

Anda mungkin juga menyukai