Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati salah
satunya tumbuh-tumbuhan yang mempunyai potensi sebagai sumber obat. Zaman
dahulu, masyarakat Indonesia mengandalkan lingkungan disekitar untuk memenuhi
kebutuhannya salah satunya yaitu untuk pengobatan. Masyarakat umumnya
memiliki pengetahuan tradisional dalam pengunaan tumbuh-tumbuhan berkhasiat
obat untuk mengobati penyakit tertentu. Hal ini disebabkan karena obat tradisional
memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Sari &
Ruma, 2006).
Saat ini penggunaan obat bahan alam cenderung terus meningkat dari tahun
ke tahun. Kecenderungan kembali ke alam (back to nature) dijadikan sebagai
alternatif dalam pemilihan pengobatan. Faktor yang mendorong masyarakat untuk
mendayagunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat modern/sintesis
dan banyaknya efek samping (Dewoto, 2007).
Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Obat tradisional dibuat dari bahan alam yang sifat dan
jenis kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu produk obat
tradisional tersebut diperlukan cara pembuatan yang baik dengan lebih
memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku (BPOM RI, 2006).
Salah satu produk obat tradisional yang banyak diminati oleh masyarakat
adalah jamu. Menurut Kartika (2006), Jamu merupakan obat tradisional Indonesia
yang tercipta dari panggilan dan keanekaragaman bahan alam yang bersumber dari
warisan nenek moyang bangsa Indonesia ribuan tahun lalu. Penggunaan jamu
sebagai obat tradisional diharapkan dapat digunakan sebagai pengobatan
komplementer alternatif yang dapat disandingkan dengan pengobatan medis
(modern) yang sudah berkembang dan telah lama digunakan di fasilitas kesehatan,
sebagian masyarakat indonesia memilih pengobatan alternatif karena biayanya lebih
murah jika dibandingkan dengan pengobatan medis karena pengobatan jenis ini
tidak membutuhkan teknologi yang canggih. Namun, penggunaan obat tradisional
(jamu) tidak seutuhnya aman karena ada beberapa produsen yang menambahkan
bahan kimia obat pada sediaan jamu. Penambahan bahan kimia obat ini bertujuan
untuk meningkatkan dan mempercepat efektifitas jamu tersebut.
Sediaan jamu harus memiliki kriteria tertentu yaitu aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris,
dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Anggraeni dkk, 2015). Dalam
peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 246/Menkes/Per/V/1990
Tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional Dan Pendaftaran Obat Tradisional,
bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia sintetik atau hasil
isolasi yang berkhasiat sebagai obat dan tidak mengandung bahan yang tergolong
obat keras atau narkotika
Menurut Wahyuni dan Tanti (2004) salah satu produk obat tradisional yang
banyak diminati oleh masyarakat adalah Jamu pegel linu. Jamu pegal linu
merupakan jamu yang banyak dikonsumsi oleh para pekerja berat. Jamu pegal linu
dikonsumsi untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan pegal linu, capek, nyeri
otot dan tulang, memperlancar peredaran darah, memperkuat daya tahan tubuh, dan
menghilangkan sakit seluruh badan. Berdasarkan beberapa kasus tentang bahan
kimia obat dalam jamu pegal linu yang berhasil diungkapkan BPOM, bahan kimia
obat yang paling sering ditemukan adalah natrium diklofenak, parasetamol dan
dexametashone (Handoyo, 2014).
Produk jamu yang biasanya ditambahkan BKO antara lain jamu pegal linu,
rematik, sesak napas, masuk angin dan suplemen kesehatan. Bahan-bahan kimia
obat yang digunakan meliputi metampiron, natrium diklofenak, fenilbutazon,
deksametason, allopurinol, chlorpheniramine, sildenafil sitrat, tadalafil dan
parasetamol. Jamu yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut akan
menimbulkan efek samping seperti timbul rasa tidak nyaman pada saluran cerna,
mual, diare, terkadang pendarahan dan tukak, reaksi hipersensifitas terutama angio
edema dan bronkospasme, sakit kepala, pusing, vertigo, gangguan pendengaran,
fotosensifitas dan hematuria (Rosyada dkk, 2019)
Adanya BKO dalam jamu kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan
produsen akan bahaya campuran BKO dalam jamu dan bahayanya apabila
dikonsumsi secara tidak terkontrol. Motif lain produsen menambahkan BKO yaitu
semata-mata untuk meningkatkan nilai jual produknya dan meraup keuntungan
yang besar, karena sebagian besar konsumen menyukai produk jamu yang memiliki
efek farmakologis cepat pada tubuh (Wirastuti dkk, 2016)
Jika bahan kimia obat terdapat dalam produk jamu dapat membahayakan
konsumen, apabila bahan kima obat yang terkandung dalam jamu memiliki kontra
indikasi terhadap penyakit tertentu yang diderita pasien. Masalah yang sering terjadi
dari mengkonsumsi jamu mengandung bahan kima obat yaitu terjadinya 3 perforasi
lambung dan gagal ginjal sebagai efek samping dari penambahan bahan kima obat
tersebut (Purwaningsih, 2013). Permenkes RI No. 007 Tahun 2012, juga
mensyaratkan bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia obat
atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat. Namun demikian berdasarkan
pemantauan Badan POM RI, diantara produk produk jamu yang mengandung bahan
kima obat masih ditemukan di toko jamu. Pemakaian bahan kimia obat dalam
jangka panjang menyebabkan kerusakan fungsi organ tubuh. Oleh karena itu,
dibutuhkan pengawasan oleh Badan POM RI supaya tidak beredar bahan kimia obat
yang ditambahkan dalam jamu pegal linu.
Salah satu Bahan Kimia Obat (BKO) yang memiliki efek analgesik adalah
natrium diklofenak. Analgesik merupakan istilah medis untuk golongan obat yang
dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Natrium diklofenak merupakan obat golongan Non-Steroidal Anti Inflammatory
Drugs (NSAIDs) atau Anti Inflamasi Non-Steroid (AINS) yang digunakan untuk
terapi penyakit inflamasi sendi seperti artritis reumatoid, osteoartritis, spondilitis
ankilosa, dan penyakit pirai (Gunawan, 2011)
Berdasarkan uraian diatas maka program pengawasan perlu ada
partisipasi berbagai kalangan khususnya mahasiswa peneliti. Penelitian ini
bermaksud memberi kontribusi dalam pengawasan produk dengan melakukan
penelitian tentang adanya obat natarium diklofenak pada beberapa jamu pegel linu
yang beredar di kota Gorontalo, sehingga dapat digunakan sebagai referensi bagi
masyarakat tentang keamanan dari beberapa jamu pegal linu. Penelitian ini
menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) sebagai analisis kualitatif
Metode ini dipilih karena sederhana dalam pengerjaannya dan efektif digunakan
untuk analisis secara kualitatif. Dan metode Spektrofotokopi UV-VIS sebagai
analisis kuantitatif metode ini dipilih karena lebih banyak dipakai untuk analisis
kuantitatif pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer yang
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis
(Gandjar dan Abdul, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas diperoleh rumuskan masalahan sebagai
berikut:
1. Apakah terdapat kandungan obat natrium diklofenak dalam jamu pegel linu
yang dijual di kota Gorontalo?
2. Berapakah kadar obat natrium diklofenak dalam jamu pegel linu yang dijual
di kota Gorontalo?
1.3 Tujuan penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang diajukan maka tujuan yang ingin
diperoleh adalah:
1. Untuk mengetahui ada tidaknya obat natrium diklofenak dalam jamu pegel
linu yang dijual di kota Gorontalo.
2. Untuk mengetahui dan menghitung kadar obat natrium diklofenak dalam
jamu pegel linu yang dijual di kota Gorontalo.
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
lanjutan terhadap kualitas jamu yang beredar dipasaran. Selain itu bermanfaat
sebagai referensi bagi masyarakat tentang keamanan dari beberapa jamu pegal linu
yang beredar dipasaran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat tradisional
Obat bahan alam di Indonesia dikelompokkan menjadi Jamu, Obat Herbal
Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka. Berdasarkan Permenkes (Peraturan Menteri
Kesehatan) No.007/Menkes/ Per/1/2012. pengertian dari obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Obat tradisional sendiri dibagi menjadi tiga
yaitu, jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.
Obat tradisional adalah salah satu upaya pengobatan dan dimanfaatkan oleh
masyarakat dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan menjaga
kebugaranjasmani (promotif), mencegah penyakit (preventif),pengobatan penyakit
(kuratif)dan untuk memulihkan kesehatan (rehabilitatif) (Notoatmodjo, 2007)
Obat tradisional dan tanaman obat banyak digunakan masyarakat menengah
ke bawah dikarenakan harga yang sangat terjangkau. Alasan lainnya masyarakat
menggunakan obat tradisional yaitu penggunaan tanaman obat atau obat tradisional
relatif lebih aman dibandingkan obat sintesis (Banureah, 2009).
Persyaratan untuk mendaftarkann obat tradisional menurut permenkes
RI/No.246/MENKES/PER/V/1990 dimaksud dalam pasal obat tradisional yaitu
secara pengalaman terbukti aman dan bermanfaat untuk manusia. Bahan obat
tradisional dan proses produksi yang digunakan telah memenuhi syarat yang
ditetapkan dan tidak mengandung bahan kimia sintetik atau yang berkhasiat sebagai
obat serta tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau
narkotik.Semakin maraknya penggunaan obat tradisional berdasarkan khasiat yang
turun temurun semakin memperluas kesempatan terjadinya pemalsuan simplisia
bahkan ada beberapa jamu yang mengandung bahan kimia obat (BKO) yang telah
jelas dilarang penambahannya baik sengaja maupun tidak disengaja kedalam
produk obat tradisional.
Minat masyarakat yang besar terhadap produk jamu sering kali
disalahgunakan oleh produsen jamu yang memungkinkan menambahkan BKO
(Bahan Kimia Obat). Padahal seharusnya BKO tidak boleh ditambahkan dalam
jamu, karena jamu merupakan obat tradisional. Salah satu jenis BKO yang
ditambahkan oleh produsen pada jamu adalah dexametason, obat golongan
kortikosteroid. Deksametason jika dikonsumsi secara berlebihan mempunyai efek
antialergi, anti asma, kortikosteroid ditemukan pada jamu asam urat, anti loyo, dan
menambah berat badan. Adanya dexametaon pada jamu dapat menyebabkan
moonface, retensi cairan dan elektrolit, hiperglikemia, glaucoma, gangguan
pertumbuhan, osteoporosis, daya tahan terhadap infeksi menurun, miopati ,
gangguan lambung, gangguan hormon dan lain-lain (Badan POM, 2006)
Masyarakat luas menganggap bahwa penggunaan obat dari bahan herbal
lebih menguntungkan karena tidak menimbulkan efek samping jika dibandingkan
dengan obat kimia sintetik. Sebenarnya anggapan ini kurang tepat, karena
sebenarnya bahan herbal pun juga dapat menimbulkan efek samping, hanya saja
resiko efek samping tersebut lebih rendah.
2.2 Jenis Obat Tradisional
Berdasarkan SK Ka. BPOM HK. 00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, obat tradisional
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka
a. Jamu
Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan.
Pengertian jamu dalam Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan serian
(generik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat (Biofarmaka IPB, 2013).

Gambar 2.1 Logo dan penandaan jamu (Rahmawai, 2016)


Jamu harus memenuhi kriteria :
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim berkhasiat dibuktikan berdasarkan data empiris
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (BPOM RI, 2004).
Penggunaan jamu yang semakin lama semakin meningkat menyebabkan
beberapa produsen jamu menambahkan bahan kimia obat (BKO) ke dalam produk
jamu. Tujuan penambahan BKO untuk memberikan efek terapi yang lebih
maksimal sehingga produk yang dihasilkan lebih laku di pasaran. Berdasarkan data
BPOM tahun 2015 terdapat 54 merek jamu yang mengandung bahan kimia obat
(BPOM, 2015). Hal ini karena suatu sediaan jamu tidak boleh mengandung bahan
kimia obat atau hasil sintesis yang memiliki khasiat sebagai obat (Permenkes,
2012).
Pemasarannya jamu disajikan dalam bermacam-macam jenis, diantaranya
jamu gendong, jamu godokan, serbuk seduhan, pil dan cairan. Satu jenis jamu
disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5 sampai 10 macam,
bahkan bisa lebih. Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis,
tetapi cukup dengan bukti empiris, jamu juga harus memenuhi persyaratan
keamanan dan standar mutu (Suharmiati et al., 2006).
Banyaknya produk jamu tersebut membuat pemerintah kesulitan melakukan
pengawasan secara rutin. Hal tersebut memberi celah adanya kemungkinan
kecurangan yang dilakukan oleh sebagian produsen yang kurang baik, misalnya
penambahan bahan kimia obat dengan tujuan agar jamu yang dikonsumsi segera
dirasakan efeknya oleh konsumen sehingga akan menyebabkan tingginya
permintaan. Salah satu bahan kimia obat yang memiliki efek analgetik adalah
natrium diklofenak.
b. Obat Herbal Terstandar
Obat herbal terstandar merupakan obat tradisional yang disajikan dari hasil
ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral.
Dalam proses pembuatannya, dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih
mahal daripada jamu. Tenaga kerjanya pun harus didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan membuat ekstrak. Obat herbal ini umumnya ditunjang oleh
pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis (Handayani dan Suharmiati, 2006).
Gambar 2.2 Logo Obat Herbal Terstandar (Rahmawai, 2016)
Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria :
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik
3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (BPOM RI, 2004).
c. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang dapat disejajarkan dengan obat
modern. Proses pembuatannya telah terstandar dan ditunjang oleh bukti ilmiah
sampai uji klinis pada manusia. Karena itu, dalam pembuatannya diperlukan
peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit (Handayani
dan Suharmiati, 2006).

Gambar 2.2 Logo Fitofarmaka (Rahmawai, 2016)


Fitofarmaka harus memenuhi kriteria :
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik
3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (BPOM RI, 2004).
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi
Obat Tradisonal Pasal 7 Menetapkan bahwa industri obat tradisonal dilarang
memproduksi segala obat tradisonal yang mengandung :
a. Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang
pemakaiannya dengan pengenceran
b. Bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat
c. Narkotika atau psikotropika; dan/atau
d. Bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan
penelitian membahayakan kesehatan.
2.3 Bahan Kimia Obat
Secara garis besar, bahan dasar obat dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu berasal dari:
1. Bahan-bahan yang secara alami disintesis di dalam tubuh, baik manusia,
hewan, tumbuhan, atau makhluk hidup lainnya, termasuk di dalamnya
obat herbal/ tradisional (TR)
2. Bahan-bahan kimia yang secara alami tidak disintesis di dalam tubuh,
oleh masyarakat disebut sebagai “obat kimia”, termasuk di dalamnya
obat sintetik dan obat semi-sintetik
2.3.1 Natrium diklofenak
Natrium diklofenak merupakan golongan anti inflamasi non steroid (AINS)
derivat asam fenil asetat yang dipakai untuk mengobati penyakit reumatik dengan
kemampuan menekan tanda-tanda dan gejalagejala inflamasi. Natrium diklofenak
cepat diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi bioavaibilitas sistemiknya
rendah hanya antara 30 - 70% sebagai efek metabolisme lintas pertama di hati.
Waktu paruh natrium diklofenak juga pendek yakni hanya 1 - 2 jam. Efek-efek yang
tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari pasien meliputi distres
gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung, dan timbulnya
ulserasi lambung (Katzung, 2002).
Dosis lazim yang biasa digunakan adalah 100 sampai 200 mg per hari,
diberikan dalam beberapa dosis terbagi. Penggunaannya dalam jangka waktu lama
untuk penyakit-penyakit kronik tentunya akan meningkatkan risiko efek samping
obat ini terhadap ginjal. Nefrotoksisitas natrium diklofenak perlu diwaspadai karena
penggunaannya yang kebanyakan pada pasien lansia dimana fungsi ginjal telah
menurun (widodo et al, 1998)
Natrium diklofenak berpotensi menimbulkan efek samping yaitu pusing,
sakit kepala, diare atau sembelit, mual muntah, maag Reaksi alergi obat, seperti
muncul ruam kemerahan yang gatal pada kulit, wajah bengkak, hingga sesak napas
dan Gangguan fungsi ginjal, seperti pembengkakan tungkai atau berat badan
bertambah akibat penumpukan cairan, serta lebih jarang buang air kecil. (Sengar et
al., 2010).

Gambar 2.2 Struktur kimia Natrium diklofenak


2.4 Kromatografi Lapis tipis (KLT)
2.4.1 Pengertian Kromatografi lapis tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis merupakan jenis kromatografi yang dapat
digunakan untuk menganalisis senyawa secara kualitatif maupun kuantitatif.
Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir (fase diam) ditempatkan pada
penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita, setelah pelat/lapisan
ditaruh dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok
(fase gerak). Pemisahan terjadi setelah perambatan kapiler (pengembangan),
selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan/dideteksi. Deteksi
dilakukan dengan menggunakan sinar UV (Sudjadi, 1988).
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat,
dengan menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dipaliskan serta rata
pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom
kromatografi terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan,
pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara
pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan
penyerap penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf
yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis tidak tetap, jika dibandingkan dengan
yang diperoleh pada kromatografi kertas. Oleh karena itu pada lempeng yang sama
di samping kromatogram zat yang di uji perlu dibuat kromatogram zat pembanding
kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda (Dirjen POM, 1979).
Teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan suatu adsorben yang
disalutkan pada suatu lempeng kaca sebagai fase diamnya dan pengembangan
kromatogram terjadi ketika fase gerak tertapis melewati adsorben itu. Seperti
dikenal baik, kromatografi lapis tipis mempunyai kelebihan yang nyata
dibandingkan kromatografi kertas karena mempunyai ketajaman pemisahan yang
lebih besar dan kepekaannya tinggi (Hadayana Pudjaatmaka dkk, 1994).
2.4.2 Prinsip kerja Kromatografi lapis tipis (KLT)
Prinsip kromatografi lapis tipis (KLT) yaitu perpindahan analit pada fase
diam karena pengaruh fase gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semakin kecil
ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam,
maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Fase gerak
yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam
karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau
karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending)
(Rohman,2007).
2.4.3 Kelebihan dan Kekurangan Kromatografi Lapis Tipis
Beberapa kelebihan KLT yaitu (Rohman, 2007):
1. KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan analisis.
2. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluoresensi, atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
3. Dapat dilakukan elusi secara mekanik (ascending), menurun (descending),
atau dengan cara elusi 2 dimensi.
4. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan
ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
5. Hanya membutuhkan sedikit pelarut.
6. Biaya yang dibutuhkan terjangkau.
7. Jumlah perlengkapan sedikit.
8. Preparasi sample yang mudah
9. Dapat untuk memisahkan senyawa hidrofobik (lipid dan hidrokarbon) yang
dengan metode kertas tidak bisa
Adapun kekurangan KLT yaitu (Gandjar dan Rohman, 2007).:
1. Butuh ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk mendapatkan bercak/noda
yang diharapkan.
2. Butuh sistem trial and eror untuk menentukan sistem eluen yang cocok.
3. Memerlukan waktu yang cukup lama jika dilakukan secara tidak tekun
2.4.4 Fase Diam KLT
Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT
yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar
200 atau 100 mm. Untuk analisis totalnya 0,1 - 0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum
digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang baik dan bebas dari uap
laboratorium. Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur,
selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Silika gel ini menghasilkan
perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya,
sehingga silika gel G Merck menurut spesifikasi Stahl yang diperkenalkan tahun
1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus diingat bahwa penjerap
seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh
nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985)
2.4.5 Fase Gerak KLT
Menurut Rohman (2007), Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka,
tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya
sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah campuran 2 pelarut organik karena
daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa
sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk
dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak:
1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif, di mana kepolaran fase gerak dapat
mempengaruhi pola kromatogram.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga nilai Rf terletak
antara 0,2 - 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi larutan yang berarti
juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar
seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan
meningkatkan nilai Rf secara signifikan.
4. Larutan ionik dan larutan polar lebih baik digunakan campuran pelarut
sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia
masing-masing akan meningkatkan larutan yang bersifat basa dan asam.
2.4.6 Identifikasi dan Nilai Rf
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang telah dipisahkan pada lapisan tipis
lebih baik dikerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna. Namun
Lazimnya untuk identifikasi menggunakan nilai Rf. Definisi nilai Rf adalah jarak
yang digerakkan oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang digerakkan
oleh pelarut dari titik asal. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan
dengan nilai senyawa 11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta standar. Senyawa standar
biasanya memiliki sifat-sifat kimia yang mirip dengan senyawa yang dipisahkan
pada kromatogram. Nilai Rf sangat ditentukan oleh kelancaran pergerakan bercak
dalam KLT, adapun faktor yang mempengaruhi pergerakan bercak adalah:
1). Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan,
2). Sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya,
3). Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap,
4). Pelarut dan derajat kemurniannya,
5). Derajat kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi,
6). Teknik percobaan,
7). Jumlah sampel yang digunakan,
8). Suhu,
9). Kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1985)
Jarak titik pusat bercak dari titik awa
RF =
Jarak garis depan dari titik awa
Harga Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila
identifikasi harga Rf memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat
dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila harga Rf
nya berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda
(Riza, 2016).
2.5 Spektrofotometri UV-VIS
Spektrofotometer adalah alat untuk mengkur transmitan atau absorban suatu
sampel sebagai fungsi panjang gelombang, tiap media akan menyerap cahaya pada
panjang gelombang tertentu tergantung pada senyawa atau warna yang terbentuk
(Cairns, 2009)
Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
absorbansi dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu
pada suatu objek kaca atau kuarsa yang disebut kuvet. Sebagian dari cahaya
tersebut akan di serap dan sisanya akan dilewatkan (Sastrohamidjojo, 2007).
Spektrofotometer UV-VIS adalah pengukuran serapan cahaya di daerah
ultraviolet (200-350nm) dan sinar tampak (350-800nm) oleh suatu senyawa.
Serapan cahaya UV atau VIS (cahaya tampak) mengakibatkan transisi elektronik,
yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadan dasar yang berenergi rendah ke
orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih rendah.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spectrum dengan panjang
gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang
ditransmisikan atau diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur
energy relatif jika energy tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan
sebagai fungsi panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dengan fotometer
adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih di deteksi dan cara ini
diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating atau celah optis. Pada
fotometer filter dari berbagai warna yang mempunyai spesifikasi melewatkan trayek
pada panjang gelombang tertentu (Gandjar,2007).
2.5.1 Bagian-bagian Spektrofotometer
a. Sumber cahaya Spektrofotometri
Sinar Tampak (UV-Vis) adalah pengukuran energi cahaya oleh suatu sistem
kimia pada panjang gelombang tertentu (Day, 2002). Sinar ultraviolet (UV)
mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan sinar tampak (visible)
mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Pengukuran spektrofotometri
menggunakan alat spektrofotometer yang melibatkan energi elektronik yang cukup
besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih
banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Spektrum UV-Vis
sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di
dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang
tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Rohman, 2007).

b. Monokromator
Monokromator adalah alat yang berfungsi untuk menguraikan cahaya
polikromatis menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu
(monokromatis) yang berbeda (terdispersi).
c. Wadah sampel (kuvet)
Kuvet merupakan wadah sampel yang akan dianalisis. Kuvet dari leburan
silika (kuarsa) dipakai untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada daerah
pengukuran 190 – 1100 nm, dan kuvet dari bahan gelas dipakai pada daerah
pengukuran 380 – 1100 nm karena bahan dari gelas mengabsorbsi radiasi UV.
d. Detektor
Peranan detektor penerma adalah memberikan respon terhadap cahaya pada
berbagai panjang gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal
listrik yang selanjutnya akan ditampilkan oleh penampil data dalam bentuk jarum
atau angka digital. Mengukur trasmitans larutan sampel, dimungkinkan untuk
menentukan konsentrasinya dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.
Spektrofotometer akan mengukur intesitas cahaya melewati sampel, dan
membandingkan ke intesitas cahaya sebelum melewati sampel .
e. Mikroprosesor
Mikroprosesor dan output software dari kalibrator dapat disimpan dan
konsentrasi sampel yang tidak diketahui secara otomatis dapat dihitung
(Kemenkes,2010).
f. Piranti pembaca
Fungsinya adalah membaca sinyal listrtik dari detector dimana data
digambarkan dalam bentuk yang bisa diinterprestasikan atau disajikan pada display
yang dapat dibaca oleh pemeriksa (Kemenkes,2010).
2.5.2 Prinsip kerja Spektrofotometer
Prinsip kerja spektrofotometer adalah penyerapan cahaya pada panjang
gelombang tertentu oleh bahan yang diperiksa. Tiap zat memiliki absorbansi pada
panjang gelombang tetentu yang khas. Panjang gelombang dengan absorbansi
tertinggi digunakan untuk mengukur kadar zat yang diperiksa. Banyaknya cahaya
yang diabsorbsi oleh zat berbanding lurus dengan kadar zat. Memastikan ketepatan
pengukuran, kadar yang hendak diukur dibandingkan terhadap kadar yang diketahui
(standar). Setelah dimasukan blangko (KEMENKES, 2010)
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini
memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat kecil.
Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang terbaca langsung
dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk angka digital ataupun grafik yang
sudah diregresikan (Yahya S,2013).

Gambar 2.4 Pembacaan spektrofotometer


Fungsi masing-masing bagian :
1. Sumber sinar polikromatis berfungsi sebagai sumber sinar polikromatis
dengan berbagai macam rentang panjang gelombang.
2. Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu
mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi
cahaya monokromatis. Pada gambar di atas disebut sebagai pendispersi atau
penyebar cahaya. dengan adanya pendispersi hanya satu jenis cahaya atau
cahaya dengan panjang gelombang tunggal yang mengenai sel sampel. Pada
gambar di atas hanya cahaya hijau yang melewati pintu keluar. Proses
dispersi atau penyebaran cahaya seperti yang tertera pada gambar

Gambar 2.5 Proses dispersi cahaya

3. Sel sampel berfungsi sebagai tempat meletakan sampel - UV, VIS dan UV-
VIS menggunakan kuvet sebagai tempat sampel. Kuvet biasanya terbuat dari
kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa yang terbuat dari silika memiliki
kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan yang terbuat dari kaca dan
plastik dapat menyerap UV sehingga penggunaannya hanya pada
spektrofotometer sinar tampak (VIS). Kuvet biasanya berbentuk persegi
panjang dengan lebar 1 cm. - IR, untuk sampel cair dan padat (dalam bentuk
pasta) biasanya dioleskan pada dua lempeng natrium klorida.
4. Detektor berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan
mengubahnya menjadi arus listrik. Macam-macam detector yaitu Detektor
foto (Photo detector),Photocell, misalnya CdS, Phototube, Hantaran foto,
Dioda foto, Detektor panas
5. Read out merupakan suatu sistem baca yang menangkap besarnya isyarat
listrik yang berasal dari detector.
2.5.3 Warna Komplementer
Apabila radiasi atau cahaya putih dilewatkan melalui larutan yang berwarna
maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap secara selektif dan
radiasi sinar lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum dari larutan berwarna
terjadi pada daerah warna yang berlawanan dengan warna yang diamati, misalnya
larutan berwarna merah akan menyerap radiasi maksimum pada daerah warna hijau.
Dengan kata lain warna yang diserap adalah warna komp lementer dari warna yang
diamati (Suharta, 2005)
2.6 Kajian Penelitian yang Relevan
1. Elliya Rosyada, Handa Muliasari, Emmy Yuanita, 2019, Analisis
kandungan bahan kimia obat Natrium Diklofenak dalam jamu pegal
linu yang dijual di Kota Mataram. Jurnal Ilmiah Farmasi 15(1)
Januari-Juli 2019, 12-19
Pada penelitian ini dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Pada analisis
kualitatif memberikan Hasil Sampel dengan kode S3, S4, dan S7 memiliki nilai Rf
yang mendekati dengan standar natrium diklofenak berturut-turut memiliki Rf
0,7312 dan 0,7312, dan 0.5938. Kedekatan nilai Rf ini mengindikasikan adanya
kandungan obat pada sampel sediaan jamu tersebut. Sedangkan pada analisis
kuantitatif menggunakan spektrofotometri UV-Vis, Berdasarkan data hasil analisis
kualitatif terdapat tiga sampel jamu pegal linu yang diguga mengandung natrium
diklofenak, yaitu sampel S3, S4, dan S7.
2. Sudewi Mukaromah Khoirunnisa, Ade Maria Ulfa, Mayang Novika,
2017, Identifikasi deksametason dalam jamu pegal linu sediaan serbuk
yang beredar di pasar-pasar kota bandar lampung secara kromatografi
lapis tipis. Journal of Science and Applicative Technology Vol.I No.2
2017
Pada penelitian ini menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis.
Berdasarkan hasil penelitian dari ketiga sampel jamu pegal linu sediaan serbuk
dengan tiga merk yang berbeda yaitu A, B, dan C dapat disimpulkan bahwa sampel
jamu pegal linu tidak mengandung deksametason. Hal ini dapat dilihat dari hasil
selisih perhitungan nilai Rf antara Rf sampel dengan RfBp (Tabel 1), bahwa selisih
harga Rf yang diperoleh dari sampel A, B, dan C yaitu lebih dari 0,05 (≥0,05).
3. Muhamad Handoyo Sahumena, Ruslin, Asriyanti, Endah Nurrohwinta
Djuwarno; 2020; Identifikasi jamu yang beredar di kota kendari
menggunakan metode spektrofotometri uv-vis
Penelitian ini menggunakan 5 sampel yang diperoleh dari beberapa pasar
yang berada di kota Kendari. Berdasarkan bentuk spektra absorbansi menunjukkan
bahwa 4 sampel jamu (sampel A, B, D, dan E) dari 5 sampel yang dianalisis
menunjukkan spektra yang berbeda dengan spektra larutan baku asam mefenamat.
Sedangkan spektra sampel C menunjukkan serapan maksimal panjang gelombang
yang sama dengan larutan baku asam mefenamat. Sampel jamu yang positif
mengandung asam mefenamat yaitu sampel C, diukur serapannya pada panjang
gelombang maksimal 285 nm. Pengukuran dilakukan secara triplo untuk
meminimalkan kesalahan. Serapan yang diperoleh adalah 0,815, 0,816 dan 0,815,
sehingga serapan rata-rata dari sampel C yaitu 0,815.
4. K. Masdiana Tahir , St. Maryam , A. Wahdania, 2018. Analisis Bahan
Kimia Obat Natrium Diklofenak Pada Sediaan Jamu Pegal Linu Yang
Beredar Di Makassar. Jurnal Kesehatan, Vol. 1 No. 4
Pada penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) dan analisis kuantitatif menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Hasil analisis kualitatif ekstrak etanol sampel jamu pegel
linu menggunakan metode KLT bahwa dari tujuh sampel (jamu A, B, C, D, E, F, G)
yang dianalisis terdapat tiga sampel (jamu A, C, G) yang positif mengandung bahan
kimia obat natrium diklofenak. Sedangkan hasil analisis kuantitatif ekstrak etanol
sampel jamu pegel linu menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis diperoleh
kadar bahan kimia obat natirum diklofenak tertinggi pada sampel jamu A, kemudian
sampel jamu C, dan jamu G.
5. Agus Dwi Ananto, Lalu Undrus Yusditia M. G., & Lalu Sanik Wahyu
F. A, 2020. Analysis Of BKO Content (Antalgin And Dexamethasone)
In Herbal Medicine Using Iodimetry Titration And Hplc Method.
Journal of Islamic Science and Technology Vol. 6, No.1, June 2020.
Sebanyak 10 sampel dari berbagai merek telah dianalisis. Analisis konten
deksametason dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif (TLC) dan
kuantitatif (HPLC). Hasil identifikasi kandungan deksametason menggunakan
metode TLC diperoleh 5 sampel yang diperkirakan positif mengandung
deksametason. Ini ditunjukkan pada Gambar 1 yang menunjukkan hasil TLC
terlihat pada lampu UV 254 dan 366.
6. Resmi Mustarichie, Danni Ramdhani, Wiwiek Indriyati, 2017. Analysis
Of Forbidden Pharmaceutical Compounds In Antirheumatic Jamu.
Asian J Pharm Clin Res, Vol 10, Issue 4, 2017, 98-101
Jurnal ini mempunyai keterkaitan dengan Karya Tulis Ilmiah yang akan di
buat dimana jenis metode yang digunakan sama yaitu menggunakan metode
kromatograpi lapis tipis (KLT). Dari hasil Tabel 5 menunjukkan analisis zat
terlarang dalam sampel Jamu. Dalam penelitian ini, hasilnya pengembalian 97,08%
dan 98,01% untuk parasetamol dan deksametason masing-masing. Kami
memperkirakan bahwa penambahan parasetamol dan deksametason dimungkinkan
karena harga senyawa ini relatif lebih murah dan mudah ditemukan daripada bahan
baku antirematik lainnya di Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium bahan alam, Jurusan Farmasi,
Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo pada bulan
November tahun 2020.
3.2 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah jamu pegal linu 5 merek berbeda yang
beredar dipasaran yang diambil dari dua penjual yang berbeda
3.3 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental laboratorium dengan metode
analisis kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dan analisis
kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis
3.4 Instrumen Penelitian
Instrument penelitian yang digunakan yaitu pada analisis kualitatif
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis dan pada analisis kuantitatif yaitu
Spektrofotometri UV-VIS.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Alat Penelitian
Alat - alat yang digunakan pada penlitian ini yaitu batang pengaduk,
penotol, lempeng KLT, labu erlenmeyer, lampu UV, gelas kimia, gelas kaca, gelas
ukur 10 ml, Kertas saring, penjempit tabung, pipet tetes, timbangan analitik, dan
vial
3.5.2 Bahan Penelitian
Bahan yang diguakan pada praktikum ini adalah Air suling, aluminium foil,
etil asetat, etanol 70%, etanol 96%, N-heksan, sampel jamu pegal linu merek A, B,
C, D dan E, natrium diklofenak (baku pembanding) dan tisu
3.6 Prosedur Kerja
3.6.1 Analisis Kualitatif Menggunakan KLT
1. Pembuatan Larutan Sampel
Sampel jamu A ditimbang kurang lebih 3 gram di masukkan kedalam gelas kimia,
lalu di tambahkan etanol 96 % kurang lebih 50 mL, kemudian Diaduk dengan
kecepatan konstan 150 rpm menggunakan 3D shaker. Lalu disaring dan ditampung
ekstrak cair dari sampel jamu. Lakukan perlakuan yang sama untuk masing-masing
sampel jamu B, C, D dan E. setelah itu Ekstrak etanol cair sampel jamu pegal linu
A, B, C, D dan E diuapkan sehingga diperoleh ekstrak etanol kental jamu A, B, C,
D dan E.
2. Pembuatan Larutan Baku Pembanding
Ditimbang Natrium diklofenak sebagai bahan baku pembanding sebanyak
baku sebanyak 30 mg, dilarutkan dalam 10 ml etanol 96%.
3. Pengujian KLT
Larutan sampel dan larutan baku ditotolkan pada lempeng KLT berukuran
10 cm x 12 cm, batas bawah lempeng berjarak 1 cm dan batas atas 0,5 cm.
Kemudian lempeng dimasukkan kedalam chamber yang berisi eluen etil asetat : n-
heksana (7:3) yang telah dijenuhkan terlebih dahulu dengan kertas saring dengan
cara kertas saring di masukkan ke dalam chamber yang telah berisi larutan eluen
lalu ditutup rapat. Setelah mencapai gari, lempeng dikeluarkan dari chamber dan
dilihat jumlah dan warna noda yang sejajar yang nampak pada lampu UV 254.
Dibandingkan noda yang terdapat pada senyawa pembanding dengan ekstrak jamu
dan perhatikan ada tidaknya kesamaan pada penampakan noda dan hitung nilai
Retardation factor (Rf). Nilai Rf dari sampel dibandingkan dengan nilai Rf dari
larutan standar natrium diklofenak (Elliya Rosyada dkk, 2019)
3.6.2 Analisis Kuantitatif Mengunakan Spektrofotometri UV-VIS
1. Pembuatan larutan baku
Standar natrium diklofenak ditimbang masing-masing 50 mg, dimasukkan
dalam gelas kimia dan ditambahkan 10 mL aquades setelah larut kemudian
dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 50 mL dan tambahkan aquades
sampai tanda batas sehingga terbentuk larutan natrium diklofenak 1000 ppm.
Kemudian larutan tersebut masing-masing diencerkan dengan cara mengambil 1
mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan tambahkan aquades
hingga tanda batas. Larutan natrium diklofenak 100 ppm ini dijadikan sebagai
larutan stok.
2. Penetapan panjang gelombang serapan maksimum
Larutan stok diambil sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10
mL, kemudian tambahkan aquades sampai tanda batas sehingga terbentuk larutan
natrium diklofenak 20 ppm. Larutan ini diukur serapannya pada panjang gelombang
260-290 nm untuk mengetahui panjang gelombang maksimum.
3 Pembuatan kurva baku
Larutan stok diambil 1, 1,2, 1,4, 1,6 dan 1,8 mL kemudian larutan
dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL dan ditambah aquades sampai batas tanda.
Larutan sampel diukur absorbansinya pada spektrofotometri UV-Vis dengan
panjang gelombang maksimum 280 nm. Larutan-larutan yang terbentuk dibaca
serapannya pada panjang gelombang maksimum dan dihitung persamaan garis
regresi dan koefisien korelasi.
4 Penetapan kadar sampel
Sampel jamu pegal linu A, B, C, D dan E ditimbang sebanyak 50 mg,
kemudian masing-masing serbuk dilarutkan dalam aquades sampai 50 mL (kadar
1000 ppm). Larutan sampel 1000 ppm diambil 25 dimasukkan ke dalam labu takar
50 mL dan tambahkan Aquades hingga tanda batas. Larutan sampel diukur
absorbansinya pada spektrofotometri UV-Vis dengan panjang gelombang
maksimum 280 nm. Data absorbansi yang didapat dimasukkan ke dalam persamaan
kurva baku untuk mendapatkan kadar natrium diklofenak dalam sampel. Dilakukan
pengulangan sebanyak 3 kali (Amalia et al., 2012).
5. Analisis data kuantitatif
Kadar natrium diklofenak dari sampel jamu diketahui berdasarkan
persamaan kurva baku y=bx+a, dengan y nilai absorbansi dan x adalah kadar
terukur. Nilai x volume sampel faktor pengenceran digunakan untuk mengetahui
kadar natrium diklofenak dari sampel yang ditimbang. Lanjutkan perhitungan untuk
mengetahui kadar Natrium diklofenak dalam 1 kemasan jamu yang beredar di
pasaran dengan rumus sebagai berikut:

b
Bobot = A x
c
Keterangan :
A : Bobot natrium diklofenak dalam sampel
B : Bobot 1 kemasan sampel pegal linu
C : Bobot sampel yang ditimbang.

Anda mungkin juga menyukai