Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak lama masyarakat telah mengenal dan merasakan obat-obatan alamiah

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mineral. Mereka meramu dan

meraciknya sendiri atas dasar pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun oleh

generasi sebelumnya. Bentuk racikan demikian dikenal sebagai jamu yang wujudnya

berupa sediaan-sediaan sederhana. Jamu inilah yang kemudian dikenal masyarakat

sebagai obat tradisional. Obat tradisional Indonesia banyak digunakan untuk

memelihara kesehatan sehari-hari, meningkatkan daya tahan tubuh, dan

mempertahankan stamina (Angga, 2012).

Pengggunaan bahan alam, baik sebagai obat maupun tujuan lain cenderung

meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat. Obat tradisional dan tanaman

obat banyak digunakan masyarakat menengah kebawah terutama dalam upaya

preventif, promotif dan rehabilitatif. Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa

penggunaan tanaman obat atau obat tradisional relatif lebih aman dibandingkan obat

sintesis. Walaupun demikian bukan berarti tanaman obat atau obat tradisional tidak

memiliki efek samping yang merugikan, bila penggunanya kurang tepat. Agar

penggunannya optimal, perlu diketahui informasi yang memadai tentang kelebihan

dan kelemahan serta kemungkinan penyalahgunaan obat tradisional dan tanaman

1
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
obat. Dengan informasi yang cukup diharapkan masyarakat lebih cermat untuk

memilih dan menggunakan suatu produk obat tradisional atau tumbuhan obat dalam

upaya kesehatan (Pramono, 2002).

Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang perlu terus

dilestarikan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan sekaligus

untuk meningkatkan perekenomian rakyat. Hingga saat ini penggunaan obat

tradisional di Indonesia masih sangat diminati dan terus berkembang di masyarakat.

Meningkatnya kebutuhan masyarakat akan obat tradisional menyebabkan

bertambahnya industri yang bergerak di bidang obat tradisonal. Persaingan yang

cukup ketat membuat pelaku usaha berlomba untuk membuat produk yang memiliki

efek cepat. Obat tradisional telah lama dipercaya turun-tmurun, dapat menjaga

kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Kemajuan ilmu pengobatan yang semakin

modern ternyata tidak mematikan pengobatan tradisional yang telah dulu dikenal.

Obat tradisional sebagai produk yang sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak masa

lampau juga telah menjadi alternatif yang sudah diyakini khasiatnya. Harganya yang

murah dan efek samping yang rendah menjadi salah satu pertimbangan masyarakat

untuk menjadikan obat tradisional sebagi obat, karena ketersediaan dan

kepraktisannya masyarakat lebih memilih obat tradisional sediaan jadi dari pada

mengambil langsung dari alam dan mengolahnya sendiri (Sartika et al, 2015).

Keamanan jamu mulai dipertanyakan setelah munculnya kasus-kasus

penambahan bahan kimia obat (BKO) ke dalam jamu. Menurut Permenkes No.006

tahun 2012 jamu tidak diperbolehkan mengandung sedikitpun bahan kimia obat baik

hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat sebagai obat. (Depkes RI, 2012).

2
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan peninjauan dan

penelitian pada tahun 2013 terhadap obat tradisional yang berkhasiat dapat mengatasi

penyakit asma tersebut positif mengandung kafein (Susila, 2013).

Kafein merupakan golongan metilxantin, golongan metilxantin terdiri dari

teofiilin, kafein dan teobromin. Ketiga senyawa tersebut mempunyai efek

farmakologis yang sama, yaitu dapat merelaksasi otot polos terutama otot polos

bronkus seperti pada penyakit asma, merangsang SSP, otot jantung, dan

meningkatkan diuresis. Efek samping senyawa ini dapat menyebabkan sakit kepala,

insomnia, mual dan muntah, diare, tekanan darah tinggi, dan osteoporosis (Sari,

2014).

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

apakah kafein digunakan pada jamu tradisional yang biasa digunakan untuk sesak

nafas khususnya jamu yang beredar di Srengseng Sawah.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah jamu tradisional yang beredar di Jagakarsa mengandung senyawa

bahan kimia obat kafein dan berapa kadarnya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisi kandungan

kafein dalam jamu tradisional yang diperoleh di Srengseng Sawah, menetapkan kadar

kafein dalam jamu tradisional tersebut dan diharapkan dapat sebaga bahan informasi

kepad a masyarakat selaku konsumen untuk lebih berhati-hati dalam memilih jamu

yang dijual dipasar tradisional.

3
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mempunyai manfaat bagi peneliti maupun bagi

masyarakat. Dalam penelitian ini manfaat yang diharapkan adalah :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang keberadaan dan bahaya

terhadap jamu tradisional yang mengandung bahan kimia obat kafein.

2. Sebagai masukan bagi instansi yang berwenang untuk meningkatkan

pengawasan terhadap peredaran jamu tradisional.

3. Sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di

bidang farmasi.

4
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional yang berbahan alami merupakan warisan budaya yang telah

diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan.

Pengertian obat tradisional menurut Peraturan Kepala BPOM No. HK.00.05.41.1384

tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal

Terstandar, dan Fitofarmaka, Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat tradisional

adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan

mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara

turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan (Widyawati, 2015).

Pada Permenkes RI nomor 006 tahun 2012 tentang industri dan usaha obat

tradisional, pada Bab IV Pasal 37 menyatakan setiap industri dan usaha obat

tradisional dilarang membuat:

a. Segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau

sintetik yang berkhasiat obat;

b. Obat tradisional dalam bentuk intravaginal, tetes mata, sediaan parenteral,

suppositoria kecuali untuk wasir, dan/atau

c. Obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung etanol dengan

kadar lebih dari 1% (satu persen)

5
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Berdasarkan Permenkes RI nomor 007 tahun 2012 tentang registrasi obat

tradisional, pada Bab II Pasal 7 menyatakan bahwa obat tradisional dilarang

mengandung:

a. Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang

pemakaiannya dengan pengenceran;

b. Bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;

c. Narkotika atau psikotropika; dan/atau

d. Bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan

penelitian membahayakan kesehatan (Depkes RI, 2012).

Selain itu, berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. HK.03.1.23.02.12.1248

tentang kriteria dan tata cara penarikan obat tradisional yang tidak memenuhi

persyaratan menyatakan bhawa obat tradisional yang beredar harus memenuhi

persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, mutu, dan penandaan. Obat tradisional yang

tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, mutu dan penandaan harus

dilakukan penarikan. Penarikan obat tradisional diklasifikasikan menjadi:

a. Penarikan kelas I, dilakukan terhadap obat tradisional yang mengandung bahan

kimia obat; dan/atau mengandung bakteri pathogen.

b. Penarikan kelas II, dilakukan terhadap obat tradisional yang tidak memenuhi

persyaratan mutu berupa Angka Lempeng Total (ALT) dan/atau Angka Kapang

Khamir (AKK) melebihi batas yang dipersyaratkan; dan/atau penandaan tidak

sesuai dengan persetujuan izin edar (BPOM, 2012).

6
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2.2 Jenis-Jenis Obat Tradisional

Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM RI No.00.05.4.2411 tahun 2004,

berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian

khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:

1. Jamu

Merupakan obat tradisional warisan nenek moyang. Dipasar, bias dijumpai dalam

bentuk herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam bentuk segar rebusan

sebagaimana yang dijual para penjual jamu gendong.

2. Obat Herbal Terstandar

Merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik, bahan baku dan produk jadinya telah di

standarisasi.

3. Fitofarmaka

Merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan kemanan dan khasiat

secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah

di standarisasi.

Pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor:

HK.00.05.4.2411 Tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan

Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, Obat Bahan Alam Indonesia adalah obat

bahan alam yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis

klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia

dikelompokkan menjadi:

1. Jamu

7
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Kelompok Jamu harus mencatumkan logo dan tulisan “JAMU” yang dicetak

dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang mencolok

kontras. Logo berupa “RANTING DAUN TERLETAK DALAM LINGKARAN”,

warna dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang

mencolok kontras dengan warna logo dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri

dari wadah/pembungkus/brosur.

2. Obat Herbal Terstandar

Obat Herbal Terstandar harus mencatumkan logo dan tulisan “OBAT HERBAL

TERSTANDAR”, tulisan dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau

warna lain yang mencolok kontras. Logo berupa “JARI-JARI DAUN (3 PASANG)

TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah

kiri dari wadah/pembungkus/brosur dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna

putih atau warna lain yang mencolok kontras dengan warna logo.

3. Fitofarmaka

Kelompok Fitofarmaka harus mencatumkan logo dan tulisan “FITOFARMAKA”,

tulisan dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang

mencolok kontras. Logo berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN

MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan

ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/pembungkus/brosur dicetak

dengan warna di atas dasar putih atau warna lain yang mencolok kontras dengan

warna logo.

8
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Gambar II.1 Logo Obat Bahan Alam Indonesia

(Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor :

HK.00.05.4.2411 Tahun 2004)

a. Perbedaan Jamu OHT dan Fitofarmaka

1. Jamu adalah obat tradisional terbukti berkhasiat dana man berdasarkan bukti

empiris turun temurun.

2. OHT (Obat Herbal Terstandar) adalah obat tradisional terbukti berkhasiat melalui

uji praklinis dan teruji aman melalui uji toksisitas, bahan terstandar dan

diproduksi secara higienis.

3. Fitofarmaka adalah obat tradisional terbukti berkhasiat melaui uji praklinis dan

uji klinis, teruji aman melalui uji toksisitas, bahan terstandar, dan diproduksi

secara higienis.

9
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2.3 Legislasi Jamu atau Obat Tradisional

2.3.1 Legislasi Obat Tradisional/Jamu di Berbagai Negara

Berdasarkan penggunaan dan pengakuan obat tradisional pada sistem

pelayanan kesehatan, WHO menetapkan 3 sistem yang dianut oleh negara-negara di

dunia, yaitu:

1). Sistem integratif, secara resmi obat tradisional diakui dan telah diintegrasikan

dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, sehingga obat tradisional telah menjadi

komponen dari kebijakan obat tradisional. Ada sistem registrasi produk dan regulasi;

obat tradisional digunakan di rumah sakit dan sistem asuransi kesehatan, ada

penelitian dan pengembangan serta pendidikan tentang obat tradisional. Negara yang

menganut sistem integratif ini antara lain yaitu RRC, Korea Utara dan Vietnam.

2). Sistem inklusif, mengakui obat tradisional tetapi belum mengintegrasikan pada

sistem pelayanan kesehatan. Sistem inklusif ini dianut oleh negara sedang

berkembang seperti Nigeria dan Mali maupun negara maju seperti Kanada dan

Inggris.

3). Sistem toleran, sistem pelayanan kesehatan berbasis kedokteran modern tetapi

penggunaan beberapa obat tradisional tidak dilarang oleh undang-undang.

Keadaan yang terlalu panas dan terlalu dingin akan mempengaruhi

pertumbuhan tanaman sirsak. Pertumbuhan dan pembungaannya sangat terhambat

oleh cuaca yang dingin. Sedangkan musim kemarau, tanaman sirsak akan

10
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan merontokkan daunnya untuk

mengurangi penguapan (Herliana & Rifai, 2011).

2.4 Syarat Pembuatan Jamu/Obat Tradisional

Pemerintah belum mengeluarkan persyaratan yang mantap mengenai

jamu/obat tradisional, namun pembinaan pembinaan jamu/obat tradisional pemerintah

telah mengeluarkan beberapa petunjuk yakni sebagai berikut:

1). Kadar air tidak lebih dari 10%. Ini untuk mencegah berkembang biaknya bakteri,

kapang dan khamir (ragi).

2). Jumlah kapang dan khamir tidak boleh dari 10.000 (sepuluh ribu).

3). Jumlah bakteri non patogen tidak lebih dari 1.000.000 (satu juta).

4). Bebas dari bakteri patogen seperti Salmonella.

5). Tidak boleh tercemar atau diselundupi bahan kimia berkhasiat. Selain itu,

pembuatan jamu tradisional juga memerlukan bahan tambahan berupa pengawet yang

tidak lebih dari 0,1% (Permenkes, 1990).

Pengawet yang diperbolehkan (Depkes, 1994):

1). Metil p – hidroksil benzoat (Nipagin)

2). Propil p – hidroksil benzoat (Nipasol)

3). Asam sorbat atau garamnya

4). Garam natrium benzoat dalam suasana asam

5). Pengawet lain yang disetujui

2.5 Manfaat dan Bahaya Jamu

2.5.1 Manfaat Jamu

11
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Adapun manfaat dari jamu adalah:

a. Menjaga kebugaran tubuh

b. Menjaga kecantikan

c. Mencegah penyakit

d. Mengobati penyakit

2.5.2 Bahaya Jamu

Sebagian besar orang berpendapat bahwa yang alami lebih aman dan

kecil sekali efek sampingnya karena sifat herbal yang kontruksif terhadap

tubuh. Namun, harus tetap dipahami bahwa yang alami bias saja tidak aman

bila cara pemanfaatannya salah. Selain itu ada beberapa bahan alam yang

menyebabkan efek negatif yaitu:

a). Aristolochia sp. yang menyebabkan gagal ginjal stadium lanjut.

b). Produk Kava-kava (Piper metysticum) merupakan herbal sedatif yang

bersifat hepatoksin (meracuni hati).

c). Ephedra bias menyebabkan serangan jantung dan strok. Produk ephedra

digunakan untuk menurunkan berat badan, bisa menyebabkan tekanan darah

meningkat, detak jantung menjadi tidak teratur, rasa gelisah, sakit kepala, dan

susah tidur (Jayanti, 2015).

2.6 Mengandung Bahan Kimia Obat

Bahan Kimia Obat (BKO) merupakan senyawa kimia obat yang ditambahkan

dengan sengaja ke dalam jamu, dengan tujuan agar efek yang diinginkan tercapai

lebih cepat dari biasanya. Beberapa jenis obat tradisional dinilai berbahaya karena

12
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Menurut BPOM, obat tradisional yang

sering dicemari BKO umumnya adalah obat tradisional pada beberapa jenis berikut:

Tabel 2.1 Jenis kegunaan obat tradisional yang sering dicemari BKO

Jenis kegunaan obat tradisional BKO yang sering ditambahkan


Pegal linu/encok/rematik Fenilbutazon, antalgin, diklofenak sodium,

piroksikam, parasetamol, prednison atau

deksametason

Pelangsing Sibutramin HCl


Peningkat stamina/obat kuat pria Sildenafil sitrat
Kencing manis/diabetes Glibenklamid
Sesak nafas/asma Teofilin/Kafein

2.7 Kafein

Kafein ditemukan oleh seorang kimiawan Jerman, Friedrich Ferdinand Runge,

pada tahun 1820. Kafein merupakan senyawa kimia alkaloid heteroksiklik yang

terkandung secara alami pada lebih dari 60 jenis tanaman terutama teh (1 - 4,8%),

kopi (1 – 1,5%), biji kola (2,7 – 3,6%). Kebanyakan produksi kafein bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan industri minuman. Kafein juga digunakan sebagai penguat rasa

atau bumbu pada berbagai industri makanan (Tjay & Kirana, 2003).

(Gambar II.2 Rumus Struktur Kafein)

13
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Nama Kimia : 1,3,7-Trimetil xantin

Rumus Molekul : C8H20N4O2

Berat Molekul : 194,19

Pemerian : Serbuk putih atau bentuk jarum

mengkilat, putih, biasanya menggumpal, tidak berbau, rasa pahit.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut

dalam kloroform, etanol, dan sukar larut dalam eter.

Khasiat : Merelaksasikan dan memperkuat kerja

tonus otot nafas yang membantu paru-paru, meredakan ketegangan di

percabangan trakea

Tabel 2.2 Kandungan kafein pada beberapa produk obat

Obat Kandungan Kafein


Obat analgesik 25 – 65 mg/tablet

Obat antiinfluenza 7,5 – 50 mg/tablet


Tonikum 2,5 – 7,5 mg/sendok teh
Cafergot (antimigrain) 100 mg/tablet
Obat asma (sesak nafas) 130 mg/tablet

14
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2.7.1 Mekanisme Kerja Kafein

Mekanisme kerja kafein pada sel saraf dipengaruhi oleh senyawa adenosin.

Adenosin adalah senyawa nukleotida yang berfungsi mengurangi aktivitas sel saraf

saat menempel pada sel tersebut. Senyawa kafein juga menempel pada reseptor yang

sama tetapi tidak memperlambat aktivitas sel saraf sebaliknya menghalangi adenosin

untuk berfungsi. Kafein mengikat senyawa adenosin di otak, sehingga dampaknya

aktivitas otak meningkat dan menyebabkan hormon efinefrin atau adrenalin di sebar.

Hormon tersebut akan menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah,

menambah penyaluran darah ke otot-otot, dan mengeluarkan glukosa dari hati.

2.7.2 Farmakologi Kafein

Kafein memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara klinis, seperti

menstimulasi sususnan saraf pusat, relaksasi otot polos terutama otot polos bronkus

dan stimulasi otot jantung. Pada jantung kadar rendah kafein dalam plasma akan

menurunkan denyut jantung, sebaliknya kadar kafein yang lebih tinggi menyebabka

tachicardi. Pada pembuluh darah, kafein menyebabkan dilatasi pembuluh darah,

coroner dan pulmonal, karena efek langsung pada otot pembuluh darah

(Departemen Farmakologi UI, 2007).

2.7.3 Farmakokinetik Kafein

Kafein cepat diabsorbsi ssetelah pemberian oral, rektal atau parenteral.

Sediaan bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorpsi secara cepat dan

lengkap. Kafein didistribusikan ke seluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air

susu ibu. Volume distribusi kafein adalah antara 400 dan 600 ml/kg eliminasi kafein

terutama melalui metabolism dalam hati. Sebagian dieksresikan bersama urin dalam

15
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
bentuk utuh. Kafein di dalam plasma akan mencapai konsentrasi maksimum pada

waktu 1 jam dan waktu paruh plasma kafein antara 3 -7 jam, nilai ini akan menjadi 2

kali lipat pada wanita hamil tua dan wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka

panjang. Pada penderita sirosis hati (pembentukkan jaringan ikat di jaringan hati) atau

udem paru akut, kecepatan eliminasi berlangsung lambat sekitar 60 jam

(Departemen Farmakologi UI, 2007).

2.7.4 Indikasi Kafein

Kafein dapat digunakan untuk mengobati depresi pernapasan yang terkait

dengan overdosis obat depresan SSP (misalnya analgesik opiat, alkohol) dan shock

listrik.

2.7.5 Efek Kafein

1). Efek pada Sistem Saraf Pusat

Dalam dosis rendah, methylxanthine terutama kafein menyebabkan peningkatan

kortikal dengan meningkatkan kewaspadaan dan penundaan kelelahan. Namun,

kafein tidak langsung meningkatkan metabolisme energi dalam tubuh, bahkan

konsumsi jangka panjang akan menekan metabolisme energi yang dapat

menyebabkan kelelahan adrenal.

2). Efek pada Sistem Kardiovaskular

Methylxanthine memiliki efek kronotropik dan inotropik positif secara

langsung pada jantung. Pada konsentrasi rendah, efek ini timbul akibat daripada

peningkatan pelepasan katekolamin yang disebabkan oleh penghambatan

reseptor adenosine presinaptik. Pada konsentrasi yang lebih tinggi (> 10

mol/L), influx kalsium ditingkatkan secara langsung melalui peningkatan cAmp

16
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
yang diakibatkan oleh penghambatan phosphodiesterase. Pada konsentrasi yang

sangat tinggi (> 100 mol/L).

3). Efek pada Ginjal

Semua xantin meningkatkan produksi urin.

4). Efek pada Otot Polos

Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot

bronkus dalam keadaan konstriksi.

5). Efek pada Otot Rangka

Dalam kadar terapi, kafein ternyata dapat memperbaiki kontraktilitas dan

mengurangi kelelahan otot diafragma pada orang normal maupun pada pasien

yang menderita penyakit paru obstruktif kronis.

2.7.6 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif berkaitan dengan identifikasi zat-zat kimia, mengenali

unsur atau senyawa apa yang ada di dalam suatu sampel.

2.7.7 Organoleptis

Pengujian organoleptis adalah pengujian yang didasarkan pada penginderaan.

Bagian organ tubuh yang berperan dalam penginderaan adalah indera pencicip, indera

pembau dan indera perabaan atau sentuhan (BPOM, 2013).

2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan substansi atau zat dari campurannya

dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Ekstraksi pelarut atau sering disebut juga

17
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
ekstraksi air merupakan metode pemisahan ataua pengambilan zat terlarut dalam

larutan (biasanya dalam air) dengan menggunakan pelarut lain (biasanya organik).

Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan

tertentu antara pelarut yang tidak saling bercampur (Yazied, 2005).

Kerap kali sebagai pelarut pertama adalah air sedangkan sebagai pelarut

kedua adalah pelarut organik yang tidak bercampur dengan air. Dengan demikian ion

anorganik atau senyawa organik polar sebagian besar akan terdapat dalam fase air,

sedangkan senyawa organic non polar sebagian besar akan terdapat dalam fase

organik. Hal ini yang dikatakan “like dissolve like” yang berarti bahwa senyawa polar

akan mudah larut dalam pelarut polar dan sebaliknya. Pemisahan yang dilakukan

bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah (Sudjadi, 1988).

2.8.1 Penggolongan Ekstraksi

Ekstraksi dapat digolongkan berdasarkan bentuk campuran yang

diekstraksi dan proses pelaksanaannya. Berdasarkan bentuk campuran yang

diekstraksi dibedakan menjadi:

a). Ekstraksi Padat-Cair

Zat yang diekstraksi terdapat di dalam campuran yang berbentuk

padatan. Ekstraksi jenis ini banyak dilakukan di dalam usaha mengisolasi zat

yang berkhasiat yang terkandung di dalam bahan alam.

b) Ekstraksi Cair-Cair

18
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Zat yang diekstraksi terdapat di dalam campuran yang berbentuk cair.

Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari satu campuran

dipisahkan dengan bantuan pelarut.

Berdasarkan proses pelaksanaannya ekstraksi dibedakan menjadi:

a) Ekstraksi Kontinyu

Pada ekstraksi kontinyu, pelarut yang sama digunakan secara berulang-

ulang sampai ekstraksi selesai.

b) Ekstraksi Bertahap

Pada ekstraksi bertahap, setiap kali ekstraksi selalu digunakan pelarut

yang baru sampai proses ekstraksi selesai. Alat yang biasanya digunakan

adalah berupa corong pisah.

2.8.2 Prinsip Ekstraksi

Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan

pembandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur.

Hubungan zat terkarut yang terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak

saling bercampur dinyatakan pertama kali oleh Walter Nernst (1891), yang

dikenal dengan hukum distribusi atau partisi.

“Jika solut dilarutkan sekaligus ke dalam dua pelarut yang tidak saling

bercampur, maka solute akan terdistribusi diantara kedua pelarut. Pada keadaan

setimbang perbandingan konsentrasi solute berharga tetap pada suhu tetap”.

Secara matematis hubungan tersebut dapat dituliskan :

Koefisien Distribusi (KD) = Konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 1 [C1]

19
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Konsentrasi zat terlarut dalam pelarut 2 [C2]

Sebagai pelarut pertama sering kali yang digunakan adalah air

sedangkan sebagai pelarut kedua adalah pelarut organik yang tidak bercampur

dengan air. Dengan demikian ion anorganik atau senyawa organik polar

sebagian besar akan terdapat dalam fase air, sedangkan senyawa organik non

polar sebagian besar akan terdapat dalam fase organik. Hal ini dikatakan “like

dissolves like” yang berarti bahwa senyawa polar akan mudah larut dalam

pelarut polar, dan sebaliknya (Watson, 2015).

2.8.3 Teknik Ekstraksi

Cara paling sederhana dan banyak dilakukan adalah ekstraksi bertahap.

Tekniknya cukup dengan menambahkan pelarut pengekstrak yang tidak

bercampur dengan pelarut melalui corong pisah, kemudian dilakukan

pengocokan. Setelah didiamkan beberapa saat akan terbentuk dua lapisan dan

lapisan yang berada di bawah dengan kerapatan lebih besar dapat dipisahkan

untuk dilakukan analisis selanjutnya (Harmanto & Subroto, 2013).

Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada banyaknya ekstraksi yang

dilakukan. Hasil yang paling baik diperoleh jika ekstraksi dilakukan berulang

kali dengan jumlah pelarut sedikit-sedikit daripada menggunakan seluruh jumlah

pelarut itu dalam satu kali ekstraksi. Hal ini disebabkan setiap kali melakukan

ekstraksi, jumlah zat terlarut dalam fase air akan selalu berkurang sehingga yang

tersisa tinggal sedikit, meskipun secara teoritis tidak dapat menjadi nol. Dengan

20
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
kata lain ekstraksi yang dilakukan secara bertahap atau berulang akan diperoleh

zat terekstrak maksimal (Saleh, 2004).

Analisis BKO dalam jamu terbagi menjadi 2 metode kualitatif dan

kuantitatif, yang termasuk ke dalam metode kualitatif yaitu Kromatografi Lapis

Tipis (KLT) sedangkan yang termasuk ke dalam metode kuantitatif yaitu

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

2.9 Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani

Rusia bernama Michael Twett pada tahun 1903 utnuk memisahkan pigmen

berwarna dalam tanaman. Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan

berdasarkan partisi cuplikan antara fase gerak dan fase diam. Fase gerak (mobile

phase) dapat berupa gas atau cairan dan fase diam (stationery phase) dapat

berupa cairan atau padatan. Kromatografi dapat juga di definisikan sebagai suatu

proses migrasi diferensial dimana komponen-komponen cuplikan ditahan secara

selektif oleh fase diam.

2.9.1 Pembagian Kromatografi

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada

pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya,

kromatografi dibedakan menjadi kromatografi adsorbs, kromatografi partisi,

kromatografi penukar ion, dan kromatografi afinitas.

21
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Berdasarkan pada alat yang digunakan kromatografi dapat dibedakan

atas kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja

tinggi, dan kromatografi gas.

2.9.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi adalah suatu teknik analisis berdasarkan proses

pemisahan suatu zat molekul karena perbedaan sifat. Menurut fase geraknya,

kromatografi dibadakan menjadi kromatografi cair dan kromatografi gas.

Salah satu kromatografi cair yang banyak digunakan dalam analisis bidang

farmasi yaitu Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau lebih dikenal

dengan High Performace Liquid Chromatography (HPLC).

KCKT merupakan teknik analisis kromatografi cair yang digunakan

baik dalam analisis kualitatif yaitu dalam bentuk senyawa pemisahan senyawa

maupun dalam analisis kuantitatif yaitu penentuan jumlah senyawa didalam

suatu larutan. Adapun prinsip dari KCKT yaitu suatu sampel berupa larutan

diinjeksikan ke dalam kolom yang berisi fase diam dan fase gerak, kemudian

diberikan tekanan tinggi sehingga fase gerak dapat mengelusi sampel keluar

dari kolom dan terdeteksi oleh detektor yang kemudian dihasilkan

kromatogram.

2.9.3 Kelebihan KCKT

Kelebihan dari penggunaan KCKT antara lain:

1) Waktu analisis cepat

2) Daya pisah yang baik

22
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
3) Lebih peka

4) Kolom dapat digunakan kembali

5) Pemilihan kolom dan eluen bervariasi

6) Dapat digunakan untuk molekul besar dan kecil

7) Mudah memperoleh cuplikan kembali

2.9.4 Instrumentasi Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

A. Tempat Fase Gerak (Mobile Phase)

Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase

gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja ani karat.

Daya tampung wadah harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat

digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2

ml/menit.

B. Alat Gradian dan Isokratik

Elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi 2 sistem yaitu:

1) Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan

dengan satu macam atau lebih fase gerak dengan

perbandingan tetap (komposisi fase gerak tetap selama

elusi).

2) Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan

dengan campuran fase gerak yang perbandingannya

berubah-ubah dalam waktu tertentu (komposisi fase gerak

berubah-ubah selama elusi).

23
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan

fase gerak selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Digunakan

untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika

sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas. Pengaruh yang

menguntungkan dari elusi gradien adalah memperpendek waktu

analisis senyawa-senyawa yang secara kuat ditahan di dlaam kolom.

C. Pompa

Untuk mengerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan

pompa. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 6000 psi pada

kecepatan alir 0,1-10 ml/menit. Pompa ada 2 jenis yaitu pompa volume

konstan dan pompa tekanan konstan. Pompa terbuat dari bahan yang

inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah

gelas baja antikarat dan teflon. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa

denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor.

D. Injektor untuk Sampel

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala

kolom), diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada

kemasan kolom. Ada tiga jenis dasar injektor, yaitu:

1) Hentikan aliran/stop flow, aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada

kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi.

Teknik ini bias digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan

resolusi tidak dipengaruhi.

24
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2) Septum: injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya

sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini

dapat digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat

diguanakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini

tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair.

Disamping itu, partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat

jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

3) Katup putaran (loop valve) ditunjukkan secara skematik dalam

gambar, tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi

volume lebih besar daripada 10 µl dan sekarang digunakan dengan

cara otomatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil

dapat diinjeksikan secaran manual). Pada posisi LOAD, sampel

loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir. Bila

katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak

ke dalam kolom.

E. Kolom

Kolom adalah jamtung kromatografi. Berhasil atau gagalnya

suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan

yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1. Kolom analitik

Diameter khas adalah 2-6 mm. Panjang kolom tergantung pada

jenis kemasan. Untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-

25
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
100 cm. Untuk kemasan mikropartikel berpori, umumnya 10-30

cm. Dewasa ini ada yang 5 cm.

2. Kolom preparatif

Umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang

kolom 25-100 cm. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan

biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bias juga

digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi

penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom tergantung

pada mode KCKT yang digunakan.

F. Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya

komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-

detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan

(noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi

tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa.

Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi

temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh.

Detektor yang saling banyak digunakan dalam kromatografi cair

modern kecepatan tinggi adalah detektor spektrofotometri UV 254

nm. Detektor lainnya, antara lain detektor fluometer, detektor

ionisasi nyala, detektor elektrokimia dan lain-lain juga telah

digunakan.

26
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2.10 Kesesuaian Sistem

Untuk memastikan keefektifan sistem operasional akhir, perlu dilakukan

uji kesesuaian sebelum digunakan. Pada hakekatnya, pengujian semacam itu

berdasar atas konsep, bahwa elektronik, peralatan, zat uji dan kondisi

operasional analitik membentuk satu sistem analititk tunggal yang dapat diuji

fuungsinya secara keseluruhan. Data spesifik dikumpulkan dari penyuntikn

ulang larutan uji atau larutan baku.

2.11 Validasi Metode

Validasi metode adalah suatu tindakan penelitian terhadap parameter

tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa

parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya.

Validasi metode sangat diperlukan karena beberapa alasan yaitu validasi

metode merupakan elemen penting dari kontrol kualitas, validasi membantu

memberikan jaminan bahwa pengukuran akan dapat diandalkan. Dalam

beberapa bidang, validasi metode ialah persyaratan peraturan. Beberapa

parameter dalam validasi metode ialah presisi, linearitas, akurasi, batas

deteksi dan batas kuantitasi.

2.11.1 Presisi

Presisi atau precision adalah ukuran yang menunjukkan derajat

kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil

individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada

sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen.

27
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Presisi dapat diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku

relatif (koefisien variasi). Precision dapat dinyatakan sebagai repeatability

(keterulangan) atau reproductibility (ketertiruan). Repeatability adalah

keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama

pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Reproducibility

adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda.

Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif

(RSD) atau koefisien variasi (CV) 2% atau kurang.

CV = SD x 100%

Keterangan:

SD : Standar Deviasi

X : Nilai rata-rata

2.11.2 Linieritas

Liniearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon

proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas biasanya

dinyatakan dalam istilah variasi sekitar arah garis regresi yang dihitung

berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit

dalam sampel dengan bebagai konsentrasi analit.

Uji linearitas dilakukan dengan suatu seri larutan standar yang

terdiri dari minimal empat konsentrasi yang berbeda dengan rentang 50-

150% dari kadar analit sampel. Di dalam pustaka, sering ditemukan rentang

28
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
konsentrasi yang digunakan antara 0 – 200%. Jumlah sampel yang dianalisis

sekurang-kurangnya delapan buah sampel blanko.

Parameter hubungan kelinieran yang digunakan yaitu koefisien

korelasi (r) dan korelasi determinasi (R) pada analisis regresi linier y= bx + a

(b adalah slope, a adalah intersep, x adlaah konsentrasi analit dan y adalah

respon instrumen).

2.11.3 Akurasi atau Perolehan Kembali (Recovery)

Akurasi adalah kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan

hasil sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai hasil perolehan kembali analit

yang ditambahkan. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan

membandingkan hasil rujukan dengan bahan rujukan standar. Syarat akurasi

yang baik adalah 80 – 120%.

2.11.4 Batas Deteksi / Limit Of Detection (LOD) dan Batas Kuantitasi /

Limit Of Quantitation (LOQ)

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat

dideteksi yang masih memberikan respon signifikasi dibandingkan dengan

blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi

merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas

terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan

seksama.

Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melaui

garis regresi linier dari kurva. Nilai pengukuran akan sama dengan niali b

29
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko

sama dengan simpangan baku residual (Sy/x).

a. Batas deteksi (LoD)

Karena k = 3, Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka:

3Sy
x
LOD =
Sl

b. Batas kuantitasi (LoQ)

Karena k = 10, simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka:

10Sy
LOQ - x
Sl

30
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta

mulai bulan Juli – Agustus 2020.

3.2 Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dikriteriakan dalam bentuk serbuk dan belum kadaluarsa.

Lebih lanjut sampel yang diperoleh didokumentasikan merk produk dengan masing-

masing merk diberi/ditambahi dengan kode abjad sampel “A”, “B”, “C”,”D”, “E”,

“F”, “G”, “H”, “I”, dan “J”.

Sampel penelitian diperoleh 10 sampel jamu kuat yaitu terdiri dari 5 sampel

jamu kuat yang teregistrasi di BPOM dan 5 sampel jamu kuat yang tidak teregistrasi

di BPOM. Sampel jamu kuat yang ditetapkan/dianalisis secara kuantitatif dalam

penelitian ini didasarkan kepada merk produk yang didapatkan dari toku jamu yang

beredar di pasaran daerah Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Alat suntik

31
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2. Beaker glass

3. Botol vial agilent

4. Corong pisah

5. Erlenmeyer

6. Kolom C18

7. Labu ukur

8. Seperangkat instrument Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

9. Timbangan Analitik

10. Power Ultrasonic bath 450

11. Waterbath

3.3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Aquades

2. Asam asetat 1%

3. Sampel jamu kuat

4. Baku Kafein BPFI (Baku Pembanding Farmakope Indonesia)

5. Kalsium karbonat

6. Kertas saring milipore millex 0,45 µm

7. Kloroform

8. Metanol pro analisis

32
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
3.4 Prinsip Penelitian

Sampel dari jamu kuat dianalisis kadarnya secara kuantitatif menggunakan

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

3.5 Prosedur

3.5.1 Prosedur Analisis

1. Pembuatan Larutan Baku

Ditimbang kafein pro analisis ± 10 mg kemudian dilarutkan dalam

10 ml metanol dalam botol timbang (1000 ppm). Pipet 1 ml larutan

baku 1000 ppm lalu dilarutkan dalam 10 ml air (100 ppm).

2. Pembuatan Larutan Standar Kafein

a. Pembuatan larutan baku kafein 20 ppm

Dengan melakukan pengenceran dari larutan baku 100 ppm

dengan cara dipipet 1 ml larutan baku induk kafein 100 ppm

dengan mikropipet lalu dilarutkan dalam 1 ml air.

b. Pembuatan larutan baku kafein 40 ppm

Dipipet 1 ml larutan 20 ppm menggunakan mikropipet lalu

dilarutkan dalam 1 ml air.

c. Pembuatan larutan baku kafein 60 ppm

Dipipet 1 ml larutan 40 ppm menggunakan mikropipet lalu

dilarutkan dalam 1 ml air.

d. Pembuatan larutan baku kafein 80 ppm

33
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Dipipet 1 ml larutan 60 ppm menggunakan mikropipet lalu

dilarutkan dalam 1 ml air.

e. Pembuatan larutan baku kafein 100 ppm

Dipipet 1 ml larutan 80 ppm menggunakan mikropipet lalu

dilarutkan dalam 1 ml air.

Larutan baku standar tersebut masing-masing disaring

menggunakan penyaring membran milipore millex 0,45 µm.

Masing-masing filtrat dimasukkan ke dalam vial KCKT.

Disonikasi dengan power ultrasonic bath selama 10 menit

sampai homogen. Kemudian disuntikkan ke dalam alat KCKT,

lalu diamati kromatogramnya.

3. Penetapan Panjang Gelombang Serapan Maksimum

Membuat larutan baku kafein 50 ppm dengan cara melakukan

pengenceran dari larutan baku 100 ppm menjadi 20 ppm, 40 ppm,

60 ppm, 3,80 ppm, kemudian mengukur serapannya dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 220-300 nm. Panjang

gelombang yang menghasilkan serapan tertinggi adalah panjang

gelombang maksimum kafein dan digunakan untuk analisis larutan

standard dan sampel pada instrumen KCKT.

4. Pembuatan Fase Gerak

34
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Fase gerak dibuat dari campuran metanol : asam asetat 1% (30 :

70). Campurkan 700 ml metanol dan 300 ml aquades dalam botol

1000 ml kemudian campurkan sampai homogen.

5. Uji Kesesuaian Sistem

Sejumlah 20 µl baku pembanding kafein 60 ppm disuntikkan

sebanyak 5 kali ke dalam kromatograf dengan kondisi optimum

yang telah ditentukan, kemudian diukur luas puncaknya.

Selanjutnya, dihitung nilai simpangan baku relatifnya berdasarkan

luas puncak yang diperoleh. Syarat nilai simpangan baku relatif

untuk waktu retensi dan luas area ≤ 2,0%.

6. Uji Linearitas

Membuat suatu seri pengenceran dari larutan baku dengan

konsentrasi 100 ppm menjadi 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, dan 80

ppm. Masing-masing konsentrasi disuntikkan sebanyak 20,0 µl ke

instrumen KCKT dengan kondisi analisa terpilih, kemudian

dianalisis hubungan antara luas puncak dan konsentrasi baku

pembanding.

7. Analisis Kafein Dalam Sampel

Ditimbang ± 200 mg sampel menggunakan timbangan analitik,

kemudian masing-masing sampel dilarutkan dengan menambahkan

± 20 ml air hangat dalam beaker glass dengan dibantu pengadukan.

Larutan sampel didiamkan terlebih dahulu sampai dingin,

kemudian disaring menggunakan corong gelas dengan kertas

35
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
saring. Hasil penyaringan ditambahkan ± 0,375 g kalsium karbonat

untuk menarik semua senyawa yang terkandung di dalam jamu

kuat, lalu larutan jamu kuat tadi dimasukkan ke dalam corong

pisah kemudian diekstraksi denga kloroform 25 ml, penamba

kloroform bertujuan untuk mengikat kafein dari larutan agar kafein

terpisah dari zat-zat lain dalam larutan. Lapisan bawahnya (lapisan

kloroform) diambil kemudian diuapkan dalam waterbath/penangas

air hingga kloroform menguap sepenuhnya. Ekstrak kafein lalu

ditambahkan fase gerak metanol : asam asetat 1% (30 : 70) ke

dalam labu ukur 100 ml, kemudian disonikasi dengan Power

ultrasonic bath selama 10 menit sampai homogen, setelah itu

disaring dengan kertas saring milipore 0,45 µm, masukkan ke

dalam botol vial agilent kemudian sonikasi kembali selama 10

menit, setelah itu sampel siap disuntikkan ke dalam KCKT. Amati

kromatogramnya dan ukur luas puncaknya.

8. Uji Perolehan Kembali

Sejumlah 2 ml larutan sampel dipipet ke dalam vial menggunakan

mikropipet dan ditambahkan 2 ml larutan baku pembanding 10

ppm. Campuran tersebut selanjutnya disuntikkan ke dalam alat

KCKT dan direplikasi sebanyak 3 kali diukur luas puncaknya

menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi lalu dihitung %

recoverinya

36
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
37
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
3.6 Tahap Alur Penelitian

Perolehan 5 sampel
Sampel Jamu Kuat yang
beredar di pasaran teregistrasi dan 5 sampel
tidak teregistrasi

Uji Organoleptik:Bentuk, warna, rasa,


dan bau

Persiapan KCKT (Meliputi : Validasi Metode Analisis


Pembuatan fase gerak,
pembuatan larutan induk

Penetapan Kadar Kafein Analisis Data

38
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Perolehan Sampel

Sampel yang dianalisis adalah jamu kuat dikumpulkan dari toko obat

tradisional yang beredar di pasaran daerah Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, dengan

karakteristik berbentuk sediaan serbuk padat, tanggal kadaluarsa, ada lima yang tidak

terdaftar dan lima yang terdaftar di BPOM, serta dengan asumsi sampel mempunyai

karakter yang sama (homogen). Pada daerah sekitar Srengseng Sawah, Jakarta

Selatan terdapat 12 toko jamu dengan 10 sampel jamu kuat yang di sampling

memenuhi kriteria untuk di uji. Dihitung banyaknya pedagang jamu yang menetap,

kemudian dipilih sepuluh pedagang jamu secara acak dan diambil 1 merk sampel

jamu dari setiap pedagang jamu yang dipilih secara acak sehingga diperoleh sepuluh

merk jamu kuat yang berbeda. Sepuluh merk sampel yang diperoleh kemudian

didokumentasikan dan masing-masing merk ditandai dengan kode abjad sampel “A”,

“B”, “C”,”D”, “E”, “F”, “G”, “H”, “I”, dan “J”.

4.2 Hasil Uji Organoleptik

Hasil uji organoleptik sampel jamu kuat dapat dilihat pada tabel berikut:

39
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
B e r d a s a k a n
No Sampel Bentuk Warna Rasa Bau

Sediaan
1 A Serbuk Krem Pahit Khas
2 B Serbuk Krem Pahit Khas
3 C Serbuk Krem Pahit Khas
4 D Serbuk Krem Pahit Khas
5 E Serbuk Putih Pahit Khas
6 F Serbuk Krem Pahit Khas
7 G Serbuk Krem Pahit Khas
8 H Serbuk Krem Pahit Khas
9 I Serbuk Krem Pahit Khas
10 J Serbuk Krem Pahit Khas
sediaan serbuk, mempunyai bau yang khas dan rasa yang pahit. Perbedaan tiap

sampel terdapat pada warna, dimana sampel A mempunyai krem, sampel B

mempunyai wana krem, sampel C mempunyai warna krem sampel D mempunyai

warna krem, sampel E mempunyai warna putih, sampel F mempunyai warna krem,

sampel G mempunyai warna krem, sampel H mempunyai warna krem, sampel I

mempunyai krem, dan sampel J mempunyai warna krem.

4.2 Hasil Penetapan Panjang Gelombang Serapan Maksimum

Penetapan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan dengan

membuat spektrum serapan dari 6 konsentrasi kafein yaitu konsentrasi 50 ppm, 25

ppm, 12,5 ppm, 6,25 ppm, 3,125 ppm, dan 1,5625 ppm. Spektrum dibuat dengan

secara overlay pada panjang gelombang 220 – 330 nm. Hasil penetapan panjang

gelombang maksimum dapat dilihat pada gambar berikut

Penetapan panjang gelombang serapan maksimum kafein dilakukan untuk

mengetahui dan memastikan panjang gelombang yang akan digunakan dalam

detektor UV pada KCKT. Dari spektrum serapan diperoleh panjang gelombang

40
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
maksimum pada 272,5 nm. Namun, pada pengujian selanjutnya dengan metode

KCKT digunakan panjang gelombang maksimum 272 nm, karena alat KCKT yang

digunakan tidak memungkinkan pembacaan koma pada panjang gelombang.

4.3 Hasil Optimasi Fase Gerak

Pada penelitian kali ini menggunakan fase gerak metanol : asam asetat 1% (70

: 70) karena tidak memiliki waktu retensi yang tidak terlalu lama. Tabel dibawah ini

adalah kondisi KCKT yang digunakan untuk pengujian

Tabel IV. Kondisi KCKT terpilih

Parameter KCKT Kondisi KCKT


Fase gerak Metanol : Asam asetat (30:70)
Kolom Oktodesilsilana, C18
Tekanan Kolom 142,37 bar
Volume fase gerak 1 ml/min
Panjang gelombang 272 nm
Detektor UV
Volume Injeksi 20

4.4 Hasil Uji Kesesuaian Sistem

Uji kesesuaian sistem dilakukan untuk mengetahui apakah alat, metode, dan

kondisi KCKT dapat membentuk sistem tunggal dan memberikan hasil yang baik.

Pada uji ini, larutan baku kafein 6,25 ppm diukur luas areanya sebanyak 5x replikasi

dan luas puncak yang diperoleh dapat dilihat pada table berikut

Replikasi Waktu retensi (menit) Luas area


1 1,180 622,1180
2 1,181 619,8522
3 1,180 623,5149

41
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
4 1,181 619,9544
5 1,180 622,2543
Rata-rata 1,1804 621,53876
SB 0,000273861 0,7984
SBR (%) 0,02% 0,12%
Tabel IV. 2 Hasil Uji Kesesuaian Sistem

Hasil uji kesesuaian sistem menunjukan bahwa nilai simpangan baku relatif

(SBR) dari waktu retensi dan luas puncak kafein memenuhi persyaratan Farmakope

Indonesia Edisi IV, yaitu nilai SBR tidak boleh lebih dari 2%. Dari hasil uji

kesesuaian sistem dapat disimpulkan bahwa kondisi operasional untuk menganalisis

kafein secara KCKT sudah membentuk suatu kesatuan sistem yang dapat

memberikan hasil yang baik. Kromatogram hasil penyuntikan untuk uji kesesuaian

sistem dapat dilihat pada lampiran.

4.5 Hasil Uji Linearitas

Uji linearitas baku pembanding kafein dibuat dengan mengukur satu seri

larutan baku pembanding dengan 5 konsentrasi berbeda kemudian dibuat kurva

hubungan antara konsentrasi kafein (ppm) sebagai sumbu x dan luas pucak kafein

sebagai sumbu y. Kurva kalibrasi baku pembanding kafein digunakan untuk melihat

gambaran alat KCKT yang digunakan dalam kondisi baik atau tidak. Hasil uji

linearitas baku pembanding kafein dapat dilihat pada tabel.

Tabel IV 3. Hasil Uji Linearitas Baku Pembanding Kafein

Konsentrasi kafein Waktu retensi (menit) Luas area (mAu)

(ppm)
1,5625 1,179 190,16774

42
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
3,125 1,181 315,37622
6,25 1,179 627,48578
12,5 1,178 1195,68103
25 1,177 2273,25171
50 1,174 4422,63818

Kurva kalibrasi
6000

5000

4000
Luas area

3000

2000

1000

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi (ppm)

Gambar IV. 2 Kurva uji linearitas baku pembanding kafein

Dari kurva uji linearitas baku pembanding kafein, diperoleh persamaan garis

regresi y= 87,40x + 68,99 dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,999. Nilai

koefisien korelasi (r) yang mendekati satu menunjukkan bahwa alat tersebut masih

mempunyai kemampuan yang baik untuk digunakan dalam pengukuran sampel

berikutnya dan dapat dikatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara

43
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
konsentrasi dan area artinya dengan meningkatnya konsentrasi, maka area juga

meningkat.

4.6 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi

yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas

deteksi dan batas kuantitasi diperoleh melalui perhitungan simpangan baku residual

(Sy/x) dari kurva kalibrasi pada pengujian linearitas metode.

LOD (batas deteksi) merupakan konsentrasi analit terendah dalam sampel

yang masih dapat dideteksi. Sedangkan nilai LOQ (batas kuantitasi) merupakan

konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat ditentukan. Berdasarkan

hasil perhitungan, di dapat yaitu nilai LOD 0,7421 µg/ml dan nilai LOQ 2,473 µg/ml.

Hasil perhitungan LOD dan LOQ dapat dilihat pada lampiran.

4.7 Hasil Penetapan Kadar Kafein Dalam Sampel

Penetapan kadar kafein dilakukan pada 10 sampel jamu kuat yang terbagi

menjadi 5 yang teregistrasi dan 5 yang tidak teregistrasi oleh BPOM yang beredar

dipasaran, antara lain:

44
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
45
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
46
Institut Sains Dan Teknologi Nasional

Anda mungkin juga menyukai