Pendahuluan
Di dunia terdapat kurang lebih 280.000 jenis tumbuhan tersebar diseluruh dunia. Dari jumlah
tersebut, 80% merupakan tanaman yang berkhasiat untuk mengobati penyakit. Di Indonesia juga
mengenal banyak tanaman obat seperti temulawak, kencur, jahe dan tanaman lain yang belum
terdeteksi kandungan obatnya. Tanaman obat tersebut diperoleh dimana saja dan mudah
dibudidayakan sehingga disebut dengan obat tradisional. Banyaknya kekayaan alam berupa
tanaman obat memacu masyarakat untuk memanfaatkan seluruh kekayaan alam yang ada.
Obat tradisional di Indonesia sangat besar perannya dalam pelayanan kesehatan apalagi pada masa
pandemi seperti sekarang. Obat tradisional dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memelihara
kesehatan, mengobati gangguan kesehatan dan untuk memulihkan kesehatan. Namun untuk
mencapai tujuan itu maka keamanan dan mutu obat tradisional tergantung pada bahan baku,
prosedur dan pelaksanaan proses pembuatan, peralatan yang digunakan, pengemas termasuk
bahannya serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional.Produksi, dan
penggunaan obat tradisional di Indonesia memperlihatkan kecendrungan terus meningkat, baik
jenis maupun volumenya. Perkembangan ini telah mendorong pertumbuhan usaha di bidang obat
tradisional, mulai dari usaha budidaya tanaman obat, usaha industri obat tradisional, penjaja dan
penyeduh obat tradisional atau jamu. Bersamaan itu upaya pemanfaatan obat tradisional dalam
pelayanan kesehatan formal juga terus digalakkan melalui berbagai kegiatan uji klinik kearah
pengembangan fito farmaka (Ditjen POM, 1999).
Pada dasarnya pembuatan obat tradisional memiliki prinsip yang sama dengan pembuatan obat
sintetik pada umumnya. Hanya saja pada pembuatan obat tradisonal bahan baku (raw material)
yang berupa simplisia ataupun ekstrak perlu mendapatkan perhatian yang lebih dalam prosesnya.
Pada proses pembuatan obat tradisional, simplisia atau ekstrak yang digunakan sebagai bahan
bakunya harus telah memenuhi persyaratan mutunya, baik parameter standar umum (kadar air,
kadar abu, susut pengeringan dan bobot jenis) maupun parameter standar spesifik (organoleptik,
senyawa pelarut dalam pelarut tertentu, uji kandungan kimia dalam ekstrak dan penetapan kadar).
Standarisasi dilakukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat
menjamin efek farmakologi tanaman tersebut. Salah satu parameter penting dalam standarisasi
adalah profil profil metabolomic (metabolic profiling). Plant metabolomic adalah parameter
standarisasi yang digunakan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder tanaman.
Kandungan metabolit sekunder ini mempengaruhi efek farmakologi dari suatu tanaman, dimana
kandungan kimia ini sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tempat tumbuh, iklim, curah
hujan, panen. Banyaknya faktor yang mempengaruhi kandungan kimia mengakibatkan masing-
masing tanaman memiliki profil plant metabolomic yang berberda (Hanani, 2000).
1. 2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Obat tradisional
2. Apa yang dimaksud dengan standarisasi obat tradisional?
3. Apa tujuan standarisasi obat tradisional (simplisia dan ekstrak)?
4. Apasaja parameter-parameter standarisasi obat tradisional?
1. 3 Tujuan
BAB II
Pembahasan
Obat Tradisional adalah obat yang dibuat dari bahan atau paduan bahan-bahan yang diperoleh dari
tanaman,hewan atau mineral yang belum berupa zat murni. Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau
campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Ditjen POM,1999). Sediaan galenik adalah hasil ekstrasi bahan atau
campuran bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Obat tradisional sering dipakai
untuk pengobatan penyakit yang belum ada obatnya yang memuaskan seperti penyakit kanker,
penyakit viru termasuk AIDS dan penyakit genertif, serta pada keadaan tidak terjangkau oleh daya
beli masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) yang
kemudian beralih menjadi Badan POM mempunyai tanggung jawab dalam peredaran obat
tradisional di masyarakat. Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2
kelompok,yaitu obat tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin
berkembangnya teknologi,telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses
produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk
ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan penelitian
sampai dengan uji klinik. Dengan keadaan tersebut maka obat tradisional sebenarnya dapat
dikelompokkan menjadi 3 , yaitu jamu, obat ekstrak alam dan fitofarmaka.
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk
seduhan, oil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut
serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep
peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak,
berkisar antara 5-10 macam bahkan lebih.
Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti
empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan
mungkin ratusan tahun,telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan
kesehatn tertentu.
Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Artinya bila
umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan minimal 180
tahun. Inilah yang membedakan dengan fitofarmaka, dimana pembuktian khasiat tersebut baru
sebatas pengalaman, selama belum ada penelitian ilmiah. Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi
herbal terstandar atau fitofarmaka dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan
dan proses pembuatan yang terstandarisasi. Pada saat ini kesadaran akan pentingnya “back to
nature” memang sering hadir dalam produk yang kita gunakan sehari-hari. Saat ini contohnya kita
bisa melihat banyak masyarakat yang kembali ke pengobatan herbal. Banyak ramuanramuan obat
tradisional yang secara turun-temurun digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan. Sebagian
dari mereka beranggapan bahwa pengobatan herbal tidak memiliki efek samping.
Obat Herbal Terstandar atau Ekstrak bahan alam ( Scientific based herbal medicine)
Obat herbal terstandar atau Ekstrak bahan alam adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak
atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk
melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal,
ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun keterampilan
pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah
ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pra-klinik seperti standar
kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanman obat, standar pembuatan obat
tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis.
Indonesia telah meiliki atau memproduksi sendiri OHT dan telah telah beredar di masyarakat 17
produk OHT, seperti misalnya : diapet®, lelap®, kiranti®, dll. Sebuah herbal terstandar dapat
dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia.
Fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di
standarisir (BPOM. RI., 2004 ).
Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanannya dan khasiatnya, bahan
bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyarakatan yang
berlaku. Istilah cara penggunaanya menggunakan pengertian farmakologik seperti
diuretic,analgesic,antipiretik,dan sebagainya. Selama ini obat-obat fitofarmaka yang berada di
pasaran masih kalah bersaing dengan obat paten. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor,antara lain
kepercayaan, standar produksi, promosi dan pendekatan terhadap medis, maupun konsumennya
secara langsung. Fitofarmaka merupkan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat
disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar,ditunjang
dengan bukti ilmiah sampai dnegn uji klinik pada manusia. Oleh karena itu, dalam pembuatannya
memerlukan tenaga ahli dan biaya yang besar ditunjang dengan peralatan berteknologi modern
pula.
Standardisasi suatu sediaan obat (ekstrak atau simplisia) adalah suatu persyaratan yang dapat
diwujudkannya reprodusibilitas terhadap kualitas farmasetik maupun terapetik. Dalam upaya
standardisasi tersebut perlu ditentukan persyaratan standard yang diharuskan Peraturan dan
Perundang-undangan yang berlaku. Pada pelaksanaan standardisasi perlu juga dilakukan dengan
berbagai macam metode (pengujian multifaktorial). Standardisasi suatu sediaan obat (ekstrak atau
simplisia) tidaklah sulit bila senyawa aktif yang berperan telah diketahui dengan pasti. Standardisasi
dapat didasarkan atas senyawa aktif, kelompok senyawa aktif maupun atas dasar senyawa karakter
(bila senyawa aktif belum diketahui dengan pasti). Bila digunakan senyawa karakter pada upaya
standardisasi, maka dalam hal ini hanyalah bertujuan untuk dapat membantu menentukan kualitas
bahan obat tersebut. Senyawa karakter yang dipakai haruslah spesifik dan digunakan selama
senyawa aktif belum diketahui dengan pasti. Standardisasi dapat dilakukan secara fisika, kimia,
maupun biologi (Made, 2017).
Standarisasi adalah sebuah alat untuk melakukan kontrol kualitas terhadap seluruh proses
pembuatan obat tradisional dari tahap penyiapan raw material, bahan jadi (ekstrak), proses
produksi obat tradisional, dan obat tradisional itu sendiri. Kualitas obat tradisional sangat
dipengaruhi oleh metode harvesting, drying, storage, transportation, processing (Kunle, et al.,
2012).
Pada prinsipnya standardisasi suatu bahan obat / sediaan obat dilakukan mulai dari bahan baku
sampai dengan sediaan jadi (mulai dari proses penanaman sehingga akan terwujud suatu
homogenoitas bahan baku). Berdasarkan hal inilah standarisasi obat tradisional dikelompokkan
menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Standarisasi bahan
2. Standarisasi produk
3. Standarisasi proses
Pengontrolan yang ketat terhadap bahan baku hasil kultivasi (pemilihan bibit, pengontrolan lahan
penanaman, saat panen, pengeringan dan atau pengontrolan terhadap setiap tahap proses dari
bahan baku sampai dengan bentuk sediaan jadi) dapat diharapkan terwujudnya suatu homogenitas
bahan obat / sediaan fitofarmaka.
1. Menurut Suradi 2003, tujuan dari standarisasi obat tradisional sebagai berikut :
2. Keseragaman (agar tidak merusak formula dan khasiat dari obat tradisional itu sendiri) dan
yang perlu keseragaman ialah bahan baku dan produk jadinya.
3. Keberadaan senyawa aktif, sehingga dapat dipercaya efek farmakologinya. Dan efek
farmakologi ditentukan oleh penelitian dan pengujian, baik praklinik maupun linik.
4. Kesamaan dosis, dimaksudkan agar efek farmakologi yang ditimbulkan seragam dan
mempermudah pemberian obat tradisional pada masyarakat.
5. Mencegah pemalsuan, dengan adanya standarisasi masyarakat dapat membedakan produk
yang asli ataupun palsu dan meyakinkan adanya keamanan dan khasiat dari obat tradisional
tersebut.
Dalam standarisasi ada beberapa parameter yang harus diukur atau dianalisis agar bahan obat atau
sediaan obat dapat dijamin keamanannya bagi konsumen atau masyarakat pengguna. Adapun
parameter- parameter tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu (Made, 2017) :
Parameter non spesifik : berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi, dan fisis yang akan
mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas, meliputi : kadar air, cemaran logam berat,
aflatoksin, dan lain-lain.
Parameter spesifik : berfokus pada senyawa atau golongan senyawa yang bertanggungjawab
terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif terhadap senyawa aktif.
Berdasarkan hal inilah standarisasi obat tradisional dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu :
Tanaman atau bahan baku yang dipergunakan dalam pengobatan tradisional atau pengobatan
alternatif dapat berupa :
a. Bahan mentah atau simplisia yang dapat berupa bahan segar, serbuk kering atau
diformulasi
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga. Simplisia dapat berupa bahan segar atau serbik kering yang
sesuai dengan standar farmakope. Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia pelikan atau mineral.
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat
tanaman. Eksudat adalah ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang
dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, Simplisia hewani adalah simplisia yang
berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa zat kimia murni.
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia
murni. Pengontrolan yang ketat terhadap bahan baku hasil kultivasi (pemilihan bibit,
pengontrolan lahan penanaman, saat panen, pengeringan dan atau pengontrolan
terhadap setiap tahap proses dari bahan baku sampai dengan bentuksediaan jadi) dapat
diharapkan terwujudnya suatu homogenitas bahan obat / sediaan fitofarmaka.
Kebanyakan simplisia yang beredar saat ini berasal dari tumbuhan. Penamaan dari
simplisia menggunakan bahasa Latin. Penamaan Latin secara umum menandai atau
menunjukkan salah satu ciri dari simplisia yaitu dari bagian tanaman yang dipakai seperti
misalnya radix merupakan bagian akar dari suatu tanaman obat, nama latin lainnya dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Bentuk simplisia dapat berupa bahan segar, serbuk kering atau diformulasi. Kualitas atau
mutu simplisia dalam bentuk serbuk kering dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
misalnya saat pemanenan, tempat tumbuh, kehalusan serbuk dan tahapan-tahapan
pembuatan serbuk. Karena hal ini akan mempengaruhi kandungan kimia aktif dari
simplisia tersebut. Kandungan kimia bahan baku yang berupa glikosida, alkaloid, minyak
atsiri, karbohidrat, flavonoid, steroid, saponin dan tanin, mudah terurai karena berbagai
hal seperti suhu, keasaman, sinar matahari, kelembaban, kandungan anorganik tempat
tumbuh dan mikroorganisme pengganggu. Adanya masalah tersebut maka standardisasi
sangat diperlukan agar produk yang dihasilkan seragam dari waktu ke waktu. Bentuk atau
bagian bahan baku yang dipergunakan akan mempengaruhi proses atau tahap-tahap
pembuatan serbuk kering (kehalusan) dari simplisia yang nantinya akan mempengaruhi
proses ekstraksi. Bentuk kayu dan akar umumnya keras, cara pengerjannya lain dengan
bentuk bunga, daun, rimpang, dan daun buah yang lunak.
Umumnya bahan tersebut dipotong tipis-tipis atau diserbuk kasar, tergantung cara
masing-masing industri. Ukuran bahan baku atau kehalusan serbuk simplisia akan
mempengaruhi proses pembuatan ekstrak, karena semakin halus serbuk akan
memperluas permukaan dan semakin banyak bahan aktif tanaman tertarik pada pelarut
pengekstraksi. Serbuk dibuat dengan alat yang sesuai dan derajat kehalusan tertentu
karena alat yang dipergunakan dalam pembuatan serbuk juga dapat mempengaruhi mutu
ekstrak atau mutu kandungan kimia aktif. Selama penggunaan peralatan pembuatan
serbuk akan ada gerakan dan interaksi dengan benda keras (logam) yang dapat
menimbulkan panas (kalori) yang dapat mempengaruhi kandungan senyawa aktifnya,
sebagai akibat proses hidrolisis akibat panas tersebut. Ukuran partikel atau kehalusan
serbuk harus disesuaikan dengan bahannya, proses ekstraksi,cairan penyari, dan lain-lain.
Pada saat panen atau pada proses pemanenan dan pengumpulan bahan baku obat perlu
kiranya memperhatikan aturan-aturan atau pedoman pemanenan bahan baku. Aturan
yang ditetapkan dalam pemanenan dan pengumpulan tanaman obat, bertujuan untuk
mendapatkan kadar zat aktif yang maksimal. Pemanenan dilakukan pada dasarnya saat
kadar zat aktif paling tinggi diproduksi paling banyak pada tanaman.
Metode pengambilan atau pengumpulan saat pemanenan disesuaikan dengan sifat zat
aktif tanaman karena ada yang bisa dipanen dengan mesin dan ada yang harus
menggunakan tangan. Sifat-sifat kandungan senyawa aktif tanaman obat dipengaruhi oleh
faktor luar maupun dalam diri dari tanaman atau tumbuhan tersebut. Faktor luar antara
lain tempat tumbuh, iklim, ketinggian tanah, pupuk, pestisida, dan lain-lain. Faktor dalam
meliputi genetik yang terdapat dalam tumbuhan tersebut. Hal ini mengakibatkan variasi
kandungan kimia yang cukup tinggi. Adapun aturan-aturan atau garis-garis besar yang
dipakai sebagi pedoman dalam panen untuk bahan baku (simplisia) tanaman obat yaitu :
1) Biji, saat buah belum pecah (misal Ricinus communis, kedawung). Caranya : buah
dikeringkan, diambil bijinya. Biji dikumpulkan dan dicuci, selanjutnya dikeringkan
lagi.
2) Buah, dipanen saat masak. Tingkat masak suatu buah dapat dengan parameter
yang berbeda-beda, misal: perubahan tingkat kekerasan (misal
Cucurbitamoschata), perubahan warna (misal melinjo, asam, dll), perubahan
bentuk (misal pare, mentimun), perubahan kadar air (misal belimbing wuluh,
jeruk nipis).
3) Pucuk daun, dipanen pada saat perubahan pertumbuhan dari vegetatif ke
generatif terjadi penumpukan metabolit sekunder, yaitu pada saat berbunga.
4) Daun tua, diambil pada saat daun sudah membuka sempurna dan di bagian
cabang yang menerima sinar matahari langsung sehingga asimilasi sempurna.
5) Umbi, dipanen jika besarnya maksimal dan tumbuhnya di atas tanah berhenti.
6) Rimpang, diambil pada musim kering dan saat bagian tanaman di atas tanah
mongering.
7) Kulit batang dipanen menjelang kemarau. Kandungan kimia juga berbeda-beda
jika dipanen pada saat yang berbeda.
3. Standarisasi proses
Produksi dan peralatan dalam pembuatan sesuai dengan CPOTB (Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik).
a. Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur tervalidasi yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOTB yang menjamin senantiasa menghasilkan
produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan
izin edar (registrasi). Untuk bahan mentah - baik yang dibudidayakan maupun yang hidup
secara liar, dan yang digunakan baik dalam bentuk bahan mentah maupun sudah melalui
tehnik pengolahan sederhana (misal perajangan atau penghalusan). Tahap kritis pertama
dalam proses produksi, dalam hal ini di mana persyaratan teknis ini mulai diterapkan,
hendaklah ditentukan dengan jelas. Penjelasan tentang hal tersebut hendaklah dinyatakan
dan didokumentasikan. Petunjuk diberikan seperti berikut. Namun untuk proses seperti
ekstraksi, fermentasi dan pemurnian, penentuannya hendaklah ditetapkan berdasarkan
kasus per-kasus.
Pengumpulan/pembudidayaan dan /atau pemanenan, proses pasca panen termasuk
pemotongan pertama dari bahan alamiah hendaklah dijelaskan secara rinci.
Jika diperlukan penghalusan lebih lanjut dalam proses pembuatannya, hendaklah hal
tersebut dilakukan sesuai CPOTB.
Dalam hal bahan aktif, sesuai definisi dalam Glosarium, terdiri hanya dari rajangan
atau serbuk, aplikasi dari persyaratan teknis ini dimulai pada proses fisik yang
mengikuti pemotongan awal dan perajangan, dan termasuk pengemasan.
Jika ekstraks digunakan, prinsip-prinsip dari persyaratan teknis ini hendaklah
diberlakukan pada setiap tahap produksi mengikuti proses pasca panen / pasca
pengumpulan.
Dalam hal produk jadi diolah secara fermentasi, penerapan CPOTB hendaklah meliputi
seluruh tahap produksi sejak pemotongan awal dan penghalusan.
Berikut prosedur produksi Obat Tradisional secara umum :
1) Bahan hendaklah ditangani dengan cara yang tidak mengubah produk. Pada
saat bahan alamiah tiba di pabrik hendaklah langsung diturunkan dan
dibongkar. Selama proses ini berlangsung hendaklah bahan alamiah
dihindarkan kontak langsung dengan tanah. Lebih lanjut, hendaklah juga
dihindarkan dari sinar matahari langsung (kecuali hal tersebut merupakan
kebutuhan spesifik, misal pengeringan dengan sinar matahari) dan hendaklah
terlindung dari hujan serta kontaminasi mikroba.
2) Hendaklah diperhatikan “klasifikasi“ atas kebutuhan area terkendali dengan
mempertimbangkan kemungkinan kontaminasi mikroba. yang tinggi dari
bahan alam. Klasifikasi bangunan yang berlaku untuk area produksi bahan
obat kemungkinan tidak bisa digunakan untuk pengolahan bahan alam.
Persyaratan yang detil dan spesifik hendaklah dibuat untuk menghindari
kontaminasi mikroba atas peralatan, udara, permukaan dan personil, dan juga
toilet, utilitas, sarana dan sistem penunjang (misal air dan udara bertekanan).
3) Hendaklah diperhatikan pemilihan metode pembersihan yang sesuai dengan
karakteristik bahan yang diproses. Apabila perendaman bahan dengan air
atau bahan lain yang sesuai (misal disinfektan) tidak bisa dihindarkan (misal
untuk menghilangkan bakteri coliform), hendaklah digunakan dengan dosis
yang sesuai.
4) Keberadaan bahan dari spesies dan varietas yang berbeda, atau bagian
tanaman/binatang yang berbeda hendaklah dikendalikan selama proses
produksi untuk mencegah kontaminasi, kecuali telah dijamin bahwa bahan
tersebut ekivalen.
5) Jika dalam Prosedur Produksi Induk disebutkan batas waktu, untuk
memastikan kualitas produk antara dan produk jadi, hendaklah batas tersebut
tidak dilampaui. Makin sedikit diketahui komponen yang menghasilkan
aktifitas terapeutik, hendaklah semakin ketat ketentuan ini ditaati. Meskipun
demikian, batas waktu tersebut kemungkinan tidak sesuai ketika proses
berjalan untuk mencapai target parameter tertentu (misal pengeringan
sampai mencapai spesifikasi yang ditetapkan) karena penyelesaian tahap
proses ditentukan oleh pengambilan sampel selama-proses dan pengujian.
6) Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.
7) Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina,
pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan,
pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau
instruksi tertulis dan bila perlu dicatat.
8) Kerusakan wadah dan masalah lain yang dapat berdampak merugikan
terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki, dicatat dan dilaporkan kepada
bagian pengawasan mutu.
9) Bahan yang diterima dan produk jadi hendaklah dikarantina secara fisik atau
administratif segera setelah diterima atau diolah, sampai dinyatakan lulus
untuk pemakaian atau distribusi.
10) Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan secara teratur pada kondisi
yang disarankan oleh pabrik pembuatnya dan diatur sedemikian agar ada
pemisahan antar bets dan memudahkan rotasi stok.
11) Pemeriksaan jumlah hasil nyata dan rekonsiliasinya hendaklah dilakukan
sedemikian untuk memastikan tidak ada penyimpangan dari batas yang telah
ditetapkan.
12) Pengolahan produk yang berbeda hendaklah tidak dilakukan secara
bersamaan atau bergantian dalam ruang kerja yang sama kecuali tidak ada
risiko terjadinya campur baur ataupun kontaminasi silang.
13) Tiap tahap pengolahan, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
kontaminasi mikroba atau kontaminasi lain.
14) Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau
mesin produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi label
atau penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah dan nomor bets.
Bila perlu penandaan ini hendaklah juga menyebut-kan tahap proses
produksi.
15) Label pada wadah, alat atau ruangan hendaklah jelas, tidak berarti ganda dan
dengan format yang telah ditetapkan. Label yang berwarna sering kali sangat
membantu untuk menunjukkan status (misalnya: karantina, diluluskan,
ditolak, bersih dan lain-lain).
16) Pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan pipa penyalur dan alat lain
untuk transfer produk dari satu ke tempat lain yang telah terhubung dengan
benar.
17) Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat mungkin
dihindarkan. Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ditangani sesuai
prosedur penanganan penyimpangan yang disetujui secara tertulis oleh
kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) dan, bila perlu, melibatkan
bagian Pengawasan Mutu.
18) Akses ke bangunan dan fasilitas produksi hendaklah dibatasi hanya untuk
personil yang berwenang.
19) Pada umumnya pembuatan produk non-medisinal hendaklah dihindarkan
dibuat di area dan dengan peralatan yang dikhususkan untuk obat tradisional.
b. Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk hendaklah memiliki rancang bangun
konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dengan tepat, sehingga
mutu yang dirancang bagi tiap produk terjamin secara seragam dari bets ke bets, serta
untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya.
1) Rancang Bangun dan Konstruksi
2) Pemasangan dan penempatan
3) Jenis peralatan
4) Peralatan Laboratorium.
Pengontrolan yang ketat terhadap bahan baku hasil kultivasi (pemilihan bibit, pengontrolan
lahan penanaman, saat panen, pengeringan dan atau pengontrolan terhadap setiap tahap
proses dari bahan baku sampai dengan bentuk sediaan jadi) dapat diharapkan terwujudnya
suatu homogenitas bahan obat/sediaan fitofarmaka.
BAB III
Penutup
1. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
2. Standarisasi adalah sebuah alat untuk melakukan kontrol kualitas terhadap seluruh proses
pembuatan obat tradisional dari tahap penyiapan raw material, bahan jadi (ekstrak), proses
produksi obat tradisional, dan obat tradisional itu sendiri.
3. Tujuan dari standarisasi obat tradisional yaitu keseragama, keberadaan senyawa aktif, kesamaan
dosis, dan mencegah pemalsuan.
4. Parameter-parameter dari standarisasi obat tradisional dikelompokkan menjadi dua yaitu
parameter non spesifik dan parameter spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Oka Made. (2017). Bahan Ajar Obat Tradisional. Bali: Universitas Udayana.(PDF)
BPOM RI. (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.(PDF)