Anda di halaman 1dari 11

MATERI VI

PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL


MENJADI FITOFARMAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kedua terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman
hayati. Terdapat sekitar 30.000 jenis (spesies) yang telah diidentifikasi dan 950 spesies
diantaranya diketahui memiliki fungsi biofarmaka yaitu tumbuhan, hewan, maupun
mikroba yang memiliki potensi sebagai obat, makanan kesehatan, nutraceuticals, baik
untuk manusia, hewan maupun tanaman.
Dengan kekayaan tersebut Indonesia berpeluang besar untuk menjadi salah satu
negara terbesar dalam industri obat tradisional dan kosmetika alami berbahan baku
tumbuh-tumbuhan yang peluang pasarnya pun cukup besar.
Sebagai salah satu alternatif pengembangan biofarmaka, fitofarmaka atau lebih
dikenal dengan tanaman obat, sangat berpotensi dalam pengembangan industri obat
tradisional dan kosmetika Indonesia. Selama ini, industri tersebut berkembang dengan
memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dari hutan alam dan sangat sedikit yang
telah dibudidayakan petani. Bila adapun, teknik budidaya dan pengolahan bahan baku
belum menerapkan persyaratan bahan baku yang diinginkan industri, yaitu bebas bahan
kimia dan tidak terkontaminasi jamur ataupun kotoran lainnya.
Dalam memacu pengembangan agribisnis berbasis fitofarmaka di tingkat petani,
sangatlah penting peningkatan kemampuan petani dalam hal budidaya tanaman obat. Di
samping hal budidaya, segi pasca panen dan pemasaran juga perlu ditingkatkan dalam
upaya memacu pengembangan industri obat tradisional dan kosmetika Indonesia.
Obat bahan alam yang semula banyak dimanfaatkan oleh negara-negara di Asia,
Amerika Selatan dan Afrika, sekarang meluas sampai ke negara-negara maju di Australia
dan Amerika Utara. Awalnya obat bahan alami digunakan sebagai tradisi turun-temurun.
Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi, baik
produksi maupun informasi, uji praklinik dan klinik dilakukan untuk memperoleh
keyakinan khasiat obat bahan alam.
B. Rumusan Masalah
1. Pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka ?

2. Kriteria sediaan fitofarmaka ?

3. Tahap-tahap pengembangan dan pengujiaan fitofarmaka ?


C. Tujuan

1. Mengetahui pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka.

2. Mengetahui kriteria sediaan fitofarmaka.

3. Mengetahui tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka.


BAB II
PEMBAHASAN
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat
tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat
kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan
cara pembuatan yang baik.
Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat
disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar,
ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia.. Dengan uji klinik
akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana
pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena
manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilimiah. Fitofarmaka merupakan obat tradisional
dari bahan alami yang pembuatannya terstandarkan dan memenuhi kriteria ilmiah.
Pengembangan fitofarmaka didasarkan atas ketersediaan bahan baku alam yang banyak
diversitasnya di Indonesia. Fitofarmaka tergolong ke dalam obat tradisional seperti halnya
jamu dan obat herbal terstandar. Keamanan dan khasiat fitofarmaka dibuktikan secara ilmiah
melalui uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produknya telah distandardisasi.

Indonesia merupakan negara kedua terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hayati.
Terdapat sekitar 30.000 jenis (spesies) yang telah diidentifikasi dan 950 spesies diantaranya
diketahui memiliki fungsi biofarmaka yaitu tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang
memiliki potensi sebagai obat, makanan kesehatan, nutraceuticals, baik untuk manusia, hewan
maupun tanaman.
Dengan kekayaan tersebut Indonesia berpeluang besar untuk menjadi salah satu negara
terbesar dalam industri obat tradisional dan kosmetika alami berbahan baku tumbuh-tumbuhan
yang peluang pasarnya pun cukup besar.
Sebagai salah satu alternatif pengembangan biofarmaka, fitofarmaka atau lebih dikenal
dengan tanaman obat, sangat berpotensi dalam pengembangan industri obat tradisional dan
kosmetika Indonesia. Selama ini, industri tersebut berkembang dengan memanfaatkan
tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dari hutan alam dan sangat sedikit yang telah
dibudidayakan petani. Bila adapun, teknik budidaya dan pengolahan bahan baku belum
menerapkan persyaratan bahan baku yang diinginkan industri, yaitu bebas bahan kimia dan
tidak terkontaminasi jamur ataupun kotoran lainya.
Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia Menjadi Fitofarmaka industri jamu dan
yang didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia
berjumlah 283 spesies tanaman. Senarai tumbuhan obat Indonesia yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1986 mendokumentasi 940 tanaman
obat dan jumlah tersebut tidak termasuk tanaman obat yang telah punah atau langka dan
mungkin ada pula tanaman obat yang belum dicantumkan.

Sebagai salah satu alternatif pengembangan biofarmaka, fitofarmaka atau lebih


dikenal dengan tanaman obat, sangat berpotensi dalam pengembangan industri obat
tradisional dan kosmetika Indonesia. Selama ini, industri tersebut berkembang dengan
memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dari hutan alam dan sangat sedikit yang
telah dibudidayakan petani. Bila adapun, teknik budidaya dan pengolahan bahan baku
belum menerapkan persyaratan bahan baku yang diinginkan industri, yaitu bebas bahan
kimia dan tidak terkontaminasi jamur ataupun kotoran lainnya.
Dalam memacu pengembangan agribisnis berbasis fitofarmaka di tingkat petani,
sangatlah penting peningkatan kemampuan petani dalam hal budidaya tanaman obat. Di
samping hal budidaya, segi pasca panen dan pemasaran juga perlu ditingkatkan dalam
upaya memacu pengembangan industri obat tradisional dan kosmetika Indonesia.
Obat bahan alam yang semula banyak dimanfaatkan oleh negara-negara di Asia,
Amerika Selatan dan Afrika, sekarang meluas sampai ke negara-negara maju di Australia
dan Amerika Utara. Awalnya obat bahan alami digunakan sebagai tradisi turun-temurun.
Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi, baik
produksi maupun informasi, uji praklinik dan klinik dilakukan untuk memperoleh
keyakinan khasiat obat bahan alam.
Dalam peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik
Indonesia nomor : hk.00.05.41.1384. Untuk dapat memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan / khasiat.
b. Dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang baik atau cara pembuatan obat yang baik yang berlaku.
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan
obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman
sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

Bila dikaji dari sejarah perkembangan, beberapa obat medern ternyata sebagaian
diantaranya juga diisolasi dari tanaman. Selain itu didapatkan juga antikanker yang berasal
dari sumber bahan alam seperti aktinomisin, biomisin, dan daun orubisin yang diisolasi dari
jamur dan bakteri.
Dalam belakangan ini di tengah banyaknya jenis obat modern di pasaran dan
munculnya berbagai jenis obat modern yang baru, terdapat kecenderungan global untuk
kembali ke alam (back to nature). Faktor yang mendorong masyarakat untuk
mendayagunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat modern / sintetis dan
banyaknya efek samping. Selain itu faktor promosi melalui media masa juga ikut berperan
dalam meningkatkan penggunaan obat bahan alam.
Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakin populer dan penggunaannya
meningkat tidak saja di negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga pada negara
maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun 2000 pasar dunia untuk obat herbal
termasuk bahan baku mencapai 43.000 juta dolar Amerika. Penjualan obat herbal meningkat
dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, dan antara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat.

Di Indonesia menurut survei nasional tahun 2000, didapatkan 15,6% masyarakat


menggunakan obat tradisional untuk pengobatan sendiri dan jumlah tersebut meningkat
menjadi 31,7% pada tahun 2001.10 jenis obat tradisional yang digunakan dapat berupa obat
tradisional buatan sendiri, jamu gendong maupun obat tradisional industri pabrik.

Pada tanaman obat, kandungan kimia yang memiliki kerja terapeutik termasuk pada
golongan metabolit sekunder. Umumnya metabolit sekunder pada tanaman bermanfaat
sebagai mekanisme pertahanan terhadap berbagai predator seperti serangga dan
mikroorganisme dan hanya dihasilkan oleh tanaman tertentu termasuk tanaman obat.
Kandungan aktif tanaman obat antara lain berupa alkaloid, flavonoid, minyak esensial,
glikosida, tanin, saponin, resin, dan terpen. Lemak, protein, karbohidrat merupakan metabolit
primer yang dihasilkan oleh semua jenis tanaman.

Sediaan fitofarmaka masih belum begitu populer di kalangan masyarakat,


dibandingkan jamu-jamuan dan herba terstandar. Akan tetapi, pada dasarnya sediaan
fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan karena juga berasal dari bahan-bahan alami.
Dalam ilmu pengobatan, fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan jamu-jamuan yang telah
tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dengan demikian khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan
efektif daripada sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas.

Walaupun sama-sama diracik dari bahan alami, namun Fitofarmaka jauh mengungguli
sediaan jamu biasa, bahkan sediaan ini juga sudah dapat disetarakan dengan obat-obatan
modern. Ini disebabkan fitofarmaka telah melewati beberapa proses yang setara dengan obat-
obatan modern, diantaranya Fitofarmaka telah melewati standarisasi mutu, baik dalam proses
pembuatan hingga pengemasan produk, sehingga dapat digunakan sesuai dengan dosis yang
efektif dan tepat.
Selain itu sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian yaitu uji
praklinis seperti uji toksisitas, uji efektivitas, dan lai-lain dengan menggunakan hewan
percobaan dan pengujian klinis yang dilakukan terhadap manusia.
Prosesnya pembuatan fitofarmaka tidak sederhana. Butuh proses analisis dan proses
penelitian lainnya. Hal tersebut harus melibatkan banyak stakeholder dan kerja sama secara
sinergis, baik dengan peneliti, industri, maupun dengan perguruan tinggi.

Dalam memacu pengembangan agribisnis berbasis fitofarmaka di tingkat petani,


sangatlah penting peningkatan kemampuan petani dalam hal budidaya tanaman obat. Di
samping hal budidaya, segi pasca panen dan pemasaran juga perlu ditingkatkan dalam upaya
memacu pengembangan industri obat tradisional dan kosmetika Indonesia.
Obat bahan alam yang semula banyak dimanfaatkan oleh negara-negara di Asia,
Amerika Selatan dan Afrika, sekarang meluas sampai ke negara-negara maju di Australia dan
Amerika Utara. Awalnya obat bahan alami digunakan sebagai tradisi turun-temurun. Dengan
semakin majunya ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi, baik produksi maupun
informasi, uji praklinik dan klinik dilakukan untuk memperoleh keyakinan khasiat obat bahan
alam.
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional atau obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen
maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-
blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard).
Ada beberapa fitofarmaka yang sudah diproduksi di Indonesia antara lain
immunomodulator, yakni obat yang dapat memodifikasi respons imun, menstimulasi
mekanisme pertahanan alamiah dan adaptif, dan dapat berfungsi baik sebagai imunosupresan
maupun imunostimulan. Kemudian obat tukak lambung, antidiabetes, antihipertensi, obat
untuk melancarkan sirkulasi darah, dan obat untuk meningkatkan kadar albumin.

Obat tersebut dulunya adalah obat yang berasal dari daun yang kemudian diprdoduksi
sebagai fitofarmaka di prancis. Lebih dari 50 tahun penggunaan metformin dan ternyata obat
tersebut sudah bisa diekstrak unsur kimiawinya secara spesifik.

A. Kriteria Sediaan Fitofarmaka


Fitofarmaka harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya :
1. Aman dan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
2. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik.
3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi.
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

B. Tahap-Tahap Pengembangan dan Pengujian Fitofarmaka


1. Tahap Seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala
prioritas sebagai berikut:
a. Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
b. Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar
pengalaman pemakaian empiris sebelumnya.
c. Jenis obat asli yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk
penyakit-penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2. Tahap Biological Screening
a. Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke
khasiat terapetik (pra klinik in vivo).
b. Ada atau tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika
ada, dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan
tersebut (pra klinik, in vivo).
3. Tahap Penelitian Farmakodinamik
a. Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem
biologis organ tubuh.
b. Pra klinik, in vivo dan in vitro.
c. Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui
mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
4. Tahap Pengujian Toksisitas
a. Toksisitas ubkronis
b. Toksisitas akut
c. Toksisitas khas / khusus
5. Tahap Pengembangan Sediaan (Formulasi)
a. Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan
estetika untuk pemakaian pada manusia.
b. Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik, yakni :
1) Teknologi farmasi tahap awal
2) Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak, sediaan OA
3) Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA
6. Tahap Uji Klinik Pada Manusia
Ada 4 fase dalam uji klinik :
a. Fase 1 : Dilakukan pada sukarelawan sehat.
b. Fase 2 : Dilakukan pada kelompok pasien terbatas.
c. Fase 3 : Dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2
d. Fase 4 : Post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek
samping yang tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.

C. Uji Klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional atau obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat
moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda
(randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku
emas (gold standard).
Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional / obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji praklinik. Pada uji klinik obat
tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik
harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian
dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan
merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan
(reproducible).

D. Contoh Sediaan Fitofarmaka


Beberapa contoh fitofarmaka yang beredar di indonesia :
1. Rheumaneer® Nyonya Meneer
2. Stimuno® Dexa Medica
3. Nodiar® Kimia Farma
4. Tensigard® Phapros
5. X-Gra® Phapros
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan

keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan

baku dan produk jadinya telah di standardisasi.

Fitofarmaka telah melewati beragam pengujian yaitu uji praklinis seperti

uji toksisitas, uji efektivitas, dan lain-lain dengan menggunakan hewan

percobaan dan pengujian klinis yang dilakukan terhadap manusia. Uji klinik pada

manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional / obat herbal tersebut

telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji praklinik.

Beberapa contoh fitofarmaka yang beredar di indonesia diantaranya, yaitu :

Rheumaneer® Nyonya Meneer, Stimuno® Dexa Medica, Nodiar® Kimia Farma,

Tensigard® Phapros dan X-Gra® Phapros.

3..2 SARAN
Kami harap dengan makalah ini dapat memberikan informasi mengenai
fitofarmaka sehingga pembaca dan penulis dapat memanfaatkan obat-obat fitofarmaka
untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan juga perlu dikembangkan lagi pengetahuan
dan perlu digali lagi minat terutama dari kita mahasiswa yang dituntut untuk ahli dalam
mengembangkan obat tradisonal ini menjadi obat yang lebih baik lagi karna sangat
banyak bahan alam yang kemungkinan dapat menjadi obat yang baik.

3.3 Tinjauan Pustaka

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Pedoman Cara Pembuatan Obat
Tradisional  yang Baik. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. Senarai Tumbuhan Obat Indonesia. 1986.

Moeloek FA. 2006. Herbal and traditional medicine: National perspectives and
policies in Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai