Anda di halaman 1dari 18

Review Materi Herbal Medicine

Dosen Pengampu : Nur Ermawati, S. Farm., Apt

Nama : Heny Purwanti


NPM : 0540015712
Prodi : DIII Farmasi

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS PEKALONGAN

I.

SEJARAH OBAT HERBAL

Pada mulanya penggunaan obat dilakukan secara empirik dari tumbuhan, hanya
berdasarkan pengalaman . Tanaman telah digunakan untuk tujuan pengobatan jauh pada masa
pra sejarah. Cina kuno dan Mesir tulisan papirus menjelaskan menggunakan obat untuk
tanaman. Budaya asli (seperti Afrika dan penduduk asli Amerika) herbal digunakan dalam
ritual penyembuhan mereka, sementara yang lain mengembangkan sistem medis tradisional
di mana terapi herbal juga digunakan.

Paracelsus (1541-1493 SM) berpendapat bahwa untuk membuat sediaan obat perlu
pengetahuan kandungan zat

aktifnya dan dia membuat obat dari bahan yang

sudah diketahui zat aktifnya.

Hippocrates (459-370 SM) yang

dikenal

dengan bapak kedokteran

dalam

praktek pengobatannya telah menggunakan lebih dari 200 jenis tumbuhan.

Claudius Galen (200-129 SM) menghubungkan penyembuhan penyakit dengan


teori kerja obat yang merupakan bidang ilmu farmakologi.

Ibnu Sina (980-1037)

telah menulis beberapa buku tentang metode pengumpulan

dan penyimpanan tumbuhan obat serta cara pembuatan sediaan obat seperti pil,
supositoria, sirup dan menggabungkan pengetahuan pengobatan dari berbagai negara
yaitu Yunani, India, Persia, dan Arab untuk menghasilkan pengobatan yang lebih
baik.
Sampai akhir abad 19, obat merupakan produk organik atau anorganik dari
tumbuhan yang dikeringkan atau segar, bahan hewan atau mineral

yang aktif dalam

penyembuhan penyakit tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik bila dosisnya terlalu tinggi
atau pada kondisi tertentu penderita Untuk menjamin tersedianya obat agar tidak tergantung
kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengeringan.
Contoh tumbuhan yang dikeringkan pada saat itu adalah getah
somniferum

(opium mentah)

yang

sering

dikaitkan

dengan

obat

Papaver
penyebab

ketergantungan dan ketagihan. Dengan mengekstraksi getah tanaman tersebut dihasilkan


berbagai senyawa yaitu morfin, kodein, narkotin (noskapin), papaverin dll. yang ternyata
memiliki efek yang berbeda satu sama lain walaupun dari sumber yang sama. Dosis

tumbuhan kering dalam pengobatan ternyata sangat bervariasi tergantung pada tempat asal
tumbuhan, waktu panen, kondisi dan lama penyimpanan.
Maka untuk menghindari variasi dosis, F.W.Sertuerner (1783-1841) pada th 1804
mempelopori isolasi zat aktif dan memurnikannya dan secara terpisah dilakukan sintesis
secara kimia. Sejak itu berkembang obat sintetik untuk berbagai jenis penyakit.
Pada abad ke 19, para ilmuwan mulai mengekstraksi dan memodifikasi bahan aktif
dari tumbuhan. Ahli kimia membuat versi senyawa tanaman mereka sendiri, dan dari waktu
ke waktu, penggunaan obat herbal menurun dalam mendukung obat. Baru-baru ini,
Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 80% dari orang di seluruh dunia
bergantung pada obat-obatan herbal untuk beberapa bagian dari perawatan kesehatan primer
mereka.
1. Obat Bahan Alam
Dalam Keputusan Kepala Badan POM Republik Indonesia nomor: HK.00.05.4-2411
tanggal 17 Mei 2004 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan
alam Indonesia. Yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam Indonesia adalah Obat Bahan
Alam yang diproduksi di Indonesia.
Kriteria Obat Bahan Alam Indonesia:
a. Jamu

Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara
turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan syarat yang ditetapkan.
Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang
berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat
pembuktiannya, yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. Jenis klaim penggunaan harus
diawali dengan kata-kata secara tradisional digunakan untuk, atau sesuai dengan yang
disetujui pada pendaftaran.

Dibuat berdasarkan pengalaman, khasiar berdasarkan tradisional atau turun menurun.


Standarisasi kimia belum dipersyaratkan.
Ex : sido muncul , air mancur, nyonya menir (tidak semuanya)
b. Obat Herbal Terstandar ( OHT )

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang


telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan
uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
Harus memenuhi kriteria klaim khasiat dibuktikan

secara ilmiah/pra klinik.


Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk

jadi.
Jamu dapat dikembangkan menjadi Obat Herbal terstandar dengan memenuhi

persyaratan sebagaimana kriteria yang berlaku untuk Obat Herbal Terstandar.


Selain Jamu yang telah digunakan secara empiris dan turun menurun, obat bahan alam
hasil penelitian ilmiah juga dapat dikembangkan menjadi Obat Herbal Ter standar
dengan memenuhi persyaratan sebagaimana kriteria yang berlaku untuk Obat Herbal
Terstandar.
Sudah mengalami uji praklinik , khasiat berdasarkan uji farmakologi dan uji toksisitas

ada hewan. Standarisasi hanya pada bahan baku


Ex : Stimuno, Tensigard, Nodiar
c. Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi.
Untuk kelompok Fitofarmaka, klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
dan jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Sudah mengalami uji klinik dan praklinik, khasiat berdasarkan uji farmakologi , uji
toksisitas ada hewan dan uji klinis pada manusia. Bahan baku dan sediaan sudah
terstandarisasi.

Ex : diapet, lelap,kiranti
2. OBAT TRADISIONAL DALAM NEGERI
Obat tradisional dalam negeri adalah obat tradisional

yang dibuat dan dikemas

oleh industri di dalam negeri meliputi obat tradisional tanpa lisensi, obat tradisional lisensi
dan obat tradisional kontrak.
3. OT KONTRAK
Obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak
adalah produk yang pembuatannya dilimpahkan kepada industri obat tradisional lain atau
industri farmasi berdasarkan kontrak.
4. OT IMPOR
Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang dibuat oleh industri di luar negeri,
yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah Indonesia.

II.

OBAT TRADISIONAL

Bahan atau ramuan bhn yg berupa bhn tumbuhan, bhn hewan, bhn mineral, sediaan
sarian atau galenik, atau campuran dr bhn tsb, yg secara turun temurun telah digunakan utk
pengobatan berdasarkan pengalaman.
1. Bahan Baku OT
Adalah simplisia, sediaan ganlenik, bhn tambahan atau lainnya, baik yg berkahsiat
atau yg tdk berkahsiat, yg berubah atau tdk berubah yg digunakan dlm pengolahan obat
tradisional, walaupun tdk semua bhn tsb masih terdpt di dlm produk ruahan.
Simplisia adalah bahan alamiah yg digunakan sbg OT yg belum mengalami
pengelolahan apapun jg dan kecuali dinyatakan lain merupakan bhn yg dikeringkan.
Usaha dan dukungan Pemerintah dlm OT :
- Keputusan menteri kesehatan dg menerbitan MMI I-V.
- Kepmenkes no.246/menkes/per/V/1990 ttg Izin Usaha Industri OT
- Kepmenkes no. 659/Menkes/SK/X/1991 Tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional.
2. CPOTB
Tujuan :
- Melindungi masyarakat thd hal2 yg merugikan dr penggunaan OT yg tdk memenuhi
-

persyaratan mutu.
Meningkatan nilai tambah dan daya saing produk OT indonesia di era pasar bebas
Dipahami penerapan CPOTB oleh para pelaku usaha industri di bid OT shg
bermanfaat bg perkembgn industri di bid OT.

diterapkanya CPOTB sec konsisten oleh industri dibid OT.

Personalia .

Py pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dan kemampuan dg tugas dan fungsinya,

dan tersedia dlm jumlah yg cukup.


Sehat dan mampu menangani tugas yg dibebankan.
Struktur organisasi perusahaan, bag produksi dan pengawasan mutu dipimpin orang

berbeda dan tdk ada keterkaitan tanggungjwb 1 sama lain.


Kualifikasi, kepala bag produksi dan kepala bag mutu mendpt pelatihan memadai

sesuai tanggung jwbnya.


Dijabarkan tanggung jwb personil2 yg ditunjuk utk menjln CPOTB
pelatihan, personil dilatih sesuai dg prinsip2 CPOTB
Dilakukan scr berkelanjutan.
Catatan hsl pelatihan dipelihara dan efektivasnya hendaknya dievaluasi.

Bangunan
menjamin aktivitas industri dpt berlangsung dg aman.
bangunan industri OT dilokasi yg terhindar dr pencemaran dan tdk mencemari

lingkgn.
memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.
memiliki rancangn ukuran konstruksi yg memadai.
ruangan dibuat sec berurutan sesuai proses pembuatan.
Tersedia jamban dan tempat cuci tangan dilengkapi dg sabun dan pengering.
Konsumsi dilakukan di dapur yg memenuhi syarat kebersihan.
rodentisida, insektisida, bhn fumigasi dan bhn pembersih tdk boleh mencemari alat,

bhn.
Ruangan dibersihkan sesuai dg prosedur, sebelum dan sesudah digunakan.

Peralatan
dirancang dg kontruksi yg tepat.
ukuran yg memadai dan ditempatan dg tepat.
shg mutu terjamin seragam dr batcht ke batcht dan mudah dibersihkan

serta

perawatanya.
prosedur sanitasi dirancang dg tepat.
sebelum dipakai diperiksa lagi utk menentukan kebersihannya.
peralatan yg sdh digunakan hendaklah dibersihkan bag dlm dan luarnya sesuai
prosedur dan disimpan dlm keadan bersih
Sanitasi dan Higiene
Terhadap bangunan, peralatan dan perlengkapan, personalia, bhn dan wadah serta
faktor lain sbg sumber pencemaran produk.

karyawan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum dan selama jd karyawan s ecara

berkala.
karyawan yg luka terbuka dilarang menangani produksi.
karyawan memekai pakaian kerja, penutup rambut, masker, sarung tangan dls yg

bersih.
dilarang makan minum merokok.

Penyiapan Bahan Baku


Bhn baku hrs sesuai dg persyaratan yg
berlaku.
penerimaan bhn baku dilakukan
pemeriksaan organoleptik dan laboratoris.
bhn baku yg diterima diberi label
mengenai nama daerah, nama
latin, tgl

penerimaan dan pemasok.


simplisia sebelum digunakan dilakukan

sortasi utk membebaskan dr bhn asing

dan kotoran lain.


Pengelolahan dan Pengemasan.
menjamin produk yg dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yg berlaku.
Verifikasi.
langkah utk membutikan bahwa prosedur
sec rutin, dan proses yg
ditentukan, akan

yg bersangkutan cocok utk pelaksanaan kegiatan

ditetapkan dg menggunakan bahan

senantiasa

menghasilkan

produk

ditentukan. Setiap proses dan peralatan dilakukan tindakan

yg

dan

peralatan

memenuhispesifikasi

yg
yg

pembuktian ulang sec periodik.

Pencemaran.
Pencemaran fisik , kimiawii atau jasad renik thd produk yg dpt merugikan

kesehatan/mempengaruhi produk tdk boleh tjd.


Pencemaran khamir, kapang dan atau kuman non patogen thd produk dicegah sekecil

mungkin sampai persyaratan yg berlaku.


Sistem Penomoran Kode Produksi
Utk memastikan diketahuinya riwayat suatu bets atau lot secara lengkap. Hal ini utk
memudahkan pengawasan.
Penimbangan dan penyerahan.

Dipastikan ketepatan timbangan dan ukuran serta kebenaran bhn yg ditimbng.

Pengelolahan.
karyawan termasuk pakaian yg digunakan hrs bersih dan mengenakan alat pelindung yg

sesuai.
semua wadah yg berisi produk antara dan ruahan hendaknya diberi label secara tepat yg
bertuliskan nama dan atau kode jumlah thp pengelolahan .

Pengemasan.
sebelum dilakukan pengemasan pastikan kebenaran identitas, keutuhan serta mutu

produk ruahan dan bahan pengemas.


pengemasan dilakukan dg pengawasan yg

ketat utk menjaga identitas dan kualitas

produk jadi.
Penyimpanan.
bhn baku, bhn pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi utk
mencegah resiko tercampur dan mencemari satu sama lain, memudahkan pemeriksaan,
pengambilan dan pemeliharaan.

Pengawasan Mutu
Inspeksi Diri
Dokumentasi
Penanganan Terhadap Hasil Pengamatan Produk Jadi Di Peredaran.

III.

BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL

1. SIMPLISIA
Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan
apa pun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan
a. Jenis-jenis Simplisia :
Simplisia nabati : berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman
Simplisia hewani : berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang

dihasilkan oleh hewan


Simplisia pelikan ( mineral ) : berupa mineral yang belum diolah

b. Sumber Simplisia
Liar
Budidaya
c. Pengumpulan Bahan
Akar, diambil bagian yang berada dibawah tanah
Batang, diambil mulai dari cabang pertama sampai leher akar,dipotong dengan
panjang dan diameter tertentu
Kulit batang, diambil dari batang utama dan cabang,dikupas dengan panjang dan lebar
tertentu dan tidak mengambilnya dengan satu lingkaran penuh
Kayu, diambil dari batang atau cabang,kulit dikupas dan dipotong kecil-kecil
Daun, diambil daun tua,daun kelima dari pucuk,daun dipetik satu persatu secara
manual

Bunga, dapat berupa kuncup,bunga mekar atau mahkota bunga atau daun bunga
Rimpang, diambil dan dibersihkan dari bulu-bulu kemudian dipotong melintang
dengan ketebaan tertentu, dipanen pada saat daun layu
Buah, dapat berupa buah matang atau buah mentah
Biji, buah masak dikupas dan biji dikumpulkan dan dibersihkan
3 hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyusun standar mutu simplisia :
a. Mempunyai 3 parameter mutu umum
- Identifikasi (kebenaran jenis)
- Kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)
- Aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan distribusi)
b. Simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan
memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy
(mutu-aman-manfaat).
c. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap
respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan
kadar) senyawa kandungan.
Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional maka dilakukan :
a. Analisis kualitatif
b. Analisis kuantitatif
- Organoleptik
- Makroskopik
- Mikroskopik
- Histokimia
d. Tahap pembuatan simplisia
Pengumpulan bahan baku
Sortasi basah
Pencucian
Perajangan
Pengeringan
Sortasi kering
Pengepakan dan penyimpanan
Pemeriksaan mutu
e. Pemeriksaan Simplisia
Secara organoleptik
Secara mikroskopis
Secara fisika
Secara kimia
Secara hayati
f.

Tata nama simplisia

Nama latin simplisia ditetapkan dengan menyebutkan nama marga (genus), atau nama
jenis (species) atau petunjuk jenis (specific epithet) tanaman asal, diikuti dengan bagian
tanaman yang dipergunakan.
2. EKSTRAK
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati maupun hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian rupa sehingga memenuhi bahan baku yang telah ditetapkan.
a. Jenis Ekstrak
Cair : Konsistensi cair, belum dipekatkan
Kental : Kental, sudah dipekatkan
Kering : berupa padatan / serbuk ekstrak
b. Proses Pembuatan Sediaan
Pembuatan serbuk
Penyarian
Pemekatan
c. Yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan ekstrak
Kandungan Kimia
Tekstur
Jenis Pelarut
d. Metode Penyarian
Maserasi
Infundasi
Sokletasi
Perkolasi
Destilasi
Refluks
IV.

Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik ( CPOTB )

CPOTB merupakan cara pembuatan obat tradisional yang diikuti dengan pengawasan
menyeluruh dan bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi
persyaratan yang berlaku
Pedoman CPOTB Kemenkes RI Nomor : 659/MENKES/SK/X/1991 tanggal 30
Oktober 1991
Tujuan diterapkan CPOTB :
a) Menjamin obat tradisional yg dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yg ditentukan

b) Melindungi masyarakat thd hal-hal yang merugikan dr penggunaan obat tradisional yg


c)

tdk memenuhi persyaratan yang ditentukan


Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat tradisional di era globalisasi

1. PERSONALIA
Persyaratan Umum :
Sehat fisik dan mental
Memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya
Mempunyai sikap dan kesadaran yang tinggi untuk melaksanakan cpotb

Penanggung Jawab Teknis


Harus seorang apoteker WNI
Harus diberi wewenang dan sarana yang cukup untuk melaksanakan tugasnya
Bertanggung jawab terhadap :
a. Penyiapan prosedur pembuatan dan pengawasan pelaksanaan proses pembuatan
b. Kebenaran bahan, alat dan prosedur pembuatan
c. Kebersihan pabrik
d. Keamanan dan mutu obat tradisional
Dapat menunjuk Pembantu Penanggung Jawab Teknis sesuai dengan tugas yang
diberikan dan bertanggung jawab kepada Penanggung Jawab Teknis.

2. BANGUNAN
Harus didirikan dilokasi yang terhindar dari pencemaran dan tidak mencemari

lingkungan
Harus memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi
Harus memiliki ruang-ruang yang rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk,
sifat dan jumlah obat tradisional yang dibuat, jenis dan jumlah peralatan yang
digunakan, jumlah karyawan yang bekerja serta fungsi ruangan.

3. RUANGAN
Ruangan penyimpanan harus sesuai dengan urutan proses pembuatan
Dinding, lantai dan langit-langit harus rata, bebas dari keretakan dan mudah

dibersihkan
Tinggi dinding sekurang-kurangnya 150 cm dan lantai setiap ruangan pembuatan

harus kedap air. Dinding juga harus licin


Ruangan pembuatan dan penunjang harus bersih, tidak menganggu dan tidak
mencemari proses pembuatan

4. PERALATAN
Persyaratan Umum :
Terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi keamanan dan mutu obat tradisional
Mempunyai rancang bangun yang tepat sehingga dapat menjamin keamanan, mutu

dan keseragaman obat tradisional dari batch ke batch


Mempunyai ukuran dan kapasitas produksi yang sesuai dengan jumlah produksi dan
luas ruangan

Diletakkan ditempat yang sesuai

Persyaratan Khusus
Kemenkes RI No.659/MENKES/SK/X/1991
Industri obat tradisional harus memiliki :
Timbangan gram dan miligram
Mikroskop dengan perlengkapannya
Alat gelas sesuai keperluan
Lampu spiritus

V.

FITOFARMAKA

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi.
Untuk kelompok Fitofarmaka, klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
dan jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria :
a. Aman dan sesuai dg persyaratan yg ditetapkan
b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
c. Telah dilakukan standarisasi bahan baku maupun produk jadinya
d. Memenuhi persyaratan mutu yg berlaku
A. TAHAP PENGEMBANGAN DAN PENGUJIAN FITOFARMAKA
1. Tahap Seleksi
2. Tahap biological screening
3. Tahap penelitian farmakodinamika
4. Tahap pengujian toksisitas lanjut ( multiple doses )
5. Tahap pengembangan sediaan ( formulasi )
6. Tahap uji klinik pada manusia
B. Standar Bahan Baku Dan Bentuk Sediaan Fitofarmaka
Bahan baku Fitofarmaka dapat berupa simplisia atau sediaan galenik yang harus
memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope

Indonesia atau Materia Medika Indonesia.


Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh

menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.
Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain di luar Farmakope Indonesia, Ekstra
Farmakope Indone sia dan Materia Medika Indonesia harus mendapat persetujuan
pada waktu pendaftaran Fitofarmaka.

C. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik

Dalam rangka pengembangan obat tradisional (Red: Obat Bahan Alam Indonesia) ke

arah Fitofarmaka tersebut perlu adanya suatu pedoman.


Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 761/
MENKES/SK/IX/1992 tentang Pedoman Fitofarmaka dan Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 56/MENKES/SK/I/2000 tentang Pedoman

Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional.


Dasar pemikirannya adalah bahwa obat tradisional baik dalam bentuk simplisia
tunggal maupun ramuan sebagian besar penggunaan dan kegunaannya masih

berdasarkan pengalaman.
Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian besar belum
didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunaan obat tradisional baru didasarkan
kepada kepercayaan terhadap informasi berdasarkan pengalaman.

D. TATA LAKSANA PENGEMBANGAN PEMANFAATAN OBAT TRADISIONAL


dilakukan melalui beberapa langkah.
Setelah dilakukan observasi dan penilaian pemakaian obat tradisional di masyarakat
dan ternyata obat tradisional tersebut berkhasiat secara empirik dan tidak
memperlihatkan efek samping maka dilakukan:
a) Langkah I : Uji praklinik yang menentukan keamanan melalui uji toksisitas dan
menentukan khasiat melalui uji farmakologi
b) Langkah II : Standardisasi secara sederhana;
c) Langkah III : Teknologi farmasi yang menentukan identitas secara seksama sampai
dapat dibuat produk yang terstandardisasi;
d) Langkah IV : Uji klinik pada orang sakit dan atau orang sehat.
Prinsip Dasar Uji Klinik

1.

Bersifat prospektif-experimental, obat/stimulus yang diterima penderita sengaja

direncanakan dan ditentukan sendiri oleh peneliti. Persiapan yang cermat harus dilakukan,
dituangkan dalam bentuk protokol yang lengkap. Protokol uji klinik itu perlu diuji dan
disempurnakan melalui penelitian pendahuluan (pilot study). Dalam penelitian
pendahuluan dapat ditentukan :
a) ketepatan pemilihan penderita,

b) kelancaran wawancara, ketepatan pengukuran respons penderita dan kerja sama antar
peneliti.
c) dari penelitian pendahuluan dapat diramalkan jumlah penderita yang dapat diikutkan
dalam penelitian
2. BER TUJUAN MENYEMBUHKAN PENDERITA
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan tercatat bahwa experimentasi pada
manusia tidak selalu bertujuan untuk penyembuhan.
Pada zaman Romawi kuno penguasa dan dokter mencobakan zat racun dan sekaligus
meneliti khasiat antidot pada narapidana atau tawanan perang.

Dalam era Kedokteran

Modern, kengerian akan experimentasi yang dilakukan oleh Nazi terhadap orang Yahudi telah
mendorong lahirnya Kode Nuremberg, yang kemudian disempurnakan menjadi Deklarasi
Helsinki

DEKLARASI HELSINKI
experimentasi klinis harus memenuhi prinsip-prinsip moral dan ilmu pengetahuan.
hanya boleh dikerjakan atau diawasi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian.
manfaat yang hendak diperoleh penderita harus jauh melebihi risiko yang terkandung.
penderita harus diberitahu tentang seluk beluk penelitian yang hendak dijalani, dan ia

harus bebas untuk menolak atau menerima keikutsertaannya dalam penelitian itu.
setiap saat penderita boleh menarik diri
peneliti harus segera menghentikan penelitian bila timbul gejala -gejala yang
mengancam kesehatan dan jiwa penderita.

3.

HARUS ADA PEMBANDING


Respons penderita terhadap pengobatan bukan saja berasal dari obat yang hendak

diberikan, tetapi dapat pula berasal dari tindakan lain yang diberikan bersama obat.
Sebagai pembanding terhadap obat yang diteliti biasanya kelompok kelola menerima
obat lain (obat standard) atau placebo. Kegunaan placebo dalam uji klinik terutama adalah
untuk memisahkan "placebo effect" dari efek obat yang sesungguhnya
Dengan adanya kelompok pembanding dalam uji klinik dapat diketahui pengobatan
mana yang lebih efektif dan lebih aman sehingga kemajuan dalam pengobatan yang rasional
dapat terjamin perkembangannya.
4.

HARUS BEBAS DARI BIAS


Bias adalah tiap proses pada setiap tahap penentuan sikap dan pendapat yang
cenderung memberikan hasil dan kesimpulan yang secara sistematik berbeda dari

yang sebenarnya.
Bila dalam suatu uji klinik disimpulkan bahwa satu obat lebih baik dari yang lainnya,
maka hal ini mungkin timbul karena :

kelompok experimental dan kelola tidak mempunyai data dasar yang sama

(tidak seimbang)
obat yang diselidiki lebih superior dari obat standar atau placebo,
adanya perbedaan yang kecil dari efek obat yang berubah menjadi nyata karena
efek obat yang satu diperkuat oleh faktor- faktor dalam kelompok yang

menguntungkan.
Faktor a dan c ini adalah merupakan bias yang hanya dapat disingkirkan dengan
alokasi teracak.

Fase-fase Uji klinik


Suatu uji klinik sebenarnya bertujuan meng-kuantifikasikan tingkat manfaat dan
risiko suatu obat baru. Setiap zat yang aktif untuk terapi pasti mengandung sejumlah risiko
akibat aktivitasnya dalam mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh.
Dalam percobaan pre-klinik belum dipakai subyek manusia.Pengaruh-pengaruh suatu
obat-baru diselidiki pada hewan percobaan. Begitu obat mulai dicoba pada manusia,
dimulailah suatu uji klinik, uji klinik fase I.
Pada hewan, dalam penelitian pra-klinik, telah diteliti sifat-sifat farmakologik suatu
obat baru. Namun sulitnya tidak semua sifat farmakologik yang terlihat pada hewan juga
terlihat pada manusia. Misalnya Litchfield (1962) menunjukkan bahwa dari 89 pengaruh
obat yang berbeda-beda, hanya 33 terlihat pada manusia. Jadi tujuan penelitian fase ini ialah
meneliti sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek terapetik maksimum.
a) Fase I
Calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati
pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan

hubungan

dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.
Tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga
tercapai efek terapetik maksimum. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang
sehat.
Karena selalu ada bahaya pada percobaan pertama, sebaiknya percobaan dilakukan di
rumah sakit, yang siap menanggulangi bahaya efek samping yang mungkin timbul.
Sukarelawan biasanyadiambil dari karyawan industri farmasi yang ingin mengembangkan
obat itu (biasanya dengan imbalan uang). Sulitnya sumber subyek ini biasanya terbatas
jumlahnya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menetapkan sembilan tanaman
obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis. Sembilan tanaman obat unggulan
tersebut yaitu sambiloto (Andrographis paniculata Ness), jambu biji (Psidium guajava L),
jati belanda (Guazuma ulmifolia Lmk var. tomentosa K. Schum), cabe jawa (Piper

retrofractum Vahl.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), jahe merah (Zingiberis


officinale Rosc. Var Rubrum), kunyit (Curcuma domestica Val.), mengkudu (Morinda
citrifolia L.) dan salam (Eugenia polyantha Wight/ Syzygium polyanthu).
Uji klinis sembilan tanaman obat unggulan itu ditujukan untuk mengetahui fungsi
sambiloto sebagai anti-neoplasma, jambu biji sebagai anti-demam berdarah, jati belanda
sebagai penurun hiperlipidemia, cabe jawa sebagai androgenik, temulawak sebagai penurun
hiperlipidemia, jahe merah sebagai anti-neoplasma, kunyit sebagai penurun hiperlipidemia,
mengkudu sebagai penurun kadar gula darah dan salam sebagai penurun kadar gula darah.
Secara tradisional sembilan tanaman itu sudah sering digunakan untuk mengobati berbagai
jenis penyakit. Misalnya sambiloto untuk demam, kencing manis, radang. jambu biji untuk
disentri, kecacingan.
b) Fase II
Calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati.
Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping
rendah

atau tidak toksik.


Untuk menentukan dosis terapi si obat. Tujuan utama dari percobaan-percobaan di

sini ialah meneliti apakah suatu obat baru berguna untuk satu (atau lebih) indikasi
klinik. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.
Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Fase
ini dimulai ketika orang sakit (pasien) pertama kali digunakan sebagai subyek dan bukan
sukarelawan sehat.
Penelitian-penelitian awal mungkin bersifat tanpa - kontrol (uncontrolled). Dulu
penelitian begini sering dikecam, namun sebenarnya bila dilakukan dengan benar, banyak
informasi berharga yang dapat diperoleh. Penelitian di sini harus cukup memadai agar
perkiraan perbandingan keuntungan : kerugian dapat diketahui seawal mungkin.
Dapat diperoleh pula informasi tentang efek samping serta perkiraan manfaat klinik
dalam hubungannya dengan konsentrasi obat dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan
(farmakokinetik). Eliminasi obat dari tubuh (yang juga dilakukan pada penelitian fase I)
harus dicheck juga pada pasien karena pada orang sakit mungkin eliminasi obat berbeda
akibat perubahan fungsi tubuh (farmakodinamika)
Penelitian awal ini biasanya cukup aman karena dimulai dengan obat yang meskipun
baru, tapi dengan dosis yang kecil dan dosis tunggal, pada beberapa orang pasien yang
dimonitor dengan ketat. Penambahan dosis, penambahan frekuensi pemberian, dan
penambahan populasi pasien hanya dilakukan bila penelitian awal ini memberi hasil yang
baik.

c) Fase III
Untuk memastikan efek terapi, efek samping dan keamanan. Yang dipakai sebagai
pembanding adalah obat standar dan placebo.
Keputusan untuk memasuki fase 3 diambil bila para peneliti yakin bahwa rasio
manfaat : risiko obat itu dapat diterima. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang. Uji
ini mutlak perlu untuk registrasi obat baru ke FDA.
Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan.
Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena
risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah
ada.
Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di
Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and
Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and
Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA ( European
Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics
Good Administration).
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data
dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan
keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah
memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas.
Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi
dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi
baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun
tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan

harus didaftarkan ke Badan

POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi.


Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery
system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, tablet salut enterik, dll.
Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu
kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan
obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan
untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang
tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
Pada akhir fase III, harus telah ada bukti-bukti tentang indikasi-indikasi dan dosis
obat, juga tentang keamanannya untuk penggunaan jangka panjang bila ada indikasi untuk
itu. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan : Apakah obat berakumulasi dalam tubuh?

Apakah toksisitas meningkat dengan penggunaan jangka panjang? insidensi dan tingkat
beratnya efek samping harus dimonitor dengan cermat.
Kekurangan dalam fase II
dan III
- Jumlah pasien terbatas
- Lama pemberian obat terbatas
- Populasi pasien terbatas
d) Fase IV
Setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing
surveillance) yang diamati pada

pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras,

studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman
jangka panjang dalam menggunakan obat.uji klinik setelah obat dipasarkan, jika diminta oleh
badan yang berwenang.
Dapat dikatakan bahwa fase 4 mencakup semua penelitian yang dilakukan setelah
obat baru mendapat izin untuk pemasarannya. Oleh sebab itu penelitian fase 4 harus didisain untuk mengungkapkan:
Efek samping akibat penggunaan kronik;
Manfaat obat dalam penggunaan jangka panjang;
Data-data komparatif lainnya dalam penggunaan jangka panjang;
Non-responder;
Penggunaan-penggunaan baru dan indikasi baru;
Penilaian kemungkinan penyalahgunaan obat;
Penilaian kemungkinan penggunaan obat secara berlebihan;
Interaksi obat dan kompatibilitasnya dengan zat-zat lain.
Setelah hasil studi fase IV dievaluasi

masih memungkinkan obat ditarik dari

perdagangan jika membahayakan sebagai contoh :


cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal.
Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang
menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease).
Fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya
dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah
dan

kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah

mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi .


Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan
kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik
karena merusak hati .

Anda mungkin juga menyukai