Anda di halaman 1dari 35

Obat Herbal/Obat Tradisional

M.RUSDI
BEBERAPA PENGERTIAN

1. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 TENTANG


KESEHATAN
Pengobatan Tradisional adalah pengobatan dan atau
perawatan dengan cara, obat dan pengobatannya yang
mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun
temurun dan diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1963 Tentang FARMASI
Obat Asli Indonesia ialah obat-obat jang didapat langsung
dari bahan-bahan alamiah di Indonesia, terolah setjara
sederhana atas dasar pengalaman dan dipergunakan
dalam pengobatan tradisionil
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 179/Men.Kes/Per/VII/1976
Tentang Produksi dan Distribusi Obat Tradisionil
Obat Tradisionil dalah obat jadi atau obat berbungkus yang
berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau
sediaan galeniknya atau campuran bahan-bahan tersebut yang
belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha
pengobatan berdasarkan pengalaman
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 246/Men.Kes/Per/V/1990
Tentang Izin Usaha IOT dan Pendaftaran O.T dan Undang-
Undang RI No. 23 Tahun 1992 TENTANG KESEHATAN
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan, yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman
• 5. Permenkes RI 1076/2003
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan sarian (galenik) , atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat

• 6. Kepmenkes 121/2008
Pengobatan herbal adalah pengobatan yang
menggunakan bahan yang berasal dari tanaman, bisa
berupa daun, akar, bij-bijian dan lainnya yang mengandung
bahan yang berkhasiat untuk tubuh.
• Definisi WHO tentang obat tradisional ditetapkan pada
tahun 1991 di Ottawa pada saat konferensi internasional
badan regulasi obat untuk memperoleh kesamaan
pandangan dan mempromosikan kolaborasi antara
badan regulasi obat. WHO menggunakan istilah
finished herbal products untuk obat tradisional dengan
definisi: “finished, labeled medicinal products that
contain as active ingredients aerial or underground
parts of plants, or other plant material, or combination
thereof, whether in the crude state or as plant
preparation. Plant material includes juices, gums, fatty
oils, essential oils, and any other subtances of this
matter. Herbal medicines may contain excipiens in
addition to the active ingridients. Medicines containing
plant material combined with chemically defined active
substaces, including chemically defined, isolated,
constituents of plants, are not considered to be herbal
medicines”.
MASA DEPAN OBAT TRADISIONAL
• AMANAH GBHN TAHUN 1993
Pengobatan tradisional yang secara medis
dapat dipertanggungjawabkan, terus dibina
dalam rangka perluasan dan pemerataan
kesehatan. Pemeliharaan dan pengembangan
obat tradisional sebagai warisan budaya
bangsa terus ditingkatkan dan didorong
pengembangan serta penemuan obat-obatan
termasuk budidaya obat tradisional yang
secara medis dapat dipertanggungjawabkan
• KepMenKes.RI No. 381/Menkes/SK/III/2007
Kebijakan Obat Tradisional mempunya tujuan
a. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional
secara berkelanjutan (sustainable use) untuk digunakan sebagai
obat tradisional dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan
b. Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor
agar mempunyai daya saing tinggi sebagai sumber ekonomi
masyarakat dan devisa negara yang berkelanjutan.
c. Tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan
keamanannya, teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas
baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan
formal. d. Menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul
yang memberikan multi manfaat yaitu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi masyarakat, memberikan peluang kesempatan kerja dan
mengurangi kemiskinan
1. JAMU

2. OBAT HERBAL TERSTANDAR

3. FITOFARMAKA
1. Jamu (Empirical based herbal medicine)

• Jamu adalah obat tradisional yang disiapkan dan disediakan secara


tradisional.
• Berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut,
higienis (bebas cemaran) serta digunakan secara tradisional berdasarkan
pengalaman.
• Jamu telah digunakan secara turun-temurun selama berpuluh-puluh tahun
bahkan mungkin ratusan tahun. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan
mengacu pada resep peninggalan leluhur atau pengalaman leluhur. Sifat
jamu umumnya belum terbukti secara ilmiah (empirik) namun telah banyak
dipakai oleh masyarakat luas. Belum ada pembuktian ilmiah sampai dengan
klinis, tetapi digunakan dengan bukti empiris berdasarkan pengalaman turun
temurun.
• Berdasarkan keputusan BPOM obat tradsional yang didaftarkan sebagai
jamu harus memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris;
c. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
d. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan
tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium;
e. Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata – kata : “ Secara
tradisional digunakan untuk …”, atau sesuai dengan yang disetujui pada
pendaftaran.
1. KELOMPOK JAMU HARUS
MENCANTUMKAN LOGO DAN TULISAN
JAMU

2. LOGO BERUPA :
 RANTING DAUN TERLETAK DALAM
LINGKARAN
 DITEMPATKAN PADA BAGIAN ATAS
SEBELAH KIRI DARI WADAH /
PEMBUNGKUS / BROSUR.

3. WARNA LOGO :
 HIJAU DI ATAS DASAR WARNA PUTIH
 ATAU WARNA LAIN YANG MENYOLOK
KONTRAS DENGAN WARNA LOGO

4. TULISAN “JAMU” HARUS :


 JELAS DAN MUDAH DIBACA,
 DICETAK DENGAN WARNA HITAM DI
ATAS DASAR WARNA PUTIH
 ATAU WARNA LAIN YANG MENYOLOK
KONTRAS DENGAN TULISAN “JAMU”.
2. Obat Herbal Terstandar (Scientific based
herbal medicine)

• Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar dengan


syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses
pembuatan yang terstandarisasi.
• Disamping itu herbal terstandar harus melewati uji praklinis seperti
uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik
(kemanfaatan) dan teratogenik (keamanan terhadap janin).
• Uji praklinis meliputi in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan
terhadap hewan uji seperti mencit, tikus ratus-ratus galur, kelinci atau
hewan uji lain. Sedangkan in vitro dilakukan pada sebagian organ
yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Riset in vitro bersifat parsial,
artinya baru diuji pada sebagian organ atau pada cawan petri.
Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Setelah terbukti
aman dan berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal
terstandar.
• Berdasarkan keputusan BPOM obat tradsional yang didaftarkan
sebagai Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
b. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik;
c. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang
digunakan dalam produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
1. OBAT HERBAL TERSTANDAR HARUS
MENCANTUMKAN LOGO DAN TULISAN “OBAT
HERBAL TERSTANDAR”

2. LOGO BERUPA :
 JARI – JARI DAUN ( 3 PASANG ) TERLETAK
DALAM LINGKARAN,
 DITEMPATKAN PADA BAGIAN ATAS SEBELAH
KIRI DARI WADAH / PEMBUNGKUS / BROSUR.

3. WARNA LOGO :
 HIJAU DI ATAS DASAR WARNA PUTIH ATAU
 WARNA LAIN YANG MENYOLOK KONTRAS
DENGAN WARNA LOGO.

4. TULISAN “OBAT HERBAL TERSTANDAR” HARUS :


 JELAS DAN MUDAH DIBACA
 WARNA HITAM DI ATAS DASAR WARNA PUTIH
ATAU
 WARNA LAIN YANG MENYOLOK KONTRAS
DENGAN TULISAN “OBAT HERBAL
TERSTANDAR” .
1. KRITERIA :
a. AMAN
b. KLAIM PENGGUNAAN DIBUKTIKAN SECARA ILMIAH / PRA
KLINIK
c. BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN TELAH TERSTANDAR
d. MEMENUHI PERSYARATAN MUTU

2. JENIS KLAIM DAN TINGKAT PEMBUKTIAN :


 UMUM
 MEDIUM

3. OBAT HERBAL TERSTANDAR HARUS MENCANTUMKAN LOGO


DAN TULISAN “OBAT HERBAL TERSTANDAR”
• Tujuh belas (17) jenis obat tanaman yang masuk kategori obat
terstandar, yaitu diabmeneer, diapet, kiranti (obat datang bulan),
fitogaster, fitolac, lelap dan lain sebagainya.
• Sedangkan sembilan jenis tanaman obat yang siap menjadi
fitofarmaka, yaitu cabe jawa sebagai androgenik, temulawak untuk
antihiperfipedemia, Daun Jambu Biji, sebagai obat anti demam
berdarah, buah mengkudu dan daun salam sebagai anti diabet, jati
belanda untuk anti hiperfidemia, jahe merah sebagai anti neoplasma,
serta rimpang kunyit untuk anti hiperfidemia.
• Sementara 18 belas jenis tanaman obat unggulan lainnya yang siap
menjadi fitofarmaka dan OHT yaitu brotowali (antimalaria
antidiabetik), kuwalot (antimalaria), akar kucing (anti asam urat),
sambiloto (antimalaria), johar (perlindungan hati), biji papaya
(kesuburan), daging biji bagore (antimalaria), daun paliasa
(perlindungan hati), makuto dewo (perlindungan hati), daun kepel
(asam urat), akar senggugu (sesak napas), seledri (batu ginjal),
Gandarusa (KB lelaki), daun johar (anti malaria), mengkudu
(dermatitis), mengkudu rimpang jahe (anti TBC), umbi lapis kucai (anti
hipertensi), jati belanda & jambu biji (pelangsing)
3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)

• Menurut peraturan menteri kesehatan Indonesia Nomor


760/MENKES/PER/IX/1992 tentang fitofarmaka
menyebutkan bahwa Fitofarmaka adalah sediaan obat
dan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya bahan bakunya terdiri dari simplisia
atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan
yang berlaku.
• Fitofarmaka oleh pemerintah disetarakan dengan obat
modern karena:
1) Proses pembuatannya yang telah terstandar,
2) Ditunjang bukti ilmiah s/d uji klinik pada manusia
dengan criteriamemenuhi syarat ilmiah,
3) Protokol uji yang telah disetujui,
4) Dilakukan oleh pelaksana yang kompeten,
5) Memenuhi prinsip etika,
6) Tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat.
1. KELOMPOK FITOFARMAKA HARUS
MENCANTUMKAN LOGO DAN TULISAN
“FITOFARMAKA”

2. LOGO BERUPA :
 JARI-JARI DAUN MEMBENTUK BINTANG
TERLETAK DALAM LINGKARAN
 DITEMPATKAN PADA BAGIAN ATAS
SEBELAH KIRI DARI WADAH / PEMBUNGKUS
/ BROSUR

3. WARNA LOGO :
 HIJAU DI ATAS DASAR PUTIH ATAU
 WARNA LAIN YANG MENYOLOK KONTRAS
DENGAN WARNA LOGO.

4. TULISAN “FITOFARMAKA” HARUS :


 JELAS DAN MUDAH DIBACA
 DICETAK DENGAN WARNA HITAM DI ATAS
DASAR WARNA PUTIH ATAU WARNA LAIN
YANG MENYOLOK KONTRAS DENGAN
TULISAN “FITOFARMAKA”.
1. KRITERIA :
a. AMAN
b. KLAIM KHASIAT HARUS DIBUKTIKAN
BERDASARKAN UJI KLINIK.
c. BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN TELAH
TERSTANDAR
d. MEMENUHI PERSYARATAN MUTU

2. JENIS KLAIM DAN TINGKAT PEMBUKTIAN :


 MEDIUM
 TINGGI
3. KELOMPOK FITOFARMAKA HARUS MENCANTUMKAN LOGO
DAN TULISAN “FITOFARMAKA”
KEAMANAN PRODUK

OBAT HERBAL
JAMU FITOFARMAKA
TERSTANDAR

•Tidak mengandung •Tidak mengandung •Tidak mengandung


bahan yang dilarang bahan yang dilarang bahan yang dilarang

•POM TR •Uji Preklinik •Uji Preklinik

•Uji Teknologi Farmas •Uji Teknologi Farmasi

•POM TR •Uji Klinik


•POM FF
Tahun 2018
Tahun 2020 terdapat 23
Fitofarmaka diantaranya
1. Nodiar
2. Rheumaneer
3. Stimuno
4. Tensigard Agromed
5. X-gra
6. Ardium
7. Vipalbumin plus
8. Diabetadex
9. Inclacin
10. Resindex
11. Levitens
12. Redacid
13. Diabmeneer
14. Disolf
1. Uji Mikroba patogen
KEAMANAN
2. Uji Batas Logam Berat
3. Uji ALT/Angka Lempeng
Total
4. Uji Kapang/Khamir
5. Tidak mengandung bahan
yang dilarang

MUTU MANFAAT
1. Uji Kadar Air
Kadar Bahan
2. Cara Pembuatan INFORMASI PRODUK Berkhasiat
3. Sumber perolehan
bahan baku 1. Indikasi
4. CA bahan baku
2. Aturan pemakaian
5. CA produk jadi
3. Ukuran kemasan
6. Keseragaman bobot
4. Komposisi
/volume
5. Waktu hancur 5. Kadaluarsa
6. Stablititas produk jadi
PERKEMBANGAN
OBAT TRADISIONAL SAAT INI

 Teknologi Produksi : Tumbuhnya industri dengan produksi


cara modern (Jamu, Obat Herbal Terstandar, Fitofarmaka),
Industri Bahan Baku/Ekstrak

 Penggunaan : Dari swa-pengobatan oleh masyarakat ke


konsep yang dapat disejajarkan dengan obat modern dalam
pelayanan kesehatan

 Perubahan konsep : Pembuktian keamanan dan khasiat


secara empirik bertahap berkembang menjadi pembuktian
secara ilmiah.
• Tahapan pengembangan obat
tradisional menjadi fitofarmaka adalah
sebagai berikut.
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas
dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan
identitas dan pembuatan sediaan
terstandar
4. Uji klinik
1. Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan
jenis obat tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan
dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang
diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki
urutan atas dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola
penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit
tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu,
seperti AIDS dan kanker.
2. Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis
obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi
fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in
vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek
farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian
pada hewan coba disesuaikan dengan rencana
pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan
uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat
Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba
yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau
mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan
untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji
toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
• Uji Toksisitas
• Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut,
subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang
meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk
menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala
toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis
obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk
pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas
akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama
satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik
obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji
toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk
mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian
jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji
toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat
pada manusia
• Uji Farmakodinamik
• Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan
untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri
mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in
vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian
obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan
disesuaikan dengan cara pemberiannya pada
manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk
perkiraan kemungkinan efek pada manusia
• Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan
Sediaan Terstandar
• Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas,
dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat
herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar
berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan.
Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif
tertentu yang bersifat termolabil.15 Sebagai contoh tanaman obat
yang mengandung minyak atsiri atau glikosida tidak boleh dibuat
dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur
ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang
dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang
berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang
terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia
Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan
untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang
dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit
tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan
ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan
alkaloid tersari dengan baik.
• Uji klinik Obat tradisional
• Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/
obat herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannya
melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen
maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar ganda (randomized double-blind controlled
clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold
standard).
• Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila
obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman
dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat
tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen,
maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan
harus mendapat keterangan yang jelas mengenai
penelitian dan memberikan informed-consent sebelum
penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan
hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang
terulangkan (reproducible).
Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
• Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk
menguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisional
• Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah
terbatas, tanpa pembanding
• Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas,
dengan pembanding
• Fase III : uji klinik definitif
• Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek
samping yang jarang atau yang lambat timbulnya
• Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas
di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping
yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik
dapat langsung dilakukan uji klinik dengan
pembanding. Untuk obat tradisional yang belum
digunakan secara luas harus melalui uji klinik
pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui
tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional
tersebut.2
• Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang
digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris
tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan
secara tersamar dengan plasebo atau obat standar.
Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau
khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.

Anda mungkin juga menyukai