Anda di halaman 1dari 15

GEMA BHAKTI CIVITAS FARMASI

Jenis-Jenis Obat Tradisional Indonesia

OLEH :

NAMA : KADEK MITTA ARIANTI


NIM : 1508505039

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari
tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia
yang lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya campuran obat herbal, yaitu
obat yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa
akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman (Ansel,
2008).
Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan
tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Indonesia yang
beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua
di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25 000-30 000 spesies tanaman
yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90 % dari jenis tanaman di
Asia. Bila dikaji dari sejarah perkembangan, beberapa obat moderen ternyata
sebagian di antaranya juga disolasi dari tanaman. Selain itu didapatkan juga obat
antikanker yang berasal dari sumber bahan alam seperti aktinomisin, bleomisin,
dan daunorubisin yang diisolasi dari jamur dan bakteri (Ansel, 2008).
Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh
masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi
kesehatan/dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun
menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga
seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan
tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Alasan utama
keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat
tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional
pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan

1
budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat
digunakan lebih luas oleh masyarakat (Eko, 2008).
Obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari
tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Penggolongan obat adalah obat yang berbasis kimia
modern, padahal juga dikenal obat yang berasal dari alam, yang biasa dikenal
sebagai obat tradisional. Obat tradisional Indonesia dibedakan menjadi beberapa
kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu, obat herbal, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan
peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri
jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak.
Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan
perkembangan penelitian sampai dengan uji klinik (Pringgoutomo, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


Apakah pengertian dari jamu, obat herbal, obat herbal terstandar
dan fitofarmaka?
Apakah perbedaan dari jamu, obat herbal, obat herbal terstandar
dan fitofarmaka?
Bagaimana perkembangan obat tradisional di Indonesia?
Bagaimana tahap-tahap pengembangan dan pengujian obat dari
bahan alami menjad jamu, obat herbal, obat herbat terstandar dan
fitifarmaka?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pengertian dari jamu, obat herbal, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka.
Untuk mengetahui perbedaan dari jamu, obat herbal, obat herbal
terstandar dan fitofarmaka.

2
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan obat tradisional di
Indonesia.
Untuk mengetahui bagaimana tahap-tahap pengembangan dan
pengujian obat dari bahan alami menjad jamu, obat herbal, obat
herbat terstandar dan fitifarmaka.

1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
mahasiswa farmasi dapat mengetahui apa berbagai jenis kegunaan bahan alami
yang dapat digunakan sebagai obat yang berguna baik itu obat tradisional berupa
jamu, obat herbal, obat herbal terstandar maupun fitofarmaka. Selain itu, bagi
masyarakat luas dapat juga memberikan pengetahuan tentang berbagai bahan alam
yang memilki manfaat dalam penyembuhan beberapa penyakit.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Obat bahan alam merupakan obat yang menggunakan bahan baku berasal
dari alam (tumbuhan dan hewan). Obat bahan alam dapat dikelompokkan menjadi
beberapa jenis yaitu jamu, obat herbat, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka.
Jamu (Empirical based herbal medicine) adalah obat bahan alam yang disediakan
secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang
berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut dan
digunakan secara tradisional (Depkes RI, 2000).

2.1 Penggolongan Obat Bahan Alam


2.1.1 Jamu
Jamu merupakan bahan obat alam yang sediannya masih berupa
simplisia sederhana, seperti irisan rimpang, daun atau akar kering. Sedang
khasiatnya dan keamanannya baru terbukti setelah secara empiris
berdasarkan pengalaman turun-temurun. Sebuah ramuan disebut jamu jika
telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Sebagai contoh,
masyarakat telah menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi
hepatitis selama ratusan tahun. Pembuktian khasiat tersebut baru sebatas
pengalaman, selama belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan
bahwa temulawak sebagai antihepatitis. Jadi Curcuma xanthorriza itu
tetaplah jamu. Artinya ketika dikemas dan dipasarkan, prosuden dilarang
mengklaim temulawak sebagai obat. Selain tertulis "jamu", dikemasan
produk tertera logo berupa ranting daun berwarna hijau dalam lingkaran
(Eko, 2008).
Jamu adalah obat tradisional yang diracik dengan menggunakan
bahan tanaman sebagai penyusun jamu tersebut.Jamu disajikan secara
tradisional dalam bentuk serbuk seduhan, pil, atau cairan. Satu jenis jamu
yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5 10

4
macam, bahkan bisa lebih.Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah
sampai uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris.Walaupun demikian,
jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu.Jamu
hanya dapat dikonsumsi sebagai mencegah, mengurangi atau mengatasi
keluhan yang dialami seseorang. Bukanmenyembuhkan suatu diagnosa
penyakit. Secara umum, jamu dibedakan menjadi dua yaitu yang bertujuan
untuk menjaga kesehatan dan yang dimanfaatkan untuk mengobati keluhan
penyakit (Eko, 2008).
Dalam melangsungkan proses hidup kita harus rasional terhadap
banyaknya peredaran jamu dicampur dengan obat-obatan. Misalnya,
menggunakan campuran bahan dengan khasiat sejenis pada suatu ramuan
dan menggunakan simplisia yang tidak sesuai dengan manfaat yang
diharapkan. Untuk itu, tujuan pemanfaatan jamu umumnya tercemin dari
nama umum jamu. Jamu yang diproduksi dan didistribusikan di Indonesia
dikenal dengan aturan yang ditetapkan Badan POM. Salah satunya, dalam
pengemasannya diberi label yang menjelaskan obat tersebut, termasuk
tentang manfaat atau khasiatnya. Penjelesan tentang manfaat jamu hanya
boleh disampaikan dalam bentuk mengurangi atau menghilangkan keluhan
yang dialami seseorang, bukan menyembuhkan suatu diagnosa penyakit.
Secara umum, jamu dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang bertujuan
untuk menjaga kesehatan dan yang dimanfaatkan untuk mengobati keluhan
penyakit (Pringgoutomo, 2007).

2.1.2 Obat Herbal


Secara umum, pengertian dari obat herbal adalah obat yang
berasal dari seluruh atau sebagian dari tumbuh-tumbuhannya. Namun
sebenarnya, istilah herbal ini memiliki arti tumbuh-tumbuhan yang tidak
berkayu atau tanaman yang bersifat perdu. Obat herbal juga disebut
sebagai phytomedicine atau obat botani. Pengguanaan obat herbal telah
dikenal dan banyak digunakan sejak zaman dahulu, karena memiliki
khasiat yang manjur dan ampuh. Obat herbal diolah secara tradisional dan

5
turun-menurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat,
kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik secara magic maupun
pengetahuan tradisional. Pada masa kini, para ahli mulai tertari dengan
penggunaan obat herbal karena efek samping yang ditimbulkan minimal.
Hal tersebut dikarenakan komposisi di dalamnya masih dapat dicerna oleh
tubuh. Obat herbal juga popular dikalangan masyarakat karena lebih
mudah dijangkau, baik harga maupun ketersediaannya (Eko, 2008).
Konsep pengobatan herbal sangat berbeda dengan konsep
pengobatan modern (yang biasanya menggunakan kimia sintetis sebagai
obat). Misalnya dalam pengobatan kimia sintetis penyebab penyakit adalah
virus, bakteri, dan pathogen (mikro organism pembawa penyakit);
sedangkan dalam pengobatan herbal, pemyebab penyakit adalah lemahnya
system imun (Eko, 2008).

2.1.3 Obat Herbal Terstandar


Obat Herbal Terstandar merupakan obat tradisional yang disajikan
dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat,
binatang, maupun mineral. Dalam proses pembuatan obat herbal standar
ini dibutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih mahal daripada
pembuatan jamu. Tenaga kerja yang dibutuhkan pun harus di dukung
dengan keterampilan dan pengetahuan membuat ekstrak. Obat herbal ini
umumnya ditunjang oleh pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis.
Penelitian ini meliputi standarisasi kandungan senyawa berkhasiat dalam
bahan penyusun, standarisasi pembuatan ekstrak yang higenis, serta uji
toksisitas akut maupun kronis (Eko, 2008).
Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah obat tradisional yang
disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa
tanaman obat, binatang, maupun mineral. Pada melaksanakan proses ini
membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal,
ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan
maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan

6
tehnologi tinggi, jenis herbal ini pada umumnya telah ditunjang dengan
pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti standart
kandungan bahan berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat,
standart pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut
maupun kronis. Tulisan OBAT HERBAL TERSTANDAR harus jelas
dan mudah dibaca, dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna putih
atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan OBAT HERBAL
TERSTANDAR (Ansel, 2008)

2.1.4 Fitofarmaka
Merupakan jamu dengan Kasta tertinggi karena khasiat,
keamanan, serta standar proses pembuatan dan bahannya telah diuji secara
klinis, jamu berstatus sebagai. Fitofarmaka juga dijual di apotek dan harus
dengan resep dokter. Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang dapat
disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatannya diperlukan
peralatan berteknologi modern,tenaga ahli,dan biaya yang tidak sedikit.
Fitofarmaka memiliki kekhasan tersendiri, hal ini disebabkan fitofarmaka
merupakan obat tradisional yang memiliki keunggulan yang hampir sama
dengan obat-obatan. Bahkan tidak jarang fitofarmaka menjadi
rekomendasi dokter terhadap pasiennya. Dengan uji klinik yang sama
dengan obat-obatan serta menggunakan tekhnologi modern, sehingga
fitofarmaka dapat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Berikut
ini beberapa bahan alam yang digolongkan sebagai fitofarmaka, anatara
lain : bawang putih, ginseng, cengkeh, angkak, anggur, ginkgo, dan jahe.
Karena sudah teruji secara klinis, maka bahan-bahan tersebut dapat
disejajarkan dengan obat-obatan modern (Pringgoutomo, 2007).
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis
bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir. Dengan uji klinik
akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal
di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk

7
menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian
secara ilimiah. Bahan baku fitofarmaka dapat berupa simplisia atau
sediaan galenik. Bahan baku fitofarmaka harus memenuhi persyaratan
yang tertera pada Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia,
Materia Medika Indonesia, ketentuan atau persyaratan lain yang berlaku.
Penggunaaan ketentuan atau persyaratan lain diluar ketentuan yang telah
ditetapkan harus mendapatkan persetujuan pada waktu pendaftaran
fitofarmaka. Penggunaan bahan tambahan harus memenuhi ketentuan dan
syarat-syarat yang berlaku yang ditetapkan oleh Badan POM.
Bentuk sediaan fitofarmaka harus dipilih sesuai dengan sifat bahan baku
dan tujuan penggunaan, sehingga bentuk sediaan tersebut dapat
memberikan keamanan, khasiat dan mutu yang paling tinggi. Bahan baku
sebelum digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif
dan kuantitatif. Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan
tentang rentang kadar alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lainnya
(Depkes RI, 2000).

8
BAB III
PEMBAHASAN

Pengembangan Obat Tradisonal Indonesia menjadi fitofarmaka industri


jamu dan yang didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Republik Indonesia berjumlah 283 spesies tanaman. Senarai tumbuhan obat
Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada
tahun 1986 mendokumentasi 940 tanaman obat dan jumlah tersebut tidak
termasuk tanaman obat yang telah punah atau langka dan mungkin ada pula
tanaman obat yang belum dicantumkan. Bila dikaji dari sejarah perkembangan,
beberapa obat medern ternyata sebagaian diantaranya juga diisolasi dari tanaman.
Selain itu didapatkan juga antikanker yang berasal dari sumber bahan alam seperti
aktinomisin, biomisin, dan daunorubisin yang diisolasi dari jamur dan bakteri
(Depkes RI, 2000).
Dalam belakangan ini di tengah banyaknya jenis obat modern di pasaran
dan munculnya berbagai jenis obat modern yang baru, terdapat kecenderungan
global untuk kembali ke alam. Faktor yang mendorong masyarakat untuk
mendayagunakan obat bahan alam antara lain mahalnya harga obat
modern/sintetis dan banyaknya efek samping. Selain itu faktor promosi melalui
media masa juga ikut berperan dalam meningkatkan penggunaan obat bahan alam.
Oleh karena itu obat bahan alam menjadi semakin populer dan penggunaannya
meningkat tidak saja di negara sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga
pada negara maju misalnya Jerman dan Amerika Serikat. Tahun 2000 pasar dunia
untuk obat herbal termasuk bahan baku mencapai 43 000 juta dolar Amerika.
Penjualan obat herbal meningkat dua kali lipat antara tahun 1991 dan 1994, dan
antara 1994 dan 1998 di Amerika Serikat. Di Indonesia menurut survei nasional
tahun 2000, didapatkan 15,6% masyarakat menggunakan obat tradisional untuk
pengobatan sendiri dan jumlah tersebut meningkat menjadi 31,7 % pada tahun
2001.10 Jenis obat tradisional yang digunakan dapat berupa obat tradisional

9
buatan sendiri, jamu gendong maupun obat tradisional industri pabrik (Depkes RI,
2000).
Pada tanaman obat, kandungan kimia yang memiliki kerja terapeutik
termasuk pada golongan metabolit sekunder. Umumnya metabolit sekunder pada
tanaman bermanfaat sebagai mekanisme pertahanan terhadap berbagai predator
seperti serangga dan mikroorganisme dan hanya dihasilkan oleh tanaman tertentu
termasuk tanaman obat. Kandungan aktif tanaman obat antara lain berupa
alkaloid, flavonoid, minyak esensial, glikosida, tanin, saponin, resin, dan terpen.
Lemak, protein, karbohidrat merupakan metabolit primer yang dihasilkan oleh
semua jenis tanaman. Sediaan fitofarmaka masih belum begitu populer di
kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-jamuan dan herba terstandar. Akan
tetapi pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan
karena juga berasal dari bahan-bahan alami. Dalam ilmu pengobatan, fitofarmaka
dapat diartikan sebagai sediaan jamu-jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian khasiat dan penggunaan
fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif daripada sediaan jamu-jamuan biasa,
karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas. Walaupun sama-sama diracik dari
bahan alami, namun Fitofarmaka jauh mengungguli sediaan jamu biasa, bahkan
sediaan ini juga sudah dapat disetarakan dengan obat-obatan modern. Ini
disebabkan fitofarmaka telah melewati beberapa proses yang setara dengan obat-
obatan modern, diantaranya Fitofarmaka telah melewati standarisasi mutu, baik
dalam proses pembuatan hingga pengemasan produk, sehingga dapat digunakan
sesuai dengan dosis yang efektif dan tepat (Ansel, 2008).
Selain itu sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian
yaitu uji preklinis seperti uji toksisitas, uji efektivitas, dll dengan menggunakan
hewan percobaan dan pengujian klinis yang dilakukan terhadap manusia.
Fitofarmaka harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya : aman dan sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan
uji klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi, memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Tahap-tahap
pengembangan dan pengujian (Dep. Kes RI) :

10
1. Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala
prioritas sebagai berikut: jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk
penyakit-penyakit utama, jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan
kemanfaatan berdasar pengalaman pemakaian empiris sebelumnya, jenis obat
yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-penyakit
yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2. Tahap biological screening, untuk menyaring: ada atau tidaknya efek
farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat terapetik (pra klinik in
vivo), ada atau tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas
jika ada, dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan
tersebut (pra klinik, in vivo).
3. Tahap penelitian farmakodinamik
Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem
biologis organ tubuh, pra klinik, in vivo dan in vitro. Tahap ini dipersyaratkan
mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui mekanisme kerja yang lebih
rinci dari calon fitofarmaka.
4. Tahap pengujian toksisitas lanjut (multiple doses)
Toksisitas ubkronis, toksisitas akut, dan toksisitas khas/ khusus.
5. Tahap pengembangan sediaan (formulasi)
Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu,
keamanan, dan estetika untuk pemakaian pada manusia. Tata laksana teknologi
farmasi dalam rangka uji klinik, yakni : Teknologi farmasi tahap awal,
Pembakuan (standarisasi) simplisia, ekstrak, sediaan obat, serta parameter standar
mutu: bahan baku obat, ekstrak, sediaan obat.
6. Tahap uji klinik pada manusia, ada 4 fase yaitu : Fase 1 dilakukan pada
sukarelawan sehat, Fase 2 dilakukan pada kelompok pasien terbatas, Fase 3
dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2, Fase 4 post
marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang tidak
terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3. Uji toksisitas khusus
tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke

11
tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif. Uji klinik Obat
tradisional untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional atau obat herbal
harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya
dengan obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar ganda merupakan desain uji klinik baku emas. Uji klinik pada manusia
hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti
aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti
halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus
dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian
dan memberikan informed consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi
sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang
terulangkan.

12
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Indonesia yang beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman
hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Obat tradisional Indonesia
dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu, obat
herbal, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Fitofarmaka adalah sediaan obat
bahan alam yang memiliki golongan tertinggi diantara obat lainnya karena telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji
klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standardisasi. Fitofarmaka telah
melewati beragam pengujian yaitu uji preklinis seperti uji toksisitas, uji
efektivitas, dll dengan menggunakan hewan percobaan dan pengujian klinis yang
dilakukan terhadap manusia. Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan
apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat
pada uji preklinik.

4.2 Saran
Dengan begitu banyaknya kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, maka
perlu dimanfaatkan untuk keperluan yang bersifat positif. Kekayaan alam
Indonesia dapat digali lebih dalam dan dapat dilakukan penelitian tentang
kandungan-kandungan yang dimiliki, agar dapat dikembangkan obat-obatan yang
berperan dalam penyembuhan berbagai macam penyakit.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI-Press.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat


Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Eko, Wirdayanto. 2008. Tanaman Obat Berkhasiat. Malang: Unit Penerbitan


Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Pringgoutomo, Riwayat. 2007. Perkembangan Pengobatan dengan Tanaman


Obat di Dunia Timur dan Barat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

14

Anda mungkin juga menyukai