Anda di halaman 1dari 12

7

2.2 Identifikasi Tumbuhan Obat

Selain mengadakan penggolongan atau klasifikasi, unsur utama dalam

taksonomi salah satunya adalah pengenalan atau identifikasi. Melakukan

identifikasi tumbuhan berarti mengungkapkan atau menetapkan identitas (jati

diri) suatu tumbuhan (meliputi : menentukan nama yang benar, tempat yang

tepat dalam system klasifikasi). Identifikasi tumbuhan adalah menentukan

namanya yang benar dan tempatnya yang tepat dalam sistem klasifikasi.

Tumbuhan yang akan diidentifikasikan mungkin belum dikenal oleh dunia

ilmu pengetahuan (belum ada nama ilmiahnya), atau mungkin sudah dikenal

oleh dunia ilmu pengetahuan. Penentuan nama baru dan penentuan tingkat-

tingkat takson harus mengikuti aturan yang ada dalam KITT (Kode

Internasional Tatanama Tumbuhan). Prosedur identifikasi tumbuhan yang

untuk pertama kali akan diperkenalkan ke dunia ilmiah memerlukan bekal

ilmu pengetahuan yang mendalam tentang isi KITT. Untuk identifikasi

tumbuhan yang telah dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan, memerlukan

sarana antara lain bantuan orang, specimen herbarium, buku-buku floradan

monografi, kunci identifikasi dan lembar identifikasi jenis (Wahidah, 2015).

2.3 Tumbuhan Obat

Menurut Abdiyani (2008:79) tumbuhan obat adalah spesies tumbuhan

yang diketahui dan dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah

digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Sedangkan menurut Nursiyah

(2013:12) menyebutkan bahwa tumbuhan obat adalah bahan atau ramuan


8

bahan alam secara turun-temurun digunakan untuk pengobatan berdasarkan

pengalaman (Lingga, 2016).

Menurut Departemen Kesehatan RI, definisi tumbuhan obat Indonesia

sebagaimanan tercantum dalam SK Menkes No. 149/SK/Menkes/IV/1978

adalah sebagai berikut:

1. Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat

tradisional atau jamu.

2. Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pemula

bahan baku obat (prekursor).

3. Tumbuhan atau bagian tumbuhan yang diekstraksi dan ekstrak tumbuhan

tersebut digunakan sebagai obat.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tumbuhan

obat adalah tumbuhan yang mempunyai khasiat obat dan telah digunakan

secara turun-temurun sebagai bahan pengobatan tradisional berdasarkan

pengalaman. Ttumbuhan obat memiliki beberapa ciri khas diantaranya

memiliki zat aktif penyembuh suatu penyakit, bersifat turun menurun dan

efek samping lebih kecil dari pada obat-obatan kimia (Nursiyah, 2013).

2.4 Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Pemanfaatan tumbuhan obat atau bahan obat alam bukanlah merupakan

hal yang baru. Pemanfaatan bahan-bahan dari alam merupakan pilihan yang

diambil oleh sebagian masyarakat untuk menjaga kesehatannya, dan adanya

gerakan kembali ke alam (back to nature) semakin meningkatkan

pemanfaatan bahan-bahan yang berasal dari alam. Tubuh manusia secara


9

lebih mudah menerima obat dari bahan yang alami dibandingkan dengan obat

kimiawi. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping

yang relatif lebih sedikit dari pada obat moderen (Sari, 2006).

Masyarakat masih sulit mengakses fasilitas kesehatan semacam

puskesmas apalagi rumah sakit. Ditambah dengan harga obat sintetis yang

mahal dan efek sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali

pengetahuan masyarakat tentang penggunaaan obat tradisional oleh

masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar perlu

untuk dilakukan. Sebagai langkah awal yang sangat membantu untuk

mengetahui suatu tumbuhan berkhasiat obat adalah dari pengetahuan

masyarakat tradisional secara turun temurun (Dharma, 2001).

Sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal sejak lama sebagai

warisan budaya dan tetap diteruskan sehingga kini menjadi potensi dan modal

dasar untuk mengembangkan obat-obat tradisional yang berasal dari

tumbuhan. Menurut WHO, diperkirakan sekitar 4 milyar penduduk dunia

(±80%) menggunakan obat-obatan yang berasal dari tumbuhan. Bahkan

banyak obat-obatan modern yang digunakan sekarang ini berasal dan

dikembangkan dari tumbuhan obat. WHO mencatat terdapat 119 jenis bahan

aktif obat modern berasal dari tumbuhan obat (Suganda, 2002).

Pada tahun 2008 telah menjadi 1166 industri yang terdiri dari 1037

IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) dan 129 IOT (Industri Obat

Tradisional). Dengan meningkatnya jumlah industri dan produksi obat


10

tradisional secara langsung meningkatkan penggunaan bahan baku tumbuhan

obat (Balitro, 2010).

Pengetahuan tentang tumbuhan berkhasiat obat ini sudah lama dimiliki

oleh nenek moyang kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara

ilmiah. Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia akan terus meningkat

mengingat kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan

memakai jamu (Widyastuti, 2004).

2.5 Bagian-Bagian Tumbuhan Obat yang di Manfaatkan

Bagian-bagian yang digunakan sebagai bahan obat yang disebut

simplisia terdiri dari:

a.Kulit (cortex)

Kortek adalah kulit bagian terluar dari tumbuhan tingkat tinggi yang

berkayu.

b. Kayu (lignum)

Simplisia kayu merupakan pemanfaatan bagian dari batang atau

cabang.

c. Daun (folium)

Folium merupakan jenis simplisia yang paling umum digunakan

sebagai bahan baku ramuan obat tradisional maupun minyak atsiri.

d. Bunga (flos)

Bunga sebagai simplisia dapat berupa bunga tunggal atau majemuk,

bagian bunga majemuk serta komponen penyusun bunga.


11

e. Akar (radix)

Akar tumbuhan yang sering dimanfaatkan untuk bahan obat dapat

berasal dari jenis tumbuhan yang umumnya berbatang lunak dan memiliki

kandungan air yang tinggi.

f. Umbi (bulbus)

Bulbus atau bulbi adalah produk berupa potongan rajangan umbi

lapis, umbi akar, atau umbi batang. Bentuk ukuran umbi bermacam-macam

tergantung dari jenis tumbuhannya.

g. Rimpang (rhizom)

Rhizom atau rimpang adalah produk tumbuhan obat berupa potongan-

potongan atau irisan rimpang.

h. Buah (fructus)

Simplisia buah ada yang lunak dan ada pula yang keras. Buah yang

lunak akan menghasilkan simplisia dengan bentuk dan warna yang sangat

berbeda, khususnya bila buah masih dalam keadaan segar.

i.Kulit buah (perikarpium)

Sama halnya dengan simplisia buah, simplisia kulit buah pun ada yang

lunak, keras bahkan adapula yang ulet dengan bentuk bervariasi

j. Biji (semen)

Semen (biji-bijian) diambil dari buah yang telah masak sehingga

umumnya sangat keras. Bentuk dan ukuran simplisia biji pun bermacam-

macam tergantung dari jenis tumbuhan (Widyastuti, 2004)


12

Salah satu prinsip kerja obat tradisional adalah proses (reaksinya)

yang lambat (namun bersifat konstruktif), tidak seperti obat kimia yang bisa

langsung bereaksi (tapi bersifat destruktif/merusak). Hal ini karena obat

tradisional bukan senyawa aktif. Obat tradisional berasal dari bagian

tumbuhan obat yang diiris, dikeringkan, dan dihancurkan. Jika ingin

mendapatkan senyawa yang dapat digunakan secara aman, tanaman obat

harus melalui proses ekstraksi, kemudian dipisahkan, dimurnikan secara

fisik dan kimiawi (di-fraksinasi). Tentu saja proses tersebut membutuhkan

bahan baku dalam jumlah yang sangat banyak (Herdiani, 2012).

2.6 Keunggulan dan Kelemahan Tumbuhan Obat

Keunggulan obat bahan alam antara lain (Suharmiati dan Handayani,

2006), yaitu:

1. Efek samping obat tradisional relatif lebih kecil bila digunakan secara

benar dan tepat, baik tepat takaran, waktu penggunaan,cara penggunaan,

ketepatan pemilihan bahan, dan ketepatan pemilihan obat tradisional atau

ramuan tumbuhan obat untuk indikasi tertentu.

2. Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat/

komponen bioaktif tumbuhan obat. Dalam suatu ramuan obat tradisional

umumnya terdiri dari beberapa jenis tumbuhan obat yang memiliki efek

saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan.

Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar

tidak menimbulkan efek kontradiksi, bahkan harus dipilih jenis ramuan

yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki.


13

3. Pada satu tumbuhan bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Zat

aktif pada tumbuhan obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder,

sedangkan satu tumbuhan bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder,

sehingga memungkinkan tumbuhan tersebut memiliki lebih dari satu efek

farmakologi.

4. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan

degeneratif. Perubahaan pola konsumsi mengakibatkan gangguan

metabolisme tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit Diabetes

(kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal,

dan hepatitis yang merupakan penyakit metabolik. Penyakit degeneratif

antara lain rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak

lambung), haemorrhoid (ambein/wasir), dan pikun (lost of memory).

Menurut Zein (2005), Kelemahan tumbuhan obat sebagai berikut,

yaitu:

1. Sulitnya mengenali jenis tumbuhan dan bedanya nama tumbuhan

berdasarkan daerah tempatnya tumbuh.

2. Kurangnya sosialisasi tentang manfaat tumbuhan obat terutama dikalangan

dokter.

3. Penampilan tumbuhan obat yang berkhasiat berupa fitofarmaka kurang

menarik dibandingkan obat-obatan paten.

4. Kurangnya penelitian komprehensif dan terintergrasi dari tumbuhan obat.

5. Belum ada upaya pengenalan dini terhadap tumbuhan obat.Untuk

mengobati penyakit-penyakit tersebut diperlukan waktu lama sehingga


14

penggunaan obat alam lebih tepat,karena efek sampingnya relatif lebih

kecil.

Di samping keunggulannya, obat bahan alam juga memiliki beberapa

kelemahan yangjuga merupakan kendala dalam pengembangan obat

tradisional antara lain efek farmakologisnya lemah, bahan baku belum

terstandar dan bersifat higroskopis, belum dilakukan uji klinik dan mudah

tercemar berbagai mikroorganisme (Zein, 2005).

2.7 Perkembangan Tumbuhan Obat

Sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan

tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi

masalah kesehatan, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-

obatan modernnya dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan

tanaman obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan

pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun hingga

ke generasi sekarang, sehingga tercipta berbagai ramuan tumbuhan obat yang

merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. Dengan demikian,

selain memiliki kekayaaanhayati yang besar, pengetahuan masyarakat lokal

tentang pemanfaat sumber daya hayati tersebut cukup tinggi. Oleh karena itu,

tidaklah bijaksana apabila pengobatan penyakit dan pemeliharaan kesehatan

dengan pemanfaatan tumbuhan obat tidak diupayakan untuk dikembangkan

bagi kepentingan masyarakat dan bangsa (Jhonherf, 2007).

Pengembangan obat alami ini memang patut mendapatkan perhatian

yang lebih besar bukan saja disebabkan potensi pengembangannya yang


15

terbuka, tetapi juga permintaan pasar akan bahan baku obat tradisional ini

terus meningkat untukkebutuhan domestik atau internasional. Hal ini tentunya

juga akan berdampak positif bagi peningkatan pendapatan petani dan

penyerapan tenga kerja baik dalam usaha tani maupun dalam usaha

pengolahannya (Suriawiria, 2000).

2.8 Sejarah Suku Dayak Punan

Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai sub etnis Austronesia

yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan,

lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya sungai. Hampir semua nama

seb utan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan

dengan “perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan

nama kekeluargaannya. Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam subsub suku

yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975).

Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat

dan budaya yang mirip, merujuk pada sosiologi kemasyarakatannya dan

perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu

masyarakat yang kini disebut Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan

sungai-sungai di tiap pemukiman mereka.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar,

yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum –Ngaju, Iban, Murut,

Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang

paling tua mendiami pulau Borneo. Sementara rumpun Dayak yang lain

merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak Punan dan kelompok proto
16

melayu (nenek moyang, Dayak yang berasal dari Yunnan). Istilah “Punan”

lebih dipandang sebagai sebutan umum untuk kelompok masyarakat

pemburu-peramu yang dulu hidup secara berpindah-pindah di hutan

Kalimantan Timur, lalu Dayak menjadi sebutan untuk masyarakat petani

ladang. Kelompok Suku Punan hingga sekarang banyak tinggal di bagian

hulu sungai bahkan di tengah hutan yang sangat terpencil. Pada masa lalu,

pemerintah telah melabelkan mereka sebagai suku terasing yang hidup

berpindah-pindah di dalam hutan dan tidak punya tempat tinggal menetap,

sama halnya dengan beberapa suku lain seperti suku Kubu di Sumatera.

Namun seiring dengan perkembangan-pembangunan dan arus modernisasi

telah terjadi dinamika sosial budaya suku Punan (Dounias dkk 2004; Levang

dkk. 2000).

Punan tinggal di dalam hutan yang dulu masih utuh dan kaya

sumberdaya alam. Kuhn dkk. (2000) telah memvisualisasikan potret

kehidupan Punan di Metut, Kalimantan Timur. Sistem budaya suku Punan

yang bersifat terbuka sebagaimana umumnya masyarakat sekitar hutan

lainnya di Kalimantan secara lambat-laun telah mengalami pergeseran yang

berdampak pada perubahan pola hidup. Mereka yang dulu hidup berpindah-

pindah di tengah hutan sebagai pengumpul dan peramu, sejak akhir abad XIX

mulai bermukim di dusun-dusun kecil, dan awal abad XX mulai melakukan

perladangan sebagaimana suku Dayak di sekitarnya dengan budidaya

tumbuhan pangan seperti padi dan ubi-ubian. Namun disamping berladang,

aktifitas berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil hutan masih


17

tetap sebagai aktifitas utama dalam kehidupan sehari-hari Suku Punan yang

tinggal di sekitar hutan mempunyai ketergantungan hidup pada sumberdaya

hutan, kayu dan bukan kayu sebagai sumber kehidupan, baik untuk kebutuhan

subsisten seperti sumber makanan, obat obatan, tempat tinggal (bahan

rumah), ritual budaya (Uluk dkk. 2001).

Kalimantan Utara merupakan provinsi termuda (ke-34) di Indonesia

yang merupakan pemekaran dari Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan

Utara terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, yaitu Kota Tarakan, Kabupaten

Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Tana Tidung dan Kabupaten

Bulungan, provinsi ini memiliki luas sekitar 77.382,78 KM 2. Kabupaten

Bulungan adalah kabupaten induk bagi semua wilayah di Kalimantan Utara

sebelum tahun 1997 yang memekarkan Kota Tarakan, pada tahun 1999

memekarkan Kaupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, serta tahun 2007

pemekaran terakhir yaitu Kabupaten Tana Tidung. Kabupaten Bulunagn ini

terdiri atas 10 kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Tanjung Palas

Timur yang terdiri atas 4 desa yaitu Desa Mangkupadi, Desa Tanah Kuning,

Desa Wonomulyo, Desa Tanjung Agung, Desa Binai, dan Desa Sajau

(Anonim1, 2010).

Desa Sajau ini pertama kali didiami oleh masyarakat etnis Dayak

Punan dan agama mayoritas adalah Kristen, desa ini memiliki 4 RT. Desa ini

dibentuk pada 1 November pada tahun 2013. (Anonim2, 2015).


18

2.10 Kerangka Pemikiran

Studi area

Pengumpulan informasi melalui


wawancara

Data tumbuhan yang digunakan


untuk pengobatan
Masyarakat

Pengambilan tumbuhan dilokasi

Pembuatan herbarium

Inventarisasi dan identifikasi

Hasil inventarisasi dan


identifikasi

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai