Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional bukanlah hal yang
baru, dan telah dikenal masyarakat secara luas sejak zaman dahulu. Dewasa
ini penggunaan obat-obatan yang berasal dari tanaman, banyak diminati
oleh kalangan masyarakat, meskipun telah banyak beredar obat jadi yang
merupakan senyawa sintesis. Hal ini dibuktikan dengan adanya
kecenderungan masyarakat global untuk kembali ke alam (back to nature)
dalam bidang penyediaan obat-obatan (Mahatma dkk, 2005).
Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai
hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia
Pasifik. Hal ini membuat Indonesia kaya akan sumber daya hayati, salah
satu diantaranya adalah tanaman yang dapat berkhasiat sebagai obat
(Menkes RI, 2007).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat, bahan-bahan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia
sintetik. Obat tradisional terbuat dari campuran berbagai tumbuhan yang
dapat dibuat menjadi bentuk sediaan yang bervariasi diantaranya adalah
kapsul, tablet, pil, dan lain-lain (Sari, 2006).
Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin
menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang
mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi
menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Menurut
resolusi Promoting the Role of Traditional Medicine in Health System:
Strategy: for the African Region, terdapat sekitar 80% masyarakat di Afrika
menggunakan obat tradisional kepada farmasis, dokter dan para medik. Dan
juga Kantor Regional WHO wilayah Amerika (AMOR/PAHO) melaporkan

1
71% penduduk Chile dan 40% penduduk kolombia menggunakan obat
tradisional serta di berbagai negara maju, sudah marakna penggunaan obat
tradisional seperti di Prancis mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris 40% dan
Amerika Serikat 42% (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
2014).
Di wilayah Indonesia terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuhan dan
sebanyak 7000 diantaranya diduga memiliki khasiat sebagai obat serta 2500
diantaranya merupakan tanaman obat. Jenis tanaman obat yang biasa
digunakan di Indonesia adalah jahe 50,36 %, kencur 48,77 %, temulawak
39,65 %, meniran 13,93 % dan mengkudu 11,17 % (Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia. 2014).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) di
Indonesia, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan penggunaan obat
tradisional dari 19,8% menjadi 32,8% selama tahun 1980 sampai dengan
2004 (Menkes RI, 2007).
Tanaman obat yang terdapat di Indonesia sangat banyak dan
beragam, serta masing-masingnya memiliki manfaat untuk pengobatan
masyarakat. Oleh karena itu, kami ingin melakukan observasi yaitu
Mengamati Tanaman Herbal dan Pemanfaatannya di Puskesmas Kampus.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah adalah
“Bagaimana Karakteristik dari setiap tanaman obat dan pemanfaatannya di
Puskesmas Kampus” ?

2
1.3 Tujuan Pelaksanaan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengamati tanaman obat dan pemanfaatannya di Puskesmas
Kampus.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Apa saja tanaman obat yang ada di Puskesma Kampus?
2. Bagaimana morfologi tanaman obat yang ada di Puskesma Kampus?
3. Apa kandungan tanaman obat yang ada di Puskesmas Kampus?
4. Apa manfaat tanaman obat yang ada di Puskesmas Kampus ?

1.4 Manfaat Pelaksanaan


1.4.1 Manfaat Teoritis
Sebagai tambahan pengetahuan tentang macam-macam tanaman
obat dan manfaatnya yang ada di Puskesmas Kampus.

1.4.2 Manfaat Praktis


Sebagai pertimbangan bagi sistem kesehatan, perlunya mengetahui
macam-macam obat dan manfaatnya dalam upaya mengobati penyakit yang
dialami oleh masyarakat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jahe (Zingiber officinale Rosc.)


Zingiber officinale Rosc. atau jahe merupakan tanaman obat yang
banyak ditemukan di Asia Tenggara, India, Tiongkok, Meksiko dan di
negara lainnya. Menurut Prakash & Rao (1997), tanaman jahe terdapat
melimpah di Indonesia. Jahe ditemukan oleh William Roscoe (1753-1831),
yaitu salah satu bonatis dari Inggris dan dipublikasi kan pada tanggal 1807
(Banerjee, et al, 2011). Kata Zingiber berasal dari bahasa Yunani yang
pertama kali dilontarkan oleh Dioscorides pada tahun 77 Masehi. Nama
inilah yang digunakan Carolus Linnaeus seorang ahli botani dari Swedia
untuk memberi nama latin jahe (Wardani, 2012).
Menurut para ahli, jahe (Zingiber officinale Rosc.) berasal dari Asia
Tropik, yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu, kedua bangsa
itu disebutsebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe,
terutama sebagai bahan minuman, bumbu masakan, dan obat-obatan
tradisional. Belum diketahui secara pasti sejak kapan mereka mulai
memanfaatkan jahe, tetapi mereka sudah mengenal dan memahami bahwa
minuman jahe cukup memberikan keuntungan bagi hidupnya (Wardani,
2012).

2.1.1 Taksonomi
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk dalam ordo Zingiberales,
famili Zingiberaceae, dan genus Zingiber. Kedudukan tanaman jahe dalam
sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales

4
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Rosc. (Wardani, 2012).
Tanaman jahe merupakan terna tahunan, berbatang semu dengan
tinggi antara 30 cm - 75 cm. Berdaun sempit memanjang menyerupai pita,
dengan panjang 15 cm – 23 cm, lebar lebih kurang 2,5 cm, tersusun teratur
dua baris berseling. Tanaman jahe hidup merumpun, beranak-pinak,
menghasilkan rimpang dan berbunga. Berdasarkan ukuran dan warna
rimpangnya (Wardani, 2012).

2.1.2 Morfologi
Jahe terdiri dari gingerol yang merupakan cairan berminyak yang
terdiri dari homolog fenol, yang terbentuk dari fenilalanin, malonat,
heksonat. Pada jahe yang masih utuh mengandung gingerol aktif [5-
hydroxy-1-(4-hydroxy-3-methoxy pheny) decan-3-one]. Pada jahe bubuk
mengand
ung 3-6% lemak, 9% proteu, 60-70% karbohidrat, 3-8% serat, 9-
12% air dan 2-3% volatile oil. Volatile oil terdiri dari mono dan
sesquterpenes; camphene, betaphellandrene, curcumene, cineole, geranyl
acetate, terphineol, terpenes, borneol, geraniol, limonene, linalool, alpha-
zingiberene (30-70%), beta-sesquiphellandrene (15-20%), betabisabolene
(10-15%) and alpha-farmesene (Banerjee et al, 2011).

Gambar 2.1 Morfologi Jahe


Sumber: Banerjee et al, 2011

5
2.1.3 Kandungan dan Manfaat
Jahe dikenal sebagai rempah-rempah atau bumbu untuk memasak
sejak ribuan tahun lalu. Selain itu, diketahui memiliki manfaat dapat
menghangatkan tubuh, bekerja sebagai analgesik, antiemetik, spasmolitik,
peripheral circulatory stimulant dan antiinflamasi.
Zingiber officinale mengandung banyak komponen, termasuk
gingerol, beta karoten, capsaicin, asam kafein, curcumin, dan salisilat
(Terry, et al, 2011). Tanaman jahe diduga dapat berperan sebagai pestisida
nabati, karena rimpang tanaman jahe mengandung 2-3 % minyak atsiri, 20-
60% pati, damar, asam organik, asam malat, asam oksalat serta gingerin
(Mujim, 2010).

2.2 Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)


Sambiloto yang juga dikenal sebagai “King of Bitters” bukanlah
tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data
spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada
di Indonesia sejak 1893. Di India, sambiloto adalah tumbuhan liar yang
digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria. Hal ini
ditemukan dalam Indian Pharmacopeia dan telah disusun paling sedikit
dalam 26 formula Ayurvedic (Weibo, L, 1995).
2.2.1 Taksonomi
Menurut Prapanza, E. Dan Marianto, L.M. (2003), secara taksonomi
sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Gamopetalae
Ordo : Personales
Famili : Acanthaceae
Subfamili : Acanthoidae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata Nees

6
2.2.2 Morfologi
Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat
serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling
berhadapan, berben-tuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan
permukaannya halus, berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan,
berbentuk jorong (bulan panjang) de-ngan pangkal dan ujungnya yang
(1)
lancip daun sambiloto mengandung andrographolide terbanyak yaitu
sekitar (2.39%), yang secara medis merupakan fitokimia paling aktif.
Sedangkan benihnnya mengandung andrographolide yang paling rendah
(Weibo, L., 1995).
Di India, bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau
antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah antara bulan
Nopember sampai bulan Juni tahun berikutnya, sedang di Indonesia bunga
dan buah dapat ditemukan sepanjang tahun (Yusron, M., Januwati dan Rini,
E. P. 2015).
2.2.3 Kandungan dan Manfaat
Komponen obat utama yang ada pada sambiloto adalah
andrographolide. Memiliki rasa yang pahit dan berbentuk seperti kristal dan
tak berwarna dan sering disebut “ diterpene lactone” . andrographolide
mempunyai struktur kimia seperti cincin (Weibo, L., 1995).
Selain senyawa terkait rasannya yang pahit , sambiloto juga
mengandung beberapa senyawa aktif termasuk 14-dioksi-11, 12-
dihidroandrographolide (andrographolide D), homograpolide, andrographan,
andographon, andrographostrein, dan sigmasterol dan yang terakhir
merupakan isolasi dari persiapan astrographis (Weibo, L., 1995).
Wilayah tumbuhnnya sambiloto dan musim di walayah tumbuh
sambiloto mempunyai peran dalam konsentrasi diterpene lactone.
Andrographis tumbuh lebih baik di daerah tropis dan subtropics cina dan
asia tenggara. Konsentrasi tertinggi dari komponen aktif, ditemukan pada
saat sebelum tanaman mekar dan menjadikan musim gugur sebagai musim
paling baik untuk panen. Di beberapa bagian asia andrograhis dijual sebagai

7
obat secara komersial, bermacam metodologi laboratorium digunakan untuk
memastikan level standar dari andrographolides (Weibo, L., 1995).
Ekstraksi biasannya menggunakan etanol, dan ekstrak cair atau
tincture adalah bentuk paling umum dari keluaran produk. Ketika
dikonsumsi, andrographolides muncul dan berakumulasi pada organ . dalam
sebuah studi, setelah 48 jam, konsentrasi dari andrographolide adalah 20,9
% di otak, 14,9% di limfa, 11,1% di janting, 10,9% di paru –paru, 8,6% di
rectum, 7,9% di ginjal, 5,6% di hati , 5,1% di uterus dan ovarium, dan 3,2%
di pencernaan . absorbs dan ekskresi sangat cepat. 80% dikeluarkan dalam 8
jam melalui urin dan saluran pencernaan sebanyak 90% dalam 48 jam
(Weibo, L., 1995).
Manfaat sambiloto yang telah lama dikenal adalah sebagai obat
luka karena digigit ular, antidiabetis, diuretik, obat disenteri, penurun panas,
obat batuk, hipertensi, hepatitis, dan tifus. Pemanfaatan tanaman sebagai
bahan obat berkaitan erat pula dengan kandungan kimia tanaman tersebut
yang dapat bersifat sebagai bahan bioaktif Kandungan kimia pada daun
sambiloto adalah andrografolid, andrografin, panikulin, kalmegin, clan
minyak atsiri. Selanjutnya menyatakan bahwa daun sambiloto bersifat
sebagai anti-platelet agregasi sehingga mencegah terjadinya penggumpalan
darah sehingga tidak terjadi radang. Selain itu kadar kalium yang tinggi
membantu tubuh untuk mengeluarkan air dan garam sehingga menurunkan
tekanan darah (Poeloengan, M. 2000).
Berdasarkan pada berbagai pemanfaatan daun sambiloto yang telah
umum dikenal maka pada penelitian ini dicoba diteliti sifat antibakteri daun
sambiloto pada tiga isolat bakteri gram negatif (Salmonella sp., Pasteurella
sp., dan Eschericia coli). Hal ini mengingat bahwa daun sambiloto telah
pula dimanfaatkan sebagai obat penyakit diare dan tipoid dan tiga isolat
bakteri uji tersebut merupakan bakteri patogen (Poeloengan, M. 2000).

8
2.3 Kumis Kucing (Orthosiphon spicatus B.B.S.)
Kumis kucing merupakan tanaman asli dari Indonesia.Tanaman
kumis kucing merupakan tumbuhan terna berbatang basah, tumbuh tegak,
dan tingginya 1-2 meter.Batang kumis kucing berbentuk segi empat, pada
buku-buku batang bagian bawah timbul akar.Daun kumis kucing merupakan
daun tunggal, tepi daun bergerigi dan berbulu halus, ujungnya
meruncing.Bunga tersusun dalam bentuk tandan dalam jumlah banyak,
berwarna putih keunguan (Dalimartha, 2009).
2.3.1 Taksonomi
Menurut Herbarium Bogoriense (2014), taksonomi daun kumis kucing
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Lamiales
Famili : Lamiaceae
Genus : Orthosiphon
Spesies : Orthosiphon aristatus (Blume) Miq.

2.3.2 Morfologi
Tanaman kumis kucing termasuk tumbuhan berbatang basah
(herba) yang tumbuh tegak. Diskripsi atau susunan tubuh tanaman kumis
kucing terdiri atas akar, batang, daun, bunga, dan buah (Rukmana, 1995).
Kumis kucing merupakan tumbuhan semak tahunan yang dapat
tumbuh mencapai 50-150 cm. Kumis kucing memiliki batang berkayu yang
berbentuk segi empat, beruas-ruas, serta bercabang dengan warna coklat
kehijauan. Daun kumis kucing merupakan daun tunggal yang berbentuk
bulat telur, dengan ukuran panjang 7-10 cm dan lebar 8-50 cm. Pada bagian
tepi daun bergerigi dengan ujung dan panjang runcing. Daun tipis dan
berwarna hijau. Bunga kumis kucing berupa bunga majemuk berbentuk
malai yang terletak di ujung ranting dan cabang dengan mahkota bunga

9
berbentuk bibir dan berwarna putih. Pada bunga terdapat kelopak yang
berlekatan dengan ujung terbagi empat dan berwarna hijau. Benang sari
pada bunga berjumlah empat dengan kepala sari berwarna ungu. Sedangkan
putik pada bunga berjumlah satu dan berwarna putih. Kumis kucing
memiliki buah berbentuk kotak dan bulat telur, yang berwarna hijau ketika
masih muda dan berubah warna menjadi hitam setelah tua. Biji kumis
kucing berukuran kecil dan berwarna hijau ketika masih muda yang
menghitam setelah tua. Perakaran kumis kucing merupakan akar tunggang
berwarna putih kotor (Hutapea, 2000).
2.3.3 Kandungan dan Manfaat
Pada umumnya, kumis kucing memiliki kandungan kimia berupa
alkaloid, saponin, flavonoid dan polifenol (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1987), zat samak, orthosiphon glikosida, minyak lemak,
sapofonin, garam kalium (0,6-3,5%) dan myoinositol (Hariana, 2007), serta
minyak atsiri sebanyak 0,02-0,06 % yang terdiri dari 6 macam
sesquiterpenes dan senyawa fenolik, glikosida flavonol, turunan asam
kaffeat. Hasil ekstraksi daun dan bunga Orthosiphon stamineus Benth.
Ditemukan methylripariochromene A atau 6-(7, 8-dimethoxyethanone).
Juga ditemukan 9 macam golongan senyawa flavon dalam bentuk aglikon, 2
macam glikosida flavonol, 1 macam senyawa coumarin, scutellarein, 6-
hydroxyluteolin, sinensetin (Yulaikhah, 2009).
Secara empiris daun kumis kucing telah digunakan oleh masyarakat
dalam pengobatan tradisional, antara lain sebagai peluruh air seni,
mengobati batu ginjal, mengobati kencing manis, penurun tekanan darah
tinggi serta mengobati encok (Hutapea, 2000). Pada prinsipnya kumis
kucing digunakan sebagai diuretik, ekstrak alkohol-air dari kumis kucing
memicu urinasi dan sekresi ion Na+ pada tikus (Wiart, 2006).

10
2.4 Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight.) Walp
Daun salam merupakan tanaman obat asli Indonesia yang banyak
digunakan oleh masyarakat. Di beberapa daerah Indonesia, daun salam
dikenal sebagai salam (Jawa, Madura, Sunda); gowok (Sunda); kastolam
(kangean, Sumenep); manting (Jawa), dan meselengan (Sumatera). Nama
yang sering digunakan dari daun salam, di antaranya ubar serai, (Malaysia);
Indonesian bay leaf, Indonesian laurel, Indian bay leaf (Inggris); Salamblatt
(Jerman) (Utami dan Puspaningtyas, 2013). Sejak dahulu, daun salam
(Syzygium polyanthum (Wight.) Walp atau Eugenia polyantha Wight) telah
dikenal sebagai salah satu tanaman yang memiliki manfaat dalam bidang
medis (Winarto, 2004). Secara empiris, daun salam dapat digunakan untuk
hipertensi, diabetes, diare, gastritis, penyakit kulit. Tanaman ini juga
memiliki manfaat lain seperti efek diuretik dan analgesik (Utami, 2005).
2.4.1 Taksonomi
Taksonomi tanaman salam menurut Van Steenis (2003), adalah :
Kingdom : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Order : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Syzygium
Species : Syzygium polyanthum (Wight.) Walp

2.4.2 Morfologi
Tanaman salam berupa pohon yang mempunyai ketinggian sekitar
20 meter dan sangat baik dibudidayakan di daerah ketinggian 5-1000 meter
dari permukaan laut. Pemeliharaan tanaman ini cukup mudah dengan lahan
yang jumlah air di dalam tanah yang cukup serta dapat tumbuh dengan baik
di daerah terbuka dengan unsur hara dalam tanaman seimbang (Winarto,
2004).
Daun salam merupakan daun tunggal yang berbentuk lonjong
sampai elips, letak berhadapan, panjang tangkai 0,5-1 cm, ujung meruncing,

11
pangkal runcing, tepi rata, panjang daun 5-15 cm dengan lebar 3-8 cm,
pertulangan menyirip, permukaan atas daun licin berwarna hijau tua, dan
permukaan bawah berwarna hijau muda serta daun salam memiliki bau
wangi (Utami dan Puspaningtyas, 2013).
2.4.3 Kandungan dan Manfaat
Daun salam banyak mengandung tanin, flavonoid, minyak atsiri,
seskuiterpen, triterpenoid, steroid, sitral, saponin, dan karbohidrat
(Moeloek, 2006). Daun salam juga mengandung beberapa vitamin, di
antaranya vitamin C, vitamin A, vitamin E, thiamin, riboflavin, niacin,
vitamin B6, vitamin B12, dan folat. Beberapa mineral pada daun salam
yaitu selenium, kalsium, magnesium, seng, sodium, potassium, besi, dan
phosphor (Wartini, 2009).
Tanin dan flavonoid merupakan bahan aktif yang mempunyai efek
anti inflamasi dan antimikroba (Lelono dan Tachibana, 2013). Aktivitas
biologi minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent),
menarik (attractant), racun kontak (toxic), racun pernafasan (fumigant),
mengurangi nafsu makan (antifeedant), menghambat peletakan telur (I),
menghambat petumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai antiserangga
vektor (Hartati, 2012).
Menurut Goldman dan Cohen (1973), daun salam dapat juga
digunakan pada kasus periodontitis. Perawatan periodontitis bersifat
mekanis (scalling, curretage, atau gingivectomy) dan secara kimia
(pembilasan oral).
Selain itu, berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh Muhtadi et. al (2010) dapat ditunjukkan tentang berbagai manfaat lain
dari daun salam, yaitu mengurangi dyslipidemia dan potensi dalam
menurukan asam urat.

12
2.5 Alang- alang (Imperata cylindrica)
Imperata cylindrica atau yang biasa disebut dengan alang-alang
adalah sejenis rumput berdaun tajam, yang kerap menjadi gulma yang
berbahaya di Asia Tenggara. (Brook. 2014) Penggunaan alang-alang
sebelumnya di pertimbangkan sebagai gulma yang sering merusak pertanian
atau tanaman lain di kepulauan Indonesia, namun alang-alang sekarang
memiliki peran penting di ranah kesehatan dan digunakan sebagai obat
tradisional (Hidayat dan Rachmadiyanto, 2017).
2.5.1 Taksonomi
Menurut Pramono (2002), klasifikasi dari tumbuhan alang-alang adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Imperata
Spesies : Imperata cylindrica

2.5.2 Morfologi
Morfologi dari tumbuhan Imperata cylindrica yaitu memiliki akar
serabut yang tumbuh dari pangkal batang dan ruas-ruas pada rimpang.
Batangnya berbentuk pita, berwarna hijau, permukaan daun kasar. Batang
rimpang, merayap di bawah tanah pada kedalaman 0-20cm namun dapat
ditemukan hingga kedalaman 40cm., batang tegak membentuk satu
perhubungan yang padat. Memiliki daun tunggal yang saling menutupi
helaian. Berbentuk runcing tajam, tegak dan kasar. Daun alang-alang
memiliki panjang sekitar 12-80cm dengan lebar 5-18mm. Susunan bunga
majemuk, memiliki bulir yang majemuk dan agak menguncup. Kepala putik
berbentuk seperti bulu ayam dan berwarna keunguan, serta benang sari
berwarna kekuninga. Berbuah seperti padi. Bunga berupa bulir, di bagian
atas bunga sempurna dan yang di bawah bunga mandul. Bunga mudah

13
diterbangkan oleh angin. Dan yang terakhir memiliki biji berbentuk jorong
(Arisandi. 2008 ; Damaru. 2011).

2.5.3 Kandungan dan Manfaat


Dilihat dari kandungannya, Imperata cylindrica memiliki
kandungan α-selulosa 40,22%, holoselulosa 59,62%, hemiselulosa
(pentosan) 18,40% dan lignin 31,29%. (B, Wiwin, Adi & Sunardi. 2012)
Kandungan selulosa yang lebih dari 40% ini berpotensi menjadi bahan baku
untuk energi terbarukan, yaitu bioetanol. Hasil dari penelitian Kartikasari,
Nurhatika dan Muhibuddin (2013) menunjukan alang-alang (Imperata
cylindrica (L) berpotensi sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan
etanol optium sebesar 9,02% pada kosentrasi inokulum 10% dan waktu
fermentasi 7 hari.

2.6 Seledri (Apium graveolens L.)


Seledri (Apium graveolens L.) berasal dari Eropa Selatan. Tanaman
ini sudah ditemukan dalam sisa kubur Tutankhamun, raja Mesir. Pertama
kali dijelaskan oleh Carolus Linnaeus (spesies Plantanum, 1753). Di
Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama seledri (Agoes, 2010).
2.6.1 Taksonomi
Menurut Fazal dan Singla (2012), klasifikasi dari tumbuhan seledri adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Magnolisia
Sub-kelas : Rosidace
Ordo : Apiacedes
Family : Apiaceae
Genus : Apium.
Spesies : Apium graveolens

14
2.6.2 Morfologi
Batang Apium graveolens dapat tumbuh dengan ketinggian 1
meter. Batang tidak berkayu, beralus, beruas, bercabang, tegak, dan
berwarna hijau pucat. Daunnya tipis majemuk, daun muda melebar atau
meluas dari dasar, hijau mengilat, segmen dengan hijau pucat, tangkai
disemua atau kebanyakan daun. Daun bunganya berwarna putih kehijauan
atau putih kekuningan, yang panjangnya sekitar ½ - ¼ mm. Bunganya
tunggal, dengan tangkai yang jelas, sisi kelopak yang tersembunyi, daun
bunga putih kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung yang bengkok.
Bunga betina majemuk, tidak bertangkai atau bertangkai pendek, sering
mempunyai daun berhadapan atau berbatas dengan tirai bunga. Tirai bunga
tidak bertangkai atau dengan tangkai bunga tidak lebih dari 2 cm
panjangnya. Panjang buahnya sekitar 3 mm, batang angular, berlekuk,
sangat aromatik, dan akarnya tebal (Agoes, 2010).
2.6.3 Kandungan dan Manfaat
Seluruh herba seledri mengandung glikosoda apiin (glikosida
flavon), isoquersetin, dan umbeliferon. Juga mengandung mannite, inosite,
asparagine, glutamine, choline, linamarose, pro-vitamin A, vitamin C, dan
B. Kandungan asam-asam dalam minyak atsiri pada bji antara lain asam-
asam resin, asam-asam lemak terutama palmitat, oleat, linoleat, dan
proteselinat. Senyawa kumarin lain ditemukan dalam biji yaitu bergapten,
seselin, isomperatorin, osthenol, dan isopimpilenin (Agoes, 2010).
Herba seledri merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki
khasiat yang penting bagi manusia. Herba seledri secara turun-temurun telah
digunakan sebagai obat tradisional untuk memperlancar pencernaan,
penyembuhan demam, flu, penambah nafsu makan dan penurun tekanan
darah tinggi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kandungan senyawa
kimia dalam herba seledri memiliki aktivitas sebagai antimikroba,
antihipertensi, antioksidan, antiketombe, antidepresan, dan anti-inflamasi
(Waisnawa, 2015).

15
2.7 Kunyit (Curcuma domestica Val)
Kunyit merupakan salah satu jenis tanaman obat yang banyak
memiliki manfaat dan banyak ditemukan diwilayah Indonesia. Kunyit
merupakan jenis rumput – rumputan, tingginya sekitar 1 meter dan
bunganya muncul dari puncuk batang semu dengan panjang sekitar 10 – 15
cm dan berwarna putih. Umbi akarnya berwarna kuning tua, berbau wangi
aromatis dan rasanya sedikit manis. Bagian utamanya dari tanaman kunyit
adalah rimpangnya yang berada didalam tanah. Rimpangnya memiliki
banyak cabang dan tumbuh menjalar, rimpang induk biasanya berbentuk
elips dengan kulit luarnya berwarna jingga kekuning – kuningan (Hartati
dan Balittro, 2013).

2.7.1 Taksonomi
Dalam taksonomi tumbuhan, kunyit dikelompokkan sebagai berikut
(Winarto, 2004) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma domestica Val

2.7.2 Morfologi
Kunyit memiliki batang semu yang tersusun dari kelopak atau
pelepah daun yang saling menutupi. Batang kunyit bersifat basah karena
mampu menyimpan air dengan baik, berbentuk bulat dan berwarna hijau
keunguan. Tinggi batang kunyit mencapai 0,75 – 1m (Winarto, 2004).
Daun kunyit tersusun dari pelepah daun, gagang daun dan helai
daun. Panjang helai daun antara 31 – 83 cm. lebar daun antara 10 – 18 cm.
daun kunyit berbentuk bulat telur memanjang dengan permukaan agak

16
kasar. Pertulangan daun rata dan ujung meruncing atau melengkung
menyerupai ekor. Permukaan daun berwarna hijau muda. Satu tanaman
mempunyai 6 – 10 daun (Winarto, 2004).
Bunga kunyit berbentuk kerucut runcing berwarna putih atau
kuning muda dengan pangkal berwarna putih. Setiap bunga mempunyai tiga
lembar kelopak bunga, tig lembar tajuk bunga dan empat helai benang sari.
Salah satu dari keempat benang sari itu berfungsi sebagai alat pembiakan.
Sementara itu, ketiga benang sari lainnya berubah bentuk menjadi heli
mahkota bunga (Winarto, 2004).
Rimpang kunyit bercabang – cabang sehingga membentuk rimpun.
Rimpang berbentuk bulat panjang dan membentuk cabang rimpang berupa
batang yang berada didalam tanah. Rimpang kunyit terdiri dari rimpang
induk atau umbi kunyit dan tunas atau cabang rimpang. Rimpang utama ini
biasanya ditumbuhi tunas yang tumbuh kearah samping, mendatar, atau
melengkung. Tunas berbuku – buku pendek, lurus atau melengkung. Jumlah
tunas umumnya banyak. Tinggi anakan mencapai 10,85 cm (Winarto,
2004).

2.7.3 Kandungan dan Manfaat


Kandungan utama dalam rimpang kunyit diantaranya adalah
minyak atsiri, kurkumin, resin, oleoresin, desmetoksikurkumin,
bidesmetoksikurkumin, lemak, protein, kalsium, fosfor dan besi. Kebutuhan
kunyit setiap tahunnya meningkat sampai 2% sehingga diperlukan bahan
tanaman yang cukup tinggi. Di tingkat industri obat tradisional di Jawa
Tengah, kebutuhan kunyit mencapai 1,355 ton/tahun berat segar dan
menempati urutan ke empat terbesar setelah bahan baku obat lainnya.
Kunyit tumbuh baik di bawah naungan/tegakan hutan dengan kisaran
intensitas cahaya matahari mencapai 70%. Naungan sekitar 30 % cukup
untuk pertumbuhan tanaman. Banyak lahan di tingkat petani yang dapat
dimanfaatkan untuk tujuan tersebut (Said, 2007).
Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut
kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin dan

17
bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya. Rimpang kunyit
mengandung 28% glukosa, 12% fruktosa, 8% protein, dan kandungan
kalium dalam rimpang kunyit cukup tinggi, 1,3-5,5% minyak atsiri yang
terdiri 60% keton seskuiterpen, 25% zingiberina dan 25% kurkumin berserta
turunannya. Keton Seskuiterpen yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah
tumeron dan antumeron, sedangkan kurkumin dalam rimpang kunyit
meliputi kurkumin (diferuloilmetana), dimetoksikurkumin (hidroksisinamoil
feruloilmetan), dan bisdemetoksi-kurkumin (hidroksisinamoilmetana) (Said,
2007).
Kunyit memiliki efek farmakologis seperti, melancarkan darah dan
vital energi, menghilangkan sumbatan peluruh haid, antiradang (anti–
inflamasi), mempermudah persalinan, antibakteri, memperlancar
pengeluaran empedu (kolagogum), peluruh kentut (carminative)dan
pelembab (astringent) (Said, 2007).
Kunyit mempunyai khasiat sebagai jamu dan obat tradisional untuk
berbagai jenis penyakit, senyawa yang terkandung dalam kunyit (kurkumin
dan minyak atsiri) mempunyai peranan sebagai antioksidan, antitumor dan
antikanker, antipikun, menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam darah
dan hati, antimikroba, antiseptic dan antiinflamasi(Hartati & Balittro, 2013).
Kunyit mengandung curcumin yang dapat mempercepat
penyembuhan luka. Curcumin dapat meningkatkan re – epitelialisasi,
menekan radang, meningkatkan densitas kolagen jaringan serta
meningkatkan proliferasi dari fibroblast (Partomuan, 2009).
Sifat kunyit yang dapat menyembuhkan luka sudah dilaporkan
sejak tahun 1953. Hasil penelitian menunjukkan, dengan kunyit laju
penyembuhan luka meningkat 23,3% pada kelinci dan 24,4% pada tikus
(Ide, 2011).
Pemberian kurkumin secara oral juga efektif dapat mengurangi
inflamasi pada binatang percobaan. Oleh karena itu kunyit sering digunakan
sebagai antiseptic, obat luka dan obat berbagai jenis infeksi serta penyakit
kulit lainnya (Hartati & Balittro, 2013).

18
2.8 Pare (Memordica charantia)
Pare atau Memordica charantia mempunyai banyak nama di
beberapa daerah di antaranya paria, pare (Jawa) poya, pudu (Sulawesi)
papariane (Maluku) paya (Nusa Tenggara). Pare banyak terdapat di daerah
tropis tumbuh baik di dataran rendah dan dapat ditemukan tumbuh liar di
tanah terlantar, tegalan, atau dibudidayakan dan ditanam di pekarangan
dengan dirambatkan di pagar untuk diambil buahnya. Tanaman ini tidak
memerlukan banyak sinar matahari sehingga dapat tumbuh subur di tempat-
tempat yang agak terlindung. (Suwarto, 2010).

2.8.1 Taksonomi
Taksonomi tumbuhan pare adalah sebagai berikut :
Division : Spermatophyta
Subdivision : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Cucurbitales
Family : Cucurbitaceae
Genus : Momordica
Spesies : Momordica charantia

2.8.2 Morfologi
Pare tumbuh menjalar atau merambat dengan sulur yangberbentuk
spiral, daunnya berbentuk tunggal, berbulu, berbentuk lekuk, dan bertangkai
sepanjang ± 10 cm serta bunganya berwarna kuning muda. Batang pare
dapat mencapai panjang± 5 cm dan berbentuk segilima. Memiliki buah
menyerupai bulat telur memanjang dan berwarna hijau, kuning sampai
jingga dengan rasa yang pahit (Suwarto, 2010).
Permukaan buah berbintil bintil dengan daging buah yang agak
tebal dan di dalamnya terdapat sejumlah biji yang keras berwarna coklat

19
kekuningan. Biji buah pare ini digunakan sebagai alat perbanyakan tanaman
secara generatif. Pare dapat tumbuh baik di daerah tropis sampai pada
ketinggian 500m/dpl, suhu antara 18°C-24°C, kelembaban udara yang
cukup tinggi antara 50%-70% dan dengan curah hujan yang relatif rendah.
Tanaman ini dapat tumbuh dengan subur sepanjang tahun dan tidak
tergantung kepada musim. Tanah yang paling baik bagi pare adalah tanah
lempung berpasir yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik,
aerasi,dan drainase yang baik (Kristiawan, 2011).

2.8.3 Kandungan dan Manfaat


Daun pare mengandung momordicine, momordin, charantine, asam
trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A dan C serta minyak
lemak terdiri atas asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan lemak
oleostearat. Buah mengandung fixed oil, insulin like peptide, glykosides
(momordine dancharantin), alkaloid momordicin), hydroxytryptamine,
vitamin A, B dan C, peptide yang menyerupai insuline dapat menurunkan
kadar glukosa dalam darah dan urine. Biji mengandung momordicine
(Dalimartha, 2008)
1. Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah
sering menyebabkan hemolisis. Beberapa saponin tertentu bekerja sebagai
antimikroba dan saponin tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh
dari beberap tumbuhan dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan
baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang
kesehatan. Saponin merupakan glikosida yang larut dalam air dan etanol
tetapi tidak larut dalam eter. Saponin merupakan glikosida yang mempunyai
metabolit sekunder yang banyak terdapat dialam terdiri dari gugus gula
yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. (Dalimartha, 2008)
2. Triterpen
Sejak diketahui bahwa tanaman Pare berkhasiat terhadap kesehatan
maka beberapa penetiti berusaha mengetahui dan mengisolasikan bahan

20
yang terkandung dalam tanaman Pare. Sebagai tumbuhan bangsa
Cucurbitaceae, juga mengandung bahan yang tergolong dalam glikosida
triterpen atau kukurbitasin. Hasil isolasi dan ekstrak biji Pare didapatkan
beberapa jenis momordikosida yakni, momordikosida A (C42H72O15),
momordikosida B (C42H80,C19), momordikosida C (C42,H72O14),
momordikosida D (C42H70C13) dan momordikosida E (C51H74O19).
Isolasi dari ekstrak buah Parediperoleh empat jenis momordikosida
yang tidak pahit rasanya yaitu, momordikosida F1 (C45H68O12),
momordikosida F2 (C36H58O8), momordikosida G (C45H68O12) dan
momordikosida I (C36H58O8) (Adimunca, 1996). Bersamaan dengan itu,
telah pula diperoleh jenis momordikosida utama yang pahit yaitu,
momordikosida K (C37H58O9), dan momordikosidaL (C36H58O9)(10).
Diduga jenis momordikosida K dan L inilah yang bersifat sitotoksik. Di
samping itu dan ekstrak daun telah pula diisolasi glikosida kukurbitasin
yaitu jenis momordisin. Terdapat tiga jenis yakni, momordisin I
(C30H48O4), momordisin II (C36H58O9) dan momordisin III
(C48H68O16) (Dalimartha, 2008).
3. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar yang yang umumnya mudah
larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, air dll.
Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikone flavonoid. Adanya gula yang terikat pada flavonoid
cenderung menyebabkan flavonoid mudah larut dalam air (Dalimartha,
2008).

2.9 Daun Sirih (Piper betle L.)


Sirih merupakan tanaman terna, tumbuh merambat
atau menjalar menyerupai tanaman lada.Tinggi tanaman bisa mencapai 15
m, tergantung pada kesuburan media tanam dan media untuk merambat.
Batang sirih berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bulat, berkerut, dan
beruas yang merupakan tempat keluarnya akar.
2.9.1 Taksonomi

21
Kedudukan taksonomi tanaman sirih dalam sistematika tumbuhan menurut
Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L.

2.9.2 Morfologi
Morfologi daun sirih berbentuk jantung, berujung runcing,
tumbuh berselang-seling, bertangkai, teksturnya agak kasar jika diraba,
dan mengeluarkan bau khas aromatis jika diremas. Panjang daun 6-17,5
cm dan lebar 3,5-10 cm. Sirih memiliki bunga majemuk yang berbentuk
bulir dan merunduk. Bunga sirih dilindungi oleh daun pelindung yang
berbentuk bulat panjang dengan diameter 1 mm. Buah terletak
tersembunyi atau buni, berbentuk bulat, berdaging, dan berwarna kuning
kehijauan hingga hijau keabu-abuan. Tanaman sirih memiliki akar
tunggang yang bentuknya bulat dan berwarna cokelat kekuningan
(Koensoemardiyah, 2010).

2.9.3 Kandungan dan Manfaat


Kandungan kimia utama yang memberikan ciri khas daun sirih
adalah minyak atsiri. Selain minyak atsiri, senyawa lain yang menentukan
mutu daun sirih adalah vitamin, asam organik, asam amino, gula, tanin,
lemak, pati, dan karbohidrat. Komposisi minyak atsiri terdiri dari senyawa
fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%). Komponen utamanya eugenol
(sampai 42,5 %), karvakrol, chavikol, kavibetol, alilpirokatekol, kavibetol
asetat, alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metileter, p-simen,
karyofilen, kadinen, dan senyawa seskuiterpen (Darwis, 1992).
Daun sirih mempunyai khasiat sebagai obat batuk, obat bisul,

22
obat sakit mata, obat sariawan, dan obat hidung berdarah (Syamsuhidayat
dan Hutapea,1991). Khasiat dari daun sirih ini selain sebagai styptic
(penahan darah) dan vulnerary (obat luka pada kulit) juga berdaya
antioksida, antiseptik, fungisida dan bahkan sebagai bakterisidal. Hal ini
juga dikatakan oleh Widarto (1990) bahwa daun sirih mengandung
minyak atsiri yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba. Minyak
atsiri dan ekstrak daun sirih mempunyai aktivitas terhadap beberapa
bakteri Gram positif dan Gram negatif (Darwis, 1992).

2.10 Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb)


Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) adalah salah satu
tumbuhan obat keluarga Zingiberaceae yang banyak tumbuh dan digunakan
sebagai bahan baku obat tradisional di Indonesia (Sidik et al. 1992; Prana
2008). Tumbuhan temulawak secara empiris banyak digunakan sebagai obat
tunggal maupun campuran. Terdapat lebih dari dari 50 resep obat tradisional
menggunakan temulawak (Achmad et al. 2007).
2.10.1 Taksonomi
Temulawak merupakan tanaman obat yang secara alami sangat
mudah tumbuh di Indonesia dengan dukungan kondisi iklim dan tananhnya
telah lama digunakan sebagai bahan pembuatan jamu. Selama periode 1985-
1989 Indonesia mengekspor temulawak sebanyak 36.602 kg senilai US
21.157,2 setiap tahun (Menegristek, 2009).
Temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun.
Rimpang induk temulawak bentuknya bulat telur, rimpang cabang terdapat
disampingnya berbentuk memanjang. Tiap rumpun tanaman temulawak
umumnya memiliki 6 buah rimpang tua dan 5 buah rimpang muda.
Menurut Rukmana (1995), kedudukan taksonomi temulawak
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae

23
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma Xanthorriza Roxb.

2.10.2 Morfologi
Temulawak termasuk tanaman berbatang basah. Tingginya dapat
mencapai 2,5 m. Bunganya berwarna putih kemerah-merahan atau kuning.
Panjang tangkai bunga 1,5-3 cm. kelompok bunga 3-4 buah. Bunganya
langsung keluar dari rimpang dan berwarna merah, kelopak hijau muda,
sedangkan pangkal bunga bagian atas berwarna ungu (Hermani, 2005).

2.10.3 Kandungan dan Manfaat


Rimpang temulawak mengandung protein, pati, zat warna kuning
kurkuminoid (yang terdiri dari dua komponen yaitu kurkumin dan
kurkuminoid), serta minyak atsiri. Pati merupakan komponen terbesar
dalam temulawak, sekitar 29-34%. Pati ini adalah jenis yang mudah dicerna
sehingga baik untuk makanan bayi atau makanan orang yang baru sembuh
dari sakit (Hermani, 2005).
Kandungan zat pada temulawak yaitu minyak atsiri yang
bermuatan felandren dan turmerol, terdapat juga kurkumin dan pati dengan
dosis 0,5 gram sampai 1 gram sangat baik untuk antipasmodika dan obat
kolagoga (Kartasapoetra, 2001)
Manfaat Temulawak menurut fauzi (2009) Temulawak berkhasiat
untuk pengobatan, diantaranya yaitu :
a. Mengobati bau badan yang kurang sedap
Ambilah sebuah rimpang temulawak. Parut dan rebus dengan air 1
liter. Dinginkan terlebih dahulu sebelum diminum.
b. Membersihkan darah
Rimpang temulawak diiris tipis, lalu dijemur hingga kering.
Rimpang ini diseduh dengan air hangat, kemudian diminum seperti

24
the. Agar tidak terlalu pahit, sewaktu meminumnya dapat dicampur
dengan gula merah.

c. Penyakit ekstrim
Siapkan rimpang temulawak sebesar telur ayam dan asam kawak
sebesar telur merpai. Masak bahan dengan dua gelas air dan
ditambahkan sedikit gula aren. Biarkan hingga mendidih dan
airnya tinggal 1 gelas saja. Saring airnya dan diminum selagi
hangat. Pengobatan ini dilakukan setiap hari selama sebulan.
d. Mengobati penyakit kuning, demam malaria dan sembelit, serta
bias untuk memperbanyak ASI
Rimpang diparut dan diperas airnya, kemudian diminum. Dapat
juga dengan minum air rebusan rimpang temulawak yang kering.
e. Badan yang terlalu capek
Ambil dan bersihkan rimpang temulawak sebanyak 50 gram. Perut
rimpang sampai halus dan tambahkan air secukupnya, lalu
diminum. Lakukan hal ini 2 kali sehari, cukup 1 gelas. Bila perlu
dapat ditambahkan madu atau air gula aren

25
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat Pelaksanaan


Tugas pengenalan profesi Blok XIX ini akan dilaksanakan di
Puskesmas Kampus Kota Palembang.

3.2 Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi tentang “Mengamati Tanaman Herbal dan
Pemanfaatannya di Puskesmas Kampus akan dilaksanakan pada Mei 2018.

3.3 Objek Pelaksanaan


Objek pelaksanaan tugas pengenalan profesi Blok XIX adalah tanaman
herbal di Puskesmas Kampus Kota Palembang.

3.4 Alat dan Bahan


1. Alat Tulis
2. Kuisioner
3. Kamera

3.5 Langkah Kerja


1. Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi
2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
3. Meminta surat jalan dari kampus untuk melaksanakan TPP
4. Mengamati dan mengidentifikasi tanaman herbal di Puskesmas Kampus
Kota Palembang.
5. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi dari data yang sudah
didapatkan.

26
6. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu
kesimpulan.
7. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu
kesimpulan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.

Arisandi Y. 2008. Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Pustaka Buku Merah.

Banerjee, S., Mullick, H. I., & Banerjee, J. 2011. Zingiber Officinale: A


Natural Gold. International Journal of Pharma and Bio Sciences Vol.
2/Issue 1/Jan-Mar 2011. (cited May 29th 2018) available from
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?
doi=10.1.1.294.2068&rep=rep1&type=pdf

Brook. Review of literature on Imperata Cylindrica (L.) Raeuschel with


Particular Reference to South East Asia.2014 Oktober diakses 28 Mei
2018 (Tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/240527755_Review_of_liter
ature_on_Imperata_cylindrica_L_Raeuschel_with_particular_referenc
e_to_South_East_Asia )

B. Sutiya, Wiwin T.I, Adi R., dan Sunardi. Kandungan Kimia dan Sifat
Serat Alang-Alang (Imperata Cylindrica) Sebagai Gambaran Bahan
Baku Pulp dan Kertas. Bioscientiae Vol. 9, No. 1 .2012. Jan 8-19.

Dalimartha, Setiawan. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Jilid 6. Jakarta: PT


Pustaka Bunda.

Damaru. 2011. Alang-alang. Makalah Ekologi Tumbuhan. Universitas


Sumatera Utara. Medan.

Dalimartha, S. 2008. Herbal untuk pengobatan reumatik. Jakarta: penebar


swadaya.

Fazal, S.S., Singla, R.K., 2012, Review on the Pharmacognosticaland


Pharmacological Characterization of Apiumgraveolens Linn. Ind Glob
J. Pharma Scie., 2(3) : 258-261

Goldman H. M., dan Cohen D.W. 1973. Periodontal therapy. 5th ed. St.
Louis: Mosby Co.

Hariana, A.H., 2007., Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 2. Cetakan


Ketiga. Jakarta: Penebar Swadaya

Hartati, S.Y., Balittro. (2013). Khasiat Kunyit Sebagai Obat Tradisional


dan Manfaat Lainnya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri. Jurnal Puslitbang Perkebunan. 19 : 5 - 9.

28
Herbarium Bogoriense.2014. Identifikasi Tumbuhan.Bogor: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Hutapea, J. R., 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid 1.


Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, Jakarta.

Ide, P. (2011). Health Secret of Tumeric. Jakarta : PT. Alex Media


Komputindo.

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Obat Herbal Tradisional.


2014 September (diakses 28 Mei 2018) Tersedia di
http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/publication/465
1421058307.pdf

Kristiawan, B. 2011. Budidaya Tanaman Pare Putih (Momordica


charanticaL.) diaspakusa makmur UPT Usaha Pertanian Teras
Boyolali. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Lelono, R.A.A. dan Tachibana, S., 2013, Bioassay-guided isolation and


identification of antioxidative compounds from the bark of Eugenia
polyantha. Pakistan Journal of Biological Sciences. (Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24498834 tanggal 29 Maret
2018)

Mahatma, A.B., Mulyono, N., 2005. Pengembangan bahan alam dalam


industri obat beserta permasalahannya. Simposium Nasional. Hal 41.

Menteri Kesehatan RI, 2007, Kebijakan Obat Tradisional Nasional Tahun


2007, Depkes RI, Jakarta.

Moeloek FA. 2006. Herbal and traditional medicine: National


perspectivesand policies in Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia.
(Diakses dari http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=62586&val=4562 tanggal 29 Maret 2018)

Muhtadi., Suhendi, A.W, Nurcahyanti., Sutrisna, E.M. 2010. Potensi Daun


Salam (Syzigium polyanthum Walp.) dan Biji Jinten Hitam (Nigella
sativa Linn) sebagai Kandidat Obat Herbal Terstandar Asam Urat.
(Diakses dari http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/
123456789/3207 tanggal 29 Maret 2018)

Mujim, S. 2010. Pengaruh Ekstrak Rimpang Jahe (Zingiber Officinale


Rosc.) Terhadap Pertumbuhan Pythium Sp. Penyebab Penyakit Rebah
Kecambah Mentimun Secara In Vitro. J. HPT Tropika. ISSN 1411-
7525 sp. 59 Vol. 10, No. 1: 59 – 63, Maret. (cited May 29th 2018)
available from https://media.neliti.com/media/publications/81262-ID-
pengaruh-ekstrak-rimpang-jahe-zingiber-o.pdf

29
Poeloengan, M. 2000. Daerah hambat ekstrak sambiloto (andrographis
paniculata Ness.) pada tiga isolasi bakteri. Bogor : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Biologi LIPI diakses dari :
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro00-80.pdf

Prapanza, E. Dan Marianto, L.M. 2003. Khasiat & Manfaat Sambiloto:


Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Agro Media Pustaka. Hal: 3–9.
Dalam Widiyanti P.2007. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40
: Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees).
Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara

Pramono, S., 2002, Kontribusi bahan obat alam dalam mengatasi krisis
bahan obat di Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia, 1

Rukmana, R., 1995. Kumis Kucing, 13-19, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Sari, L. 2006. Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat


dan keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, 3(1), 01-07.
(http://www.stikes-khkediri.ac.id/download/180092197lusia0301.pdf
diakses 28 Mei 2018)

Said, A. 2007. Khasiat dan Manfaat Kunyit.Jakarta : PT. Sinar Wadjar


Lestari.

Suwarto. 2010. Budidaya Tanaman Unggulan Perkebunan. Penebar


Swadaya. Jakarta

Syamsul, Rachmadiyanto; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.,


Utilization of Alang-alang (Imperata cylindrica (L.) Raeusch.) as
Traditional Medicine in Indonesian Archipelago.vol 1. 2017. LIPI-
17057

Terry, R., Posadzki, P., Watson, L.K., Ernst, E. 2011. The Use of Ginger
(Zingiber officinale) for the Treatment of Pain: A Systematic Review
of Clinical Trialspme. Pain Medicine; 12: 1808–1818. (cited May 29th
2018) available from https://watermark.silverchair.com/12-12-
1808.pdf?
token=AQECAHi208BE49Ooan9kkhW_Ercy7Dm3ZL_9Cf3qfKAc4
85ysgAAAcMwggG_BgkqhkiG9w0BBwagggGwMIIBrAIBADCCA
aUGCSqGSIb3DQEHATAeBglghkgBZQMEAS4wEQQMAZOlacub
xsgdaP3UAgEQgIIBduo5nBgx-
riATYwD33JmiH9unIjAGoSdD7ZyFPnZUYtP-R-
H7AlJNc9fmuBc3gQbG_AxSp-qj9upSEZha_LAOh3nb-
FHEefLKVBtn3H8oeK5f1Pgu0qDXUIUVH45C9RRAxNvy7pxSh-
ecsA39i_ygQ8xDD07MLgPGHk7HBCLP40XINdL9bagsMnIfhFLuF
qdVnDTpL3_rgi_3jW6H73ZaKf6pACgm3JdesGfHzPLoVRJBqBqc5
zs-c0x32-

30
pw_xSIFZuinEQX8V_Pfg7pcRnPKZkhr0U49Nsxc72iq6wiZAJvwh
M_k5F2_CLKLD0-
DFVMjmO4dHgyIkHVSOP984IZGOu15YJc8H3BM_ViFLDXijysT
FdQQiHV-
g1qK8z62_OUTNGjR2BLZ48desFljbCGiBeYfgb4bidIxzfNJ5vbxbo
Cv6ZnLttTX-
Hy7qJ3BivCg1cEnAN56ZFU8AuJEJnxL1TJcCuXtK_FFSjbA2V4f8r
GmQzAwdx

Utami, P. 2005. Tanaman Obat untuk Mengatasi Rematik dan Asam Urat.
Jakarta: Agromedia Pustaka.

Utami, P dan Puspaningtyas, D.E. 2013. The Miracle of Herbs. Jakarta:


Agro Media Pustaka.

Van Stenenis, C. G. G. J. 2003. Flora. Penerjemah: M. Soeryowinoto, dkk.


Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Wartini, N.M. 2009. Senyawa Penyusun Ekstrak Flavor Daun Salam
(Eugenia polyantha Wight) Hasil Distilasi Uap Menggunakan Pelarut
n-Heksana dan Tanpa n-Heksana. Jakarta: Agrotekno.

Waisnawa, N.G. 2015. Pemanfaatan Metode KLT - Spektrofotodensitometri


untuk Menentukan Sidik Jari Kromatografi Ekstrak Etanol Herba
Seledri (Apium graveolens Linn). Thesis. Bali: Universitas Udayana.

Wardani, E.T. 2012. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Rosc.) var.
Gajah Terhadap Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus) yang
Terpapar 2-Methoxyethanol. Surabaya: Universitas Airlangga.

Weibo, L. 1995. Andrographis, in-depth review. Available from:


http://www.altcancer.com.

Wiart, C., 2006. Medicinal Plants of the Asia-Pacific: Drugs for the Future,
World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore.

Winarto, W.P. 2004a. Memanfaatkan Bumbu Dapur untuk Mengatasi Aneka


Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Winarto, I.W. 2004b. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta: AgroMedia


Pustaka. pp 2 - 12.

Yulaikhah, Y. U., 2009. Pengaruh Kadar Bahan Pengikat Polivinil


Pirolidon Terhadap Sifat Fisik Tablet Effervescent Campuran Ekstrak
Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight.) dan Kumis Kucing
(Orthosiphon aristatus [Blume] Miq.). [skripsi]. Fakultas Farmasi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

31
Yusron, M., Januwati dan Rini, E. P. 2015. Budidaya Tanaman Sambiloto.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatika. Sirkuler. 11. Available from:
http://www.balittro.go.id.

32
LAMPIRAN
Kuesioner yang digunakan sewaktu melakukan wawancara.
Nama Responden :
Usia :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :

Pertanyaan Jawaban

1. Apa yang dimaksud dengan tanaman


1 herbal?

2. Kapan dimulainya penanaman tanaman


herbal di Puskesmas Kampus?

3. Apa tujuan penanaman tanaman herbal


A di Puskesmas Kampus?

4. Apa saja jenis tanaman herbal yang


terdapat pada Puskesmas Kampus?

5. Apa kandungan dari tanaman herbal


tersebut?

6. Apa saja manfaat dari tanaman herbal


tersebut?

7. Apakah terdapat tanaman herbal yang


sudah diproduksi untuk dijadikan obat
di Puskesmas Kampus?
8. Bagaimana khasiat dan pengaruh obat
tersebut terhadap penggunanya?

33

Anda mungkin juga menyukai