Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus mengenai syok anafilaksis

setelah diinduksi obat Cisatracurium

Taschiro Yuliartha

71 2017 046
Abstrak
• Laporan kasus mengenai syok anafilaktik berat yang disebabkan oleh
induksi cisatracurium. Seorang wanita berusia 30 tahun yang siap
menjalani konisasi serviks dan mempunyai riwayat alergi Penisilin. Tiba-
tiba terjadi kolaps jantung dan pembuluh darah yang berat setelah
pemberian obat-obat induksi anestesi umum seperti midazolam,
fentanyl, propofol dan cisatracurium.

• Kemudian pasien segera mendapatkan terapi anti syok anafilaktik.


Akhirnya pasien terselamatkan, akan tetapi operasinya dibatalkan. Skin
test terhadap alergen tersebut muncul hasil setelah 6 minggu, hasil
menunjukkan bahwa cisatracurium positif syok tersebut disebabkan
karena alergi terhadap cisatracurium. Untuk menghindari penggunaan
cisatracurium , operasi tidak dilakukan dengan anestesi umum tetapi
dengan anestesi epidural. Anestesi dilakukan lancar dan pasien kembali
ke bangsal dengan selamat.
Pendahuluan
• Berbagai obat akan digunakan saat pasien akan menjalani anestesi umum
dalam waktu singkat dan berbagai sisi efek samping dapat terjadi pada saat
bersamaan. Namun, reaksi alergi adalah reaksi yang mengancam jiwa.
Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa 90% dari alergi perioperatif
terjadi selama periode induksi anestesi sekitar 50% hingga 70% disebabkan
oleh obat-obat penghambat neuromuskular, suksinilkolin dan rocuronium
adalah yang paling sering, mikuronium dan cisatracurium jarang terjadi.
Angka insiden dari alergi cisatracurium yaitu 1/1388.
• Meskipun cisatracurium memiliki beberapa pelepasan histamin, akan tetapi
beberapa reaksi alergi serius yang telah dilaporkan sejak penggunaan klinis.
Alergi merupakan efek samping yang jarang terjadi akan tetapi dapat
menyebabkan kematian jika tidak didiagnosis tepat waktu dan diobati dengan
cepat.
• Selain itu, mengidentifikasi alergen adalah langkah paling penting untuk
mencegah terjadi kekambuhan. Laporan kasus ini melaporkan kasus syok
anafilaksis yang disebabkan oleh cisatracurium dengan teknik anestesi
umum. Hal ini upaya mengingatkan dokter anestesi untuk waspada terhadap
reaksi alergi yang terjadi saat induksi anestesi.
Laporan Kasus
• Seorang pasien perempuan 30 tahun dengan berat
badan 60 kg, ASA derajat I, didiagnosis dengan
neoplasia intraepitel serviks. Pasien tersebut siap
untuk menjalani konisasi serviks dengan anestesi
umum. Pasien dalam keadaan sehat dan memiliki
riwayat alergi penisilin, tidak ada riwayat alergi
makanan, semua pemeriksaan pra-operasi normal.
Pra-operasi rutin dilakukan puasa selama 10 jam,
dilakukan pemantauan di ruang operasi didapatkan
tekanan darah 120/70 mmHg, denyut jantung 70 x/
menit, saturasi oksigen 98%.
• Pasien tiba di ruang operasi tanpa obat premedikasi, anestesi diinduksi
dengan obat midazolam 1mg, fentanyl 0,2 mg, propofol 120 mg dan
cisatracurium 5 mg. Kemudian, saliva pasien tiba-tiba meningkat lalu
kami menggunakan suction untuk mengambi cairan saliva pasien,
saturasi oksigen menurun hingga 85%, lalu dimasukkan LMA ke jalan
napas pasien akan tetapi memperburuk ventilasi, tekanan jalan nafas
meningkat menjadi 28 cm H2O.

• Tanda tanda vital didapatkan tekanan darah menurun 70/35 mmHg,


denyut jantung menurun menjadi 105 x/menit, diberikan ephedrine
10mg intravena, tekanan darah tidak naik. Kemudian, kami berikan
obat phenylephrine hydrochloride 100 μg intravena dan drip 10 mg
phenylephrine hydrochloride dalam 100 ml NaCL 0,9 % intravena.
Tetapi tekanan darah masih tidak naik dan turun menjadi 52/30
mmHg, denyut jantung meningkat menjadi 120 x/menit, saturasi
oksigen tidak terukur. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema
konjungtiva.
• Lalu pasien didiagnosa syok anafilaktik. Kemudian kami
segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan pasien,
dengan memberikan 10 mg deksametason, disuntikkan 50 ug
epinefrin intravena, lalu drip 1 mg epinefrin dalam 250 ml
larutan NaCL intravena dengan cepat. Setelah 3 menit,
tekanan darah naik menjadi 80/42 mmHg, denyut jantung
meningkat menjadi 110 x/menit.

• Setelah 10 menit, tekanan darah naik menjadi 105/60 mmHg,


denyut jantung 90 x/menit dan tekanan jalan nafas turun
menjadi 20 cm H2O. Setelah tekanan darah mulai stabil dosis
epinefrin diturunkan secara perlahan. Setelah 20 menit
dilakukan tindakan, pasien mulai menggerakkan dan
membuka mata serta wajah menjadi bengkak. Pada saat ini,
tekanan darah 110/68 mmHg, denyut jantungnya 88 x /menit.
• Setelah dosis adrenaline/epinefrine ditutunkan ,
tekanan darah menjadi turun , hal ini terjadi
karena adrenaline berada di fase titik
keseimbangan.

• Pasien bisa bernapas secara spontan dan LMA


dikeluarkan. Tekanan darah menjadi 115/67
mmHg, denyut jantung was 85 x/menit,
saturation oksigen 98%. Kemudian pasien
dipindahkan ke ICU, kesadaran kompos mentis
dan pernapasan normal. Kami berhasil
menyelamatkan pasien.
• Setelah 6 minggu, pasien menjalani tes alergi
terhadap alergen seperti midazolam, propofol,
fentanyl, cisatracurium, rocuronium, lidocaine. Di
antara obat-obat tersebut, cisatracurium positif
(+) dan sisanya negatif (-). Untuk menghindari
penggunaan cisatracurium, operasi dilakukan
dengan anestesi epidural menggunakan 1,8%
lidokain 20 ml, tidak ada reaksi alergi yang terjadi
selama operasi. Operasi berjalan dengan baik dan
pasien kembali ke bangsal dengan selamat.
Pembahasan
• Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas sistemik yang
dapat mengancam jiwa. Hal ini terjadi karena
degranulasi sel mast atau basofil yang menghasilkan
pelepasan mediator yang terbentuk sebelumnya,
termasuk histamin dan triptase. Mediator ini dapat
mempengaruhi satu atau lebih sistem organ seperti kulit
,kardiovaskular, pernapasan, dan sistem pencernaan.
• Mekanisme yang menyebabkan degranulasi sel mast
dapat dibagi menjadi immunemediated reaction
(diperantarai IgE, anafilaksis) dan non-
immunemediated reaction (kimia, anafilaksis).
• Gejala kulit yang muncul umumnya disebabkan adanya reaksi alergi yang
dimediasi oleh non-IgE, sedangkan spasme bronkus dan gejala kardiovaskular
lebih sering terjadi pada reaksi alergi yang diperantarai IgE . Dalam laporan
kasus yang dilaporkan, pasien mengalami syok anafilaksis setelah diinduksi
obat-obat anestesi umum, dari pemeriksaan fisik ditemukan tidak ada ruam,
tetapi adanya edema konjungtiva dan kolaps pada kardiovaskular.

• Tes kulit terhadap alergen obat menunjukkan bahwa cisatracurium positif,


diagnosa kasus ini disebabkan karena hipersensitivitas yang dimediasi-IgE
berdasarkan manifestasi klinis dan tes kulit. Diagnosis dapat bergantung pada
hasil tes serologis dan test kulit. Tes serologis belum dilakukan pada kasus ini,
tetapi tes antibodi IgE alergen spesifik misalnya tes radiosensitivitas
diperlukan namun, tes ini belum tersedia untuk cisatracurium saat ini.
• Penggunaan dalam klinis skin test pada obat pelemas
otot sebagai prediktor memiliki nilai prediksi rendah
karena sebagian besar didapatkan hasil positif palsu
pada orang sehat yang tidak pernah menggunakan obat
pelemas otot.
• Karena itu, tes kulit pada obat pelemas otot tidak
direkomendasikan sebagai tes rutin sebelum operasi.
Namun, pasien dengan riwayat alergi terhadap obat
pelemas otot, dapat digunakan obat pelemas otot non-
encer untuk tes intradermal dan akupunktur memiliki
nilai prediksi tinggi.
• Namun, pasien ini mengalami reaksi alergi yang berat
setelah penggunaan obat pelemas otot. Hal ini
kemungkinan karena pasien telah terpapar beberapa
bahan kimia, seperti deterjen, desinfektan, dan
kosmetik yang memiliki karakteristik molekul yang
mirip dengan obat pelemas otot.
• Gugus amonium kuarter adalah komponen pada
umumnya, antibodi IgE yang diproduksi oleh antigen
tersebut bereaksi silang dengan obat pelemas otot .
Pada reaksi alergi, sebaiknya pasien untuk hindari
penggunaan obat pelemas otot pada tindakan anestesi
selanjutnya, baik anastesi umum atau lokal.
• Pada kasus ini, anestesi epidural digunakan dalam
operasi sehingga operasi berhasil.
• Kesimpulannya, jika dalam memasukkan obat-obat induksi anestesi,
terjadi penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, peningkatan denyut
jantung tiba-tiba dan peningkatan laju pernapasan dalam waktu yang
sangat singkat, hal ini dapat dikatakan telah terjadi syok anafilaktik.

• Langkah-langkah penyelamatan pasien juga harus dilakukan sedini


mungkin. Hal ini diantaranya dengan penghentian anestesi atau
sensitizer, periksa jalan napas, lakukan oksigenasi, rehidrasi cairan
intravena dengan cepat , penggunaan epinefrin karena epinefrin adalah
agonis reseptor alfa, dapat mengembalikan ketegangan pembuluh darah,
meringankan edema, merangsang reseptor β2 untuk meredakan bronko
spasme dan meningkatkan kontraktilitas jantung , pada saat yang sama
dapat menghambat pelepasan leukotrien dan histamin dan juga sebagai
mediator inflamasi.

• Epinefrin adalah pilihan pertama untuk menyelamatkan syok anafilaksis.


Syok anafilaktik dapat menyebabkan kematian hal ini terjadi karena
tidak menggunakan epinefrrin terlebih dahulu dalam menatalaksana syok
anafilaktik.
Daftar Pustaka
• 1. Berroa F, Lafuente A, Javaloyes G, et al. The incidence of perioperative hypersensitivity
reactions: a single-center, prospective, cohort study. Anesthesia and analgesia 121 (2015): 117-123.

•2. Krombach J, Hunzelmann N, Kőster F, et al. Anaphylactoid reactions after


cisatracurium administration in six patients. Anesth Analg 93 (2001): 1257-
1259.

• 3. Toh KW, Deacock SJ, Fawcett WJ. Severe anaphylactic reaction to


cisatracurium. Anesth Analg 88 (1999): 462-464.

•4. Clendenen SR, Harper JV, Wharen RE, et al. Anaphylactic reaction after
cisatracurium. Anesthesiology 87 (1997): 690-692.

•5. Briassoulis G, Hatzis T, Mammi P, et al. Persistent anaphylactic reaction


after induction with thiopentone and cisatracurium. Paediatr Anaesth 10
(2000): 429-434.
• 6. Kounis N, Kounis G. Anaphylactic cardiovascular collapse during anesthesia: the
Kounis acute hypersensitivity syndrome seems to be the most likely cause. J Korean
Med Sci 28 (2013): 638-639.

• 7. Johansson SG, Bieber T, Dahl R, et al. Revised nomenclature for allergy for global
use: Report of the Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization,
October 2003. J Allergy Clin Immunol 113 (2004): 832-836.

• 8. Mertes PM, Laxenaire MC, Alla F. Groupe d’Etudes des Réactions Anaphylactoïdes
Peranesthésiques Anaphylactic and anaphylactoid reactions occurring during anesthesia
in France in 1999-2000. Anesthesiology 99 (2004): 536-545.

• 9. Nel L, Eren E. Peri-operative anaphylaxis. Br J Clin Pharmacol 71 (2011): 647-658.


• 10. Toh KW, Deacock SJ, Fawcett WJ. Severe anaphylactic reaction to cisatracurium.
Anesth Analg 88 (1999): 462-464.

• 11. Kroigaard M, Garvey LH, Gillberg L, et al. Scandinavian clinical practice guidelines
on the diagnosis, management and follow-up of anaphylaxis during anaesthesia. Acta
Anaesthesiol Scand 51 (2007): 655- 700.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai