Anda di halaman 1dari 37

PENYAJIAN KASUS

A. Identitas
Nama
: An. S
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 6 tahun 4 bulan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Pahlawan, Roban, Singkawang Tengah
Tanggal Lahir
: 12 Desember 2008
Urutan Anak
: Anak pertama
Usia Ayah : 28 tahun
Usia Ibu
: 26 tahun
Tanggal MRS
: 6 April 2015
Identitas

Ayah

Ibu

Nama

Tn. A

Ny. W

Umur

28 tahun

26 tahun

Pendidikan

SMP

SMA

Pekerjaan

Swasta

Ibu rumah Tangga

B. Anamnesis (Dilakukan pada tanggal 9 April 2015)


1. Keluhan Utama
Demam sejak 4 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar 4 hari SMRS pasien demam tinggi mendadak, demam turun
pada pagi dan siang hari kemudian tinggi kembali pada sore atau malam
hari. Demam tidak disertai menggigil atau keringat pada malam hari,
kejang disangkal.
Sekitar 3 hari SMRS pasien batuk dan pilek. Batuk terus menerus,
berdahak sedikit, berwarna putih. Pasien juga merasakan nyeri
tenggorokan. Sesak napas disangkal.
Sekitar 1 hari SMRS muncul kemerahan di wajah yang meluas hingga
ke bagian leher dan badan. Kemerahan awalnya muncul di bagian pipi kiri.
Kemerahan disertai gatal. Pasien merasakan bengkak di wajah dan leher,
telinga kiri kadang terasa berdengung. Mual dan muntah disangkal, nyeri
kepala disangkal. BAB cair 1 kali, ampas (+), lendir (-), darah (-). BAK
dalam batas normal. Nafsu makan menurun, minum biasa.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Saat usia 8 bulan pasien pernah dirawat di RS karena demam berdarah.
Saat usia 14 bulan pasien sering muntah-muntah dan BAB cair, dirawat di
RS dan diketahui pasien mengalami masalah di saluran pencernaannya.
Sekitar 5 tahun 8 bulan pasien dirawat di RS dengan keluhan demam.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, rinitis alergi atau dermatitis
atopi. Alergi makanan dan obat disangkal. Tidak ada riwayat kejang
sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat riwayat kejang, batuk lama, atau pun alergi dalam
keluarga.
5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama kehamilan, ibu sering memeriksakan kandungan di klinik bidan
dekat rumah. Antenatal care lebih dari 4 kali di praktek bidan. Riwayat
sakit berat dan konsumsi obat atau jamu disangkal.
Bayi lahir cukup bulan, persalinan spontan ditolong oleh bidan di
Rumah sakit dr. Abdul Aziz. Berat badan saat lahir 2700 kg dan panjang
badan 49 cm, air ketuban jernih. Bayi langsung menangis dan gerakan
aktif. Bayi langsung inisiasi menyusui dini dan mendapatkan imunisasi
Simpulan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik
6. Riwayat Pemberian Makan
Pasien hanya diberi ASI hingga umur 4 bulan. Usia 4 bulan hingga 2
tahun pasien mendapatkan susu formula dan makanan lumat. Pasien mulai
makan makanan keluarga pada usia 2 tahun. Pasien minum susu formula
hingga usia 4 tahun, sekitar 6x180 cc/hari.

Simpulan: Riwayat pemberian makan baik, milkaholic


7. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapat imunisasi HB1 paska persalinan dan OPV0 sebelum
pulang ke rumah, HB2 dan BCG pada umur 1 bulan, polio1 dan DPT1
pada umur 2 bulan, polio 2 dan DPT2 pada umur 4 bulan, HB3, polio3 dan
DPT3 pada umur 6 bulan. Pasien belum pernah mendapatkan imunisasi
campak. Menurut ibu pasien karena sempat menderita demam berdarah
pada usia 8 bulan. Settelahnya pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi
lain.
Simpulan: Imunisasi tidak lengkap
8. Riwayat Tumbuh Kembang
Berat badan dan panjang badan pasien dirasakan bertambah dengan
baik sejak lahir hingga sekarang. Karena setiap bulan pasien di bawa ke
Posyandu. Pertumbuhan pasien pada kurva KMS terus naik mengikuti
garis kurva.
Perkembangan pasien dirasakan baik dan sama seperti anak lain yang
seusianya. Pasien mulai telungkup dan telentang sendiri pada usia 4 bulan,
berdiri berpegangan memegang benda dengan kedua tangan usia 8 bulan,
berdiri tanpa pegangan pada usia 1 tahun, berjalan dan mencorat-coret
pada usia 1 tahun 2 bulan. Lancar berbicara pada usia 2 tahun.
Simpulan: Riwayat tumbuh kembang baik
9. Riwayat Sosioekonomi, Tempat tinggal dan Lingkungan
Pasien berobat dengan BPJS kelas 1. Ayah pasien lulusan SMP bekerja
swasta dan Ibu pasien lulusan SMA dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Di keluarga tidak ada yang sakit demam atau pun batuk lama. Teman
main pasien memiliki keluhan yang sama (demam dan muncul kemerahan
di kulit) sekitar 2 bulan dan 2 minggu sebelum pasien masuk RSAA.
Simpulan: Terdapat faktor kontak pada lingkungan
10. Genogram

6 th

11. Anamnesis Sistem


a. Sistem serebrospinal
b. Sistem penglihatan
c. Sistem pendengaran
d. Sistem kardiovaskuler
e. Sistem respiratorius
f. Sistem gastrointestinal

: anak sadar, tidak kejang, sakit kepala (-)


: mata merah (+)
: pendengaran baik, telinga berdengung (+),
sekret (-), nyeri telinga (-)
: sesak napas (-), berdebar-debar (-)
: batuk (+), pilek (+), sesak napas (-)
: perut membesar (-), mual (-), muntah (-),
nafsu makan menurun (+), BAB cair 1 kali
dengan ampas dan lendir tidak disertai

darah
g. Sistem muskuloskeletal : bengkak pada tungkai (-), nyeri (-),
bengkak sendi (-)
h. Sistem urogenital
: BAK dalam batas normal, nyeri (-)
i. Sistem integumentum
: rash morbiliform dari wajah meluas ke
leher dan seluruh badan (+), gatal (+), pucat
(-), sianosis (-)

C. Pemeriksaan Fisik (Dilakukan pada tanggal 9 April 2014)


1. Keadaan Umum
: Tampak lemah, kesan gizi baik
2. Kesadaran
3. Tanda Vital
a. Tekanan darah
b. Nadi
c. Respirasi

: Kompos mentis (E4 M6 V5)


: 90/55 mmHg
: 122 x/menit, reguler, isi cukup
: 22 x/menit

d. Suhu
: 38,1o C
Simpulan: Takikardi, hipertermi
4. Antropometri
a. Berat Badan
: 22 kg
b. Tinggi Badan
: 114 cm
c. Lingkar Kepala
: 50 cm
d. Lingkar Lengan Atas : 17 cm
Simpulan: Dalam batas normal
5. Status Gizi
a. BB/U
:
Interpretasi
:
b. PB/U
:
Interpretasi
:
c. BB/TB
:
Interpretasi
:
Simpulan: Status gizi baik
6. Status Generalis
a. Kulit
b. Kepala
c. Mata

0 < Z < 1 SD
Normal
1 < Z < 2 SD
Normal
110%
Gizi baik

: ikterik (-), sianosis (-), petekie (-), rash


makulopapular generalisata
: normocephali, wajah sembab (+)
: konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), injeksi
konjungtiva (+/+), refleks cahaya langsung (+),
refleks cahaya konsensual (+), pupil isokor

d. Telinga

e. Hidung
f. Mulut
g. Tenggorokan
h. Leher

i. Dada
j. Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

(3mm/3mm)
: AS : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dapat dinilai
AD : sekret (-), meatus tidak eritem, tidak edem,
membran timpani tidak dapat dinilai
: rinorhea (-), edema mukosa (-/-)
: stomatitis (-), bercak koplik (-), typhoid tongue (-)
: faring hiperemis, pembesaran tonsil (T3/T3),
detritus (-)
: kesan membengkak, nyeri tekan (+). Pembesaran
kelenjar getah bening tidak ditemukan, massa
tiroid normal.
: simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
: iktus kordis tidak terlihat
: iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicula
sinistra, thrill (-)
: batas kanan jantung di SIC 4 linea parasternal

dekstra, batas kiri jantung di SIC 5 linea


midclavicula sinistra, dan pinggang jantung di SIC
Auskultasi
k. Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
l. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
m. Urogenital
n. Anus/Rektum
o. Ekstremitas

3 linea parasternal sinistra.


: S1 tunggal/ S2 split tak konstan, reguler, gallop
(-), murmur (-)
: bentuk dada simetris statis dan dinamis, retraksi (-)
: fremitus taktil sama di kedua lapang paru
: sonor di kedua lapang paru
: suara nafas dasar: vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-), stridor saat inspirasi (-)
: simetris, soepel
: bising usus (+) normal, bruit (-)
: nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
: timpani seluruh lapang abdomen
: tidak diperiksa
: tidak diperiksa
: akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

Simpulan: rash morbiliform, injeksi konjungtiva, tonsilofaringitis,


kesan edema fasial
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
Parameter

Rujukan

07/04/15

WBC (/mm3)

3.600-11.000

6.100

HGB (g/dl)

11,7-17,3

12,3

HCT (%)

38,0-54,0

34,7

PLT (/mm3)

150.000-440.000

231.000

Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan serologi IgM virus campak
2. Kultur swab tenggorok
E. Daftar Masalah
1. Anak perempuan 6 tahun 4 bulan
2. Demam 6 hari
3. Ruam kulit 3 hari
4. Batuk
6

5. Pilek
6. Mata merah
7. Nyeri tenggorokan
8. Telinga kadang berdengung
9. BAB cair 1 kali
10. Lemah
11. Nafsu makan menurun
12. Riwayat imunisasi tidak lengkap (imunisasi campak (-))
13. Rash morbiliform, injeksi konjungtiva, tonsilofaringitis, kesan edema
fasial
F. Diagnosis Kerja
1. Diagnosis kerja
:
Campak dengan tonsilofaringitis bakterial
2. Diagnosa banding :
Rubela, eksantema subitum, demam skarlet, demam berdarah dengue,
dan infeksi virus lain seperti cikungunya, enterovirus. parvovirus B19,
adenovirus, dan human herpes virus type 6
G. Tatalaksana
1. Non Medikamentosa
a. Rawat inap di ruang isolasi
b. Tirah baring
c. Nutrisi
kebutuhan kalori 1980 kkal/hari
kebutuhan protein 26,4 g/hari
kebutuhan cairan 1540 cc/hari
d. Edukasi imunisasi
2. Medikamentosa
IVFD D5 NS 12 tpm makro (50% kebutuhan cairan)
Injeksi amoksilin clavulanat 1 gram/24 jam IV
Injeksi ranitidin 25 mg/12 jam IV
Paracetamol infus 250 mg/6 jam IV
Vitamin A 200.000 IU (kapul merah)
Ambroksol syrup 3 x cth 1 PO
H. Prognosis

Sekitar 30% kasus campak menunjukkan paling tidak ada 1 komplikasi


yang menyertai, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun, sehingga pada
pasien ini kemungkinan muncul komplikasi <30%. Pada kasus ini faktor yang
mungkin memperberat kondisi pasien ialah riwayat pasien yang belum pernah
mendapat imunisasi campak sebelumnya. Menurut penelitian Mitchel et al.
(2013), derajat keparahan infeksi campak pada pasien yang belum diimunisasi
adalah 2,8 kali lebih besar dibandingkan pasien yang telah mendapatkan
imunisasi.
I.

Tanggal
08/04/15

Follow Up Harian

Subjective
demam (+),

Objective

Assessment

KU : tampak lemah

Campak

Planning

IVFD D5 NS 20 tpm

bintik-bintik
merah di wajah
meluas hingga
ke badan, batuk
(+), pilek (+),
nyeri tenggorok
(+), sesak (-),
nafsu makan
turun, BAB cair
1 kali

Kesadaran : kompos Mentis


TTV : TD : 90/60 mmHg
HR : 126 x/menit,
RR: 26 x/menit reguler
T : 39,4oC
Rash morbiliform di wajah dan
badan, wajah tampak sembab.
Leher: tampak bengkak,
pembesaran KGB (-)
Faring hiperemis (+), tonsil
(T3/T3) detritus (-).

Tonsilofaringitis
bakterial

9/4/15

Demam (+),
bintik-bintik
merah dan gatal
seluruh tubuh,
mata merah (+),
batuk (+), pilek
(-), nyeri
tenggorok (+),
BAB cair (-),
nafsu makan
menurun

KU : tampak lemah
Kesadaran : kompos mentis
TTV : TD : 90/55 mmHg
HR : 122 x/menit,
RR: 22 x/menit reguler
T : 38,1oC
Rash morbiliform meluas
hingga ekstremitas, wajah
tampak sembab.
Leher: tampak bengkak,
pembesaran KGB (-)
Mata: Injeksi konjungtiva (+/+),
sekret (-)
Faring hiperemis (+), tonsil
(T3/T3) detritus (-).

Campak
Tonsilofaringitis
bakterial

Tanggal
10/4/15

Subjective
Demam (+),
bintik-bintik
merah dan gatal

Objective

Assessment

KU : tampak lemah
Kesadaran : kompos mentis

Campak
Tonsilofaringitis

(makro)
Cefotaxim 3x750 mg IV
Clanexi 3x1 g IV
Ranitidin 2x25 mg IV
Metamizole 220 mg IV
jika suhu39oC
Vitamin A 200.000 IU
Parasetamol 250 mg/6
jam PO
Ambroksol syr 3 x 15
mg PO
Sanvita B syr 1 x 5ml
(5mg B1, 2mg B2, 2,5
mg B6, 3 mcg B12,
20mg nicotinamide) PO
Monitor intake
makan/minum
Isolasi
IVFD D5 NS 20 tpm
(makro)
Cefotaxim 3x750 mg IV
Clanexi 3x1 g IV
Ranitidin 2x25 mg IV
Metamizole 220 mg IV
jika suhu39oC
Parasetamol inf 220
mg/6 jam IV
Ambroksol syr 3 x 15
mg PO
Sanvita B syr 1 x 5ml
(5mg B1, 2mg B2, 2,5
mg B6, 3 mcg B12,
20mg nicotinamide) PO
Gentamisin tetes mata 3
x gtt 1
Monitor intake
makan/minum
Isolasi

Planning

IVFD D5 NS 20 tpm
(makro)

seluruh tubuh
semakin tegas,
batuk (+), pilek
(-), nyeri
tenggorok (+),
BAB cair (-),
nafsu makan
menurun (+),
mata merah (-)

TTV : TD : 90/60 mmHg


HR : 126 x/menit,
RR: 22 x/menit reguler
T : 39,4oC
Rash morbiliform generalisata,
wajah tampak sembab.
Leher: tampak bengkak,
pembesaran KGB (-)
Mata: Injeksi konjungtiva (-/-),
sekret (-)
Faring hiperemis (+), tonsil
(T3/T3) detritus (-).

bakterial

11/4/15

Demam (-),
bintik-bintik
merah mulai
menghitam,
gatal (+), mata
merah (-), batuk
(+), pilek (-),
nyeri tenggorok
(-),
BAB cair (-),
nafsu makan
baik

KU : tampak baik
Kesadaran : kompos mentis
TTV : TD : 100/60 mmHg
HR : 96 x/menit,
RR: 20 x/menit reguler
T : 36,8oC
Rash morbiliform generalisata
Leher: Pembesaran KGB (-)
Mata: Injeksi konjungtiva (-/-),
sekret (-)
Faring hiperemis (+), tonsil
(T2/T2) detritus (-)

Campak
Tonsilofaringitis
bakterial

Tanggal
12/4/15

Subjective
Demam (-),
bintik-bintik
merah mulai
menghitam,

Objective

Assessment

KU : tampak baik
Kesadaran : kompos mentis
TTV : TD : 100/60 mmHg

10

Campak
Tonsilofaringitis
bakterial

Cefotaxim 3x750 mg IV
Clanexi 3x1 g IV
Ranitidin 2x25 mg IV
Metamizole 220 mg IV
jika suhu39oC
Parasetamol inf 220
mg/6 jam IV
Ambroksol syr 3 x 15
mg PO
Sanvita B syr 1 x 5ml
(5mg B1, 2mg B2, 2,5
mg B6, 3 mcg B12,
20mg nicotinamide) PO
Gentamisin tetes mata 3
x gtt 1
Monitor intake
makan/minum
Isolasi
IVFD D5 NS 20 tpm
(makro)
Cefotaxim 3x750 mg IV
Clanexi 3x1 g IV
Ranitidin 2x25 mg IV
Metamizole 220 mg IV
jika suhu39oC
Parasetamol inf 220
mg/6 jam IV
Ambroksol syr 3 x 15
mg PO
Sanvita B syr 1 x 5ml
(5mg B1, 2mg B2, 2,5
mg B6, 3 mcg B12,
20mg nicotinamide) PO
Gentamisin tetes mata 3
x gtt 1
Monitor intake
makan/minum
Isolasi

Planning

IVFD D5 NS 20 tpm
(makro)
Cefotaxim 3x750 mg IV

gatal (+), mata


merah (-), batuk
(+), pilek (-),
nyeri tenggorok
(-),
BAB cair (-),
nafsu makan
baik

HR : 100 x/menit,
RR: 22 x/menit reguler
T : 36,7oC
Rash morbiliform generalisata
Leher: Pembesaran KGB (-)
Mata: Injeksi konjungtiva (-/-),
sekret (-)
Faring hiperemis (-), tonsil
(T2/T2) detritus (-).

13/4/15

Demam (-),
bintik-bintik
merah mulai
menghitam,
gatal (+),mata
merah (-), batuk
(+), pilek (-),
nyeri tenggorok
(-),
BAB cair (-),
nafsu makan
baik

KU : tampak baik
Kesadaran : kompos mentis
TTV : TD : 90/60 mmHg
HR : 98 x/menit,
RR: 20 x/menit reguler
T : 36,8oC
Ruam hiperpigmentasi
Leher: Pembesaran KGB (-)
Mata: Injeksi konjungtiva (-/-),
sekret (-)
Faring hiperemis (-), tonsil
(T2/T2) detritus (-).

Campak
Tonsilofaringitis
bakterial

Clanexi 3x1 g IV
Ranitidin 2x25 mg IV
Metamizole 220 mg IV
jika suhu39oC
Parasetamol inf 220
mg/6 jam IV
Ambroksol syr 3 x 15
mg PO
Sanvita B syr 1 x 5ml
(5mg B1, 2mg B2, 2,5
mg B6, 3 mcg B12,
20mg nicotinamide) PO
Gentamisin tetes mata 3
x gtt 1
Monitor intake
makan/minum
Isolasi
Cefixime syr 2 x 100 mg
PO
Ambroksol syr 3 x 15
mg PO
Sanvita B syr 1 x 5ml
(5mg B1, 2mg B2, 2,5
mg B6, 3 mcg B12,
20mg nicotinamide) PO

ANALISIS KASUS
Seorang anak perempuan usia 6 tahun 4 bulan datang ke RS dengan keluhan
utama demam sejak 4 hari. Demam tinggi mendadak tidak disertai menggigil atau
11

pun keringat malam, bersifat remiten. Demam hari ke-2 disertai batuk, pilek, dan
nyeri tenggorokan. Demam hari ke-3 muncul ruam kemerahan di wajah yang
meluas hingga ke leher dan badan. Pasien juga merasakan bengkak di wajah dan
leher, telinga terasa berdengung. Keluhan mual dan muntah disangkal, namun
terdapat penurunan nafsu makan. BAB cair 1 kali dengan ampas, tidak disertai
lendir maupun darah. BAK dalam batas normal.
Berdasarkan data anamnesis untuk pasien dengan keluhan demam memiliki
banyak diagnosis banding. Suhu memiliki sistem termoregulasi yang bekerja
berdasarkan masukan dari ujung saraf dan dari suhu darah yang beredar di tubuh.
Berdasarkan input tersebut maka set point akan membentuk panas atau justru
membuang panas. Demam atau peningkatan suhu dalam tubuh dapat terjadi akibat
beberapa hal, yang tersering adalah sebagai respon dari proses infeksi.
Mekanismenya dapat dijelaskan dari bagan pada gambar 1.1
Pada anak infeksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yang utama
ialah virus dan bakteri. Gejala batuk/pilek dan nyeri menelan yang muncul pada
pasien biasanya muncul pada infeksi saluran napas bagian atas. Pasien pada kasus
ini datang dengan keluhan demam disertai ruam. Menurut WHO, beberapa
diagnosis banding yang mungkin antara lain campak, rubela, eksantema subitum,
demam skarlet, demam berdarah dengue, dan infeksi virus lain seperti cikungunya
dan enterovirus. 2

Infeksi

Peningkatan:
Endotoksin
Sitokin proinflamasi

Reseptor endotelial
Reseptor subendotelial

Peningkatan:
Cox
Diteruskan ke neuron
PGE2otonom
(termasuk
12yang diproduksi sel kupfer)
di nukleus paraventrikular lalu
Mengaktifkanke
neuron
Peningkatan sel neuron
diproyeksikan
batangsekitar
otak,
GABA
Norepinefrin
Potensiasi
respon
ventromedial
noradrenergik
(A2
cellfebris
Group)
PGE dilepaskan ke jaringan
sekitar
medulla
spinalispreoptic
(sistem
Demam
terhadap
LPS
nucleus
(VMPO)
hipotalamus anterior ventrolateral medulla
otonom)

Inhibisi firing rate di warmsensitive neurons


(peningkatan set point)

Gambar 1. Mekanisme Demam pada Infeksi1

Menurut riwayat imunisasi pasien, didapatkan bahwa pasien belum


mendapatkan imunisasi campak, hal ini karena pada usia 8 bulan pasien
mengalami demam berdarah sehingga ibu pasien tidak membawa pasien untuk
imunisasi campak pada saat usia 9 bulan. Imunisasi yang terakhir yang pernah
diterima pasien adalah imunisasi saa usia 6 bulan, setelah itu pasien belum pernah
lagi mendapatkan imunisasi, termasuk campak dan MMR. Kondisi ini merujuk
pada pemahaman bahwa pasien belum memiliki kekebalan terhadap beberapa
penyakit termasuk campak dan rubela.
Di lingkungan bermain pasien didapatkan ada anak lain yang sebelumnya
memiliki keluhan yang kurang lebih sama dengan pasien, yaitu demam dengan
ruam kemerahan pada 2 bulan sebelum pasien sakit dan muncul lagi anak lain

13

dengan keluhan sama pada 2 minggu sebelum pasien sakit. Hal ini dapat
mengarahkan kecurigaan bahwa terdapat sumber infeksi yang menularkan infeksi
virus/bakteri pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada hari ke-6 demam didapatkan
keadaan umum pasien tampak demam dengan kesadaran dan kesan gizi baik.
Pasien dalam keadaan febris 38,1oC dengan nadi 122x/menit, laju napas serta
tekanan darah dalam batas normal. Pada pemeriksaan status generalis, ditemukan
rash morbiliform. Rash morbiliform ialah lesi makulopapular pada kulit dengan
warna kemerahan dan diameter 2-10 mm, dapat berkonfluens membentuk ruam
yang lebih besar di beberapa tempat.3

Gambar 2. Rash morbiliform pada anak


perempuan usia 12 tahun dengan penyakit
campak3

Penyakit infeksi yang dapat menimbulkan rash morbiliform dan demam pada
anak-anak sangat beragam, antara lain campak, rubela, infeksi grup A
Streptococcus, parvovirus B19, non-polio enterovirus, adenovirus, dan human
herpes virus type 6.4

14

Pada pasien juga didapatkan wajah dan leher tampak edema/sembab. Penyebab
tersering kondisi ini pada anak-anak ialah inflamasi. Kondisi yang paling umum
ditemukan ialah limfadenitis dengan manifestasi tersering berupa pembengkakan
dan eritema pada leher atas dan submandibula dan/atau regio parotis. Infeksi virus
pada saluran napas atas ialah penyebab tersering dari servikal dan fasial adenitis,
dengan sebagian besar kasus bersifat self-limited. Selain itu Staphylococcus
aureus dan grup A Streptococci adalah penyebab umum limfadenitis bakteri.5
Pada pemeriksaan mata didapatkan injeksi konjungtiva ringan di kedua mata,
tidak disertai sekret. Hal ini biasa muncul pada konjungtivitis akibat infeksi virus.
Pada tenggorokan didapatkan faring dan tonsil tampak hiperemis serta tonsil
membesar (T3/T3) tanpa disertai detritus. Hal ini menandakan terjadi infeksi
saluran napas atas dengan manifestasi tonsilofaringitis. Tonsilofaringitis dapat
disebabkan oleh infeksi virus maupun bakteri.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, beberapa diagnosa banding dapat
disingkirkan seperti eksantema subitum oleh karena pada kasus ini ketika ruam
muncul demam masih tinggi, demam skarlet oleh karena pada pasien ruam tidak
mulai dari daerah lipatan serta tidak ditemukan lidah berwarna merah strawbery.
Rubela dapat dikesampingkan pada kasus ini oleh karena pada rubela demam
cenderung lebih ringan bahkan terkadang gejala pertama yang akan muncul ialah
ruam makulopapular yang berlangsung hanya sekitar 3 hari, selain itu terdapat
adenopati umum terutama pada kelenjar limfe suboksipital, postaurikular, dan
servikal posterior yang biasanya muncul 1 minggu sebelum munculnya ruam dan
berakhir setelah beberapa minggu. Oleh karena itu, atas dasar pertimbangan klinis
pasien, maka diagnosis kerja untuk pasien pada kasus ini ialah campak disertai
tonsilofaringitis bakteri.
Campak adalah infeksi virus akut dengan karakteristik demam, batuk, dan
konjungtivitis, serta ruam makulopapular generalisata. Virus penyebab campak
ditransmisikan melalui droplet aerosol sehingga inisial infeksi melalui saluran
pernapasan. Virus kemudian memasuki limfatik lokal dan ditransport melalui
aliran limfonodus, mengalami amplifikasi hingga menimbulkan viremia. Monosit

15

dan limfosit merupakan target infeksi utama di dalam aliran darah yang membawa
virus ke berbagai organ tubuh. Jaringan dan organ limfoid merupan lokasi virus
melakukan replikasi, meskipun kulit, konjungtiva, paru-paru, saluran pencernaan,
hati, ginjal, dan mukosa genital juga dapat terlibat.6,8 Pada penelitian yang
dilakukan pada anak-anak dengan infeksi campak didapatkan sel giant
multinukleated yang tipikal infeksi virus campak pada saluran napas, saluran
cerna, dan sebagian besar jaringan limfoid. Infeksi virus campak menyebabkan
penurunan limfosit CD4 (mulai sebelum onset rash dan berakhir sekitar 1 bulan)
serta menekan respon hipersensitivitas tipe 4.12
Virus penyebab campak ialah genus morbili virus yang merupakan famili
paramyxoviridae. Campak ditrasmisikan secara primer dari orang ke orang
melalui droplet saluran pernapasan, tetapi dapat pula menyebar melalui udara
dengan nuclei droplet aerosol.7,8 Selain itu dapat pula melaui kontak langsung
terhadap sekresi nasal dan tenggorokan dari orang terinfeksi.10 Orang yang
terinfeksi dapat menularkan pada periode waktu dari 4 hari sebelum hingga 4 hari
setelah onset munculnya ruam kulit. Campak merupakan penyakit virus yang
sangat menular, serangan sekunder mencapai hingga >90%.7,8

Gambar 3. Timeline untuk menilai kontak campak10

Kontak terhadap pasien yang dicurigai mengalami infeksi campak ialah dengan
menilai:10
a. Orang-orang yang tinggal serumah
b. Orang-orang yang memiliki kontak wajah ke wajah
c. Orang-orang yang berada pada lingkungan udara yang sama dan dalam
periode kurang lebih 2 jam.
d. Semua siswa yang bersekolah di tempat yang sama
16

Periode inkubasi virus campak ialah 7-21 hari, rata-rata 10-14 hari dari paparan
hingga onset demam.8 Demam pada kondisi ini mencapai 39o-40,5oC.12 Dari
paparan hingga munculnya rash morbiliform sekitar 14 hari, jarang hingga 19-21
hari.10 Gejala prodormal berupa demam tinggi yang dapat mencapai hingga
40,6oC, konjungtivitis, coryza (pilek), batuk, serta koplik spots (bercak kecil putih
dengan diameter 2-3 mm yang berada pada bagian tengah dari dasar eritematous
pada mukosa buccal, biasanya berseberangan dengan molar pertama, dapat pula
ditemukan di palatum mole, konjungtiva, dan mukosa vaginal).
Karakteristik ruam makulopapular muncul pada hari ke-3 hingga ke-7 dari
sejak muncul gejala prodormal, ruam berupa patch diskret eritematous dengan
diameter 3-8 mm. Ruam muncul dari wajah, ada sumber yang mengatakan mulai
dari retroaurikula dan wajah kemudian menyebar ke batang tubuh dan selanjutnya
ke ekstremitas.7,8,10 Dengan pemeriksaan yang teliti sejumlah kecil lesi juga dapat
ditemukan pada telapak tangan (25-50% kasus).12 Ruam berakhir setelah 4-7 hari
dengan arah yang sama (ruam menghilang mulai dari wajah, tubuh, kemudian
ekstremitas). Ruam biasanya menghilang dalam bentuk deskuamasi kecoklatan,
kadang tidak disadari oleh anak yang mandi setiap harinya.7,8,10,12

17

Gambar 4. Perkembangan dan distribusi rash


morbiliform12

Demam pada pasien dengan infeksi campak biasanya menetap hingga 2-3 hari
setelah onset rash morbiliform, dan batuk menetap selama sekitar 10 hari. Koplik
spots biasanya muncul 1 hari sebelum onset rash dan menetap selama 2-3 hari,
ditemukan pada 60-70% kasus. Fotofobia sebagai akibat dari iridosiklitis, nyeri
tenggorokan, nyeri kepala, nyeri perut, dan limfadenopati ringan generalisata juga
umum ditemukan pada infeksi campak.12
Menurut Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, gejala
klinis campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:17
a. Stadium prodromal: berlangsung 2-4 hari ditandai dengan demam yang
diikuti dengan batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan
konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya enantema mukosa pipi di
depan molar tiga disebut bercak koplik.
b. Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang
bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di

18

belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah dan akhirnya ke


ekstremitas.
c. Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3 hari ruam berangsur-angsur
menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan
mengelupas yang akan menghilang setelah 1-2 minggu.
Pada pasien yang telah divaksinasi, gambaran tersebut diatas dapat tidak
muncul/atipikal. Pada anak dengan imunokompromise gambaran klinis dapat
semakin berat dan muncul dengan periode yang memanjang, mungkin dengan
ruam yang tidak khas.10
Komplikasi dari penyakit campak umumnya ditemukan pada anak usia
dibawah 5 tahun atau individu berusia diatas 20 tahun. Sekitar 30% kasus
menunjukkan paling tidak ada 1 komplikasi yang terjadi.10 Komplikasi yang dapat
muncul meliputi:
a. Konjungtivitis terjadi pada sebagian besar pasien dengan infeksi campak,
keratitis juga umum terjadi. Pada penelitian di Turki didapatkan 57% kasus
mengalami keratitis dengan pasien yang memiliki nutrisi baik dapat sembuh
total.12
b. Diare ditemukan pada 8% kasus infeksi campak.8,9 Kejadian tertinggi pada
anak usia <5 tahun dan dewasa usia>30 tahun. Diare yang berhubungan
dengan campak secara tipikal muncul hanya sebelum onset rash
morbiliform. Akan tetapi infeksi sekunder virus dan bakteri dapat
berkontribusi memperparah dan memperlama durasi diare.12
c. Infeksi telinga tengah/otitis media pada 7-9% kasus (dapat menyebabkan
kehilangan pendengaran permanen), mencapai 14% pada anak usia <5
tahun. Hal ini dapat muncul oleh karena inflamasi permukaan epitel pada
tuba eustachius menimbulkan obstruksi dan menyebabkan infeksi bakteri
sekunder. Semakin bertambah usia, risiko otitis media semakin kecil.8,9,12
d. Laringotrakeobronkitis atau measles croup muncul pada 9-32% pada
anak-anak yang terinfeksi campak dan dirawat di RS di Amerika Serikat,
sebagian besar menyerang anak usia < 2 tahun. 1/3-1/2 kasus dilakukan
kultur dan didaptkan adanya bakteri patogen yang menghasilkan eksudat

19

purulen dan terbukti merupakan infeksi sekunder. Umumnya bakteri yang


ditemukan ialah Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenza, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, dan
Enterobacter.12
e. Pneumonia ditemukan pada 1-6% kasus.8,9 Pneumonia adalah komplikasi
berat yang paling umum ditemukan pada infeksi campak. Pada sebuah
penelitian didapatkan 55% anak dengan infeksi campak menunjukkan
gambaran radiologi bronkopneumonia, konsolidasi, dan infiltrasi; dengan
77% dari anak dengan keadaan umum sakit berat dan 41% menunjukkan
keadaan sakit ringan. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa pneumonia
ditemukan pada 9% anak usia < 9 tahun yang mengalami infeksi campak.
Pneumonia dapat disebabkan oleh virus campak sendiri maupun infeksi
sekunder oleh adenovirus, HSV, ataupun bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.12
f. Kejang demam pada infeksi campak dapat muncul 1 per 200 kasus atau ada
sumber yang mengatakan 0,6-0,7% kasus.8,9 Sebagian besar anak dengan
campak yang tanpa disertai komplikasi menunjukkan perubahan
elektroensefalografi, tetapi perubahan gambaran ini lebih disebabkan
kondisi demam dan perubahan metabolik.12
g. Ensepalitis yang mana dapat menyebabkan kerusakan otak permanen terjadi
dengan angka kejadian 1 per 1.000-2.000 kasus campak.8,9 Posinfeksi
ensefalomielitis dapat pula terjadi, biasanya muncul 3-10 hari setelah onset
rash. Komplikasi ini lebih sering ditemukan pada dewasa dibanding anakanak.12
h. Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), jarang terjadi tetapi merupakan
penyakit dengan degenerasi sistem saraf pusat yang disebabkan infeksi
persisten virus campak yang telah rusak/ tidak sempurna. Kejadian ini
diperkirakan terjadi 1 per 100.000 kasus. SSPE termanifestasi berupa
penurunan status mental dan kemampuan motorik yang rata-rata terjadi 7-10
tahun setelah infeksi virus campak (seringnya terjadi pada anak yang
terinfeksi ketika usia dibawah 2 tahun), ada pula yang mengatakan dapat
berkembang mulai dari bulan pertama hingga 27 tahun (rata-rata 7 tahun)

20

setelah infeksi awal campak. Kondisi ini dapat progresif hingga


menyebabkan koma bahkan kematian.
Komplikasi yang berkembang hingga kematian terjadi pada 0,2% kasus dengan
penyebab kematian terbanyak pada anak-anak ialah pneumonia. Risiko serius
komplikasi infeksi virus campak terutama tinggi pada anak usia 5 tahun dan
dewasa usia 20 tahun, juga insiden tinggi pada populasi dengan status gizi
kurang/ buruk.8 Adapula sumber yang mengatakan bahwa rasio beratnya penyakit
campak terkait usia terutama tinggi pada anak usia dibawah 1 tahun, menurun
pada anak usia 1-9 tahun, dan tinggi kembali pada usia remaja dan dewasa.7,8,10
Tabel 1. Komplikasi campak menerut sistem organ12
Sistem Organ

Komplikasi

Pernapasan

Otitis media, mastoiditis, laringotrakeobronkitis, trakeitis,


pneumonia, pneumotorak, emfisema mediatinal.

Neurologi

Kejang demam, ensefalitis, posinfeksi ensefalitis, SSPE, GBS,


Reyes syndrome, myelitis transversa.

Gastrointestinal

Diare, adenitis mesentrika, apendisitis, hepatitis, pankreatitis,


stomatitis, noma.

Oftalmik

Keratitis, uulkus kornea, perforasi kornea, oklusi vena sentral,


kebutaan.

Hematologi

Trombositopenia purpura, DIC.

Kardiovaskular

Miokarditis, perikarditis.

Dermatologi

Deskuamasi berat, selulitis

Lainnya

Hipokalemia, miositis, nefritis, gagal ginjal, malnutrisi, kematian

Penegakan diagnosis campak dibuat berdasarkan dasar penilaian klinis, riwayat


paparan, serta jika memungkinkan dengan pemeriksaan molekular (RT-PCR
terhadap urin atau swab nasofaring), dan/atau pemeriksaan serologi.10 Acuan
mendasar diagnosis campak merujuk pada kriteria klinis berupa rash morbiliform
yang berlangsung 3 hari, suhu 38,3oC, dan adanya batuk, coryza/ pilek, serta
konjungtivitis.7 Kriteria laboratorium untuk diagnosis campak meliputi beberapa
hal antara lain hasil positif pemeriksaan serologi IgM virus campak, peningkatan

21

signifikan serokonversi level IgG, isolasi virus campak, atau identifikasi PCR
RNA virus campak yang berasal dari spesimen klinis.7,10
Pada pasien yang belum mendapatkan vaksinasi campak sebelumnya seperti
pada kasus ini, maka IgM direkomendasikan untuk mengkonfirmasi penyakit
campak. Antibodi IgM campak muncul dalam 1-4 hari dari onset ruam
morbiliform, puncaknya dalam minggu pertama setelah onset ruam dan jarang
terdeteksi setelah minggu ke 6-8. IgG antibodi virus campak umumnya diproduksi
dan terdeteksi beberapa hari setelah respon IgM. Puncak level IgG ialah 2 minggu
post onset ruam dan bertahan selama hidup.7 Peningkatan signifikan titer IgG
untuk campak menjadi 4 kali atau lebih merupakan metode serologi alternatif
untuk diagnosis campak.10

Gambar 5. Respon imun pada infeksi campak akut10

Tabel 2. Identifikasi Kasus Campak13


Definisi

22

Confirmed Case

Konfirmasi laboratorium
Konfirmasi laboratorium adanya infeksi tanpa riwayat imunisasi
baru-baru ini dengan vaksin campak
Isolasi virus campak dari spesimen klinis yang sesuai
ATAU
Deteksi RNA virus campak
ATAU
Serokonversi signifikan titer IgG campak
ATAU
Pemeriksaan serologi positif untuk antibodi IgM pada orang
yang memiliki hubungan epidemiologi dan konfirmasi
laboratorium pada orang yang baru melakukan perjalanan ke
tempat dengan infeksi campak
Konfirmasi dengan hubungan epidemiologi
Penyakit klinis pada seseorang dengan hubungan epidemiologi
terhadap konfirmasi laboratorium

Probable Case

Penyakit klinis
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang sesuai
ATAU
Tidak ada hubungan epidemiologi terhadap komfirmasi
laboratorium
ATAU
Orang yang baru saja melakukan perjalanan ke area dengan
infeksi campak

Clinical Case

Penyakit dengan gambaran klinis:


Demam 38oC
Batuk, coryza, konjungtivitis
Ruam makulopapular paling tidak 3 hari

Apabila terdapat tanda-tanda komplikasi tertentu, beberapa pemeriksaan juga


direkomendasikan untuk konfirmasi, misalnya:17
a. Konfirmasi ensefalopati dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal,
kadar elektrolit darah, dan analisis gas darah.
b. Konfirmasi enteritis dengan pemeriksaan feses lengkap.
c. Konfirmasi bronkopneumonia dapat dilakukan dengan pemeriksaann foto
rontgen dada dan analisis gas darah.

23

Rekomendasi terapi virus campak pada dasarnya bersifat suportif. WHO


merekomendasikan pemberian vitamin A pada semua anak dengan infeksi campak
akut, bertujuan untuk mengurangi risiko komplikasi. Vitamin A diberikan sekali
sehari selama 2 hari dengan dosis.2
a. 50.000 IU untuk bayi usia dibawah 6 bulan
b. 100.000 IU untuk bayi usia 6-11 bulan
c. 200.000 IU untuk anak usia 12 bulan
Dosis tambahan vitamin A dapat diberikan 2-4 minggu kemudian pada anak
dengan tanda dan gejala defisiensi vitamin A.7 Efektifitas terhadap pemberian
vitamin A pada anak yang terinfeksi dengan anak usia 1 tahun mendapatkan
200.000 IU dan usia dibawahnya mendapatkan 100.000 IU dengan masingmasing pemberian 2 dosis dapat menurunkan mortalitas akibat penyakit campak
sebesar 62%.11
Untuk menghindari komplikasi berat pada infeksi campak, yang penting
diperhatikan pada penanganan kasus campak ialah memastikan pasien
mendapatkan nutrisi yang baik serta intake cairan yang adekuat.13
Dalam Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, rekomendasi
pengobatan ialah:17
a. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup,
suplemen nutrisi, apabila terdapat infeksi sekunder berikan antibiotik,
apabila terdapat kejang berikan antikonvuulsi, dan pemberian vitamin A.
b. Pada keadaan tanpa komplikasi, pasien diminta tirah baring, diberikan
vitamin A 100.000 IU dan dilanjutkan 1500 IU tiap hari jika terdapat
malnutrisi. Diet cukup cairan dan kalori yang memadai.
c. Jika dengan komplikasi ensefalopati bisa diberikan kloramfenikol 75
mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 7-10 hari,
kortikosteroid deksametason 1 mg.kgBB/hari dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari
dengan 3 dosis terbagi hingga kesadaran membaik, dan diperhatikan
kebuutuhan jumlah cairan dikurangi kebutuhan serta koreksi gangguan
elektrolit. Pada kondisi bronkopneuumonia berikan kloramfenikol 75

24

mg/kgBB/hari dan ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 7-10 hari disertai


suplemen oksigen 2 liter/menit.
Indikasi rawat pasien campak ialah jika didapatkan hiperpireksia, dehidrasi,
kejang, asupan oral sulit, dan adanya komplikasi.17
Pada pasien perlu dilakukan isolasi (umumnya secara sukarela), hal ini
dilakukan terutama untuk melindungi populasi yang belum mendapatkan
vaksinasi yang mana berisiko tinggi tertular.7 Dengan demikian maka dapat
dicegah penyebaran campak pada komunitas.
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pada penyakit campak,
ialah:12
a. Jenis kelamin; secara historis ditemukan bahwa lelaki memiliki risiko kasus
berat pada infeksi campak yang lebih berat dibanding perempuan. Penelitian
dari tahun 1955-1990 menunjukkan angka mortalitas perempuan sedikit
lebih tinggi dibanding laki-laki, akan tetapi penelitian terbaru menunjukkan
bahwa derajat komplikasi antara laki-laki dan perempuan adalah sebanding.
b. Usia; derajat komplikasi termasuk mortalitas dari penyakit campak tertinggi
pada anak usia < 5 tahun dan dewasa. Sebagian besar bayi dilindung selama
bulan-bulan pertama kehidupan oleh antibodi maternal, akan tetapi ketika
imunitas bekurang campak dapat menjadi berat.
c. Kepadatan tempat tinggal; beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
yang terinfeksi campak di lingkungan rumah memiliki derajat fatalitas
penyakit yang lebih tinggi dibanding yang terinfeksi di luar lingkungan
rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Koenig et al menunjukkan bahwa
anak yang tinggal di rumah <18,6 m2 memiliki risiko sakit berat 2,6 kali
lebih besar dibanding anak yang tinggal di rumah dengan luas 37 m2.
d. Imunosupresi; penurunan imunitas yang hanya berhubungan dengan fungsi
makrofag (misal penyakit granulomatosa kronik) tidak memiliki hubungan
bermakna terhadap peningkatan risiko komplikasi penyakit campak.
Penurunan fungsi limfosit seperti akibat defek kongenital limfosit T,
transplantasi sumsum tulang, kemoterapi, dan penggunaan steroid memiliki
hubungan terhadap peningkatan risiko komplikasi penyakit campak.
25

e. Malnutrisi; anak dengan malnutrisi memiliki dampak terhadap multiple


aspek sistem imun, perpanjangan masa infeksi virus, serta derajat fatalitas
yang lebih tinggi.
f. Defisiensi vitamin A; anak yang secara klinis atau subklinis memiliki
defisiensi vitamin A menunjukkan peningkatan risiko fatalitas penyakit
campak.
Campak sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi, telah terbukti
sejak tahun 1963.7 Vaksin campak berisi virus hidup yang telah dilemahkan. Di
Amerika Serikat vaksin ada dalam bentuk formulasi kombinasi seperti measlesmumps-rubella (MMR) dan measles-mumps-rubella-varicella (MMRV). MMRV
direkomendasikan pada anak usia 12 bulan hingga 12 tahun. Secara internasional
vaksinasi campak direkomendasikan pada:8
a. Bayi usia 6-11 bulan seharusnya menerima 1 dosis vaksin campak. Bayi
divaksinasi sebelum usia 12 bulan harus di vaksinasi kembali pada atau
setelah 1 tahun dengan 2 dosis vakasin campak yang terpisah 28 hari. Hal
ini terutama direkomendasikan pada anak yang akan berpergian ke luar
negeri. Vaksin MMRV tidak direkomendasikan untuk anak usia < 12 bulan.
b. Anak-anak presekolah atau usia sekolah ( 12 bulan) seharusnya diberi 2
dosis vaksin campak yang terpisah 28 hari.
Satu dosis vaksin campak 85% efektif jika diberikan pada usia 9 bulan dan
95% efektif jika diberikan pada usia 1 tahun. Lebih dari 99% orang yang telah
menerima 2 dosis vaksin campak telah terbukti secara serologi memiliki
kekebalan terhadap virus campak.8

26

Gambar 6. Gambaran vaksinasi campak dan pencatatan kasus campak


dari 1950-2004

Gambar diatas menunjukkan bahwa dengan vaksinasi angka kejadian campak


menurun secara signifikan. Hal ini tidak meniadakan kenyataan bahwa meskipun
telah ada vaksin yang terbukti efektif, campak masih bertanggung jawab terhadap
kematian 4% anak usia dibawah 5 tahun di seluruh dunia.6
Dalam penentuan periode pemberian vaksin, mempertimbangkan bahwa bayi
dengan ibu pernah terinfeksi campak dapat terlindung dari penyakit campak
sekitar 6-9 bulan atau tergantung antibodi residual maternal selama masa
kehamilan. Bayi yang ibunya mendapatkan imunitas campak dengan vaksin
umumnya memiliki antibodi yang lebih sedikit sehingga mungkin lebih rentan
pada usia yang lebih muda. Imunisasi pada usia 12-15 bulan dapat menginduksi
imunitas hingga 95% atau lebih dan pada pemberian dosis kedua dapat
meningkatkan imunitas hingga 100%.7,8
Vaksin campak dan imunoglobulin dapat efektif sebagai profilaksis setelah
terpapar. Vaksin campak jika diberikan dalam 72 jam setelah terpapar virus
campak, dapat memberikan proteksi. Imunoglobulin dapat mencegah mitigasi jika
diberikan dalam 6 hari setelah terpapar. Akan tetapi, imunitas seperti ini bersifat

27

sementara kecuali terjadi modifikasi atau campak tipikal, dan anak seharusnya
mendapatkan vaksin campak pada 5-6 bulan setelah pemberian imunoglobulin. 7,8
Pada kasus-kasus yang jarang, pemberian vaksin MMR memiliki hubungan
dengan beberapa efek samping, yaitu:8
a. Anafilaktik (sekitar 1-3,5 per 1 juta dosis yang diberikan)
b. Trombositopenia (1 kasus per 25.000 dosis selama 6 minggu setelah
imunisasi)
c. Kejang demam (risiko kejang demam meningkat kira-kira 3 kali lipat pada
8-14 hari setelah pemberian vaksin MMR. Akan tetapi perlu
dipertimbangkan derajat kejang demam setelah pemberian vaksin campak
jauh lebih rendah dibandingkan risko kejang demam setelah mengalami
penyakit campak)
d. Keluhan sendi (artralgia muncul pada 25% anak perempuan postpubertal
oleh karena komponen rubela pada vaksin MMR. Kira-kira 10% artritis akut
umumnya bertahan 1 hari hingga 3 minggu dan jarang berulang)
Vaksin MMR dikontraindikasikan pada:9
a. Anak imunosupresif
b. Anak yang terkonfirmasi memiliki reaksi anafilatik pada pemberian dosis
sebelumnya untuk vaksin yang mengandung measles-mumpps-rubela- atau
juga varisela
c. Anak yang terkonfirmasi memiliki reaksi anafilaktik terhadap neomisin dan
relaktin
Pada pasien juga dipertimbangkan mengalami tonsilofaringitis akut.
Peradangan tonsil oleh karena akuisisi dan pertahanan imun terhadap persentasi
antigen, mengandung limfosit T, makrofag dan bagian germinal limfosit B,
merupakan bagian mucosa associated lymphoid tissue (MALT) system yang
paling pertama dan mudah dicapai pada manusia. Tonsilitis akut ialah peradangan
tonsil yang diakibatkan oleh virus maupun bakteri yang ditandai dengan
odinofagia, pembengkakan dan kemerahan pada tonsil (mungkin disertai eksudat),
limfadenopati servikal, dan demam >38,3oC per rektal. Odinofagia berlangsung
selama 24-48 jam sebagai bagian dari gejala prodormal common cold terkait

28

infeksi virus pada saluran napas atas. Diagnosis tonsilitis akut dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis oleh spesialis.14
Faringitis dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri, berdasarkan data
terbaru didapatkan terutama pada anak usia dibawah 3 tahun hanya sekitar 15%
kasus faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus grup A, sedangkan sebagian
besar kasus disebabkan oleh virus.14 Pada literatur lain dikatakan faringitis akut
Streptococcus grup A menyebabkan 37% kasus pada anak usia >5 tahun. Bakteri
lain yang dapat menyebabkan faringitis antara lain Streptococcus grup C (5%
kasus), C. pneumoniae (1% kasus), M. pneumoniae (1% kasus), dan bakteri
anaerob (1% kasus). Faringitis Streptococcal mencapai puncak insiden pada usia
prasekolah. Infeksi ditransmisikan melalui saluran napas dan periode inkubasi
sekitar 2-5 hari.16
Gambaran klinis tanpa ditunjang pemeriksaan penunjang sulit membedakan
etiologi dari faringitis, tetapi kondisi faringitis yang disertai rhinorea, batuk,
hoarseness, konjungtivitis, atau diare dapat mengarahkan kecurigaan pada infeksi
virus. Demam pada kasus yang disebabkan oleh infeksi virus cenderung naik
secara gradual, berbeda pada infeksi bakteri yang onset demamnya mendadak.
Pada keaadaan ini kultur swab tenggorok tidak direkomendasikan.15,16
Tabel 3. Gambaran klinis Faringitis akut akibat Streptococcus Grup A16
Gejala dan Tanda
Sensitivitas (%)
Spesifitas (%)
Tidak ada batuk
51-79
36-68
Pembengkakan nodus servikal anterior

55-82

34-73

Nyeri kepala

48

50-80

Mialgia

49

60

Pteki palatina

95

Eksudat faringeal

26

88

Demam >38oC

22-58

52-92

Eksudat tonsilar

36

85

29

Swab tenggorok untuk kultur direkomendasikan untuk dilakukan jika ingin


mengkonfirmasi diagnosis faringitis Streptococcus grup A, yaitu pada pasien yang
menunjukkan gejala klasik berikut:
a.
b.
c.
d.

Terdapat eksudat faringeal atau tonsilar


Pembengkakan nodus servikal anterior
Riwayat demam lebih dari 38oC
Tidak ada batuk

Pertimbangkan bahwa pada 44% kasus dengan manifestasi gejala-gejala diatas


dapat memberikan hasil kultur negatif untuk faringitis Streptococcus grup A.15
Kultur adalah gold standard untuk diagnosis, tetapi disyaratkan inkubasi selama
18-24 jam pada suhu 37oC. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 81% dan
spesifitas 97%.16
Selain swab tenggorok, rapid diagnostic test untuk Streptococcus grup A juga
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi
Streptococcus grup A dari hasil swab tenggorok dalam hitungan menit.
Sensitivitas pemeriksaan ini ialah 70% sedangkan spesifitasnya mencapai 98%.16
Komplikasi pada kasus tonsilofaringitis tergantung pada kondisi supuratif atau
nonsupuratif. Faringitis supuratif yang disebabkan faringitis Streptococcal dapat
menimbulkan komplikasi seperti limfadenitis servikal, abses peritonsilar, abses
retrofaringeal, otitis media, mastoiditis, dan sinusitis. Kondisis nonsupuuratif
dapat menimbulkan sequele yang dimediasi sistem imun seperti demam rematik
akut, glomerulonefritis post-streptococcal, corea syndenham, dan lain-lain.16
Penanganan untuk kasus tonsilofaringitis:15
a. Jika merupakan tonsilofaringitis virus, antibiotik tidak direkomendasikan.
Penanganan lebih ditujukan untuk pengobatan simtomatik seperti mengatasi
nyeri dengan pemberian asetaminofen atau ibuprofen.
b. Faringitis Streptococcus grup A, terapi empirik sebenarnya tidak
direkomendasikan tetapi memungkinkan jika terdapat 4 gejala klasik
faringitis Streptococcus grup A. Pemberian antibiotik untuk konfirmasi
dapat menurunkan keparahan gejala, durasi hingga sekitar 1 hari, risiko
transmisi setelah 24 jam terapi, serta mencegah komplikasi
30

Untuk membantu dalam penegakan diagnosis tonsilofaringitis akut serta


menilai indikasi pengobatan, dapat menggunakan score centor seperti terlihat pada
tabel berikut:16
Tabel 4. Skor Centor16
Gambaran Klinis

Skor

Tidak batuk

Pembengkakan nodus servikal anterior

Suhu > 38oC

Pembengkakan dan eksudat tonsilar

Usia 3-14 tahun

Usia 14-44 tahun

Usia 45 tahun

-1

Untuk interpretasi:16

Apabila diindikasikan pemberian antibiotik, maka regimen yang


direkomendasikan:16

31

Tabel 5. Pilihan Terapi Faringitis akibat Streptococcus Grup A yang direkomendasikan


oleh American Hearth Association and American Academy of Pediatrics AAP
Obat

Dosis

Durasi

Penisilin V (oral)

Anak <27kg 400000 U (250 mg) 2-3 kali


sehari
Anak >27kg 800000 U (500 mg) 2-3 kali
sehari
Amoksisilin (oral)
50 mg/kg sekali sehari (maksimal 1 g)
Benzathin Penicilin G (IM) Anak <27kg 600000 U (375 mg)
Anak >27kg 200000 U (750 mg)
Jika alergi penisilin
Sefalosporin spektrum
Bervariasi
sempit (cephalexin,
cefadroxil) oral
Klindamisin (oral)
20 mg/kg/hari terbagi 3 dosis (maksimal
1,8 g/hari)
Azitromisin (oral)
12 mg/kg sekali sehari (maksimal 500
mg)
Klaritromisin (oral)
15 mg/kg per hari terbagi menjadi 2 dosis
(maksimal 250 mg 2 kali sehari)

10 hari

10 hari
Sekali

10 hari
10 hari
5 hari
10 hari

Berdasarkan uraian diatas maka untuk diagnosis kerja pasien pada kasus ini
ialah penyakit campak mempertimbangkan keadaan klinis pasien yang
menunjukkan demam 38oC disertai batuk, coryza, dan konjungtivitis. Selain itu
pada hari ketiga demam pasien menunjukkan peningkatan demam disertai adanya
ruam makulopapular yang muncul mulai dari wajah kemudian meluas hingga ke
badan dan ekstremitas mendukung ke arah perjalanan klinis penyakit campak.
Riwayat tidak mendapatkan imunisasi campak sebelumnya serta riwayat kontak
dengan anak yang memiliki keluhan yang sama sekitar 2 minggu sebelum pasien
masuk rumah sakit mendukung kecurigaan ke arah campak.
Diagnosis kerja lain pada pasien ini ialah tonsilofaringitis Streptococcus grup
A, dapat muncul sebagai infeksi sekunder dan campak. Penilaian lebih diarahkan
pada tonsilofaringitis Streptococcus grup A berdasarkan penilaian dengan skor
centor sebagai berikut.

Gambaran Klinis

32

Skor

Tidak batuk

Pembengkakan nodus servikal anterior

Suhu > 38oC

Pembengkakan dan eksudat tonsilar

Usia 6 tahun 4 bulan

Total skor Centor pada kasus ini ialah 4, dengan demikian kemungkinan
terinfeksi Streptococcus grup A mencapai 28-35%, pada kondisi ini telah
direkomendasikan untuk dilakukan rapid antigen test dengan spesimen yang
sesuai (swab tenggorok) dan jika terbukti positif maka direkomendasikan
pemberian antibiotik.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin (leukosit, Hb, Ht, dan trombosit)
tidak ditemukan temuan bermakna, termasuk tidak didapatkan leukopenia maupun
leukositosis. Akan tetapi, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
sehingga perlu evaluasi lebih lanjut. Pada pasien dengan campak, umumnya
didapatkan jumlah leukosit normal atau leukopenia, jika ada infeksi bakteri
sekunder mungkin meningkat/leukositosis.10,17 Pada kasus ini, pemeriksaan
penunjang lainnya yang diusulkan untuk konfirmasi infeksi virus campak ialah
pemeriksaan IgM antibodi yang mana pemeriksaan ini dapat diterapkan untuk
menilai infeksi campak pada fase akut serta pasien yang belum mendapatkan
vaksin campak sebelumnya. Pada pasien juga dipikirkan mengalami
tonsilofaringitis akibat infeksi Streptococcus grup A sehingga diusulkan
pemeriksaan rapid antigen test dari hasil spesimen yang diperoleh melalui swab
tenggorok.
Penatalaksanaan pasien pada kasus ini ialah rawat inap (isolasi) dengan
indikasi hipertermi dengan suhu >39oC dan asupan oral yang sulit sebagai mana,
hal ini sesuai Pedoman Pelayanan Medis IDAI. Penanganan nonmedikamentasa
berupa tirah baring serta pemenuhan cairan dan kalori yang adekuat yang pada
pasien ini memberikan hasil perhitungan kebutuhan cairan 1540 cc/hari
(berdasarkan rumus Holiday-Segar) dan menurut Recommended Dietary
Allowances kebutuhan kalori sebesar 1980 kkal/hari dan kebutuhan protein 26,4
33

g/hari. Terapi medikamentosa yang penulis rekomendasikan pada kasus ini ialah
IVFD D5NS 12 tpm makro (sekitar 50% dari total kebutuhan cairan), injeksi
antibiotik berupa amoksilin clavulanat 1 g/24 jam, terapi suportif penurun panas
dengan paracetamol infus 250mg/6 jam IV, dan mukolitik berupa ambroxol syrup
3xcth I, serta vitamin A 200.000 IU dengan pemberian 2 dosis pada 2 hari pertama
terapi.
Pemberian vitamin A sebagaimana yang direkomendasikan WHO dengan
pemberian 200.000 IU untuk anak usia > 1 tahun, anjuran pemberian dua dosis.
Pemberian antibiotik tidak rutin diberikan pada pasien campak
mempertimbangkan kemungkinan memunculkan resistensi antibiotik meskipun
dengan tujuan profilaksis komplikasi, namun ada penelitian dari Koenig (2006)
yang menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan
risiko komplikasi. Pada pasien dengan infeksi sekunder tonsilofaringitis bakteri
rekomendasi pemberian antara lain dapat diberikan amoksisilin 50mg/kgBB sekali
sehari (maksimal 1 g). Terapi suportif dengan pemberian paracetamol bisa
dipertibangkan antara lain untuk mencegah komplikasi kejang demam, selain itu
paracetamol juga memiliki efek analgetik untuk meringankan keluhan nyeri
tenggorokan pasien. Ambroxol sebagai obat antibatuk dan mukolitik bisa
diberikan untuk meringankan keluhan batuk pasien, selain itu mempermudah
pengeluaran dahak agar tidak menjadi tempat infeksi bakteri.
Prognosis pasien pada kasus ini adalah baik berdarkan usia pasien (6 tahun),
status nutrisi, ketiadaan gejala defisiensi vitamin A, serta tidak adanya status
imunokompomise. Sekitar 30% kasus campak menunjukkan paling tidak ada 1
komplikasi, terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun, sehingga pada pasien ini
kemungkinan muncul komplikasi <30%. Pada kasus ini faktor yang mungkin
memperberat kondisi pasien ialah riwayat pasien yang belum pernah mendapat
imunisasi campak sebelumnya. Menurut penelitian Mitchel et al. (2013), derajat
keparahan infeksi campak pada pasien yang belum diimunisasi adalah 2,8 kali
dibandingkan pasien yang telah mendapatkan imunisasi. Perbedaan kondisi klinis
yang bermakna ialah pada pasien yang belum diimunisasi dapat memiliki demam

34

yang lebih tinggi dan lebih lama, membutuhkan tirah baring yang lebih lama,
membutuhkan terapi (selain paracetamol) yang lebih lama, serta gambaran klinis
yang lebih berat untuk rash makulopapular dan diare.20
Pada hasil follow up (demam hari ke 5-11/ hari ke 2-7 perawatan) didapatkan
keadaan umum membaik serta demam turun menjadi normal pada hari ke-9
demam. Rash morbiliform meluas ke seluruh tubuh pada hari ke-7 dan mulai
menghitam (hiperpigmentasi) pada hari ke-10. Injeksi konjungtiva menghilang
pada hari 8. Tonsil yang awalnya T3/T3 mulai mengecil (T2/T2) pada hari ke-9.
Keluhan nyeri tenggorokan menghilang pada hari ke-9. Batuk dan rasa gatal pada
ruam kulit mulai meringan pada hari ke-10. Pasien dipulangkan pada hari ke-11.
Berdasarkan hasil follow up tersebut maka gambaran perjalanan penyakit dapat
dilihat pada bagan berikut:
3 hari

DAFTAR PUSTAKA

35

1. Pujiarto PS. Demam pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia 2008;


58(9): 346-352.
2. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. Jakarta: Bina Mulia; 2005.
3. Williams G, Katcher M. Primary Care Dermatology Module Nomenclature
of Skin Lesions [Internet]. 2003. Diakses dari:
http://www.pediatrics.wisc.edu/education/derm/tutc/ morbilliform.html.
4. Ramsay M, Reacher M, OFlynn C, Buttery R, Hadden F, Cohen B,
Knowles W, Wreghitt T, Brown D. Cause of Morbiliform Rash in a Highly
Immunised English Population. Arch Dis Child 2002; 87: 202-206.
5. Khanna G, Sato Y, Smith RFH, Bauman NM, Nerad F. Causes of Facial
Swelling in Pediatric Patients: Correlation of Clinical and Radiologic
Findings. RadioGraphics 2006; 26(1): 157-171.
6. Yanagi Y, Takeda M, Ohno S. Measles Virus: Cellular Receptors, Tropism,
and Pathogenesis. Journal of General Virology 2006; 87: 2767-2779.
7. Kutty P, Rota J, Bellini W, Redd SB, Barskey A, Wallace G. VPD
Surveillance Manual 6th Edition: Measles. Centers for Disease Control and
Prevention; 2013. Diakses dari www. CDC.gov
8. Fiebelkorn AM, Goodson JL. Infectious Diseases Related to Travel: Measles
(Rubeola). [Internet] 2013 [update 13 Desember 2013]. Diakses dari:
wwwnc.cdc.gov.
9. Public Health England. The Green Book: Measles [Internet] 2013 [update 1
Juli 2013]. Diakses dari: www.gov.uk.
10. Alberta Health. Public Health Notifiable Disease Management Guidelines:
Measles [Internet]. 2013 [update November 2013]. Diakses dari:
http://www.health.alberta.ca
11. Sudfeld CR, Navar AM, Halsey NA. Effectiveness of Measles Vaccination
and Vitamin A Treatment. International Journal of Epidemiology 2010; 39:
148-155.
12. Perry RT, Halsey NA. The Clinical Significance of Measles: A Review. JID
2004; 189: 4-16.
13. Canada. An Advisory Committee Statement. Measles and Rubella
Elimination Working Group. Guidelines for the Prevention and Control of
Measles Outbreaks in Canada. Canada Communicable Disease Report 2013;
39.
14. Australia. Parliament. Senate. Select Committee on Climate Policy. Climate
policy report. Canberra: The Senate; 2009.
15. Stelter K. Tonsilitis and Sore Throat in Children. Grosshadern Medical
Centre 2014; 13: 1-24.
16. Administered by the Alberta Medical Association. Guideline for The
Diagnosis and Management of Acute Pharyngitis. [monograph online].

36

Alberta Medical Association; 2008 [Januari 2008]. Diakses dari:


www.topalbertadoctors.org.
17. Regoli M, Chiappini E, Bonsignori F, Galli L, Martino M. Update on the
Management of Acute Pharyngitis in Children. Italian Journal of Pediatrics
2011; 37(10): 1-7.
18. Pudjladi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandraputra EP,
Harmoniati ED. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010.
19. Koenig KL, Halsey NA. Prophylactic Antibiotics may Prevent Measles
Complications. BMJ 2006.
20. Mitchell P, Turner N, Jennings L, Dong H. Previous Vaccination Modifies
Both the Clinical Disease and Immunological Features in Children with
Measles. J Prim Health Care 2013; 5(2): 93-98.

37

Anda mungkin juga menyukai