Anda di halaman 1dari 6

Panduan Penanganan Reaksi Syok Anafilaktik

Pendahuluan
Definisi dan pengertian reaksi anafilaktik adalah reaksi hipersensitifitas yang sistemik,
generalisata, bersifat serius, dengan onset cepat, dan mengancam nyawa hingga dapat
menyebabkan kematian. Jika reaksinya cukup hebat dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
dan pasien jatuh dalam kondisi syok, sehingga disebut syok anafilaktik. Syok anafilaktik
membutuhkan pertolongan yang cepat dan tepat.

Angka insiden anafilaktik yang sebenarnya sulit diketahui karena seringkali muncul didahului
reaksi alergi. Studi retrospektif menunjukkan bahwa 1% pasien yang masuk ke unit gawat darurat
dan memerlukan pertolongan maksimum disebabkan oleh reaksi anafilaktik. Secara umum, 40-
60% reaksi anafilaktik disebabkan oleh gigitan serangga, 20-40% akibat zat kontras radiologi, dan
10-20% akibat pemberian obat penisilin. Penisilin merupakan penyebab 100 dari 500 kematian
akibat reaksi anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua usia. Kelompok usia yang memiliki insidensi paling tinggi
adalah usia 0-19 tahun yaitu 70 kasus dari 100.000 populasi / tahun. Alergi makanan berat paling
sering terjadi pada anak-anak. Tidak ada faktor risiko jenis kelamin dalam kejadian anafilaktik.
Baik pria maupun wanita dapat mengalami reaksi anafilaktik dengan penyebab yang khas untuk
masing-masing kelompok seperti alergi aspirin dan bahan lateks paling sering pada wanita
sementara gigitan serangga paling sering pada pria.

Gejala anafilaktik dapat terjadi dengan cepat. Semakin cepat onsetnya umumnya manifestasi
klinisnya pun semakin berat dan semakin mengancam nyawa. Seringkali anafilaksis tidak
terdiagnosis dan tertangani dengan tepat karena kurang antisipasi. Oleh karena itu pemahaman
mengenai reaksi anafilaktik dan penanganan kegawatannya menjadi penting untuk dikuasai.

Etiologi dan Patofisiologi


Patofisiologi reaksi anafilaktik - Reaksi anafilaktik merupakan reaksi imunologi yang melibatkan
IgE dan kemudian menyebabkan aktivasi sel mast dan basofil sehingga terjadi pelepasan berbagai
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, triptase, platelet-activating factor,
sitokin, dan kemokin. Histamin memegang peranan terpenting dalam reaksi anafilaktik.

Berbagai agen yang dapat memicu timbulnya mekanisme ini adalah:


• Makanan, khususnya kacang-kacangan, ikan dan makanan laut lainnya, telur, gandum
• Obat, umumnya golongan penisilin, obat antiinflamasi non steroid
• Bahan latex
• Aktivitas fisik atau olahraga
• Zat radiokontras
• Gigitan serangga.

Meskipun reaksi anafilaktik dapat terjadi pada siapa saja, ada beberapa kondisi yang merupakan
faktor risiko terjadinya anafilaktik, yaitu:
• Riwayat atopi, seperti rinitis alergi, asma, dermatitis atopi
• Rute masuknya agen pencetus anafilaktik. Obat atau makanan yang dikonsumsi oral
biasanya lebih ringan gejalanya dibanding intravena.

Pendekatan Diagnosis
Diagnosis reaksi anafilaktik - Reaksi anafilaktik merupakan reaksi sistemik sehingga akan
melibatkan beberapa sistem organ. Umumnya, setidaknya ada dua sistem organ yang terlibat
meskipun didahului oleh salah satu sistem organ saja. Empat sistem organ yang paling sering
terlibat saat reaksi anafilaktik adalah kulit, sistem respirasi, gastrointestinal, dan kardiovaskular.
Tanda dan gejalanya pun terjadi sesuai dengan sistem organ tersebut. Hal terpenting yang perlu
diingat adalah gejala anafilaktik terjadi akut dan progresinya sangat cepat dan dapat memberat
dalam waktu singkat, sehingga penting bagi tenaga medis untuk mengenali gejala awalnya.
Berikut tabel anamnesis dan pemeriksaan fisik reaksi syok anafilaktik :
Kriteria Diagnosis
Reaksi anafilaktik dapat didiagnosis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik berdasarkan kriteria
klinis yang ditetapkan oleh National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yaitu:
1. Onset gejala akut (dalam beberapa menit hingga jam) yang melibatkan kulit, mukosa, atau
keduanya (seperti urtikaria generalisata, gatal, kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan
salah satu dari tanda berikut yaitu:
• Gangguan respirasi (sesak napas, mengi karena bronkospasme, stridor, hipoksemia,
penurunan arus puncak ekspirasi).
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang sesuai dengan gagal organ target (end-organ
dysfunction) seperti sinkop, hipotonia, inkontinensia.
2. Atau, terjadi dua atau lebih gejala berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga beberapa
jam) setelah terpapar alergen atau pencetus yang mungkin (likely allergen), yaitu:
• Keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria generalisata, gatal,
kemerahan, bengkak di bibir/lidah/uvula
• Respirasi (sesak, mengi karena bronkospasme, stridor, penurunan arus puncak ekspirasi,
dan hipoksemia
• Penurunan tekanan darah atau gejala berhubungan dengan disfungsi organ target (sinkop,
hipotonia, inkontinensia)
• Gejala gastrointestinal yang persisten (kram perut, muntah)
3. Penurunan tekanan darah segera setelah terpapar alergen yang telah diketahui (dalam beberapa
menit hingga jam) sesuai kriteria berikut:
• Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi penurunan > 30%
dari tekanan darah sistolik semula
• Dewasa: Tekanan darah sistolik < 90mmg atau terjadi penurunan > 30% dari tekanan darah
sistolik semula.

Diagnosis Banding
Meskipun diagnosis dapat ditegakkan secara klinis, reaksi anafilaktik memiliki diagnosis banding
yang beragam. Diagnosis banding tersebut adalah:
• Syok karena penyebab lain seperti syok kardiogenik, distributif, obstruktif, atau
hipovolemik,
• Sinkop atau pre-sinkop,
• Angioedema herediter,
• Disfungsi pita suara,
• Distress respiratori karena asma, emboli paru, gagal jantung atau penyebab lainnya,
• Reaksi kulit akibat erupsi obat, dan/ atau
• Gangguan psikiatri seperti serangan panik.

Komplikasi
Dengan penanganan yang tepat, pasien yang mengalami reaksi anafilaktik dapat sembuh sehingga
jarang menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang mungkin muncul adalah iskemi miokard akibat
hipotensi dan hipoksia, gangguan kesadaran karena hipoksia otak, koma, dan pada kondisi berat
dapat menyebabkan kematian.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan reaksi anafilaktik perlu dilakukan secara komprehensif meliputi non
medikamentosa dan medikamentosa.
1. Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik singkat, kenali adanya tanda anafilaktik
sesuai dengan kriteria diagnosis di atas. Kemudian, lakukan penilaian terhadap airway, breathing,
circulation.
• Airway: adakah tanda sumbatan jalan napas seperti sesak, suara serak, stridor.
• Breathing: sianosis, takipneu, wheezing, saturasi O 2 <92%.
• Circulation: pucat, akral dingin dan lembab, hipotensi, pingsan.
2. Posisikan pasien pada posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat.
Posisi ini akan membantu meningkatkan venous return sehingga diharapkan terjadi peningkatan
tekanan darah.
3. Berikan oksigen 3-5 liter/ menit, pertimbangkan untuk melakukan intubasi atau trakeostomi
pada kondisi sesak berat atau ancaman henti napas.
4. Pasang akses intravena berikan cairan plasma ekspander (Dextran). Bila tidak tersedia, berikan
ringer laktat atau NaCl fisiologis sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan tersebut
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
5. Berikan epinefrin atau adrenalin secara intramuskular di bagan paha regio anterolateral dengan
dosis 0,01 mg/ kgBB atau 0,3-0,5 mL dari larutan 1:1000. Pemberian epinefrin dapat diulangi 5-
10 menit. Bila pasien tidak menunjukkan respon, berikan epinefrin secara intravena dengan dosis
0,1-0,2 mL adrenalin dilarutkan dalam 10 mL NaCl fisiologis dan diberikan secara perlahan.
Hindari pemberian adrenalin subkutan karena efeknya lambat dan sulit untuk diabsorpsi.
6. Bila terjadi bronkospasme dapat diberikan aminofilin. Berikan aminofilin sebanyak 250 mg
secara perlahan selama 10 menit intravena.
7. Antihistamin dan kortikosteroid adalah pilihan kedua setelah epinefrin. Kedua obat tersebut
kurang bermanfaat pada tingkat syok anafilaktik.
8. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) bila terjadi henti jantung dan lakukan sesuai algoritma
henti jantung.

Kriteria Rujukan
Bila tidak ada perbaikan setelah dilakukan penanganan kegawatan, rujuk pasien ke layanan
sekunder.

Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menghindari faktor pencetus. Pada pasien yang diketahui
memiliki riwayat alergi atau atopi, hindari pemberian obat atau makanan yang dapat menyebabkan
timbulnya reaksi. Bagi tenaga medis, lakukan edukasi dan konseling pada pasien dan keluarga
mengenai penyuntikan atau pemberian obat apapun karena setiap obat dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.

Prognosis
Prognosis reaksi anafilaktik sangat bergantung pada kecepatan terapi. Bila ditangani dengan cepat
umumnya prognosisnya dubia ad bonam.

Sumber:
• Ikatan Dokter Indonesia. Reaksi Anafilaktik. In: Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014. p. 406–8.
• Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2011;7(Suppl 1):1–7.
• Ring J, Beyer K, Biedermann T, Bircher A, Duda D, Fischer J, et al. Guideline for acute
therapy and management of anaphylaxis. Allergo J Int. 2014;23(3):96–112.
• Mustafa SS. Anaphylaxis [Internet]. 2017 [cited 2017 Oct 29]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a5 .
• Campbell RL, Li JTC, Nicklas RA, Sadosty AT. Emergency department diagnosis and
treatment of anaphylaxis: A practice parameter. Ann Allergy, Asthma Immunol. American
College of Allergy, Asthma & Immunology; 2014;113(6):599–608.
• Clinical criteria for diagnosing anaphylaxis [Internet]. 2017 [cited 2017 Oct 29]. Available
from: http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/501/diagnosis/criteria.html

Anda mungkin juga menyukai