Tutor:
Disusun Oleh:
Riska Nuprilaely
G1G012010
A. GAMBARAN UMUM
Syok adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa yang dihasilkan dari ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, dan dikarkteristikan dengan terjadi hipoxia serta inadekuat fungsi sel
yang menyebabkan kegagalan organ dan berpotensi kematian. Syok terjadi ketika sistem sirkulasi tidak
mampu untuk memenuhi salah satu fungsi penting seperti menyediakan oksigen dan nutrisi untuk sel
tubuh. Syok memiliki banyak penyebab seperti sepsis, kegagalan pompa jantung, hipovolemi dan
anafilaktik yang selanjutnya menjadi dasar pengklasifikasian syok yaitu hypovolaemic, cardiogenic dan
distributive shock. Distributive shock terdiri dari neurogenic, anaphylactic dan septic shock (Garretson
dan Malberti, 2007).
B. PATOFISIOLOGI
1. Hypovolaemic shock
Hypovolaemic shock atau syok hipovolemi merupakan syok yang terjadi akibat volume darah di
dalam tubuh rendah. Ketika volume darah menurun, maka volume sirkulasi pun menurun. Volume
balik vena ke jantung dan otak yang rendah mengakibatkan suplai oksigen untuk sel-sel tubuh
maupun ke sel-sel otak tidak adekuat. Suplai oksigen yang tidak adekuat mengakibatkan perfusi
jaringan terganggu, sehingga metabolisme sel tidak berjalan baik (Hardisman, 2013). Hardisman
(2013) membedakan syok hipovolemi menjadi 4 stadium keparahan antara lain:
a. Stadium I apabila kehilangan darah mencapai 15%.
b. Stadium II apabila kehilangan darah 15-30%.
c. Stadium III apabila kehilangan darah 30-40%.
d. Stadium IV apabila kehilangan darah lebih dari 40%.
2. Cardiogenic shock
Cardiogenic shock atau syok kardiogenik merupakan syok yang terjadi akibat ketidakmampuan
ventrikel untuk memompa darah sehingga mengakibatkan tekanan sistolik darah rendah. Apabila
darah yang terpompa tidak mencapai jaringan perifer, maka pada jaringan perifer akan terjadi
metabolisme sel secara anaerob. Hasil metabolisme sel secara anaerob adalah asam laktat yang
dapat menyebabkan asidosis metabolik (Tambayong, 2000).
3. Anaphylactic shock
Anaphylactic shock atau syok anafilaktik terjadi akibat reaksi hipersensitivitas terhadap suatu
obat atau zat yang tidak akan terjadi pada saat pajanan pertama kali. IgE akan terikat pada reseptor
alergen yang masuk ke dalam tubuh untuk mengenali alergen tersebut. Lalu pada pajanan
berikutnya IgE yang berikatan dengan alergen akan memicu pelepasan histamin. Histamin akan
memberikan efek biologis terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan
saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi
reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas (Koury dan Herfel,
2000).
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis awal syok dibedakan berdasarkan etiologi pemicunya, sehingga dapat
dibedakan antara lain:
1. Cardiogenic shock
a. Chest pain (sakit dada)
b. Shortness of breath (napas pendek)
c. Labored breathing (sulit bernapas atau napas tidak wajar)
d. Diaphoresis (berkeringat)
e. Nausea (mual)
f. Vomiting (muntah) (Braun dan Anderson, 2007).
2. Hypovolaemic shock
a. Decreased level of consciousness (penurunan kesadaran)
b. Anxiety (cemas)
c. Decreased urine output (penurunan produksi urin)
d. Delayed capillary refill (CRT lambat)
e. Increased heart rate (detak jantung meningkat)
f. Increased respiratory rate (peningkatan laju pernapasan)
g. Kulit berkeringat, pucat dan dingin
h. Tekanan darah sistolik <90 mmhg (Garretson dan Malberti, 2007).
3. Distributive shock
a. Septic shock
Tanda klasik dari septic shock adalah perkembangan pasien dari absolute
hypovolemia dan relative hypovolemia. Absolute hypovolemia disebabkan karena
kekurangan cairan akibat muntah, diare, berkeringat dan edema. Relative hypovolemia
merupakan hasil dari vasodilatasi dan pengumpulan darah perifer (Garretson dan Malberti,
2007). Menurut Braun dan Anderson (2007) pasien dengan septic shock akan mengalami
demam, dan kulit yang hangat serta memerah.
b. Anaphylactic shock
1) Headache (sait kepala)
2) Mual, muntah, sakit atau ketidaknyamanan pada perut
3) Pruritus (gatal pada seluruh tubuh atau sebaian tubuh)
4) Kulit kemerahan
5) Sulit bernapas (laryngeal edema), bronchospasm
6) Cardiac dysrhytmias (kelainan ritme jantung)
7) Hypotension (tekanan darah rendah) (Hinkle dan Cheever, 2014).
D. ASSESSMENT
Menurut Simons dkk (2012), seseorang dikatakan mengalami syok anafilaktik apabila telah
memenuhi salah satu dari tiga kriteria berikut:
1. Onset cepat (menit sampai beberapa jam), ada keterlibatan pada kulit, jaringan mukosa atau
keduanya seperti gatal, kemerahan, bengkak pada bibir-lidah-uvula dan setidaknya disertai
dengan gangguan pernapasan seperti napas pendek, batuk, stridor, dan hipoksemia; atau
pasien tidak sadar (collapse).
2. Dua atau lebih gejala yang terjadi tiba-tiba pada pasien setelah terpapar kemungkinan (likely)
alergen atau pemicu lainnya seperti immunologic (Ig-E independent) atau non-immunologic
(direct cell mast activation) (menit sampai beberapa jam) antara lain:
7. Apabila dibutuhkan, berikan tambahan oksigen aliran tinggi (6-8 L / menit), dengan face mask
atau saluran napas orofaringeal.
8. Apabila dibutuhkan, berikan infus 1-2 liter 0,9% (isotonik) saline dengan cepat (misalnya 5-10
ml / kg dalam 5-10 menit pertama untuk orang dewasa; 10 ml / kg untuk anak).
9. Apabila dibutuhkan, lakukan setiap saat resusitasi jantung paru (RJP) dan bantuan pernapasan
(rescue breathing).
10. Pantau terus menerus tekanan darah, denyut jantung, status pernapasan pasien, dan
oksigenasi.
F. PENCEGAHAN
Menurut Simons dkk (2012) mencegah atau mengurangi resiko syok anafilaktik dilakukan
dengan prinsip menghindari dan/ memodulasi imun. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan
berdasarkan jenis pemicu syok yaitu:
1. Makanan: hindari secara ketat makanan yang terbuat atau mengandung bahan pemicu syok
contoh kacang.
2. Sengatan serangga: hindari hewan penyengat atau melakukan subcutaneous venom
immunotherapy yang sudah terbukti dapat melindungi sekitar 90% pada dewasa dan 98% pada
anak-anak.
3. Obat-obatan: hindari yang berhubungan dengan bahan obat tersebut dan menggunakan obat
pengganti yang aman. Jika diindikasikan lakukan desensitisasi.
4. Idiopatik atau penyebab tidak diketahui: untuk banyak kasus dipertimbangkan pemberian
glukokortikoid dan nonsedatif H1 antihistamin profilaksis selama 2-3 bulan. Selain
dipertimbangkan juga melakukan pengukuran tryptase dasar untuk mengidentifikasi
mastositosis atau gangguan pembelahan sel mast.
SINKOP
A. GAMBARAN UMUM
Sinkop adalah kondisi dimana seseorang mengalami kehilangan kesadaran yang bersifat sementara
dan terjadi secara tiba-tiba. Secara umum sinkop disebabkan oleh inadekuatnya aliran darah ke otak
karena terjadinya vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak sehingga menimbulkan hipotensi.
Sinkop memiliki beberapa sinonim, yaitu: benign faint, simple faint, neurogenic syncope, psychogenic
syncope, vasovagal syncope, dan vasodepressor syncope (Kamadjaja, 2010). Menurut Ciftci dkk
(2014), sinkop bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala yang timbul akibat berbagai penyakit.
Sinkop berperan penting sebagai tanda peringatan atau penyebab trauma suatu penyakit. Etiologi
sinkop dibedakan menjadi 3 jenis, antara lain:
1. Neurocardiogenic syncope
Neurocardiogenic syncope atau refleks sinkop yang terdiri dari vasovagal syncope dan sinkop
sinus karotis.
2. Orthostatic syncope
Orthostatic syncope disebabkan karena adanya kegagalan primer atau sekunder saraf
otonom, efek obat atau kehilangan volume cairan tubuh akibat perdarahan, dehidrasi, muntah,
atau diare.
3. Cardiovascular syncope
Cardiovascular syncope umumnya terjadi karena penyakit jantung, bradikardi, dan takikardi,
serta emboli paru (Ciftci dkk., 2014).
B. PATOFISIOLOGI
Sinkop atau vasodepresor syncop terjadi karena pasokan darah ke otak rendah atau di bawah level
kritis dan denyut jantung melambat. Menurut Malamed (2007), proses terjadinya sinkop di bagi menjadi
tiga tahapan yaitu:
1. Presyncope
Stres yang disebabkan oleh emosional (rasa takut dan cemas) maupun sensorik (rasa sakit yang
tiba-tiba atau sakit tak tertahankan) menjadi pemicu terjadinya presinkop. Saat pemicu muncul,
tubuh akan melepaskan katekolamin epinefrin dan norepinefrin sebagai respon. Katekolamin
dilepaskan tubuh ke sistem sirkulasi darah yang menyebabkan perfusi darah di jaringan berubah
dan aktivitas muskular meningkat. Respon muskular dibedakan menjadi dua yaitu respon aktif dan
respon pasif. Respon aktif yaitu respon otot perifer untuk memompa darah kembali ke jantung
sehingga tanda dan gejala sinkop vasodepresor tidak terbentuk. Sedangkan respon pasif yaitu
keadaan dimana otot perifer tidak mampu memompa kembali darah ke jantung sehingga volume
darah sirkulasi rendah. Hal ini terjadi ketika pasien sebenarnya tidak sanggup menghadapi stresor,
namun tetap dipaksakan seolah pasien kuat. Sejalan dengan itu, volume darah serebral pun rendah
menyebabkan gejala presinkop mulai muncul. Secara refleks tubuh akan mempertahankan tekanan
darah dan denyut jantung dengan cara mengkontriksi pembuluh darah perifer agar darah kembali
terpompa ke jantung untuk kemudian didistribusikan ke otak. Kondisi ini jika terjadi terus menerus
akan menyebabkan tubuh kelelahan hingga denyut jantung kembali menurun sampai <50 kali/menit.
Pasien lambat laun akan kehilangan kesadaran karena otak tidak mendapat suplai darah yang
cukup.
2. Syncope
Pada tahap sinkop terjadi respon pergerakan muskular yang melemah karena pasokan darah
tidak lagi sampai ke otot perifer. Pasokan darah ke otak berada di bawah level kritis sehingga pasien
kehilangan kesadaran. Secara klinis tekanan sistolik darah sekitar 20-30 mmHg.
3. Postsyncope (recovery)
Tahap postsyncope atau pemulihan dilakukan dengan pasien diposisikan supine dengan kaki
sedikit lebih tinggi dari kepala, sehingga mendukung vena untuk mengembalikan darah ke jantung
dan otak. Pasien akan sadar secara perlahan, namun gejala sinkop seperti lemah dan kelelahan
dapat pulih dalam beberapa jam. Peningkatan kesadaran pasien dapat dibantu dengan memberikan
aroma terapi.
C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut Malamed (2007) dibedakan berdasarkan tahapan terjadinya syncope
antara lain:
1. Presyncope
a. Gejala awal
1) Wajah dan leher terasa hangat
2) Kulit pucat
3) Berkeringat dingin
4) Napas berat
5) Merasa tidak enak badan
6) Mual
7) Tekanan darah bertahan atau mendekati batas minimum
8) Tachycardia
b. Gejala lanjutan
e. Pupillary dilation (pupil melebar)
f. Mengantuk
g. Hyperpnea (peningkatan kedalaman pernapasan)
h. Tangan dan kaki dingin
i. Hypotention
j. Bradycardia
k. Gangguan penglihatan dan merasa pusing.
2. Syncope
a. Pada saat pasien kehilangan kesadaran terjadi beberapa kemungkinan perubahan pada
b.
c.
d.
e.
f.
g.
DAFTAR PUSTAKA
Braun, C. A., Anderson, C. M., 2007, Pathophysiologi: Functional Alterations in Human Health,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Brignole, M., 2007, Diagnosis and Treatmentof Syncope, Heart, 93 : 130-136.
Cheatham, M. L., Block, E.F.J., Smith, H.G., Promes, J.T., 2003, Shock: An Overview, Orlando Regional
Medical Center, Florida.
Ciftci, O., Kavalci, C., Duruan, P., 2014, Approach to Patients with Syncope in Emergency DepartementAn Evidence-Based Riview, The Journal of Academic Emergency Medicine 13 : 82-91.
Garretson, S., Malberti, S., 2007, Understanding Hypovolaemic, Cardiogenic, and Septic Shock,
Nursing Standard, 50 (21) : 46-55.
Hardisman, 2013, Memahami Patofisiologis dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik: Update dan Penyegar,
Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3) : 178-182
Hinkle, J. L., Cheever, K. H., 2014, Clinical Handbook for Brunner & Suddarths Textbook of Medical
Surgical Nursing, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Kamadjaja. D. B., 2010, Vasodepressor syncope di tempat praktek dokter gigi: Bagaimana mencegah
dan mengatasinya?, Journal PDGI 1 (59): 8-13.
Koury, S. I., Herfel, L.U., 2000, Anaphylaxis and acute allergic reactions In: International edition
Emergency Medicine Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed, McGrraw-Hill, New York.
Malamed, S., 2007, Medical Emergencies in the Dental Office, Edisi Keenam, Mosby Elsevier, Missouri.
Simons, F. E. R., dkk., 2012, 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for The Assessment
and Management of Anaphylaxis, Curr Opin Allergy Clin Immunol, 12 (4) : 389-399.
Tambayong, J., 2000, Patofisiologi untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.