Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN JURNAL ANAFILAKSIS

Disusun Oleh :

A. Malik S. Dinata

0710710011

Pembimbing : DR. dr. Hari Bagianto, SpAn, K-IC, K-MN

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR MALANG 2012

ANAFILAKSIS

Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi IgE terhadap alergen yang mengakibatkan degranulasi sel mast serta basofil sehingga melepaskan mediator inflamasi (leukotrien dan histamin) yang memunculkan manifestasi klinis anafilaksis. Hal tersebut berbeda dengan reaksi anafilaktoid, yang merupakan reaksi yang bukan dimediasi oleh IgE tetapi memiliki manifestasi klinik yang tidak dapat dibedakan dan terapi yang sama. Sementara itu, dari perspektif klinis, anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik dengan manifesatsi yang mengancam jiwa (Jose et al, 2009). Reaksi anafilaksis merupakan kasus kegawatdaruratan medis dengan onset cepat, progresif, dan melibatkan setidaknya dua sistem organ. Ciri khas reaksi ini melibatkan kombinasi gejala kardiovaskuler, respiratorik, dan kulit atau mukosa. (Hayney, 2011). Manifestasi respiratorik yang mengancam jiwa meliputi edema laring dan bronkospasme. Manifestasi kardiovaskuler yang mengancam jiwa meliputi takikardia serta hipotensi yang merupakan akibat dari hilangnya aliran darah efektif akibat disfungsi jantung serta pembuluh darah perifer yang mengakibatkan buruknya perfusi organ target, dan jika mempengaruhi otak, dapat memicu hilangnya kesadaran (Jose et al, 2009). Sebuah penelitian oleh Resuscitation Council UK menunjukkan bahwa rerata prognosis anafilaksis adalah baik, dengan case fatality ratio kuang dari 1% pada kebanyakan penelitian komunitas. Meskipun demikian, risiko kejadian reaksi berulang ternyata cukup substansial, yaitu sekitar 1 dalam 12 kasus per tahunnya. Lebih lanjut, trend menunjukkan bahwa angka masuk rumah sakit akibat anafilaksis meningkat dari 0,5 menjadi 3,6 kasus masuk rumah sakit per 100.000 antara tahun 1990 dan 2004; peningkatan ini adalah sejumlah 700% (Gambar 1) (Soar et al, 2012). Ketika reaksi anafilaksis terjadi secara fatal, kematian biasanya muncul segera setelah kontak dengan pemicu. Dari sebuah penelitian kasus, reaksi anafilaktik terhadap bahan makanan umumnya menyebabkan henti napas setelah 30-35 menit; sengatan serangga mengakibatkan kolaps akibat syok setelah 10-15 menit. Kematian tidak pernah terjadi lebih dari enam jam setelah kontak dengan pemicu (Gambar 2) (Soar et al, 2012)

Gambar 1. Angka Masuk Rumah Sakit akibat Anafilaksis Periode 1990-2004, Inggris (Soar et al., 2012)

Gambar 2. Waktu yang Dibutuhkan hingga Henti Jantung pasca Paparan terhadap Bahan Pemicu (Soar et al, 2012)

DIAGNOSIS KLINIS Sebuah poster dan kartu berukuran saku yang memuat inti-inti panduan World Allergy Organisation mengenai diagnosis klinis segera dan penatalaksanaan awal anafilaksis telah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa (Lampiran 1). Kriteria klinik diagnosis anafilaksis tersebut menekankan pada gejala multisistem dengan onset mendadak dan telah divalidasikan melalui penelitian kohort retrospektif pasien instalasi rawat darurat serta terbukti memiliki sensitivitas sangat kuat [96,7%, 95% confidence interval (CI) 88,8-99,9] dan spesifisitas baik (82,4%, 95% CI 75,5-87,6). Lebih lanjut, penggunaan kriteria tersebut pada penelitian epidemiologi mengakibatkan peningkatan identifikasi pasien anafilaksis secara signifikan (Simons et al., 2012). Adapun secara garis besar, manifestasi klinis anafilaksis dapat dilihat pada Tabel 1 (Jose et al, 2009). Tabel 1. Tanda dan Gejala Anafilaksis (Jose et al, 2009) Kulit Eritema Urtikaria Angioedema Respiratorik Batuk Dyspnea Wheezing Kardiovaskuler Pusing Pingsan Takikardia Hipotensi Syok Gastrointestinal Mual Muntah Kram Kembung Diare dan

Pada 80% kasus, tanda dan gejala kulit hampir selalu dijumpai (Gambar 1). Oleh karena itu, suatu kasus kemungkinan besar bukan merupakan anafilaksis jika pasien tidak menunjukkan manifestasi kulit. Lebih lanjut, manifestasi khas anafilaksis bergantung pada rute paparan alergen, di mana paparan alergen berupa makanan lebih cenderung mengakibatkan efek gastrointestinal serta respiratorik, sementara paparan alergen secara subkutan atau intravena cenderung mengakibatkan efek kardiovaskuler. Penyebab reasi ini begitu banyak dan meliputi obat (obat-obatan anestesi, obat anti inflamasi non-steroid, penisilin, dan opiat), makanan (kacang dan makanan laut), sengatan serangga (lebah, tawon), media kontras, lateks, serta vaksin (Jose et al, 2009).

Gambar 3. Urtikaria (Jose et al, 2009)

Anafilaksis dapat menyerupai kondisi lain dan harus dibedakan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisik (Tabel 2). Jika terdapat keraguan mengenai diagnosis, pasien hendaknya dikonsulkan secepatnya (Jose et al, 2009). Tabel 2. Diagnosis Banding (Jose et al, 2009) RESPIRATORIK Asma berat Aspirasi alienum Emboli paru corpus KARDIOVASKULER Reaksi vasovagal Infark myokard Aritmia LAIN-LAIN Sindroma karsinoid Ingesi ikan scombroid Phaeochromocytoma Angioedema herediter Serangan panik

MANAJEMEN Anafilaksis umunya terjadi segera setelah paparan terhadap alergen. Mengenali tanda dan gejala dengan cepat dapat mencegah anafilaksis berlanjut menjadi kolaps kardiovaskuler. Pasien hendaknya segera dibaringkan dengan kaki leih tinggi dari kepala sembari penolong mengaktifkan EMS. Penolong tidak boleh meninggalkan pasien untuk memonitor airway, breathing, dan circulation. Jika pasien bernapas adekuat tetapi kehilangan kesadaran, posisikan pasien pada recovery position. Jika mungkin, posisikan pasien sehingga berbaring miring untuk drainase cairan dan kaki sedikit ditekuk untuk mempertahankan posisi ini. CPR harus dilakukan kapanpun diindikasikan (Hayney, 2011). Epinefrin merupakan obat gawat darurat terpenting yang harus diberikan secara tepat dan segera. Meskipun terdapat keraguan tentang kondisi pasien, epinefrin tetap harus diberikan dan dapat diulang setiap 10-20 menit dengan

hingga 3 dosis atau sesuai kebutuhan berdasarkan perjalanan penyakit untuk meningkatkan tekanan darah sebelum pasien dirujuk ke instalasi rawat darurat. (Hayney, 2011). Sayangnya, seringkali epinefrin terlambat diberikan, bahkan pada pasien yang diopname. Sebagai contoh, anafilaksis cukup sulit untuk didiagnosis selama pasien dibawah pengaruh anestesi, sehingga pemberian epinefrin dapat tertunda. Pada sebuah penelitian retrospektif, 45% pasien dengan anafilaksis selama anestesi terkena syok, gangguan keseimbangan sirkulasi, atau henti jantung, sementara hanya 83% pasien yang mendapatkan epinefrin. Padahal, jika epinefrin tidak diberikan samasekali, gejala

kardiovaskuler seperti infark myokard dan aritmia dapat terjadi selama anafilaksis. Menariknya, komplikasi ini juga dapat terjadi setelah overdosis epinefrin, apapun rute pemberiannya, terutama setelah dosis bolus intraevna atau infus intravena yang terlalu cepat (Simons et al, 2012). Dipenhydramine dapat pula diberikan pada pasien anafilaksis. Dosis umum pada orang dewasa adalah 1-2 mg/kgBB dengan dosis maksimal 100 mg secara oral atau intramuskular, tergantung kondisi pasien. Pemberian

dipenhydramin oral hendaknya dipertimbangkan hanya jika pasien memiliki reaksi alergi yang berkembang lambat, seperti urtikaria yang muncul lebih dari 15 menit setelah paparan dengan alergen tanpa pembengkakan lidah, bibir, atau keterlibatan airway apapun (Hayney, 2011). Meskipun demikian, pada sebuah penelitian prospective randomized blinded pada pasien muda dengan reaksi alergi kulit akut saat dilakukan food challenge, perbandingan antara pemberian dipenhidramin 1 mg/kg dibandingkan dengan cetirizine 0,25 mg/kg membuktikan bahwa cetirizine memiliki onset aksi yang sama, efektivitas yang sama, durasi kerja yang lebih lama, dan penurunan profil sedasi (Simons et al, 2012) Manajemen anafilaksis membutuhkan suplai darurat yang dapat dilihat pada Tabel 3 (Hayney, 2011). Manajemen anafilaksis juga melibatkan penatalaksanaan life saving yang hendaknya dimulai secepatnya dan diikuti dengan perujukan ke spesialis alergi untuk dilakukan anamnesis alergi lengkap, pemeriksaan lanjutan, terapi, dan KIE. Dalam menjalankan penatalaksanaan anafilaksis, penting untuk diingat bahwa sembari manajemen kegawatdaruratan dimulai, perujukan pada spesialis alergi serta spesialis anestesi dengan skill manajemen airway hendaknya dilakukan bersamaan (Gambar 2) (Jose et al, 2009).

Tabel 3. Suplai Darurat untuk Manajemen Anafilaksis (Hayney, 2011)

Autoinjektor epinefrin (dua); atau epinefrin ampul (1 mg/ml), spuit Dipenhydramine Injeksi (50 mg/mL); spuit Kapsul atau tablet (50 mg) Telepon Salinan protokol respons gawat darurat Masker resusitasi dengan katup satu arah Sphygmomanometer dengan manset dan stetoskop Jam dengan penunjuk detik Tourniquet Kapas alkohol Spateltong Senter untuk pemeriksaan tenggorokan

Gambar 4. Waktu Pemberian Adrenalin pada Anafilaksis (Jose et al, 2009)

Terapi Lini Pertama Adrenalin hendaknya diberikan dengan perhatian khusus yang didasarkan pada prinsip ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, and exposure) sebagaimana pada manajemen pasien kritis akut lain (Jose et al, 2009). Dosis Adrenaline 0,5 mg (0,5 ml 1:1000) diberikan secara intramuskular

sebagai terapi live saving pada reaksi anafilaktik di orang dewasa meskipun bukti yang valid masih kurang. Adrenaline merupakan agonis reseptor yang menyebabkan vasokonstriksi serta agonis reseptor yang mendilatasi airway bronkial dan meningkatkan kontraktilitas myokard. Efek ini penting untuk meringankan keparahan reaksi yang dimediasi oleh IgE (Jose et al, 2009). Rute Konsentrasi puncak adrenalin di plasma terbukti lebih tinggi jika diberikan secara intramuskular pada paha jika dibandingkan dengan injeksi subkutan. Oleh karena itu, rute secara subkutan tidak lagi direkomendasikan. Pada kasus gawat darurat yang mengancam jiwa (skenario periarrest atau hipotensi intractable), adrenalin dapat diberikan secara intravena tetapi hendaknya diencerkan dulu hingga mencapai konsentrasi 1:100.000 serta diberikan dalam dosis kecil sebesar 50-100 g dan dititrasi hingga mencapai respon. Rute intravena hanya direkomendasikan hanya bagi tenaga ahli dengan fasilitas monitor denyut jantung dan tekanan darah seperti di instalasi rawat darurat, intensive care unit, dan kamar operasi (Jose et al, 2009). Efek Samping Meskipun jarang terjadi, vasokonstriksi arteri koroner akibat pemberian adrenalin, terutama secara intravena, dapat mengakibatkan iskemia serebral dan myokard. Sementara itu, eksitabilitas jaringan jantung dapat memicu artimia (Jose et al, 2009). Interaksi Untuk meningkatkan keefektifan adrenalin sembari meminimalisasi

risiko komplikasi, riwayat obat yang sedang dikonsumsi pasien hendaknya diketahui terlebih dahulu. Hal tersebut dapat sulit untuk dilakukan pada kasus kegawatdaruratan, tetapi pemberian adrenalin hendaknya tidak boleh ditunda. bloker mengurangi efektivitas adrenalin dan dapat meningkatkan keparahan reaksi anafilaksis sehingga membuat pasien tidak responsif terhadap terapi, dan pada kasus ini, 1-2 mg glukagon hendaknya diberikan secara intravena. Trisiklik antidepresan, monoamin oksidase inhibitor, dan kokain dapat meningkatkan efek sekaligus risiko komplikasi adrenalin, sehingga pada kasus seperti ini dosis adrenalin hendaknya diberikan setengah dosis penuh saja (Jose et al, 2009).

A (Airway) Pastikan bahwa jalan napas pasien tetap paten, jika perlu dengan menggunakan tatalaksana basic life support hingga bantuan datang. Asesmen dari spesialis anestesi diperlukan jika terdapat kekhawatiran mengenai jalan napas pasien. Langkah intervensi selanjutnya hanya boleh dilakukan jika patensi jalan napas sudah dapat dipastikan. Berikan oksigen aliran tinggi (biasanya di atas 10 L/menit) pada seluruh pasien kritis akut melalui masker non-rebreathing sesuai dengan the British Thoracic Society guideline: Emergency Oxygen Use in Adult Patients. Seluruh pasien yang diintubasi hendaknya diberi oksigen aliran tinggi dengan menggunakan bantuan Jackson-Reese (Jose et al, 2009). B (Breathing) Pernapasan pasien hendaknya diases dengan cepat

sebagaimana pada asesmen pasien dengan kondisi kritis akut lainnya. Periksa laju pernapasan, pola pernapasan, adanya kebingungan, serta periksa dada pasien. Lakukan palpasi trakea, perkusi serta auskultasi dada serta monitoring saturasi oksigen secara cepat untuk membantu mengeksklusi kasus ventil pneumotoraks. Penurunan saturasi oksigen secara cepat menandakan

oksigenasi yang buruk. Akibat buruknya perfusi di perifer, pulse oksimeter tidak dapat memberikan bacaan saturasi yang tepat. Pada kasus ini, analisis gas darah hendaknya dilakukan karena pemeriksaan ini juga akan menunjukkan adanya abnormalitas metabolik seperti asidosis metabolik. Suara napas mengi dapat didengar pada pasien anafilaksis karena adanya bronkospasme, kecuali bronkospasmenya sudah sangat parah hingga tidak terdengar suara napas tambahan pada dada pasien. Nebulisasi bronkodilator, seperti agonis (salbutamol 5 mg) dan antagonis muskarinik (ipratropium 0,5 mg) dapat diberikan secara bersamaan. Langkah selanjutnya baru bisa dilaksanakan jika ventilasi dan oksigenasi pasien sudah dirasa adekuat (Jose et al, 2009). C (Circulation) Inspeksi pasien untuk menemukan adanya diaforesis dan pucat sembari memeriksa denyut jantung, tekanan darah, dan perfusi perifer. Capillary Refill Time juga harus diperiksa. Masukkan kanula intravena pada fossa cubiti untuk mendukung sirkulasi dengan pemberian cairan intravena. Kanula yang digunakan hendaknya berukuran besar (16 gauge, abu-abu) meskipun pemasangannya sulit pada pasien hipotensi. Infus cepat 500-1000 ml hendaknya diberikan sebagai bolus dan responnya dimonitor. Kristaloid atau koloid dapat digunakan kecuali koloid justru terbukti menyebabkan reaksi anafilaksis. Jika usaha resusitasi awal ini gagal dan pasien mengalami henti jantung, manajemen

selanjutnya harus sesuai dengan pan/duan resusitasi jantung-paru atau advanced life support lokal (Jose et al, 2009). Koloid dapat terserap ke dalam lamina glycocalyx sehingga membatasi ultrafiltrasi. Oleh karena itu, koloid merupakan volume expander intravaskuler yang lebih efektif. Meskipun demikian, efek koloid seperti HES atau dextran bersifat transien, di mana setelah 2 jam pertama di mana efek koloid yang semula 300% hingga 400% lebih efektif dibanding kristaloid berbalik sehingga ketika digunakan dalam jangka panjang, perbandingan total kebutuhan cairan pada pasien yang hanya diberi koloid justru lebih besar, yaitu 1.4 bagian HES 6% : 1 bagian RL dan 1.1 bagian gelatin 4% : 1 bagian RL (Bayer et al., 2012). Berdasarkan berbagai penelitian dan meta analisis, pemberian koloid terutama HES meningkatkan prevalensi Acute Kidney Injury serta kebutuhan atas Renal Replacement Therapy. Belum lagi, pemberian koloid meningkatkan risiko alergi, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan kebutuhan transfusi. Apabila dibandingkan, resusitasi berjalan sama cepat dan sama efektifnya pada pasien yang diresusitasi dengan kristaloid saja versus pasien yang diresusitasi dengan kombinasi koloid sintetik dan kristaloid. Respon terapi yang diukur dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hemodinamik optimal juga sama. Meskipun demikian, nilai CVP optimal dicapai lebih lambat pada pasien yang hanya mendapatkan kristaloid saja (Bayer et al., 2012). D (Disability) Periksa tingkat kesadaran pasien secara AVPU (alert, responds to verbal command, responds to pain, unresponsive) atau Glasgow Coma Scale. Pasien yang tidak responsif atau dengan GCS <9 memerlukan asesmen airway CITO oleh spesialis anestesi. Jangan lupa memeriksa konsentrasi glukosa pasien untuk mengetahui ada tidaknya hipoglikemia (Jose et al, 2009). E (Exposure) Buka penutup tubuh pasien untuk menemukan manifestasi reaksi alergi pada kulit, seperti eritema, urtikaria (Gambar 1), atau angioedema. Petunjuk mengenai penyabab anafilaksis juga bisa jadi ditemukan, seperti sengatan serangga (Jose et al, 2009). Terapi LIni Kedua Kortikosteroid (hidrokortison 200 mg intramuskular atau bolus lambat intravena) hendaknya diberikan setelah resusitasi awal karena membantu mencegah reaksi lebih lanjut serta memendekkan durasi reaksi yang berkepanjangan. Terapi lini kedua ini biasanya hanya efektif selama 4-6 jam. Antihistamin (Klorfeniramin 10

mg intramuskular atau bolus lambat intravena) hendaknya diberikan setelah resusitasi dini karena dapat melawan vasodilatasi dan bronkokonstriksi yang dimediasi histamin (Jose et al, 2009). Monitoring Pasca Resusitasi Setelah resusitasi dini, pasien hendaknya diobservasi di rumah sakit selama setidaknya 6 jam dan ditangani oleh dokter senior. Hal ini dikarenakan adanya perjalanan bifasik pada sekitar 20% kasus anafilaksis. Pada kasus-kasus seperti ini, pasien dapat mengalami episode syok anafilaktik susulan yang bisa berkepanjangan (hipotensi parah yang berlangsung lebih dari 24 jam dan dengan prognosis buruk). Rerata durasi onset syok anafilaktik susulan adalah dalam 1-8 jam setelah kejadian pertama tetapi pernah dilaporkan timbul setelah 24-38 jam. Pasien hendaknya diobservasi selama 24 jam jika sudah memiliki riwayat mengalami reaksi bifasik, memiliki komponen asma pada reaksi anafilaktiknya, paparan absorbsi alergen yang terus menerus, serangan pada malam hari, atau kesulitan akses ke instalasi rawat darurat. Idealnya, pasien hendaknya dimonitor di tempat dengan fasilitas monitoring ritme jantung, tekanan darah, dan saturasi oksigen seperti area resusitasi gawat darurat, unit asesmen medis akut, atau high dependency dan intensive care unit (Jose et al, 2009).

Gambar 5. Algoritma Anafilaksis Pada saat serangan anafilaksis terjadi, sampel darah hendaknya diambil untuk pemeriksaan mast cell tryptase (serum atau sampel darah beku) setelah usaha resusitasi dimulai, satu hingga dua jam setelah onset gejala, dan saat

follow-up. Hal ini dapat dijadikan bukti adanya aktivasi sel mast sebagai penyebab reaksi alergi akut (Jose et al, 2009). Pelatihan Mahasiswa pendidikan dokter preklinik dan dokter muda harus mengikuti pelatikan life support yang meliputi penatalaksanaan anafilaksis seperti Advanced Life Support, dan III Medical Patients' Acute Care and Treatment course. Sementara itu, Basic Life Support, Immediate Life Support, dan Acute Life Threatening Emergencies Recognition and Treatment course juga meliputi sebagian besar kompetensi inisiatif Acute Care Undergraduate Teaching tetapi tidak memenuhi kompetensi managemen anafilaksis (Jose et al, 2009).

DAFTAR RUJUKAN

Bayer O, Reinhart K, Kohl M, Kabisch B, Marshall J, Sakr Y, Bauer M. 2012. Effects of Fluid Resuscitation with Synthetic Colloids or Crystalloids Alone on Shock Reversal, Fluid Balance, and Patient Outcomes in Patients with Severe Sepsis: a Prospective Sequential Analysis. Crit Care Med. 2012; 40(9):2543-2551 Hayney MS. 2011. Recognition and Management of Anaphylaxis to Vaccines. J Am Pharm Assoc. 2011; 51(2): Jose RJP, Chaudhary H, Jenkins HS. 2009. Anaphylaxis. Stud BMJ 2009;9(6):b1978 Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Dimov V, Ebisawa M, El Gamal YM, Ledford DK, et al. 2012. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2012; 12(4):383-399. Soar J, Pumphrey R, Cant A, Clarke S, Corbett A, Dawson P, Ewan P, et al. 2012. Emergency Treatment of Anaphylactic Reactions: Guideline for Healthcare Providers. Annotated with Links to NICE Guidance July 2012. London: Resuscitation Council (UK)

Anda mungkin juga menyukai