Defisiensi genetik sistem komplemen mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, gangguan rematik, atau angio-edema.
PENDAHULUAN Meskipun sistem komplemen pertama kali dijelaskan sejak pergantian abad kedua puluh, pasien pertama dengan defisiensi komplemen genetik baru dapat diidentifikasi pada tahun 1960. Sejak itu, penyakit defisiensi telah dilaporkan pada hampir semua komponen sistem komplemen.
PATOFISIOLOGI Individu dengan defisiensi komplemen genetik memiliki berbagai penampakan klinis. Kebanyakan pasien datang dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, yang lain datang dengan beraneka penyakit rematik atau angio-edema, dan pada kasus yang jarang terjadi, beberapa pasien mungkin bahkan datang tanpa gejala. Penjelasan tentang dasar patofisiologi untuk variasi presentasi klinis pada individu dengan defisiensi komplemen telah memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih baik tentang peran fisiologis komplemen pada individu normal. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi merupakan temuan klinis yang umum pada kebanyakan pasien dengan defisiensi komplemen. Jenis-jenis infeksi berhubungan dengan fungsi biologis dari tiap komponen yang hilang. Sebagai contoh, produk pembelahan utama (C3b) dari komponen ketiga komplemen (C3) merupakan ligan penting proses opsonisasi. Oleh karena itu, pasien dengan defisiensi C3 atau komponen salah satu dari dua jalur yang mengaktifkan C3 akan rentan terhadap infeksi yang disebabkan bakteri yang dieliminasi melalui opsonisasi oleh pertahanan primer host (misalnya Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes dan Haemophilus influenzae). Demikian pula, C5-C9 membentuk kompleks serangan membran dan bertanggung jawab atas fungsi bakterisida komplemen. Dengan demikian, pasien dengan defisiensi C5, C6, C7, C8 C9 atau rentan terhadap spesies Neisseria karena aktivitas bakterisidal serum merupakan pertahanan host yang penting dalam melawan organisme ini.
Penyakit Rematik Pasien dengan defisiensi komplemen juga dapat mengembangkan berbagai penyakit rematik. Hal tersebut meliputi gangguan yang menyerupai lupus eritematosus sistemik (SLE) serta glomerulonefritis, dermatomiositis, anaphylactoid purpura dan vasculitis. Prevalensi gangguan inflamasi tersebut paling tinggi pada pasien dengan defisiensi aktivasi jalur klasik (C1, C4 dan C2) dan C3. Sebagai contoh, sekitar 80% pasien dengan penyakit defisiensi C4 atau C3 dan hanya lebih dari 30% pasien dengan defisiensi C2 datang dengan gangguan rematik. Sebaliknya, kurang dari 10% pasien dengan defisiensi komponen komplemen terminal mengeluhkan gangguan rematik. Hipotesis paling menarik yang menghubungkan penyakit rematik dan penyakit defisiensi komplemen mengarah pada peran sistem komplemen dalam pembersihan dan pengolahan kompleks imun. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa serum pasien dengan defisiensi komplemen mengalami perubahan dan/atau pengurangan kemampuan untuk memproses kompleks imun dan ketidakmampuan serum pasien untuk memproses kompleks imun in vitro yang berkorelasi dengan resiko mereka untuk mengembangkan gangguan rematik. Sebagai contoh, serum dari pasien dengan defisiensi genetik Clq, C4, C2 dan C3 gagal untuk mencegah pengendapan kompleks imun begitu mereka terbentuk, mengalami penurunan kemampuan untuk kembali melarutkan kompleks setelah mereka terbentuk, dan tidak mendukung pengikatan kompleks imun yang sebelumnya telah terbentuk pada reseptor C3b eritrosit manusia. Sebaliknya, serum pasien dengan defisiensi komponen terminal (C5-C9) bekerja normal sehubungan dengan aktivitas ini.
Angio-edema Pasien dengan defisiensi dari salah satu protein kontrol jalur klasik, C1 esterase inhibitor (C1 INH), biasanya datang dengan angio-edema pada kulit atau selaput lendir (lihat di bawah). Dasar patofisiologis berkembangnya angio-edema pada defisiensi C1 INH tidak sepenuhnya dipahami, tetapi tampaknya berhubungan dengan ketidakmampuan C1INH untuk menghambat aktivasi sistem komplemen maupun sistem kinin.
Asimtomatik Beberapa pasien dengan defisiensi komplemen genetik relatif asimtomatik, tidak pernah mengalami infeksi serius atau gangguan rematik. Pasien-pasien tanpa gejala tersebut biasanya terdiagnosis akibat skrining dari anggota keluarga pasien yang mengalami penyakit defisiensi komplemen dengan diagnosis yang telah ditegakkan dan menunjukkan masalah klinis.
GANGGUAN KHUSUS Sebagian besar defisiensi genetik sistem komplemen diwariskan secara autosomal resesif. Hanya ada dua pengecualian yang diketahui: defisiensi C1 inhibitor diwariskans secara autosomal dominan, sementara defisiensi properdin diwariskan secara X-linked resesif.
Defisiensi Clq Komponen pertama komplemen terdiri dari tiga subunit yang berbeda, Clq, Clr dan Cls. Tampaknya ada dua bentuk defisiensi Clq. Dalam satu bentuk, Clq tidak dapat terdeteksi dengan analisis baik fungsional maupun imunokimia. Dalam bentuk lain, Clq ditemukan pada analisis imunokimia, tetapi tidak memiliki aktivitas fungsional atau disfungsional. C1q disfungsional kekurangan sifat antigeniknya dan tidak berinteraksi baik dengan imunoglobulin G (IgG) atau substratnya, Clr serta Cls.
Presentasi klinis yang paling umum dari bentuk defisiensi Clq manapun adalah sindrom seperti lupus. Manifestasi klinis SLE pada pasien dengan defisiensi Clq tidak berbeda jauh dari yang terlihat pada orang dengan sistem komplemen normal, meskipun usia onset cenderung lebih awal dan penyakit bisa sangat berat dengan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) yang signifikan serta penyakit ginjal. Pasien dengan defisiensi Clq juga memiliki peningkatan kerentanan terhadap infeksi yang ditularkan melalui darah oleh organisme piogenik seperti sepsis dan/atau meningitis, mungkin karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan C3b yang aktif mengopsonisasi melalui aktivasi jalur klasik.
Defisiensi Clr/Cls Gen-gen yang mengkode Clr dan Cls dipetakan pada lengan pendek kromosom 12, dipisahkan hanya oleh 9,5 kb dan sangat homolog. Defisiensi genetik Clr ditandai dengan pengurangan Clr yang signifikan (kurang dari 1% dari normal) dan pengurangan sedang Cls (20-50% dari normal). Dasar asosiasi penurunan sedang Cls dan hilang totalnya Clr pada pasien masih tidak diketahui, meskipun mungkin berhubungan dengan dekatnya kesamaan struktural maupun fungsional mereka. Menariknya, satu pasien dilaporkan dengan Cls yang nyata berkurang sementara tingkat Clr 50% dari normal.
Kebanyakan pasien defisiensi Clr/Cls bermanifestasi sebagai SLE, meskipun glomerulonefritis terisolasi juga telah dijelaskan. Selain itu, beberapa pasien terdiagnosis akibat penelitian pada keluarganya tetapi secara klinis baik-baik saja. Defisiensi C4 Ada dua lokus (C4A dan C4B) dalam MHC yang mengkodekan C4. Meskipun produk dari dua lokus ini berbagi beberapa karakteristik fungsional, struktural dan antigenik yang mengidentifikasi mereka sebagai C4, terdapat perbedaan sehubungan dengan mobilitas elektroforesis, berat molekul rantai, epitop spesifik dan aktivitas hemolitik fungsional mereka sehingga masing-masing dapat diidentifikasi. Pasien dengan defisiensi C4 lengkap homozigot mengalami defisiensi pada kedua lokus dan mengalami depresi berat pada tingkat serum C4 antigenik maupun fungsional (kurang dari 1%). Aktivitas serum yang bergantung pada C3 serta C5-C9 dan dapat dimediasi melalui aktivasi jalur alternatif, seperti kegiatan opsonisasi, kemotaksis dan bakterisida, tetap ada namun tidak pada tingkat yang sama atau secepat dalam serum normal karena kurangnya jalur klasik utuh.
Manifestasi klinis utama defisiensi C4 lengkap adalah penyakit mirip SLE yang ditandai dengan ruam kulit fotosensitif, penyakit ginjal dan kadang-kadang arthritis. Meskipun beberapa pasien mengalami peningkatan kerentanan terhadap infeksi, pasien juga tetap mengalami penyakit mirip SLE.
Meskipun defisiensi C4 lengkap jarang ditemukan, individu yang mengalami defisiensi baik untuk C4A atau C4B secara homozigot relatif umum dijumpai. Sekitar 1% dari populasi mengalami defisiensi C4A homozigot dan 3% dari populasi mengalami defisiensi C4B. Seperti yang telah disebutkan, C4A dan C4B agak berbeda dalam fungsi; C4A lebih efisien untuk mengikat protein dan C4B lebih efisien untuk mengikat karbohidrat. Individu yang kekurangan C4A tidak memiliki isotipe yang paling efisien berinteraksi dengan protein, dan karena itu mungkin tidak dapat membersihkan kompleks imun normal yang mengandung protein dan lebih rentan terhadap penyakit kompleks imun seperti SLE. Bahkan, prevalensi defisiensi C4A homozigot pada SLE adalah antara 10% dan 15%, prevalensi tersebut setidaknya 10 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Individu yang defisiensi C4B kekurangan isotipe yang lebih efisien dalam berinteraksi dengan polisakarida dan karena itu mungkin tidak dapat merakit jalur klasik pembelahan enzim C3 pada kapsul polisakarida bakteri dan menjadi lebih rentan terhadap infeksi bakteri yang ditularkan melalui darah. Bahkan, prevalensi defisiensi C4B meningkat pada anak-anak dengan bakteremia dan meningitis.
Defisiensi C2 Defisiensi C2 genetik adalah defisiensi komplemen turunan yang paling umum, terjadi pada 1 dari 10 000 populasi Kaukasia. Gen untuk C2 terletak dalam major histocompatibility complex (MHC) dan berhubungan dengan haplotype kekal MHC, HLA-B18, C2*QO, Bf*S, C4A*4, C4B*2 dan DR*2. Karena adanya disequilibrium ikatan dengan haplotype kekal, tidak mengherankan bahwa lebih dari 95% dari individu defisiensi C2 secara homozigot mengalami mutasi yang sama, yaitu penghapusan 28 pasangan basa yang mengakibatkan penghentian transkripsi prematur. Kegiatan serum yang dimediasi komplemen, seperti opsonisasi dan kemotaksis tetap hadir pada pasien dengan defisiensi C2, mungkin karena jalur alternatifnya masih utuh, meskipun aktivitas tersebut tidak secepat atau seefektif pada individu dengan jalur klasik utuh.
Manifestasi klinis defisiensi C2 bervariasi antar individu yang menderita penyakit rematik dan/atau peningkatan kerentanan terhadap infeksi serta pada individu yang tidak menunjukkan gejala. Sekitar 40% dari individu defisiensi C2 mengembangkan SLE atau lupus diskoid. Pasien dengan defisiensi C2 menunjukkan banyak fitur khas lupus, meskipun nefritis berat, cerebritis dan arthritis berat lebih jarang terjadi daripada pada pasien SLE dengan sistem komplemen normal. Lesi kulit umum dijumpai pada pasien defisiensi C2 dengan lupus dan mayoritas berbentuk sebagai ruam annular fotosensitif. Pasien dengan defisiensi C2 dan SLE memiliki prevalensi antibodi anti-DNA dan antigen antinuclear yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien SLE lainnya, namun insiden antibodi anti-Ro justru lebih tinggi. Berbagai gangguan rematik lainnya juga telah dilaporkan dalam defisiensi C2, dan meliputi glomerulonefritis, penyakit radang usus, dermatomiositis, anaphylactoid purpura dan vasculitis. Sekitar 50% pasien defisiensi C2 mengalami peningkatan kerentanan terhadap infeksi yang ditularkan melalui darah (misalnya sepsis, meningitis, arthritis dan osteomyelitis) akibat organisme berkapsul (misalnya Pneumococcus, H. influenzae dan meningococcus).
Defisiensi C3 Pasien dengan defisiensi C3 umumnya memiliki kurang dari 1% dari jumlah normal C3 dalam serum mereka. Aktivitas serum baik yang secara langsung tergantung pada C3 (opsonisasi) atau tidak langsung tergantung pada C3 karena perannya dalam aktivasi C5-C9 (kemotaksis dan aktivitas bakterisida) juga ikut menurun secara signifikan. Manifestasi klinis defisiensi C3 meliputi peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan gangguan rematik. Infeksi yang dapat terjadi meliputi pneumonia, bakteremia, meningitis dan osteomyelitis akibat bakteri piogenik berkapsul.Gangguan rematik bervariasi dari keterlibatan klinis yang terbatas, seperti arthralgia dan ruam kulit vaskulitis, hingga keterlibatan klinis yang lebih luas dan konsisten dengan lupus eritematosus sistemik. Menariknya, seperti halnya pada beberapa pasien defisiensi komplemen lainnya, pasien defisiensi C3 mungkin tidak positif terhadap bukti serologis lupus. Glomerulonefritis membranoproliferatif juga telah diamati pada pasien defisiensi C3.Penyakit ginjal dapat mencerminkan peran C3 dalam pembersihan kompleks imun.
Defisiensi C5 Serum pasien dengan defisiensi C5 tidak dapat menghasilkan aktivitas kemotaktik atau bakterisida dalam jumlah normal. Seperti yang diharapkan, aktivitas opsonisasi serum tidak terganggu, karena aktivasi C3 dapat terus berjalan tanpa partisipasi dari C5.
Meskipun pasien awal yang didiagnosis mengalami defisiensi C5 menderita SLE dan glomerulonefritis membranoproliferatif, pasien-pasien selanjutnya didiagnosis setelah menderita meningitis meningokokus atau infeksi Gonococcus diseminata. Beberapa pasien defisiensi C5 bersifat asimtomatik dan baru terdiagnosis sebagai bagian dari penelitian keluarga.
Defisiensi C6 Defisiensi C6 telah dilaporkan di hampir 100 orang, banyak dari mereka adalah keturunan Afrika. Bentuk yang paling umum dari defisiensi C6 ditandai dengan tidak ada atau hampir tidak adanya C6 (1% dari normal), baik secara imunokimia atau fungsional. Satu-satunya kelainan yang berkaitan dengan sistem komplemen serum mereka adalah defisiensi signifikan aktivitas bakterisida serum. Defisiensi subtotal dari C6 (C6SD/defisiensi subtotal C6) juga telah dilaporkan dan ditandai dengan kadar serum C6 yang 1-2% dari normal. Protein C6 yang terpotong ini memiliki berat molekul rendah dan meskipun dapat dimasukkan ke dalam kompleks penyerangan membran, fungsinya tetap kurang efisien.
Manifestasi klinis utama defisiensi C6 total adalah infeksi Neisseria diseminata. Sementara kebanyakan pasien mengalami sepsis Meningococcus dan meningitis, beberapa pasien lain menderita infeksi Gonococcus diseminata. Pasien dengan C6SD tampaknya tidak mengalami peningkatan kerentanan terhadap infeksi.
Defisiensi C7 Hanya beberapa pasien dengan defisiensi C7 yang telah diidentifikasi. Kebanyakan pasien menunjukkan kadar C7 yang berkurang secara signifikan (51%). Aktivitas bakterisidal serum berkurang secara nyata. Jenis kedua defisiensi C7 telah dilaporkan, di mana kuantitas C7 berkurang tapi tidak hilang samasekali. C7 yang ditemukan menunjukkan titik isoelektrik yang berubah. Menariknya, bentuk defisiensi C7 ini yang disebut sebagai defisiensi subtotal C7 (C7SD), terutama ditemukan sehubungan dengan C6SD (lihat di atas).
Sejumlah presentasi klinis telah dikaitkan dengan defisiensi C7. Seperti dengan defisiensi lain dari komponen terminal, infeksi Neisseria sistemik dialami dalam sebagian besar kasus defisiensi C7 yang dilaporkan. Pasien individu juga dapat datang dengan lupus, rheumatoid arthritis, skleroderma dan pioderma gangrenosum. Meskipun demikian, tetap saja ada beberapa pasien dengan defisiensi C7 yang secara klinis baik-baik saja.
Defisiensi C8 C8 pada dasarnya terdiri dari tiga rantai (a, b dan g). Rantai a dan g yang kovalen berikatan untuk membentuk satu subunit (C8ag), yang bergabung dengan subunit lain yang terdiri dari rantai b (C8b) melalui ikatan non-kovalen. Masing-masing dari polipeptida C8 dikodekan oleh gen yang terpisah. Dalam satu bentuk defisiensi C8, pasien tidak memiliki subunit C8 ag, sementara di bentuk lain, pasien mengalami defisiensi subunit C8b. Defisiensi C8b lebih sering terjadi pada populasi Kaukasia sedangkan defisiensi C8ag lebih sering terjadi pada keturunan Afrika. Delapan puluh enam persen absennya alel C8b disebabkan oleh transisi CT di ekson 9 yang memproduksi kodon stop prematur. Dasar molekuler defisiensi C8ag telah diidentifikasi dalam tiga pasien. Dalam lima dari enam absennya alel, mutasi intronik mengubah penyambungan ekson 6 dan 7 dari C8a dan menciptakan penyisipan 10- bp yang menghasilkan kodon stop prematur. Dalam defisiensi C8ag maupun defisiensi C8b, aktivitas C8 berkurang secara signifikan dan terdapat pengurangan aktivitas bakterisida berat.
Gambaran klinis defisiensi C8 menyerupai defisiensi komponen komplemen terminal lain. Meningokoksemia, meningitis meningokokus dan infeksi gonokokal diseminata merupakan sebagian besar manifestasi, tapi SLE juga dapat terjadi meskipun jarang dijumpai.
Defisiensi C9 Sejauh ini hanya ada beberapa pasien dengan defisiensi C9 yang telah diidentifikasi pada populasi Barat tetapi tampaknya defisiensi C9 justru merupakan defisiensi komplemen yang paling umum di Jepang dengan prevalensi 0,036-0,095%. Lisis bakteri dapat dimediasi oleh kompleks penyerangan membran yang terdiri dari C5b- 8 dan oleh karena itu tidak benar-benar bergantung pada C9. Akibatnya, serum pasien dengan defisiensi C9 hanya tinggal memiliki sedikit aktivitas bakterisida, meskipun tingkat pembunuhan berkurang secara signifikan.
Beberapa pasien pertama yang didiagnosis dengan defisiensi C9 datang tanpa gejala, menunjukkan bahwa defisiensi C9 pada awalnya tidak berhubungan dengan masalah klinis. Namun, kebanyakan pasien dengan defisiensi C9 berikutnya datang dengan infeksi meningokokus sistemik. Selain itu, studi epidemiologi defisiensi C9 di Jepang memberikan bukti kuat akan hubungan antara defisiensi C9 dan sepsis serta meningitis meningokokus.
Defisiensi Faktor I Faktor I mengontrol perakitan dan ekspresi enzim jalur alternatif yang mengaktifkan C3. Defisiensi faktor I ditandai dengan aktivasi C3 yang tidak terkendali melalui jalur alternatif, karena dengan tidak adanya faktor I, tidak ada kontrol pada pembentukan dan ekspresi jalur alternatif yang mengaktifkan C3. Pasien dengan defisiensi faktor I dengan demikian mengalami konsumsi sekunder C3 yang mengakibatkan penurunan nyata C3 asli dalam serum mereka. Sebagian besar dari C3 yang ada tidak dalam bentuk aslinya, melainkan dalam bentuk produk pembelahannya yang tidak aktif, C3b. Aktivitas serum yang secara langsung atau tidak langsung tergantung pada ketersediaan C3 asli (aktivitas opsonisasi, aktivitas kemotaktik dan aktivitas bakterisida) berkurang pada pasien dengan defisiensi faktor I.
Ekspresi klinis yang paling umum dari defisiensi faktor I adalah peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Seperti halnya pada defisiensi C3 primer (lihat di atas), infeksi yang terjadi meliputi infeksi lokal pada permukaan mukosa maupun infeksi sistemik. Organisme yang paling umum bertanggung jawab untuk infeksi ini adalah bakteri piogenik berkapsul, seperti streptococcus, pneumococcus, meningococcus dan organisme H influenzae, di mana C3 merupakan ligan penting untuk mengopsonisasi organisme tersebut. Selain masalah dengan infeksi, beberapa pasien mengalami peningkatan kadar kompleks imun di sirkulasi. Masih belum ada laporan pasien dengan defisiensi faktor I yang mengembangkan penyakit ginjal kronis seperti yang dijumpai pada pasien dengan defisiensi C3. Meskipun demikian, ada satu laporan mengenai penyakit transien yang menyerupai serum sickness dan ditandai dengan demam, ruam, arthralgia, hematuria dan proteinuria.
Defisiensi properdin Defisiensi properdin adalah satu-satunya defisiensi komplemen yang diwariskan secara X-linked resesif. Properdin bertindak untuk menstabilkan enzim jalur alternatif yang mengaktifkan C3 dan C5. Oleh karena itu, serum pasien dengan defisiensi properdin tidak dapat mengaktifkan C3 melalui jalur alternatif. Ada beberapa bentuk defisiensi properdin. Dalam satu bentuk, laki-laki yang terkena menunjukkan penurunan tingkat properdin (51% dari normal), sedangkan dalam bentuk lain, properdin hadir tetapi dalam jumlah yang berkurang (10% dari normal). Bentuk ketiga defisiensi properdin telah dilaporkan di mana properdin hadir dalam konsentrasi normal tetapi aktivitasnya disfungsional. Manifestasi klinis yang paling umum dari defisiensi properdin meliputi meningokoksemia fulminan dan meningitis meningokokus. Hal tersebut sekaligus menekankan pentingnya jalur alternatif dalam pertahanan host terhadap meningokokus. Pasien cenderung memiliki tingkat mortalitas yang sangat tinggi (75%) dibandingkan pasien dengan komplemen normal atau pasien dengan defisiensi komponen komplemen terminal. SLE dan lupus diskoid juga telah dilaporkan pada beberapa pasien.
Defisiensi C1 esterase inhibitor Defisiensi genetik C1 esterase inhibitor (C1 INH) bertanggung jawab terhadap penyakit angio-edema herediter (HAE). Defisiensi inhibitor C1 diwariskan secara autosomal dominan. Setidaknya ada dua bentuk defisiensi C1 INH. Dalam bentuk yang paling umum (tipe I) yang diderita sekitar 85% dari pasien, serum dari individu mengalami defisiensi protein C1 INH (5-30% dari normal) sekaligus penurunan aktivitas C1 INH. Dalam bentuk yang kurang umum (tipe II) yang diderita 15% pasien, protein disfungsional hadir dalam konsentrasi normal atau meningkat, tetapi aktivitas fungsional berkurang secara signifikan. Mekanisme patofisiologis dimana ketiadaan aktivitas C1 INH mengakibatkan gangguan angio-edema yang khas masih tidak sepenuhnya dipahami. Baik mediator yang bertanggung jawab untuk memproduksi edema maupun mekanisme yang memulai produksi mereka belum dapat diidentifikasi dengan pasti, meskipun ada bukti yang mengarahkan bahwa sistem komplemen maupun sistem kinin sedikit banyak turut andil dalam patogenesis edema.
Gejala klinis HAE adalah akibat dari edema submukosa atau subkutan. Lesi ditandai dengan edema non-inflamatorik yang terkait dengan pelebaran kapiler dan venula. Tiga daerah keterlibatan yang paling menonjol meliputi saluran pernapasan, kulit dan saluran pencernaan.
Serangan yang melibatkan saluran pernapasan bagian atas merupakan ancaman serius bagi pasien HAE. Sebelum penggunaan androgen untuk mencegah episode tersebut, edema faring dapat terjadi setidaknya sekali dalam hampir dua pertiga pasien. Pasien awalnya mengeluhkan sesak di tenggorokan yang diikuti dengan pembengkakan pada lidah, mukosa bukal dan orofaring. Dalam beberapa kasus, edema laring disertai dengan suara serak dan stridor dapat berkembang menjadi obstruksi pernapasan yang merupakan kedaruratan dan dapat mengancam jiwa. Serangan biasanya berkembang selama 1-2 hari dan sembuh selama 2-3 hari selanjutnya.
Serangan yang melibatkan kulit mungkin melibatkan ekstremitas, wajah atau alat kelamin. Edema dapat bervariasi dalam ukuran dari beberapa sentimeter hingga keterlibatan seluruh ekstremitas. Lesi lebih cenderung pucat daripada merah, biasanya tidak hangat, dan memiliki karakteristik non-pruritik. Mungkin ada perasaan sesak di kulit akibat akumulasi cairan subkutan, tapi tidak ada rasa sakit. Saluran pencernaan juga dapat dipengaruhi oleh HAE. Bahkan, keterlibatan gastrointestinal justru sering terjadi pada anak dengan HAE. Gejala sekunder berupa edema dinding usus dan dapat meliputi keluhan seperti anoreksia, nyeri tumpul abdomen, muntah dan nyeri perut serupa kram. Gejala perut dapat terjadi tanpa adanya gejala kulit atau keterlibatan faring secara bersamaan.
Timbulnya gejala yang mengarah ke HAE terjadi pada lebih dari separuh pasien sebelum masa remaja, namun pada beberapa pasien, gejala tidak terjadi sampai usia dewasa. Meskipun trauma, kecemasan dan stres sering disebut sebagai pemicu serangan, lebih dari separuh pasien tidak bisa secara jelas mengidentifikasi suatu peristiwa yang dapat mengawali serangan. Ekstraksi gigi dan tonsilektomi dapat memicu edema saluran napas bagian atas, sementara edema kulit dapat mengikuti trauma ekstremitas.
Terapi Hae dibagi menjadi dua kategori: profilaksis serangan dan pengobatan serangan. Pencegahan jangka panjang serangan dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami obstruksi laring atau telah menderita serangan sering yang mengganggu kualitas hidup. Agen antifibrinolytic seperti e-amnocaproic acid (EACA) telah digunakan dengan keberhasilan cukup dalam pencegahan jangka panjang serangan. Baru-baru ini, turunan androgen seperti danazol dan stanozolol yang telah dilemahkan potensi androgeniknya terbukti berguna dalam profilaksis jangka panjang HAE. Namun, agen ini belum digunakan secara luas pada anak-anak karena efek androgenik mereka. Androgen bekerja dengan merangsang sintesis C1 INH fungsional utuh oleh gen normal. Dalam beberapa kasus, pasien mungkin memerlukan terapi profilaksis jangka pendek (misalnya sebelum bedah mulut). Dalam konteks ini, terapi danazol dapat dimulai satu minggu sebelum pembedahan atau EACA dapat diberikan sehari sebelum operasi.
Sejumlah obat telah digunakan sebagai upaya mengatasi serangan HAE. Adrenalin, antihistamin dan kortikosteroid terbukti tidak bermanfaat. Namun, uji coba terakhir dengan C1 INH yang dimurnikan secara parsial dirasa cukup baik.