Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO
ANEMIA HEMOLITIK

PENYUSUN :

Siti Aisyah Karimuna, S.Ked

K1A1 14 042

PEMBIMBING :

dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp.PD-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Siti Aisyah Karimuna, S.Ked.

NIM : K1A1 14 042

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Anemia Hemolitik

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka menyelesaikan kepanitraan klinik pada
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp.PD-FINASIM


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin atau kadar
hematokrit dalam darah tepi di bawah nilai normal sesuai umur dan jenis kelamin
penderita, sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1
Anemia Hemolitik merupakan keadaan dimana kadar hemolitik kurang dari normal
akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kekmampuan sumsum tulang untuk
menggantikannya. Tingkat keparahan anemia tergantung pada apakah timbulnya
hemolisis bertahap atau tiba-tiba dan pada tingkat kerusakan eritrosit. Hemolisis ringan
dapat asimptomatik sedangkan anemia pada hemolisis berat dapat mengancam jiwa dan
menyebabkan angina dan dekompensasi kardiopulmoner.1
Anemia hemolitik terbagi atas 2, yakni anemia hemolitik imun dan anemia
hemolitik non imun. Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia)
merupakan kelainan adanya antibodi terhadap eritrosit sehingga eritrosit mudah lisis
dan umur eritrosit memendek. Normalnya, umur eritrosit berkisar 120 hari, sedangkan
pada anemia hemolitik menjadi kurang dari 100 hari. 1
Anemia hemolitik non imun terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena
faktor defek molecular, abnormalitas struktur membrane, faktor lingkungan yang bukan
autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati
atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi
yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi,
seperti malaria, babesiosis, dan klostridum.
Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. AIHA akut relatif
jarang, dengan insiden satu hingga tiga kasus per 100.000 populasi per tahun.
Prevalensi dan angka kejadian anemia hemolitik antara laki-laki dan perempuan
memiliki jumlah yang sama. Namun pada defisiensi (Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase/
G6PD) yang terkait kromosom x, pada umumnya ditemukan lebih banyak pada laki-
laki. dan perempuan adalah pembawa(karier). Diperkirakan sekitar ± 400 juta manusia
di seluruh dunia menderita kelainan atau defisiensi enzim ini. Frekuensi tertinggi
didapatkan pada daerah tropis dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan
anemia hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia diperkirakan sebesar 1 -
4%,.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANEMIA HEMOLITIK IMUN/ AUTOIMMUNE HEMOLITIC ANEMIA
(AIHA)
1. Definisi
Anemia hemolitik imun adalah kondisi pada pasien di mana terdapat
autoantibodi yang melekat pada eritrosit dan menyebabkan lisis. Sehingga
umur eritrosit menjadi kurang dari 100 hari, Anemia hemolitik adalah suatu
penyakit yang heterogen baik karena adanya berbagai antibodi yang
berperan pada patogenesis penyakit ini ataupun karena berbagai penyakit
yang ikut mendasarinya. Pathogenesis dan etiologi yang kompleks
mengharuskan penanganan yang komperhensif tidak saja untuk mengatasi
masalah anemia namun juga pada penyakit yang mendasarinya. Sehingga
dapat dikatakan untuk terjadinya anemia hemolitik, perlu diprovokasi
adanya antibodi dan destruksi eritrosit.1
2. Epidemiologi
Dilaporkan insidensi anemia hemolitik imun sebesar
0.8/100.000/tahun dan prevalensinya sebesar 17/100.000. Puncak insiden
AIHA anak adalah pada usia 4 tahun pertama kehidupan. Angka kejadian
AIHA pada pria dan wanita hampir sama yaitu dengan perbandingan
1:1,dan tidak berhubungan dengan ras, namun terkait dengan keturunan.1
3. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas,
kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada
proses pembatasan limfosit autoraktif residual.
Fungsi T regulatory CD4+CD25+ yang intak mampi mencegah
timbulnya autoantibodi. Suatu percobaan dengan menggunakan model
Marshall Clarke dan Playfair hewan coba murni AIHA digunakan untuk
melihat etiologi anemia hemolitik imun dan peran dari T regulatory. Hewan
coba mencit diimunisasi berulang dengan eritrosit tikus sehingga akan
timbul autoantibodi mencit terhadap eitrosis sesuia dengan aloantibodi
spesifik pada tikus. Pada mencit, sel T CD4+ CD25+ berkurang karena
telah diberikan anti CD25 antibodi sebelum imunisasi dengan eritrosit tikus
yang akan mengalami anemia hemolitik imun dimana 60% lebih banyak
dibandingkan mencit yang tidak mendapatkan antibody anti-CD25. Dari
penelitian tersebut disimpulkan bahwa T regulatory (CD4+CD25+)
berperan dalam mengendalikan induksi anemia hemolitik imun.1
Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah penyakit sekunder
akibat penyakit virus, penyakit imun lain, keganasan atau karena obat.
Beberapa penyakit yang disertai dengan AIHA adalah leukemia limfositik
kronik, limfoma non hodgin, gamopati IgM, SLE, colitis ulseratif, tumor
solid, kista dermoid ovarium, Common Variable Immune Deficiency,
Autoimmune Lymphoproliferative Disease, setelah terapi transplantasi sel
punca alogenik, pasca transplantasi organ. Beberapa jenis obat yang
digunakan pada kasus leukemia limfositik kronik bisa menginduksi AIHA,
begitupula interferon a, levofloksasin, lenalidomid, dan juga tranfusi
darah.1
4. Patofisiologi
a. Aktivasi Sistem Komplemen
Secara keseluruhan aktivasi system komplemen akan
menyebabkan hancurnya membrane sel eritrosit dan terjadilan
hemolysis intravascular yang ditandai dengan hemoglobinemua dan
hemoglobuniuri. System komplemen akan diaktifkan melalui jalur
klasik ataupun jalur alternative. Antibodi-antibodi yang memiliki
kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3.
Immunoglobulin M disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab
antibody ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel
darah merah pada suhu dibawah tubuh. Antibodi IgG disebut agglutinin
hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada
suhu tubuh.
1) Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan
aktivasi C1, suatu protein yang dikenal sebagai
recognition unit. Protein C1 akan berikatan dengan
kompleks imun antigen antibody dan menjadi aktif serta
mampu mengkatalis reaksi-reaksi pada jalur klasik.
Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi
suatu kompleks C4b, 2b (dikenal sebagai C3
konvertase). C4b, 2b akan memecah C3 menjadi
fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan
konformasional sehingga mampu berikatan secara
kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen
(sel darah merah berlabel antibodi) C3 juga akan
membelah menjadi C3s, g dan C3c. C3d dan C3g akan
tetap berikatan pada membrane sel darah merah dan
merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b
(C5 konvertase). C5 konvertase akan memecah C5
menjadi C5a (anafilaktosin) dan C5b yang berperan
dalam kompleks penghancur membrane. Kompleks
penghancur membrane terdiri dari molekul C5b, C6, C7,
C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan
menyisip ke dalam membrane sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeablitias membrane normal
akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel
shingga sel membengkak dan ruptur.
2) Aktivator jalur alternative akan mengaktifkan C3m dan
C3b yang terbentuk akan berikatan dengan membrane
sel darah merah Faktor B kemudian melekat pada C3b,
dan faktor B dipecah oleh D menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serinm dan tetap melekat pada
C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecagh molekul
C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan
C3b dan oleh Bb menjadi C5a dan C5b. selanjutnya C5b
berperan dalam penghancuran membrane.
b. Aktivasi Seluler
Jika sel darah disensitasi dengan igG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen-komponen namun tidak
terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut
akan dihancurkan oleh sel-sel retikoendotelial. Proses immune
adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang
diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
5. Gejala Klinis
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering
dikeluhkan oleh penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering
dilihat adaah konjungtiva pucat, sclera berwarna kekuningan,
splenomegaly, urin berwarna merah gelap. Tanda laboratorium yang
dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis, peningkatan lactate,
dehydrogenase, peninngkatan serum haptoglobulin, dan direct antiglobulin
test menunjukkan hasil positif.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluhkan adanya rasa lelah, mudah mengantuk,
sesak napas, riwayat pemakaian obat, dan riwayat sakit sebelumnya.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik didapattkan pucat, ikterik dan splenomegaly.
c. Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobinuria bisa didapatkan pada pasien ini. Pemeriksaan darah
rutin, Hemoglobin biasanya didapatkan sekitar 7-10 gr/dl, MCV dapat
normal atau meningkat, bilirubin indirect meningkat, LDH meningkat,
dan retikulositosis. Pada analisissdarah tepi ditemukan adanya proses
fragmentasi pada eritrosit (sferosis, skistosit, helmet cell dan
retikulosit). Direct Antiglobulin Test (coomb’s test) menunjukkan
positif AIHA.
7. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi AIHA
I. Anemia Hemolitik Auto Imun
a. AIHA tipe hangat
 Idiopatik
 Sekunder (CLL, limfoma, SLE)
b. AIHA tipe dingin
 Tipe dingin
 Sekunder (infeksi mikoplasma, mononucleosis,
virus, keganasan limforetikuler)
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
 Idiopatik
 Sekunder (viral, dan sifilis)
d. AIHA Atipik
 AIHA tes antiglobulin negative
 AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
III. AIHA diinduksi antibody
a. Reaksi hemolitik tranfusi
b. Penyakit hemolitik pada Bayi Baru Lahir
a. Anemia Hemolitik Imun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantibodi
bereaksi secara optimal pada suhu 37 derajat celcius. Kurang lebih 50%
pasien AIHA tipe hangat disertai dengan penyakit lain.
1) Gejala dan Tanda
Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-
lahan, ikterik, demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan
penyait mendadak, disertai nyeri abdomen dan anemia berat. Urin
berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik terjadi pada
40% pasien. Pada AIHA idiopatik, splenomegaly terjadi pada 50-
60%, hepatomegaly terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada
25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai dengan pembesaran
organ.
2) Laboratorium
Hemoglobin sering djumpai dibawah 7 gr/dl. Pemeriksaan
Coombs direct biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya
ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit.
Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua
sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi
dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
3) Prognosis dan Kesintasan
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan
komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang
berlangsung kronik, namun terkendali. Kesintasan 10 tahun berkisar
70%. Anemia, DVT, emboli paru, infark lien, dan kejadian
kardiovaskular lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif.
Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 5-10 tahun sebesar 15-25%.
Prognosis AIHA sekunder tergantung pada penyakit yang mendasari.
4) Terapi
a) Kortikosteroid 1-1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagaian
besar akan menunjukkan respons klinis baik. Bila ada respon,
maka diturunkan tiap minggu mencapai dosis 10-20 mg/hari.
b) Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat, maka perlu
dipertimbangkan splenektomi.
c) Rituximab dan alemtuzumab. 100 mg/minggu
d) Imunosupresi, azathioprine 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-
150 mg/hari
e) Danazol 600-800 mg/hari
f) Tranfusi plasmaparesis, namun hal ini masih kontroversial.
b. Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin
Terjadinya hemolysis diperantarai antibody dingin yaitu agglutinin
dingin dan antibody Dinat-Landsteiner. Kelainan ini secara karakteristik
memiliki agglutinin dingin IgM monoclonal. Spesifisitas agglutinin
dingin adalah terhadapa antigen I. Sebagian IgM yag punya spesifisitas
terhadap anti I memiliki VH4-34. Pada umumnya agglutinin tipe dingin
ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat
pada saat penyembuhan infeksi. Antigen I bertugas sebagai reseptor
mikoplasma yang akan menyebabkan perubahaan presentasi antigen dan
menyebabkan produksi autoantibodi. Pada linfoma sel B, agglutinin
dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan
berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan
fagositosis.
1) Gambaran Klinis
Sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisiis
berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl.
Sering didapatkan akriasinosis dan splenomegali
2) Laboratorium
Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coomb’s
positif, Anti-I,Anti-PR, Anti –M, atau anti-P
3) Prognosis dan kesintasan
Memiliki prognosis yang cukup baik dan stabil
4) Terapi
 Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolysis
 Prednison dan splenoktomi tidak banyak membantu
 Chlorambucil 2-4 mg/hari dapat diberikan
 Plasmafaresis untuk mengurangi antibody IgM secara teoritis
bisa mengurangi hemolysis namun sukar dilakukan.
c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
Merupakan bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai,
hemolisiis terjadi secara massif dan berulang setelah terpapar suhu
dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan dan dikaitkan dengan sifilis.
Pada kondisi ektrim autoantibodi Donath-Landsteiner dan protein
komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37
derajat celcius, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein
komplemen yang lain.
1) Gambaran Klinis
AIHA 2-5%, hemolysis paroksismal disertai menggigil,
panas, myalgia, sakit kepala, hemoglobinuri yang berlangsung
beberapa jam. Sering disertai urtikaria.
2) Laboratorium
Hemoglobinuria, sferositoisis, eritrofagositosis. Coomb’s test
positif, antibody Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah
merah.
3) Prognosis dan kesintasan
Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki
prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik umumnya juga
baik dengan kesintasan yang panjang.
4) Terapi
Menghindari faktor pencetus, glukokortikoid dan
splenektomi tidak ada manfaatnya.
5) Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat1
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolysis karena obat,
yaitu ;hapten/penyerapan obay yang melibatkan antibody tergantung
obat, pembentukan kompleks ternary (mekanisme imun tipe innocent
bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa
ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan atau
adsobrsi protein non imunologis terkait obat akan menyebabkan tes
Coomb’s positif tanpa adanya kerusakan eritrosit.
Banyak obat yang menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap
eritrosit autolog, seperti metildopa. Metildopa yang bersirkulasi dalam
plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada
permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah
merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme ini, tidak
diketahui.
Pasien yang mendapatkan pengobatan sefalosporin dapat
menimbulkan tes Coomb’s positif karena adsorbsi non imnunologis,
immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen, dan plasma protein
lain pada membrane eritrosit.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia, retikulosis,
MCV tinggi, tes Coomb’s positif, leukopenia, trombositopenia,
hemoglobinemia, hemoglobinuria.
Penanganan pada pasien ini adalah dengan menghentikan
penggunaan obat penyebab hemolysis. Pemberian steroid dan tranfusi
dapat diberikan pada kondisi berat.
6) Anemia Hemolitik Aloimun karena Tranfusi1
Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi tranfusi akut yang
disebabkan kaena ketidaksesuaian ABO eritrosit. Sebagai contoh tranfusi
PRC golongan darah A pada penderita golongan darah O yang memiliki
antibody IgM anti A pada serum yang akan memicu aktivasi komplemen
dan terjadi hemolysis intrvaskuler yang akan menimbulkan DIC dan
infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,
nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi tranfusi tipe
lambat terjadi 3-10 hari setelah tranfusi. Biasanya disebabkan karena
adanya antibody dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit.
Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibody tersebut meningkat
pesat kadarnya dan menyebabkan hemolysis ekstravaskuler.1
B. ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN
1. Definisi dan Etiologi
Merupakan jenis anemia hemolitik, dimana hemolysis terjadi tanpa
keterlibatan immunoglobulin tetapi karena faktor defek molecular,
abnormalitas struktur membrane, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi
seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati
atau infeksi yang menyebabkan kerusakan eritrosit ranpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.
2. Klasifikasi
Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. Gangguan intrakorpuskular
Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan
metabolisme dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan
menjadi 3, yaitu:
1) Gangguan pada struktur dinding eritrosit, terbagi menjadi:
a) Sferositosis
b) Ovalositosis (eliptositosis)
c) A-beta lipoproteinemia
d) Gangguan pembentukan nukleotida
2) Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam
eritrosit.
a) Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G6PD)
b) Defisiensi Glutation reduktase
c) Defisiensi Glutation
d) Defisiensi Piruvatkinase
e) Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
f) Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g) Defisiensi Heksokinase
h) Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3) Hemoglobinopati
Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan
hemoglobin, yaitu:
a) Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin
abnormal) misalnya HbS, HbE dan lain-lain.
b) Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin
misalnya talasemia.
c) Gangguan ekstrakorpuskuler
Gangguan ini biasanya didapat (acquired) dan dapat disebabkan
oleh:
a) Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,
air), toksin (hemolisin) streptococcus, virus, malaria, luka
bakar.
b) Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat
menyebabkan penghancuran eritrosit.
c) Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat
terjadinya reaksi antigen-antibodi seperti:
d) Inkompatibilitas ABO atau Rhesus.
e) Alergen yang berasal dari luar tubuh, kemudian
menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan
hemolisis.
3. Epidemiologi
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan
anemia hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya
diperkirakan 1-14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar
15%, di Indonesia bagian Timur disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD
adalah 1,6 - 6,7%.
4. Patofisiologi
Hemolisis dapat terjadi secara ekstravaskular dan intravskuler. Hal
ini tergantung padda patologi yang mendasari penyakit. Pada hemolysis
intravaskuler, destruksi eritrosit terjadi langsung dalam pembuluh darah.
Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplemen dan aktivasi sel
permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan mendestruksi
membrane sel eritrosit/ hemolysis ini jarang terjadi.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolysis ekstravaskuler. Pada
hemolysis ekstravaskuler desktruksi sel eritrosit dilakukan oleh system
retikolendotelial karena sel eritrosit dilakukan oleh system
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan
membrane tidak dapat melewati system retikuloendotelial sehingga
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

Gambar 1. Patofisiologi anemia hemolitik.


5. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien dapat mengeluh lemas, pusing, cepat capek dan sesak.
Pasien dapat mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang
terjadi. Demam bisa dirasakan jika penyebab yang mendasari adalah
akibat infeksi
b. Pemeriksaan Fisik
Kulit dan mukosa kuning, splenomegaly, hepatomegaly, takikardia,
dan adanya mur-mur pada jantung akibat anemia.
c. Pemeriksaan Penunjang
Retikulositosis, SGOT dan SGPT meningkat, pada urin didapatkan
hemoglobinuria, Coomb’s test (-). Secara umum penyakit hemolitik
dapat didasarkan atas 3 proses yang juga merupakan bukti bahwa ada
hemolisis, yaitu:
1) Kerusakan pada eritrosit
a) Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
b) mikrosferosit
2) Katabolisme hemoglobin yang meninggi
a) Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus
b) Hemoglobinemia
c) Urobilinogenuria atau urobilinuri
d) Hemoglobinuri atau methemoglobinuri
e) Hemosiderinuri
f) Haptoglobin menurun
3) Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
a) Darah tepi
 Retikulositosis sebagai derajat hemolysis
 Normoblastemia atau eritroblastemia
b) Sumsum tulang
 Hiperplasia eritroid : Rasio mieloid: eritroid menurun
atau terbalik
c) Eritropoesis ekstramedular
 Splenomegali atau hepatomegaly
 Absorpsi Fe yang meningkat
6. Tatalaksana
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:
1) Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
2) Meningkatkan jumlah sel darah merah
3) Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka
untuk mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit, serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka
tidak ada pilihan selain transfusi. Perhitungan dosis darah untuk transfusi
didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:

Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb


konsentrasi Hb ialah 15 gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb
1 gr/dl. PRC mengandung 60-70% eritrosit sehingga untuk menaikkan Hb 1
gr/dl diperlukan 3 cc/kg bb

Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk


menekan proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan
kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem imun untuk
membentuk antibodi terhadap sel darah merah. Jika tidak berespon terhadap
kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain yang dapat menekan
sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Pada anemia hemolitik
kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk mencegah
krisis megaloblastik.
Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl.

7. Prognosis
Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan
deteksi dini. Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini
baik. Splenektomi dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak
memperbaikinya. Pada anemia hemolitik autoimun, hanya sebagian kecil
pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar memiliki perjalanan
penyakit yang kronik. Sebagai contoh penderita dengan hemolisis autoimun
akut biasanya datang dengan keadaan yang buruk dan dapat meninggal
akibat hemolisis berlebihan.
8. Komplikasi
Gagal ginjal akut (GGA), dan syok (seperti: sesak napas, hipotensi,
hiperkalemia).
DAFTAR PUSTAKA
1. Hariadi, Raroeno., Widayati, Kartika., Pardjono, Elias.2014. Anemia Hemolitik
Imun: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke II. Interna Publishing: Jakarta
2. Rinaldi, Ikhwan., Sudoyo, Aru. 2014. Anemia Hemolitik Non Imun: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke II. Interna Publishing: Jakarta
3. Shick, Paul. 2019. Hemolytic Anemia. Medscape

Anda mungkin juga menyukai